Minggu, 07 Oktober 2012

Siti Mariah, Oh...

Oleh Nanang Fahrudin

Catatan Pendek Buku "Hikayat Siti Mariah" Karya Haji Mukti

Hikayat adalah salah satu bentuk sastra prosa, terutama dalam Bahasa Melayu yang berisikan tentang kisah, cerita, dan dongeng. Umumnya mengisahkan tentang kehebatan maupun kepahlawanan seseorang lengkap dengan keanehan, kesaktian serta mukjizat tokoh utama.

Definisi hikayat ini saya pungut dari Wikipedia. Maklum, saya tak banyak menghafal definisi-definisi sebuah istilah. Seandainya saya ditanya, apa beda hikayat dengan novel atau dengan roman? Sumpah, saya tidak bisa menjawabnya. Paling-paling saya akan menghafal definisi di wikipedia di atas dan menyampaikannya kepada yang bertanya.

Pramoedya Ananta Toer dalam pengantar untuk buku yang baru selesai saya baca ini sebenarnya juga sudah menulis, bahwa hikayat dalam buku ini adalah hikayat dalam arti sesungguhnya. Sebuah petualangan terdiri dari rangkaian pengalaman hebat-hebat, bukan saja tidak merupakan kejadian sehari-hari juga kekuatan-kekuatan adikodrati (supranatural) ikut campur menjaga tokoh-tokoh cerita. (hal:22).

Buku ini berjudul Hikayat Siti Mariah, ditulis oleh Haji Mukti. Buku ini sudah lama saya beli, yakni tahun 2011. Namun baru sekarang ini saya membacanya. Siapa Haji Mukti? Ternyata tak ada yang mengetahui pasti. Dari catatan pengantar buku ini, sosok Haji Mukti sangat misterius. Apakah ia nama samaran atau nama asli?. Tak ada catatan sejarah tentangnya.

Hikayat Siti Mariah punya sejarah panjang. Ia terbit pertama kali tanggal 7 November 1910 hingga 6 Januari 1912 sebagai cerita bersambung di Medan Prijaji, koran pertama di Hindia Belanda yang dikelola oleh Tirto Adhi Soerjo, bapak pers nasional. Lalu hikayat ini diterbitkan ulang oleh lembar Lentera di koran Bintang Timur, sebuah media di bawah Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang disebut-sebut sebagai media partisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Di Lentera, hikayat ini terbit bersambung antara tahun 1962-1965.

Baru tahun 1987 hikayat ini hadir dalam bentuk buku diterbitkan oleh Hasta Mitra (cetakan ke-3). Dan buku yang saya pegang ini adalah cetakan ke-4 terbitan Lentera Dipantara tahun 2003. Buku ini memiliki tebal 402 halaman. Pada bagian-bagian tertentu ada naskah aslinya yang hilang (dari penerbit), seperti halaman 315 dan 321, serta 232. Pada setiap naskah hilang oleh penerbit ditulis “naskah di bagian ini hilang”.

***

Ada banyak menarik yang saya temui saat membaca buku ini. Pertama, penulisnya tak diketahui. Karena Haji Mukti sebagai penulis juga masuk dalam cerita. Ia bernama Sondari, yang setelah bekerja di Konsul Jeddah dan naik haji mengubah namanya menjadi Haji Mukti. Mengenal siapa Haji Mukti pun hanya dari isi cerita dalam hikayat ini. Tidak ada sumber di luar.

Yakni, Haji Mukti lahir di wilayah Kedu (Jawa Tengah). Ia anak kontrolir Kedu, Elout van Hogerveldt dengan nyainya, Nyai Ayu Mustikaningrat. Pada tahun 1873 ia bekerja di Konsul Jedah dan tahun 1883 kembali ke Jawa. Sondari (Haji Mukti) punya saudara perempuan dari ibu berbeda bernama Siti Mariah yang waktu kecil bernama Urip, yang dijual ke pasar.

Membaca buku ini saya merasa penulisnya sedang menceritakan tentang dirinya sendiri. Tentang perjalanan hidupnya, dan masyarakat Jawa abad ke-19.

Oh ya, lebih baik saya berkisah sedikit tentang cerita Hikayat Siti Mariah. Begini. Seorang Ibu bernama Sarinem kehilangan anaknya. Sarinem adalah nyai (gundik) Elout van Hogerveldt. Saat Sarinem dipulangkan ke orangtuanya oleh Elout, ia sedang hamil. Jamak waktu itu, wanita pribumi “diambil” sebagai nyai oleh pejabat sebelum sabf pejabat resmi memperistri seorang yang “pantas”. Saat pejabat itu hendak beristri, nyai tersebut dipulangkan kepada orangtuanya. Dan Sarinem adalah satu dari sekian banyak nyai.

Sarinem pulang dalam kondisi mengandung anak Elout. Lalu dinikahkan dengan petani bernama Wongsodrono orang yang bengis dan sering marah. Waktu Sarinem melahirkan anaknya (diberi nama Urip), Wongsodrono merasa rugi karena Sarinem hanya bisa mengurusi anaknya, dan tak bisa ke sawah. Urip pun dibawa ke pasar dan dijual ke mandor kebun tebu Sokaraja, Joyopranoto yang beristrikan Waginah.

Urip tumbuh menjadi gadis yang cantik, yang diberi nama Siti Mariah. Ia lalu diambil sebagai nyai oleh Henri Dam (teman Sondari) yang juga bekerja di Pabrik Gula di Sokaraja sebagai pembesar. Dari hubungan Mariah-Henri lahirlah bocah bernama Ari. Keluarga ini hidup bahagia, meski Mariah hanya sebagai sebagai nyai, bukan istri sebagaimana adat waktu itu. Henri Dam-Siti Mariah berjanji sehidup semati.

Kisah lalu mengalir, berkisah tentang keluarga Henri Dam bersama Siti Mariah dan anaknya Ari. Tragegi dimulai, ketika keluarga bahagia ini bercerai-berai saat nyonya Van Holstein (pemilik pabrik-bos besar) menikahkan Henri Dam dengan anaknya Lucie. Henri Dam terpengaruh dukun Jiman yang disewa oleh nyonya Van Holstein.

Henri Dam hidup bersama Lucie dengan uang melimpah, tapi hati kering. Siti Mariah dipulangkan. Sinyo Ari ikut Van Holstein di Betawi. Dalam perjalanan waktu, Sinyo Ari dikabarkan mati sakit perut oleh Nyonya Van Holstein, padahal ia dibawa Wongsodrono. Siti Mariah pun kalut dan meninggalkan rumahnya tanpa pamit kepada siapapun. Ia tak bisa memikul beban, suami diambil orang, anak mati tanpa tahu jasadnya.

Cerita pun berjalan seperti jalan bercabang. Henri Dam yang hidup sengsara bersama Nyonya Lucie di Belanda, ditinggal selingkuh, hendak diracun istrinya sendiri tapi selamat. Ia sangat menderita. Selepas Lucie meninggal, ia kembali ke Jawa.

Sedang Sinyo Ari kecil dibawa oleh Wongsodrono yang menjadi kepala perompak di laut. Atas kekuasaannya itu, Wongsodrono mengaku dirinya Tuhan. Lalu perompak-perompak ditumpas habis oleh polisi Hindia Belanda. Sinyo Ari yang masih kecil, diserahkan ke panti asuhan di Semarang. Setelah dewasa ia bekerja di sejumlah perkebunan tebu, dan terakhir di pabrik gula Sukoraja, tempat banyak-ibunya dulu tinggal.

Siti Mariah, setelah pergi dari rumah menjadi babu Henri Esobier, pembesar pabrik gula di Mojokerto. Dari babu, Mariah (menyamar dengan nama Salimah) menjadi istri Esobier. Dan saat Esobier meninggal, Mariah dikenal dengan nama janda Esobier. Ia hidup bersama anaknya dari perkawikannya dengan Esobier, dan mewarisi kekayaan yang cukup besar. Tapi ia selalu teringan Henri Dam dan anaknya Ari yang disangkanya sudah meninggal.

Sementara Mandor Joyopranoto (bapak angkat Mariah) setelah pensiun dari kerja, hidup tenang dan berangkat haji. Sepulang dari haji, namanya diubah menjadi Haji Abdulrahman. Istrinya, Waginah mengubah nama menjadi Nyi Patimah, sedang Sarinem (ibu kandung Mariah) mengubah nama menjadi Nyi Aisah.

Lika liku kehidupan orang-orang tersebut hadir begitu nyata, penuh tawa, duka, harap, cemas, takut, dan sekaligus berani. Semua berkelindan menjadi sulaman kisah yang memesona. Dan sesekali, penulis hadir sebagai penulis, yang memotong jalannya cerita untuk menyapa dan berbicara dengan pembaca. Seperti ketika cerita sampai pada Urip yang akan dibuang oleh Wongsodrono sebelum dijual ke pasar.

Waktu itu pagi buta, Urip ditaruh dikeranjang, lalu sesampai di tepi jurang Urip diangkat dan hendak dilempar. Tapi terdengar suara adzan Subuh. Wongsodrono mengurungkan niatnya. Penulis lalu menulis: “Di sini kita jadi terharu betapa Yang Maha Kuasa melindungi Urip……Syukur. Selamat untukmu, Urip. Tuhan Allah Maha Kuasa”. (hal: 64).

Singkat kisah, hikayat ditutup dengan cerita menyenangkan. Semua berkat Sondari alias Haji Mukti, yang berhasil mempertemukan Henri Dam, Siti Mariah, dan Sinyo Ari, beserta keluarga Joyopranoto setelah sekian tahun terpisah. Mereka bertemu dalam sebuah pertemuan yang sudah dirancang oleh Haji Mukti.

Pertemuan keluarga besar ini menjadi pertemuan yang cukup membahagiakan. Lalu, selepas pertemuan, keluarga Dam pindah ke Brussel menjadi bankir. Haji Mukti membeli kebun kopi di Magelang, dan kemudian tinggal di Bandung. Keluarga Joyopranoto tinggal di Magelang dengan bahagia.

Penulis pun mengakiri kisahnya dengan menulis di paragraph-parafgraf akhir: “Dan marilah pembaca, sebaiknya kita juga ikut bergembira”. (hal: 401).

***

Dari Hikayat Siti Mariah, saya merasa ada nafas yang sama dengan karya-karya Pramoedya. Pikiran saya pun berisi: mungkin bacaan-bacaan seperti ini yang menginspirasi Pram untuk menulis karya-karyanya. Tokoh Siti Mariah mirip dengan Nyai Ontosoroh dalam Tertralogi Buru karya Pram. Nyai Ontosoroh menjadi nyai namun sangat pemberani, gigih, dan pandai.

Membaca hikayat ini juga mengingatkan saya pada Gadis Pantai karya Pram lainnya. Betapa pedih hati Siti Mariah ketika diminta pulang karena Henri Dam akan menikah dengan Lucie, yang lalu memisahkan ini dan anaknya. Kepedihan itu mungkin bobotnya sama dengan kepedihan Mas Nganten yang dipulangkan ke orangtuanya setelah melahirkan seorang bayi. Meski, tentu tidak mungkin menimbang bobot sebuah kepedihan hati.

Ah, sudahlah. Lebih baik saya cukupkan sampai di sini saja catatan pendek ini. Catatan ini hanyalah sekadar cara saya mengakrabi apa yang sudah saya baca. Mengakrabinya dengan cara pembacaan saya yang sederhana. Salam!.

Bojonegoro, 6 Oktober 2012

Senin, 24 September 2012

Saya: Pelagia Vlassova, Janda Buruh

Catatan Pendek Novel IBUNDA karya Maxim Gorki

Oleh Nanang Fahrudin

Saya sering merasa membaca adalah berziarah. Sunyi. Tapi dalam sunyi itu semua tiba-tiba hadir, berkelebat, berteriak, juga menyapa ramah. Deretan kalimat yang tersentuh dua mata, memanggil-manggil pengalaman, menjahit masa lalu, menubruk pikiran, dan menyisakan desahan panjang. Ya, membaca adalah berziarah dalam sunyi.

Pengalaman membaca ini pun tak jarang menenggelamkan saya ke dasar kesepian. Menjauh dari kebisingan dan mengakrabi secangkir kopi. Saat asyik membaca, ingin rasanya mata sekuat mentari, pikiran seluas samudra. Tapi tidaklah, saya tetap seseorang yang belajar membaca.

Seperti membaca buku Ibunda karya Maxim Gorki terbitan Kalyanamitra 2002. Buku ini sungguh saya sukai karena banyak sebab. Penerjemahnya Pramoedya Ananta Toer, penerbitnya adalah lembaga perempuan, dan Gorki adalah nama sastrawan besar Rusia yang sudah lama saya dengar namun baru kali ini membaca karyanya. Nah, lengkap sudah kehebatan buku ini.

Menyusuri halaman demi halaman buku ini membuat saya lama memejamkan mata lalu membebaskan pikiran agar mengembara. Novel ini berkisah tentang perjuangan buruh di Rusia awal abad 20. Ada tema besar yang digenggam yakni memperjuangkan kemanusiaan, kejujuran, kesejahteraan buruh, yang semua terangkum dalam sosok Ibunda, seorang ibu bernama Pelagia Vlassowa, janda buruh pabrik. Juga pada sosok Pavel Vlassov, anak Ibunda yang seorang aktivis buruh, dipenjara, dan lalu diadili karena aksi unjuk rasa pada Hari Buruh 1 Mei.

Membaca buku ini begitu menyentuh diri paling dalam. Ketika membaca aksi unjuk rasa yang dipimpin Pavel, masa lalu saya hinggap pada saat mahasiswa mengikuti aksi unjuk rasa tiba-tiba berkelebat hadir. Kelebatan masa lalu itu pun mengundang serpihan-serpihan lain yang lalu bertaburan. Saat berdiskusi dengan sahabat, atau saat berdiskusi buku-buku kiri, semua berdatangan.

Ketika Pavel dan teman-temannya berpidato di hadapan hakim, yang kemudian pidato tentang proletar dan borjuis itu dicetak lalu disebar kepada rakyat, pikiran saya tergelincir pada buku-buku tentang Marx dan Marxisme. Lalu pikiran saya ditumbuk oleh realitas demonstrasi yang seringkali berwajah sangar namun dagelan akhir-akhir ini. Belum sampai buku tuntas saya baca, pikiran saya berbelok pada perjuangan-perjuangan buruh yang mulai mendapat kritik sana-sini. Pikiran-pikiran lain pun berdatangan dan berdatangan, seperti titik-titik hujan yang berjatuhan.

Tapi sudahlah. Itu pengalaman saya membaca yang mungkin berbeda dengan pengalaman anda. Karena membaca, bagi saya, adalah aktivitas paling egois dari keegoisan lain yang ada. Tak ada yang bisa menyetir pikiran seseorang ketika dia membaca sebuah teks.

Dan agar tulisan saya ini enak dibaca, saya cerita sedikit tentang isi buku ini. Ibunda, tokoh dalam buku ini, adalah perempuan luar biasa. Saya sempat berpikir, seorang ibu di mana pun berada wajib membaca buku ini. Ia menikah dengan buruh pabrik, yang setiap hari mabuk, lalu memukulinya, menjambaknya, dan mengatainya sundal. Ia pun lupa bahwa ia bisa tersenyum. Dalam kesehariannya, ia melarutkan diri dalam penderitaan yang tak terperi.

Pavel anaknya tak luput dari pukulan dan pukulan. Seperti anak-anak pada zaman itu, yang mabuk, lalu berkelahi, sekarat, dan sebagian mati. Kehidupan buruh begitu sangat keras dan tak beradab. Tapi, semua bukan tanpa sebab. Penyebabnya tak lain penguasa dan orang-orang kaya yang telah memperbudak kaum buruh, lalu mengambil kehidupan mereka, menenggelamkan kehidupan buruh ke dasar paling gelap.

Tapi kehidupan Pavel mulai berubah ketika bertemu dan sering berdiskusi dengan para aktivis buruh sosialis. Pavel menjadi berwatak tenang dan tak beringasan. Satu dua kali pertemuan rahasia dengan para aktivis buruh itu dilakukan di rumahnya. Dari sinilah Ibunda mengenal dunia perjuangan buruh.

Ia pun ikut menenggelamkan diri dalam perjuangan itu, memuji anaknya. Tapi di sisi lain ia takut anaknya akan tersesat, apalagi ketika Pavel selalu mempertanyakan keadilan Tuhan. Tapi rasa kasih sayangnya terhadap Pavel dan temannya begitu besar, membuatnya menjadi kuat. Lalu ia belajar membaca dan membantu perjuangan bawah tanah. Ketika Pavel dipenjara gara-gara menyebarkan selebaran gelap untuk rakyat, Ibunda menggantikan anaknya menyebarkan pamphlet-pamflet dan bacaan-bacaan untuk menyadarkan kaum buruh. Ibunda menyamar sebagai penjual makanan dan bisa keluar-masuk buruh.

Kelemahan fisik lantaran faktor usia tak membuat Ibunda patah. Ia berjalan dari kota-kota untuk mengemban tugas suci menyebarkan bahan bacaan untuk buruh. Puncaknya ketika Pavel diadili dan diputus bersalah dengan ganjaran dibuang ke Siberia untuk kerja paksa, Ibunda menyebarkan bacaan berisi pidato Pavel di hadapan hakim kepada warga Rusia. Ibunda tak pernah gentar, meski akhirnya ia ditangkap oleh polisi-militer, digebuki, dipukul, hingga dia tak sadarkan diri.

Ah, cukup sampai di sini saja. Lebih baik Anda membacanya sendiri langsung. Karya Gorki tak sekadar berapi-api, tapi juga indah penuh untaian kata-kata cantik, yang disulam berbaris rapi. Saya sulit melukiskannya dengan pilihan kata yang saya punya. Baca saja ini: hari pun runtuhlah satu demi satu seperti merjan-merjan dari ikatan tasbih dan membangunkan minggu serta bulan. (hal: 40). Kalimat yang indah bukan?. Salam!

Bojonegoro, 24 September 2012

Selasa, 18 September 2012

Bulan Menggantung di Langit



Oleh Alif Didharma

Matahari mulai diselimuti senja ketika aku masuk ke rumah. Istriku muncul dari dapur dan merebut tanganku untuk dicium. Lelahku diusirnya dengan secangkir kopi yang sudah siap di meja. Aku duduk di kursi rotan berdebu. Menyandarkan punggung yang kaku setelah seharian bergelut dengan cangkul di sawah. Istriku kembali masuk ke dapur.

“Ulan Songo kali ini kita harus bisa panen kang”. Aku teringat omongan istriku beberapa hari lalu. Saat itu sambil berbicara ia memijit-mijit kakiku di balai-balai kayu di teras rumah. Wajahnya teduh seperti pohon jambu depan rumah. Tapi keteduhan itu dihiasi tangis yang ditahan. Dan aku lebih tahu dari siapapun tentang isi hati istriku.

“Sebentar lagi bulan Juni. Wati waktunya masuk esempe. Dede saatnya masuk esde.” Lagi-lagi aku teringat kata-kata istriku.

Sambil menyandarkan kepala di kursi aku baru sadar betapa hebatnya seorang istri. Ia terlihat lemah tapi begitu kuat ketika harus mengurus empat bocah seorang diri. Anakku yang ketiga masih hampir satu tahun, sedang yang ke empat masih di perut istriku. Aku pun sudah tak ingat lagi berapa usia anak pertama dan kedua kami. Urusan anak seperti sudah menjadi urusan istriku.

Aku terlalu larut dalam keseharian dengan lumpur sawah. Tak ada yang kubisa selain menanam padi di musim hujan dan menanam tembakau di musim kemarau. Musim hujan lalu padi kami gagal panen. Gara-garanya hujan tidak turun-turun dan padi jadi kering lalu mati sebelum berisi. Sawah yang kugarap adalah milik desa. Sebagai penggarap sawah aku mendapat bagian setengahnya saat panen.

“Ada apa kang, kok melamun begitu,”

Aku tak menjawab. Kuamati istriku yang mengulurkan piring berisi tiga biji pisang goreng. Ia lalu duduk di kursi sebelahku. Diseretnya kursi itu lebih mendekat lagi ke tempat dudukku.

“Tadi Mbok Jah datang. Dia memberi kita nasi kuning. Lagi tironan katanya. Itu nasinya masih ada. Anak-anak kita semua sudah makan. Mau kuambilkan,” katanya pelan. Masih teduh seperti tadi.

“Ya ambilkan. Aku lapar sekali”

“Tunggu sebentar ya”

Istriku masuk lagi ke dapur dan kembali membawa piring berisi nasi kuning, telur dadar, mi kuning goreng, dan sambal tempe. Aku pun menegakkan punggung dan menerima piring itu. Nasi itu pun habis kusantap. Enak sekali.

“Di mana anak-anak kita?”

“Mereka sudah berangkat ke langgar Haji Tohir jam lima tadi. Sana cepat mandi sebentar lagi adzan maghrib,” kata istriku.

Seperti anak kecil aku digiringnya ke sumur. Tak ada bak mandi di rumahku, yang ada hanya bak kecil dan sumur pompa. Bak kecil itu dikelilingi gedhek. Lantainya hanya batu kerikil kali yang sudah mulai berlumut. Bak itu sudah penuh air. Pasti istriku tadi mengisinya sebelum aku tiba.

“Besok Pak Lurah mau datang ke rumah kita Kang. Katanya mau membicarakan soal sawah,” kata istriku sedikit berteriak. Gemericik air kadang melenyapkan suaranya.

“Jam berapa?”

“Pagi katanya”

“Pagi jam berapa?”

“Aduh, pokoknya pagi”

“Ya ya ya pagi” kataku dari kamar mandi.

***

Kampungku berada jauh dari sungai besar. Separoh warganya jadi buruh tani. Aku salah satunya. Pertanian hanya disuguhi air dari langit. Belum ada irigasi atau semacamnya. Aku tidak begitu tahu soal pengairan. Hanya kudengar dari siaran radio bahwa sekarang di mana-mana menanam padi bisa tiga kali setahun, karena air bisa datang dari mana saja. Tapi di kampungku menanam padi ya sekali dalam setahun. Jika cuaca lagi baik, hujan turun menyuburkan sawah. Tapi jika musim tanam padi lantas tidak ada hujan, maka panen dipastikan gagal. Seperti tahun lalu.

Di kampungku jumlah petani seperti diriku pun semakin sedikit. Banyak yang beralih profesi, menjadi tukang becak, asongan di kereta api, atau pergi ke kota besar mencari kerja apa saja. Warga kampungku sangat disiplin. Matahari belum terbit, yang laki-laki sudah pergi ke sawah, yang ibu-ibu mulai mengepulkan asap di dapur.

Tapi pagi ini sedikit berbeda. Jam enam aku masih di rumah. Kata istriku pagi ini Pak Lurah akan datang ke rumah. Tadi pagi sekali istriku kuminta menyiapkan secangkir kopi dan pisang goreng. Di luar langit cukup cerah. Empat anakku ramai di sumur belakang rumah berebut mandi lebih dulu. Suara penjual sayur keliling melolong-lolong menawarkan dagangannya. Aku sendiri berada di samping rumah mencari ulat yang merusak tanaman cabe yang hanya tiga batang saja. Sekadar menunggu Pak Lurah datang.

“Assalamu’alaikum”

“Alaikum salam. Monggo Pak Lurah. Silahkan masuk,” kataku sopan. Bagi warga kecil
seperti kami Pak Lurah adalah simbol kekuasaan. Semua apa kata Pak Lurah. Waktu anak pertama saya lahir dan Pak Lurah datang memberi nama Wati, kami langsung memberikan nama itu kepada anak kami. Ketika Pak Lurah minta semua pohon jati pinggir jalan ditebangi kami semua langsung menurut. Untuk apa pohon jati itu selanjutnya, kami tidak tahu dan tak pernah bertanya.

Dan seperti pagi ini, ia ada di rumahku. Aku harus patuh sepatuh patuhnya. Istriku kupanggil. Kopi dan pisang goreng kuminta didekatkan ke meja agar Pak Lurah mudah mengambilnya. Tak lupa kuminta menyiapkan kobokan dan serbet. Pak Lurah pasti tak ingin ada minyak menempel di tangannya.

“Begini Kang,” katanya memulai pembicaraan. Aku duduk di sampingnya, bukan seperti bapak kepada anaknya. Tapi anak kepada bapaknya. Meski usia Pak Lurah jauh di bawahku. Aku pun tak berani menyela omongannya.

“Pak Bupati minta semua desa meningkatkan produksi padi. Eh maksudku panen padi harus diperbanyak. Tembakau juga harus lebih banyak. Daerah sini mau dibuat percontohan sebagai daerah paling banyak memanen padi dan tembakau,”
Aku mendengarkan dengan pandangan mata tetap ke arah mulut Pak Lurah tanpa tahu apa arti kalimat panjang itu.

“Emm.. jadi semua harus bekerja keras. Butuh keahlian lebih baik lagi untuk menggarap sawah,”

Aku tetap duduk tenang. Dan tetap tidak tahu arah pembicaraannya.

“Jadi sekarang pengelolaan sawah oleh desa di-outsourcing. Eh maksud saya ada perusahaan yang akan menggarap sawah-sawah yang ada. Jadi warga tidak perlu susah-susah menggarapnya. Ini demi meningkatkan produksi, eh maksud saya jumlah padi dan tembakau yang dipanen.”

“Para penggarap sawah seperti sampean Kang akan dicarikan pekerjaan lain yang lebih layak. Karena sawah akan ditangani oleh orang-orang yang mengerti teknologi. Mereka akan mendatangkan traktor, mesin panen padi, membangun pengairan, membangun waduk, dan mengganti tenaga manusia dengan mesin. Jadi sampean tidak perlu repot-repot menggarap sawah lagi”

Aku masih tidak mengerti apa makna pembicaraan Pak Lurah yang panjang itu.
“Terus kenapa Pak?” tanyaku.

“Begini Kang. Maksud kedatangan saya ya ingin mengambil sawah yang sampean garap. Nanti ada pekerjaan lain untuk sampean”

“Pekerjaan apa itu Pak? Saya hanya bisa menggarap sawah. Saya tidak bisa apa-apa,”

“Tenang saja. Semua akan baik-baik saja”

“Ya Pak!”

Lalu Pak Lurah bangkit dari duduknya. Ia menyalamiku yang kusambut dengan cepat. Aku tetap tak begitu mengerti omongan panjang itu. Hanya yang kutahu aku tak lagi diperbolehkan menggarap sawah. Ada tawaran pekerjaan lain.

“Assalamu’alaikum Kang, saya balik dulu. Pak Bupati mau datang nanti ke balai desa”.

“Waalaikum salam Pak,”

Aku berdiri di depan pintu. Di depanku Pak Lurah berjalan menuju mobil mengkilap warna putih. Aku tidak tahu mobil apa namanya. Aku menganggukkan kepala saat Pak Lurah memandang ke arahku. Mobil lalu melaju di atas jalan tidak rata dengan batu-batu menonjol di sana-sini.

Istriku masih di sumur bersama anak-anakku yang belum selesai mandi. Udara pagi masih terasa dingin. Maklum semalam hujan turun meski tidak terlalu deras. Embun masih menempel di pucuk-pucuk daun. Burung cendet bernyanyi dari rumpun bambu di belakang rumah. Nyanyiannya semakin indah karena burung perkutut ikut manggung juga. Seakan burung-burung itu hendak bercakap-cakap.

***

Malam belum begitu tua. Bulan separoh menggantung di langit. Kelelawar terbang tersesat dan berputar-putar di dalam rumah. Tiga anakku sudah tidur di satu kamar. Mereka sudah terbiasa berdesak-desakan. Karena memang tak ada lagi ruangan yang tersisa.

Aku duduk di kursi rotan berdebu. Kursi itu berada di ruang tamu berlantai tanah. Rumahku cukup indah di mata kami. Meski ukurannya kecil sekecil garasi mobil Pak Lurah. Di depan ada pohon kersen yang selalu berbuah. Anak-anakku dan teman-temannya sering bermain di bawah pohon itu kala sore menjelang maghrib.

Istriku masih di dapur membersihkan barang-barang pecah belah. Kemarin aku melihat matanya merah. Tapi saat kutanya kenapa, dia hanya tersenyum dan mengatakan tidak ada apa-apa. Tapi aku selalu tahu isi hatinya melebihi siapapun. Di mataku hatinya tak pernah bisa ditutupi oleh apa saja. Aku bisa merasakannya, bisa membacanya, bisa mendengarkannya, dan bisa menggenggamnya.

Seperti halnya dirinya yang selalu bisa menggenggam hatiku, bahkan apa yang kupikirkan sekaligus. Dan sekarang diapun menggenggam semuanya. Kami selalu tahu apa isi hati, tapi kami tak pernah mengatakannya. Aku tak pernah mengatakan kepada istriku, dan demikian juga istriku diam dan tersenyum tak pernah bertanya apa-apa tentang hati.

Aku tahu istriku sedih. Istriku juga tahu aku sedang sedih. Keputusan Pak Lurah mengambil sawah yang selama ini kugarap membuat kami tak bisa berbuat apa-apa. Kami baru sadar sekarang setelah sebulan lalu Pak Lurah mengatakannya kepadaku. Sejak saat itu aku tak pernah ke sawah lagi. Tak bisa menanam padi.

Biasanya separuh bidang sawah kutanami ketela dan kacang-kacangan untuk ditukar dengan sepotong tempe. Aku juga biasa menanaminya jagung yang bisa kujual untuk membayar biaya sekolah.

Tapi sekarang. Semua seperti berhenti mendadak. Aku tak lagi menggarap sawah sedang setiap hari tetap perlu makan.

“Kang…!”. Istriku begitu terlihat tua malam ini. Matanya merah, dan aku tak bertanya lagi.

“Sudah ada kabar dari Pak Lurah soal pekerjaan?” tanya istriku. Ia mendekat duduk di sampingku. Memijat pundakku yang terasa lemas.

Aku menarik nafas panjang. Kubelai rambutnya yang diikat karet gelang. Kuusap-usap pipinya yang tak halus lagi. Aku tersenyum dan istriku ikut tersenyum.

“Besok aku akan mulai kerja” kataku pelan.

“Kerja apa kang?,”

“Aku mau ikut Kang Somad pergi ke kota”

“Kenapa tidak di kampung kita saja”

“Pekerjaannya ada di kota. Jadi aku harus ke sana. Aku sudah bilang sama Kang Somad”

“Kerja apa Kang?”

“Yang penting halal dik!”

“Yang penting sampean kuat Kang”

“Ya dik!”

Kami pun menutup pintu rumah dan mematikan lampu. Kami berjalan pelan ke kamar tidur. Malam begitu damai. Tuhan berbisik lewat angin yang menerobos dari dinding gedhek rumah kami dan menenteramkan jiwa kami. Sesekali terdengar raungan sepeda motor yang lewat di depan rumah kami.

Kami dibangunkan oleh suara adzan subuh. Istriku sudah berada di dapur sedang aku baru menurunkan kaki dari tempat tidur. Tiga anakku masih tidur di kamar sebelah. Kami pun lantas sama-sama menuju langgar Kang Tohir yang hanya berjarak beberapa meter saja dari rumahku.

Usai salat subuh istriku menyiapkan secangkir kopi untukku. Kopi pagi selalu memberi semangat bagi tubuh yang sudah mulai rapuh ini.

“Aku berangkat pagi ini ya,” kataku sambil mengangkat cangkir.

“Kenapa sawah tidak bisa kita garap lagi Kang?”

“Aku tidak tahu dik. Katanya mesin lebih canggih daripada manusia”

“Tapi mesin tak butuh makan Kang. Sedang kita butuh”

“Aku tidak tahu dik”

“Wati sebentar lagi masuk esempe, pasti butuh biaya banyak”

“Tuhan Maha Adil dik”

“Kemarin Dede menangis minta dibelikan sepeda”

“Aku berangkat dulu dik ya”

“Sebentar lagi aku melahirkan”

“Aku berangkat dulu ya”

Tanganku dicium oleh istriku. Aku merasa tanganku basah. Aku melangkah keluar rumah. Di seberang jalan Kang Somad sudah membawa tas kecil di pundak dan melambaikan tangan.

Bojonegoro, Mei 2012

(maaf, gambar belum nyambung dengan tulisan)

Sabtu, 15 September 2012

Koran Minggu dan Secangkir Kopi



Oleh Nanang Fahrudin

Entah sejak kapan, hari Minggu menjadi hari yang menyegarkan. Ada setumpuk semangat membaca dan menulis yang tiba-tiba saja hadir tanpa saya undang. Andai saya tak menghanyutkan diri pada “tradisi Minggu” ini, waktu berjalan seperti tanpa isi seharian. (Mungkin saya terlalu mendramatisir apa yang terjadi).

Seperti pagi ini. Minggu 16 September 2012. Pagi yang cerah dengan angin kering kemarau yang mengusap kulit. Pukul 08.00 WIB, saya berangkat dari rumah menuju ke Pasar Sumbberjo, Bojonegoro. Jaraknya antara rumah dengan pasar ya kira-kira 10 – 15 km. Kalau ditempuh naik kendaraan umum butuh dua kali naik. Pertama naik ojek (Rp10.000), lalu naik angkutan (Rp2.000).

Tapi, pada Minggu pagi saya selalu menempuhnya dengan motor. Maklum, saya sekaligus mengantar istri belanja di pasar. Saya selalu mengelak jika diminta ikut masuk ke dalam pasar. Saya memilih membeli koran lalu duduk di warung kopi. Membaca koran sambil sesekali nyruput secangkir kopi. Hmm..nikmat rasanya.

Sayang, pagi ini saya kurang beruntung. Harian Kompas sudah tidak ada di deretan koran yang dijual. Tinggal Jawa Pos dan Surya. “Ah, keduluan orang,” kata saya dalam hati. Soal pilihan koran Minggu, mohon maaf, saya lebih menyukai Kompas. Dan tak bisa ditawar lagi. Ini hanya soal selera subyektif saya saja, jadi bukan soal penilaian kualitas sebuah media.

Tapi ketika Kompas tidak ada? Apa boleh buat, Jawa Pos sebagai pengganti. Sedang Koran Tempo, biasanya baru saya beli Senin, keesokan harinya. Maklum, Koran Tempo baru datang di kios koran pada Minggu sore. Jadi saya baru bisa menikmatinya pada hari Senin. Sedang Jawa Pos biasanya saya baca Senin juga, saat di kantor di kawasan kota Bojonegoro. Tapi pagi ini, Kompas tidak ada dan Jawa Pos menemani.

Saya sering mengusulkan kepada teman-teman di Sindikat Baca agar membeli koran Minggu. Karena, Koran Minggu serupa buku yang memiliki tema-tema aktual. Juga kalimat-kalimat yang segar. Informasi yang dihadirkan juga tidak basi dan inspiratif. Sehingga Koran Minggu bisa dibaca pada hari Senin, Selasa, dan hari-hari lain.

Koran edisi Minggu ini selalu saja saya nikmati di sebuah warung kopi yang tak pernah sepi. Berada di seberang jalan Polsek Sumberrejo. Saya duduk, buka koran, kopi datang, saya aduk, saya sruput. Asik. Sesekali orang-orang di warung yang kebanyakan tukang ojek, makelar, pedagang kecil di pasar, atau pemuda-pemuda pengangguran kerja ikut membaca koran yang saya bawa.

Di warung kopi, waktu tidak lama. Paling hanya 30 menit. Tapi tetap menyegarkan. Ada kopi, ada koran Minggu. Saya membacai resensi buku, cerpen, puisi, dan laporan-laporan ringan khas koran edisi Minggu. Saya pun merasa, koran edisi Minggu serupa halte kehidupan. Kita bisa berhenti sejenak dari rutinitas kerja, untuk kita lanjutkan perjalanan pada hari-hari setelahnya. Sepertinya, dari isinya, koran edisi Minggu bertujuan untuk menjadi halte. Dan sebagai pembaca, saya menyukainya.

Lalu, setelah menikmati waktu yang sebentar itu di warung kopi, saya kembali ke rumah, membawa barang-barang belanja yang dibeli istri di pasar. Saya seringkali pulang dengan pikiran segar, setelah membaca koran edisi Minggu dan menikmati secangkir kopi. Di rumah, saya melanjutkan membaca bagian lain yang belum sempat saya baca. Dan untuk pagi ini, saya melanjutkan membaca Ibunda karya Maxin Gorki yang belum usai saya jelajahi. Salam!.

Bojonegoro, 16 September 2012


(maaf, gambar untuk tulisan ini tidak nyambung dengan tulisan. Dan ini sebuah kesengajaan saja, yang tak membutuhkan penjelasan...hehe)

Sabtu, 01 September 2012

Selamat Datang Atas Angin!


Oleh Nanang Fahrudin

Sanggar Guna 1 September 2012. Atas Angin mengetuk pintu semua orang yang datang. Siswa, mahasiswa, guru, pengarang, pekerja, dan entah siapa lagi. Mereka menyambut kedatangan Atas Angin dengan bungah. Mungkin seperti menyambut saudara, sahabat, teman, atau kawan yang lama tak bersua.

Atas Angin adalah majalah yang hadir dalam 20 halaman, terbit setiap bulan, berisi tulisan-tulisan sastra dan budaya, digarap oleh anak-anak muda yang kreatif, dengan semangat yang menyala-nyala. Dan Atas Angin, bagi saya, seperti sebuah rumah kreatif, rumah yang bisa melahirkan kreativitas anak-anak muda Bojonegoro.

Edisi pertama Agustus 2012, dilaunching di Sanggar Guna, Bojonegoro. Jonathan Rahardjo, penulis novel sekaligus penyair hadir dan memberi amunisi semangat bagi Atas Angin ke depan. Susanto, seorang guru sekaligus dosen yang banyak melahirkan karya tulis juga hadir. Pak Santo, demikian ia akrab disapa, berujar bahwa Atas Angin harus eksis tidak hanya pada edisi pertama, tapi edisi selanjutnya dan selanjutnya. Dan ada juga Prawoto R. Sujadi, seorang guru, fotografer, sekaligus penulis ikut duduk di depan untuk menyambut kedatangan Atas Angin.

Di Bojonegoro, bahkan di pelosok tanah air ini, media serupa Atas Angin (sepengatahuan saya yang sempit) sangatlah minim. Media yang menggarap dunia budaya, dunia sastra, dunia buku, dan dunia tulis menulis. Apalagi bagi kalangan anak muda, yakni pelajar dan mahasiswa. Mata Baca pernah menyapa pembaca, namun hilang untuk selanjutnya. Horison hadir sampai hari ini, namun untuk wilayah Bojonegoro dan sekitarnya, mencari Horison tidaklah gampang, belum lagi soal harga.

Seabrek media seperti Majalah Basis atau Ulumul Quran sulit diperoleh di Bojonegoro dan sekitarnya. Saya tidak tahu, mungkin Bojonegoro tidak masuk “peta”. Entahlah. Nah, Atas Angin hadir hendak mengisi “ruang kosong” tersebut. Anak muda Bojonegoro perlu “rumah”, dan Atas Angin harus menjadi rumah bersama, untuk membangun kreativitas, membangun tradisi cerdas.

Akibat kegersangan bahan bacaan tentang budaya, tentang sastra, tentang buku, tentang dunia anak muda, membuat Atas Angin memikul banyak “beban” di pundaknya. “Atas Angin harus mengurus ISSN. Penerbitnya, Sindikat Baca harus dicantumkan, juga kredit foto dan naskah harus disertakan, karena ini soal kekayaan intelektual,” kata Jonathan Rahardjo.

“Bulan depan Atas Angin harus hidup. Jangan pernah mencari hidup dari Atas Angin,” kata Pak Santo. “Rubrik harus dievaluasi. Apa rubrik yang ada adalah yang dibutuhkan oleh anak-anak muda?,” kata Prwaoto.

Ya, Atas Angin menjadi bayi yang banyak orang berharap menjadi bayi yang sehat. Menjadi dewasa yang menebarkan tradisi cerdas di Bojonegoro. Tapi Atas Angin bisa saja menjadi hutan yang tandus, rumah yang terbakar, atau sungai kering kerontang. Dan semua berpulang kepada “kita” semua. Kepada redaksi yang mengurus semua, dari a sampai z. Mulai mencari naskah, proses editing, tata letak, cetak, distribusi, dan bahkan soal keuangan. Juga kepada pembaca yang selalu membaca Atas Angin, yang menunggunya, mencacinya, memujinya, mengkritiknya, membuangnya, atau menyimpannya.

Lalu ke mana Atas Angin harus melangkah, bercermin, berpijak, dan ber “ada”?. Saya lebih senang menjawab: Atas Angin harus menjadi Atas Angin. Untuk siapa Atas Angin? Saya lebih senang menjawab: untuk kehidupan. Salam!

Nanang Fahrudin,
Pecinta Atas Angin

Minggu, 19 Agustus 2012



Minggu, 12 Agustus 2012

Mengakrabi Ketidakberesan


Oleh Nanang Fahrudin

Negeri ini sedang bergembira. Dua lembaga penegak hukumnya sedang sibuk mengusut kasus dugaan korupsi alat simulator SIM. Sebagai warga negara yang baik, bolehlah kita senang melihat dua lembaga berlomba-lomba menyidik kasus besar. Dua lembaga tak lain adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

“Kan lucu, dua lembaga menyidik satu kasus yang sama, tersangka juga sama?,” kata seorang kawan. Ah, apanya yang lucu, kataku. Banyak kelucuan lain yang tak kalah heboh, namun luput dari penghilatan kita. Dan kelucuan itu pun menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja.

Kawanku tetap saja marah. Katanya, hukum telah ditumpangi politik. Fenomena cicak vs buaya terulang kembali. Ada sebuah skenario besar untuk menumpulkan pisau KPK yang semakin hari semakin tajam. Ini bukan lagi murni hukum. Apalagi ada kabar, salah satu menteri akan menjadi tersangka. Pasti ada parpol yang panas dan membuat move politik untuk menggagalkannya.

“Sebaiknya kita bisa mengakrabi ketidakberesan di negeri ini,” kataku. Karena mungkin itu salah satu cara kita menikmati hidup di negeri ini. Kalau kita tidak bisa akrab dengan ketidakberesan, maka kita hanya akan menjadi generasi frustasi. Sederhananya, biarkan KPK-Polri ribut, toh harga pendidikan tetap saja tinggi, harga beras terus naik, dan harga BBM tak mungkin turun.

Ketidakberesan demi ketidakberesan itulah yang sedang terjadi di negeri ini. Apa yang terjadi antara KPK dengan Polri adalah satu di antara sekian ketidakberesan. Orang yang dikenal dekat dengan Presiden, diduga terlibat menyuap. Politisi yang dulu sering nongol di televisi berkampanye anti korupsi, ternyata ditangkap KPK gara-gara kasus korupsi. Pendidikan yang menekankan kejujuran, ternyata banyak ditemukan penyimpangan anggaran.

Jika kita urai lagi ketidakberesan ini, maka akan panjang membentang. Negeri dengan sumberdaya alam cukup melimpah, hanya menjadi negara konsumen belaka. Lihat saja, berapa sepeda motor yang seliweran di jalan raya, tak ada satu pun hasil produksi dalam negeri.

Atau, mari kita mengamati hal-hal kecil di sekitar kita. Ketika masyarakat desa mengeluhkan irigasi pertanian yang tidak ada, akan sangat sulit mewujudkan solusi. Tapi ketika sebuah gang menuju rumah pejabat rusak, maka sangat mudah untuk merealisasikan pembangunannya.

Oleh karena itu, mari kita mengakrabi ketidakberesan di negeri ini. Sebagai warga negara, kita memang sedang diajak menjadi warga yang “tidak beres”. Kalau mau cepat mengurus admistrasi, lewatlah jalur khusus. Jika ingin masuk sekolah favorit, bayarlah uang sumbangan paling tinggi. Dan jika kita menjadi orang yang “beres” maka, kejengkelan demi kejengkelan akan menghantui diri kita.

Sayang, sebagai makhluk Tuhan, kita dituntut menjadi orang yang “beres”. Sehingga, kita harus siap dengan kejengkelan demi kejengkelan yang ada di negeri ini. Dan kita bisa melawan dengan cara-cara yang beres. Salam!.

Selasa, 07 Agustus 2012

Kopi Sindikat Baca



Oleh Nanang Fahrudin

Jika kau menyukai kopi sepertiku, sekali-kali mampirlah menikmati secangkir kopi. Kopi Sindikat Baca. Kau pasti akan menemukan sesuatu yang berbeda. Buku-buku berserakan, kain sarung menggantung, lampu ruangan menempel di komputer, dan setumpuk “ketidakberesan” tata ruang.

Tapi jangan keliru, “ketidakberesan” Kopi Sindikat Baca adalah bukan ketidakberesan menata negara. Bukan. Ini hanya soal selera saja. Kadang secangkir kopi yang hadir tanpa ditemani tutup cangkir. Atau piring tiba-tiba menggantikan lepek. Dan aku menyukai selera begini. Ketidakberesan yang hadir dalam suasana minum kopi, menjadikan kopi lebih terasa nikmat.

Di mana Kopi Sindikat Baca?. Bersabarlah kawan. Aku pasti menceritakan semua tentangnya untukmu. Kau tahu kan, aku sangat suka bercerita tentang kopi, seperti dirimu yang menyukai berbincang tentang sastra.

Kopi itu selalu ada. Ia menemani teman-teman di Sindikat Baca. Kopi itu selalu tersedia di Rumah Baca Jalan Monginsidi Gg Baru No 1 Bojonegoro. Datanglah sekali-kali ke alamat ini. Tangan-tangan Awe, Tohir, Ngek, Kuprit, dkk akan ramah menyiapkan kopi untukmu. Kopi kesederhanaan, lengkap dengan “ketidakberesan” tadi.

Dan kopi itu selalu datang bersama obrolan-obrolan ringan tentang buku-buku dan coretan-coretan para sastrawan. Kopi itu juga sering menemani malam yang dingin, siang yang panas, atau sore yang hangat.

“Aku lagi asyik membaca buku-buku pemikiran. Masih kurang berminat dengan buku-buku sastra,” kata Awe. Ia sibuk menata klipingan koran yang memuat karya-karya pegiat Sindikat Baca.

“Buku di Yogya cukup murah. Ada buku Gadis Pantai karya Pram (Pramoedya), tapi khawatir buku itu bajakan,” kata Tohir suatu ketika. Maklum, ia baru saja memborong buku-buku dari Yogyakarta. Sampai-sampai, dia juga membuat perpustakaan pribadi di kamarnya.

Ah, Kopi Sindikat Baca memang inspiratif. Tak ada harga, tak ada transaksi. Karena kopi itu kopi persahabatan. Dan kau pasti tahu, kopi paling enak adalah kopi yang hadir bersama keakraban dan kebersamaan. Dan Kopi Sindikat Baca selalu hadir dengan wajah demikian.

Sekali lagi, jika kau menyukai kopi seperti aku menyukainya, datanglah ke Sindikat Baca. Pesanlah kopi, jangan teh apalagi air putih. Tapi ingat, Sindikat Baca bukan warung kopi. Sindikat Baca adalah sebuah gerakan literasi di Bojonegoro yang “mengada” tahun 2009 lalu. Salam!.

Bojonegoro, 7 Agustus 2012

Kamis, 26 Juli 2012

Kintaro, Sindikat Baca dan Bojonegoro

Oleh: Nanang Fahrudin



Sebagai kado tiga tahun Sindikat Baca, 14 Juli 2012

Kintaro. Jelas ini nama Jepang. Dan memang benar adanya. Kintaro lahir tahun 1787 di Kota Odawara, frefektur Kanagawa. Ia anak keluarga sangat miskin. Ayah ibunya meninggal ketika ia baru menginjak usia belasan tahun. Kintaro kecil lalu diasuh oleh pamannya.

Sejak kecil Kintaro sangat menyukai ilmu pengetahuan. Siang hari ia membantu pamannya bekerja, dan malam harinya ia membaca buku. Kebiasaannya membaca di malam hari ditentang oleh pamannya, karena hal itu bisa memboroskan minyak, yang waktu itu menjadi barang langka. Kemarahan pamannya tak menyurutkan semangat Kintaro untuk membaca. Ia terus membaca dan membaca. Ia pun membaca sambil berjalan dengan memikul kayu di punggung.

Semangat Kintaro inilah yang digenggam erat oleh pendidikan di Jepang. Anak-anak di sekolah dasar (SD) dikenalkan dengan Kintaro. Bahkan pada tahun 1924 sebuah SD di perfektur Aichi mendirikan patung Kintaro di depan sekolah. Dan sejak saat itu, 100 lebih SD memiliki patung yang sama. Selain sekolah, di taman-taman kota juga mudah ditemukan patung Kintaro. Kintaro adalah simbol gerakan mencintai ilmu pengetahuan di Jepang.

Dan semangat seperti yang dipunyai Kintaro, banyak ditemukan pada buku-buku Jepang. Musashi karya Eiji Yosikhawa adalah contoh lain. Sebelum dikenal dengan nama Miyamoto Musashi, ia memiliki nama Takezo. Takezo kecil adalah anak nakal, akhirnya ia dikurung oleh pendeta zen, Takuan Soho di ruang tertutup dengan hanya ditemani buku dan lilin. Di ruang tanpa sinar matahari berbulan-bulan ini, Takezo bergelut dengan buku-bukunya. Dan pada akhirnya lahirlah Musashi yang penuh kebijaksanaan dan semangat belajar berperang.

Jika masih kurang, mari kita buka buku Eiji lain berjudul Taiko. Dikisahkan Hideoyoshi kecil dihina di sana-sini. Tapi ia begitu kuat belajar untuk mengejar sesuatu yang besar. Ia pun diterima sebagai jongos, yang bertugas menyiapkan sandal bagi majikannya. Ia harus kelaparan dan diusir majikannya karena difitnah mencuri makanan. Tapi Hideoyosi akhirnya menjadi jenderal, dan menjadi kaisar Jepang.

Ya, Jepang penuh semangat besar. Ada Kintaro, Musashi, Hideoyoshi, dan seabrek tokoh-tokoh lain yang menginspirasi masyarakat Jepang. Bahkan, pasukan Kamikaze yakni pasukan berani mati dalam perang dunia kedua adalah bukti semangat besar Jepang untuk menjadi bangsa besar.

Sindikat Baca dan Bojonegoro

Ketika Sindikat Baca lahir pada 2009 dan menjadi sebuah kelompok kecil penggerak literasi di Bojonegoro, semangat besar untuk terus kampanye membaca hendak digenggamnya. Dan tiga tahun sesudahnya, semangat besar itu telah digenggam erat-erat. Kini Sindikat Baca boleh dibilang sedang merawat genggaman tersebut. Genggaman yang berisi semangat besar.

Titik yang hendak dikejar adalah Bojonegoro besar lewat orang-orang besar yang tumbuh berkembang di lingkungan membaca yang kuat. Semangat membaca inilah yang terus coba ditularkan kepada masyarakat umum. Sindikat Baca, sebagai salah satu bagian dari masyarakat Bojonegoro yakin, bahwa menjadi daerah dengan orang-orang besar di bidang keilmuan, bukan sesuatu yang mustahil.

Tapi, mungkinkah Bojonegoro bisa besar seperti Yogyakarta, Jakarta, Malang, Bandung, Surabaya atau Bali, dengan geliat keilmuan di kampus-kampusnya dan gerakan kebudayaannya?. Saya tetap yakin, tak ada yang tak mungkin. Sesuatu yang besar bisa diraih dengan semangat besar yang ditopang oleh pikiran-pikiran besar pula.

Dan pikiran besar itu sebenarnya banyak dimiliki oleh orang-orang di Bojonegoro. Orang-orang yang memiliki semangat seperti Kintaro, seperti Musashi, seperti Hideoyoshi. Andai semangat besar yang dimiliki orang-orang tersebut menular di sekelilingnya, maka betapa dahsyat “bom” yang berhasil diledakkan itu dirasakan di mana-mana.

Bojonegoro dikaruniai kekayaan alam berupa minyak dan gas bumi yang besar. Bojonegoro dengan “wajah” seperti itu bisa mendorong mimpi-mimpi besar itu menjadi kenyataan. Tapi potensi ekonomi yang besar yang dimiliki Bojonegoro itu pula, yang bisa menjadi kuburan bagi mimpi-mimpi besar itu.

Ekonomi Bojonegoro yang ditopang oleh industri migas akan menjadi sesuatu yang menggiurkan. Banyak orang akan mencari jalan masuk menjadi salah satu bagian dari putaran itu. Dan pintu masuk itu bisa apa saja, mulai bidang (pintu) ekonomi, politik, sosial, budaya, keamanan, agama, dan lain sebagainya. Dan itu adalah sesuatu yang wajar.

Akan tetapi, yang terpenting adalah bagaimana merawat semangat besar itu agar terus dimiliki oleh masyarakat Bojonegoro sampai kapanpun. Tak peduli sedang berpijak di bumi Bojonegoro manapun. Kita sebagai masyarakat Bojonegoro harus mulai ikut menggenggam semangat Kintaro yang selalu mencintai buku. Kita sedang membutuhkan semangat Kintaro untuk merawat mimpi besar menjadikan Bojonegoro sebagai daerah yang besar.

Saya menawarkan sebuah desain untuk Bojonegoro bergerak menjadi daerah besar. Pertama, masyarakat Bojonegoro harus mencintai membaca, mencintai buku, sebagaimana masyarakat mencintai sepiring nasi. Semangat Kintaro harus dimiliki oleh anak-anak sekolah di Kabupaten Bojonegoro. Karena dengan tradisi membaca yang kuat, maka Bojonegoro akan bisa besar.

Kedua, pemerintah kabupaten harus menghidupkan perpustakaan sekolah. Hidup, bukan berarti hanya dibuka pagi hari dan ditutup sore hari. Perpustakaan hidup adalah perpustakaan yang membangun nilai-nilai kecintaan akan ilmu pengetahuan. Buatlah hari berkunjung ke perpustakaan, buatlah perpustakaan senyaman mungkin, buatlah taman-taman di sekitar perpustakaan sekolah.

Sudah bukan saatnya sebenarnya kita berdebat soal berapa sekolah yang punya perpustakaan, melainkan bagaimana membangun perpustakaan sekolah yang hidup. Kita bayangkan saja, ketika sekolah sebagai lembaga pendidikan formal untuk usia anak-anak tak peduli perpustakaan, bagaimana masa depan pendidikan Bojonegoro kelak.

Ketiga, insan kampus harus menghidupkan tradisi keilmuan sesuai bidangnya masing-masing. Geliat diskusi-diskusi di kampus perlu disemarakkan. Press mahasiswa perlu berkembang sebagai wadah kreativitas intelektual. Dan di sisi lain, mahasiswa harus lebih berperan sebagai intelektual organik yang mampu menjembatani antara kepentingan elit dengan kepentingan masyarakat bawah.

Pada akhirnya, Bojonegoro harus menjadi daerah yang punya tradisi membaca kuat. Semangat itu harus dimiliki oleh banyak orang. Dan pada posisi inilah Sindikat Baca berusaha ikut andil. Sindikat Baca ingin menularkan semangat Kintaro untuk Bojonegoro. Salam!.

Minggu, 22 Juli 2012

Sastra dan Sebaris Pertanyaan Tentangnya

Oleh: Nanang Fahrudin

Kenapa menyukai sastra?. Seberapa pentingkah sastra bagimu?. Dua pertanyaan ini, beberapa waktu terakhir sengaja saya sodorkan kepada orang-orang dekat. Mereka ada yang sebelumnya memang sudah menyukai sastra, tapi ada juga yang tidak menyukai sastra sama sekali.

Jawaban mereka beragam. “Saya suka sastra karena bahasanya yang indah” jawab seseorang. “Saya tak suka sastra. Sastra itu hanya angan-angan, bukan kenyataan.” yang lain menjawab. Ada pula yang menjawab “Saya sejak dulu tak suka sastra. Sastra hanya pembodohan, karena bercerita tentang percintaan saja. Sangat menjemukan,” kata seorang kawan yang lain lagi.

Saya pun sebenarnya memiliki pertanyaan serupa untuk diri saya sendiri. Seberapa pentingkah sastra bagi saya?. Dan baru satu jawaban yang saya temukan, yakni sastra mampu membantu memahami gerak dunia. Dan sebagai pembaca sastra, saya lebih senang menyandingkan sastra dengan ilmu sosial-budaya masyarakat.

Tapi, apa sebenarnya sastra itu? Dalam buku “Kebenaran dan Dustra dalam Sastra”, Radhar Panca Dahana (2000) mengungkapkan sastra adalah dusta. Karena sastra lahir dari suatu kreasi imajinasi seseorang. Sastra menjadi “dusta” saat ia dinisbatkan harus memiliki standar logis. Tapi jangan lupa, dustra dalam sastra menjadi sebuah standar unik untuk menyingkap kebenaran.

Sastra memang bukan laporan jurnalistik yang selalu berpijak pada fakta dan wawancara. Tapi sastra adalah menyingkap kebenaran sosial-budaya masyarakat, dan menunjukkan kebenaran adanya ketidakadilan. Sastra terkadang bisa lebih tajam mengungkap borok penindasan. Bahkan, karya sastra bisa meneropong masa depan manusia, yang baru terbukti pada puluhan atau ratusan tahun setelahnya.

Ketika Multatuli menulis Max Havelaar, betapa marahnya ia sebagai penulis melihat penindasan pada masa penjajahan Belanda di bumi Banten Selatan. Gambaran penindasan itu tercermin salah satunya dari kisah Saijah dan Adinda yang ada dalam buku tersebut. Kesukaran hidup yang dialami Saijah dan Adinda bisa jadi lebih mengena, dibandingkan dengan catatan sejarah resmi tentang penjajahan Belanda di Indonesia.

Demikian juga ketika Jules Verne (lahir 1828) menulis “Berkeliling Dunia di Bawah Laut”. Saat itu belum ada penelitian tentang kapal selam yang mampu menembus laut es dan sampai ke kutub utara. Tapi karya Jules tentang kapal bernama Nautilus milik Kapten Nemo sudah mampu melewati semuanya. Dalam novelnya, kapal selam Nautilus itu dinilai terlalu canggih untuk masanya.

Dan hampir 100 tahun setelah novel itu terbit, angkatan laut Amerika Serikat akhirnya membuat sebuah kapal selam yang diberi nama Nautilus, lengkapnya USS Nautilus SSN-571. Kapal selam ini mulai diluncurkan pada 21 Januari 1954. Dan pada 3 Agustus 1958 USS Nautilus berhasil mencapai Greenland dengan waktu tempuh 96 jam dan berlayar sejauh 1.590 mil. Kapal selam ini pun dinyatakan sebagai kapal selam pertama kali berhasil berada pada titik 90º, titik pusat Kutub Utara.

Lalu, pentingkah sastra?. Saya lebih senang menjawab “ya”. Dan anda boleh menjawab “tidak”. Tapi yang terpenting adalah, banyak kalangan yang belum mengetahui apa itu sastra. Para siswa sekolah banyak yang belum mengerti tentang sastra, terlepas nanti mereka menyukai sastra atau tidak.

Pada titik inilah sebenarnya peran penting guru mata pelajaran (mapel) Bahasa dan Sastra Indonesia untuk mengenalkan sastra kepada para siswa. Para siswa seyogyanya tak sekadar mengetahui sastra, melainkan memahami sastra sebagaimana ia memahami ilmu fisika, kimia, sejarah, matematika dan sederet mapel lainnya. Sastra bukan milik segelintir orang, tapi sastra adalah milik semua masyarakat.

Seberapa pentingkah sastra bagimu?. Mari kita sama-sama mencari jawabannya. Salam!.

Penulis adalah Redaktur Pelaksa (Redpel) blokBojonegoro.com dan Koordinator GusRis Foundation

Minggu, 01 Juli 2012

Kopi Warung Lubang Dinding

(Kopi oh Kopi Bagian 5)

Oleh: Nanang Fahrudin

Lama sekali aku tak masuk kampus. Setelah lulus dari Unmuh Malang tahun 2002, hanya satu dua kali saja aku masuk kampus. Paling saat tahun-tahun awal lulus, ketika hendak mengurus legalisir ijazah untuk melamar kerja. Dan setiap kali masuk kampus lagi, aku selalu merasa kampus adalah tempat yang sungguh menyenangkan.

Aku masih ingat ketika ikut di Teater Sinden, dan harus latihan malam-malam di lapangan basket. Semua duduk dengan posisi melingkar, bersila, diam, memejamkan mata, mendengarkan suara apa saja, merasakan angin yang menyapa kulit. Atau ketika ruang kuliah dipindah dari lantai tiga ke lantai enam, aku harus setengah berlari saat naik tangga agar tak ketinggalan. Nafas selalu ngos-ngosan saat berlari. Sesampai di kelas, aku masuk dan “Maaf pak saya terlambat”. Maklum waktu itu belum ada lift seperti yang sudah ada di kampus Unmuh sekarang.

Aku juga masih ingat, ketika selain jadi mahasiswa, aku dan beberapa teman membuka warung di kawasan Sengkaling, tak jauh dari lokasi wisata Sengkaling. Jam lima pagi, aku harus mengendarai motor meluncur dari tempat kos di Tirto Utomo menuju Pasar Dinoyo, samping kampus Unisma. Di pasar, aku belanja cabe, wortel, lele, brambang, telur, dan entah apa lagi, aku sudah lupa.

Semua belanjaan itu kami masak sendiri, dan saat warung buka, kami harus melayani pembeli. Melayani maksudnya kalau pesan es teh, aku harus menyiapkan. Kalau pesan telur penyet, aku akan menggoreng telur. Kalau pembeli minta nasinya dibungkus, maka aku membungkus nasi itu dengan kertas minyak. Dan semua terasa menjemukan saat itu, tapi menyenangkan diingat saat ini.

Semua ingatan itu tiba-tiba saja hadir kembali saat aku masuk ke kampus. Tapi, kali ini bukan masuk kampus Unmuh Malang, melainkan kampus IAIN Surabaya. Dan seperti sudah kubilang, bahwa aku menyukai masuk kampus. Bagiku kampus adalah tempat yang menyenangkan.

Dan sekarang, aku sedang duduk di salah satu sudut kampus IAIN. Aku tak tahu apa tempatku duduk ini bagian belakang, atau di bagian pojok kampus. Dan memang itu tak begitu penting. Karena yang penting, dan ingin kuceritakan kepada anda pembaca, bahwa aku duduk di kursi yang dipaku sekenanya. Di depanku ada meja triplek yang sudah bolong di sana-sini. Laptopku kutaruh di atasnya, dan aku mulai mengetik tulisan ini.

Aku duduk dengan santai sambil bersandar tembok. Di sebelah kananku, ada rumpun bambu yang kehilangan bambunya dan menyisakan tunas-tunasnya saja. Di tembok belakangku ada tulisan di papan kecil “Bambu Keramat”. Mungkin hendak menunjuk para bambu di sebelah kananku.

Aku duduk sendirian menunggu seorang kawan. Tapi sendirian terkadang beda dengan merasa sendirian. Orang yang merasa sendirian, akan selalu sendiri meski berada di kerumunan. Dan sebaliknya, aku selalu merasa tidak sendiri meski sedang tidak ada orang lain menemaniku. Memang dari tempatku duduk, ada mahasiswa yang berlalu lalang. Tapi tak ada yang kukenal, jadi tak ada yang kusapa.

Aku merasa tidak sendirian, karena aku ditemani kopi. Kopiku selalu indah. Awalnya aku tak melihat ada warung di sekelilingku, sampai akhirnya aku melihat ada seorang perempuan tua yang menyembulkan badan bagian atasnya dari lubang berbentuk kotak. Lubang itu posisinya agak tinggi karena berada sejajar di atas pagar kampus. Lubang itu adalah rumah yang bagian dindingnya sengaja dijebol, sepertinya khusus untuk melakukan transaksi. Dan rumah yang dindingnya dijebol itu berada di luar pagar kampus.

“Kalau piring atau gelasnya sudah selesai dipakai pembeli, Mak akan turun dengan tangga dan mengambilnya,” kata seorang kawan. Mak adalah perempuan tua tadi. Dia adalah pemilik “warung lubang dinding” itu.

Kopi mulai kunikmati. Enak rasanya. Aku lantas berpikir, kopi selalu punya cerita. Tak salah jika Multatuli menulis Max Havelaar dengan tokoh akunya adalah makelar kopi. Bukti lain adalah Filosofi Kopi buah karya Dee. Ya, kopi selalu inspiratif. Tapi aku bukan seperti penulis-penulis hebat itu, karena aku hanya menyukai kopi dan membuat catatan-catatan kecil tentangnya. Kalau aku bisa menulis puisi, mungkin aku akan menulis puisi yang khusus kupersembahkan untuk kopi. Sayang, aku tak begitu bisa menulis puisi.

Kalau aku menawarkan sebuah gagasan tentang kopi kepada anda, kira-kira menarik ndak ya?. Gagasan yang kumaksud begini. Bagaimana seandainya kita (aku dan anda pembaca), yang suka kopi tentunya, membuat sebuah tempat sentra kopi. Tapi bukan pabrik kopi, atau kebun kopi. Melainkan membuat sebuah “kampung” yang semua daya kreasi bertema kopi tumplek blek di sana. Ada warung kopi, ada outlet menjual kaos bertema kopi, gerai menyediakan souvenir tema kopi, hingga desain aristektur rumah bertemakan kopi. Ya, ibaratnya jika seseorang masuk ke kampung itu, maka serasa masuk ke kampung kopi. Kampung kopi yang semuanya bertema kopi.

Kenapa kopi?. Jawabanku sederhana saja. Karena kebetulan aku menyukai kopi. Soal apa dan bagaimana kopi, tak ada salahnya kita mampir ke http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_kopi. Di laman ini disebutkan kopi pernah diharamkan bagi agama Kristen, kopi dilarang oleh negara karena menjadi tempat makar, dan segudang cerita tentang kopi sejak tahun sebelum masehi.

Ah, lebih baik kuakhiri tulisan ini. Kawanku sudah menjemputku. Meski aku masih ingin melanjutkan menulis tentang kopi, tapi laptop ini harus segera kututup. Kopi yang tinggal sedikit kunikmati lagi. Kawanku membayar kopi dan nasi pecel kami. Perempuan tua kembali muncul di lubang dinding yang posisinya lebih atas dari kami. Sehingga, saat bicara dengannya, kami harus mendongakkan kepala. “Suwun mak,” kata kawanku. Dan kami pun meninggalkan gelas kopi itu sendirian.

Surabaya, 20 Juni 2012

Menikmati Secangkir Buku

Oleh: Nanang Fahrudin

Saya sering berpikir, bagaimana kondisi psikologi penulis saat menulis buku-bukunya. Apakah ia sedang marah, geram, tertekan, gembira, atau sedang memanggul rasa dendam yang membara?. Ketika dunia semiotika mengampanyekan “Matinya Sang Pengarang”, teks dipandang begitu bebas berdiri sendiri. Teks menjadi layang-layang yang diputus talinya, yang siapa saja bisa mengambilnya kalau mau. Dan di angkasa sana, puluhan atau bahkan ribuan layang-layang diputus dari talinya.

Mungkin anda tipe pembaca yang menyukai obyektivitas teks seperti itu. Melihat teks seperti layang-layang yang terputus dari orang yang menerbangkannya. Lalu kita menikmati layang-layang itu, bahwa layang-layang itu indah atau tidak indah, bagus atau tidak bagus.

Dan dalam soal menikmati layang-layang ini, saya mungkin orang yang kuno. Saya selalu ingin tahu siapa yang membuat dan menerbangkan layang-layang itu. Saya selalu berusaha yakin bahwa layang-layang itu tak putus dari talinya. Jadi, saya selalu tidak bisa mengiyakan “Matinya Sang Pengarang”. Karya, bagi saya, selalu tersambung dengan penulisnya.

Seperti ketika saya membaca buku-buku karya Ahmad Tohari, saya tergerak mencari tahu siapa dia. Ketika saya membaca novel Ziarah, Merahnya Merah dan kumpulan cerpen Tegak Lurus dengan Langit karya Iwan Simatupang, saya selalu ingin tahu siapa Iwan. Meski informasi tentang penulisnya sangat sedikit, saya pun selalu membayangkan bagaimana penulisnya.

Mencoba mengenal siapa penulisnya, membuat saya lebih bisa menikmati buku-buku yang saya baca. Mungkin anda berbeda dengan saya. Tapi perbedaan itu tak perlu dipersoalkan. Ibarat kita sama-sama menyukai kopi, dan saya lebih suka menikmatinya di warung kopi emperan toko, sedang anda mungkin lebih senang menikmati kopi di rumah.

Begitulah saya menikmati buku. Saya ingin mengenal penulis, lalu membaca karya-karyanya. Penulis “yang saya kenal” itu pun hadir pada “ruh” teks yang saya baca. Penulis itu melambai-lambaikan tangan, menyapa, dan berkisah tentang apa yang ditulis. Penulis itu berteriak-teriak, berpuisi indah, marah, tertawa, memaki, yang semuanya mambawa suasana membaca di diri saya lebih hidup. Membaca pun benar-benar seperti menikmati secangkir kopi. Ya seperti nyruput secangkir buku.

Pada saat itulah buku seperti bara api. Dan pada lain waktu buku seperti cokelat yang nikmat, dan pada waktu lain lagi buku seperti teman. Tapi sesekali buku juga menjadi musuh yang menjijikkan, buku menjadi senja yang indah, buku menjadi angin topan, buku menjadi gunung, buku menjadi gemericik air, dan buku menjadi dan menjadi, entah apa lagi.

Ketika membaca buku Max Havelaar karya Multatuli, saya seperti sedang memegang bara api, yang membara oleh kebencian. Kebencian akan ketidakadilan, kebencian akan penindasan. Coba kita membaca pada bagian kisah Saijah dan Adinda. Aduh, betapa menderitanya orang-orang pribumi di kala itu. Ketika membaca buku Keluarga yang Bahagia karya Leo Tolstoy, saya seperti sedang menggenggam senja yang indah, ada siluet rama dan sinta. Indah sekali. Pun demikian ketika saya membaca Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis, ada kegetiran pada diri Guru Isa.

Ah, mungkin saya terlalu menikmati cara saya membaca. Padahal, saya di sini ingin berdiskusi dengan Anda bagaimana cara menikmati buku. Apakah Anda senang menikmati buku seperti cara saya menikmati buku?. Saya sangat berharap Anda mau menceritakannya kepada saya. Alangkah senangnya saya.

Saya yakin, ada seribu satu cara seseorang menikmati buku. Seperti ada seribu satu cara seseorang membuat kopi. Kopi bisa disajikan dengan cangkir atau gelas, bisa dengan cara memilih air yang dimasak dengan kompor atau dengan arang. Membaca buku adalah melihat kemarahan, kemuakan, kerinduan, kecintaan, kedamaian (dan lainnya), melalui teks yang ada. Yang teks itu lahir dari pergolakan pikiran, perasaan, jiwa, dan raga para penulis.

Ya, buku selalu memiliki jiwa. Dan ketika kita membaca buku, kita sedang bercengkrama dengannya. Salam!.

Bojonegoro, 1 Juli 2012

Selasa, 12 Juni 2012

Kopi oh Kopi (Bagian 4)

(Sebuah pengalaman bersama peserta Kelas Menulis)

Oleh: Nanang Fahrudin

Pernahkah kau menikmati kopi yang dilumuri cahaya rembulan?. Sekadar memberitahu saja, aku pernah. Dan baru kemarin malam. Kopiku berdiri di tengah tanah lapang yang bisa untuk bermain bola. Dan sesekali api lilin yang sedang bermain-main dengan angin malam menjilatnya. Kopiku menjadi lebih nikmat oleh semuanya.

Kopiku tidak sendirian. Di sampingnya berderet gelas-gelas berisi kopi. Gelas itu ada yang dipegang, ada yang terguling, ada yang kosong lalu diisi lagi dari ceret, dan ada yang tetap dihuni kopi sebelum ada mulut yang mendekatinya dan memindahkan semuanya dari gelas menuju perut.

Dan satu lagi. Kopiku lain dari kopi yang selama ini kunikmati. Karena kopiku berada jauh dari kota Bojonegoro. Tepatnya 50 kilometer dari kota. Kopiku berdiri di antara bukit dan jalan terjal. Kopiku terselip di antara rumah-rumah kecil yang ditata tak beraturan, menyesuaikan bentuk alam pegunungan yang tak rata.

Ya, segelas kopi itu berada di Dusun Tadahan, Desa Krondonan, Kecamatan Gondang, masuk wilayah selatan Kabupaten Bojonegoro. Segelas kopi yang dilumuri cahaya rembulan menjadi nikmat sekali. Apalagi menikmati kopi bersama dengan 25 orang peserta Workshop Menulis yang digelar Sindikat Baca bersama Yayasan Peran Indonesia. Ah, kopi yang indah.

Jika kau terbiasa minum kopi di kafe semacam Starbuck atau warung kopi semacam Mak Bah, ah…semua terasa kecil saat itu. Dan kopiku yang dilumuri cahaya rembulan menjadi sungguh istimewa. Dari tempatku duduk menikmati segelas kopi, aku bisa melihat pucuk bukit Atas Angin yang hitam, bisa menunjuk ke arah Gunung Pandan yang diselimuti malam, dan merasakan air terjun yang lokasinya tak jauh.

Segelas kopi menemani malam kami hingga larut. Udara dingin tak kami hiraukan, kopi telah mengusirnya jauh-jauh. Sambil menikmati kopi dan air putih, kami saling bercerita tentang membaca dan menulis. Tentang gerakan membaca di Bojonegoro yang terus kami suarakan.

“Aku selalu dilarang membaca oleh ibuku, karena mataku minus. Tapi aku tetap membaca. Biasanya di wc. Kalau habis membaca buku kuselipkan di baju,” kata salah satu peserta Workshop Menulis yang berkacamata.

“Kalau aku awalnya tak suka membaca, apalagi menulis. Tapi aku sekarang selalu ingin membaca,” kata peserta lain lagi.

“Aku suka membaca koran, lalu kalau ada teman butuh kliping koran biasanya minta ke aku. Tapi dia kusuruh bayar. Terus aku dapat uang,” sambung yang lain.

“Awal aku menulis dan dimuat di koran, ibuku sangat senang. Sekarang aku malah dikasih uang lima puluh ribu tiap bulan oleh ibuku untuk beli buku,” tutur peserta yang tulisannya pernah di muat di media massa.

Kami seakan semakin diakrabkan oleh cerita-cerita kami tentang pengalaman membaca dan menulis. Ada yang sedang membaca karya Pramoedya Ananta Toer, ada yang menyukai Sang Alkemis karangan Paulo Coelho. Dan ada pula yang bercerita tentang kecintaannya membaca sampai dilarang oleh Kyainya lantaran buku-buku yang dibaca terlalu liberal.

Cerita-cerita itu melebur dengan udara yang kami hirup melalui hidung, dan memenuhi paru-paru kami. Cerita itu pun menjadi bentangan lukisan abstrak tentang dunia membaca di Bojonegoro. Dan ternyata, masih banyak keluarga yang tak begitu bersahabat dengan aktivitas membaca. Bagi sebagian keluarga, membaca tak bisa mengangkat seseorang secara ekonomi.

Ah, aku sampai lupa dengan kopiku, kopi yang dilumuri cahaya rembulan. Gelas kuisi lagi dengan kopi. Malam semakin larut. Kokok ayam terdengar bersahut-sahutan. Udara semakin dingin. Sebagian pindah ke ruang kelas SMPN 2 Krondonan yang disulap jadi kamar tidur, dan sebagian merebahkan diri di atas tikar di tanah lapang.

Dan malam pun berlalu dengan cerita-cerita tentang membaca dan menulis yang masih memenuhi pikiranku. Dan kopiku, ya kopiku di mana dirimu?. Salam.

Bojonegoro, 11 Juni 2012

Rabu, 09 Mei 2012

Kopi…Oh Kopi (bagian 3)

Oleh : Nanang Fahrudin

Kopi dan buku. Secangkir kopi dan sepotong buku. Seringkali itu-itu saja yang hadir dalam keseharianku. Di Facebook foto secangkir kopi yang bersanding dengan buku sering kuunggah. Bukan hendak narsis dan sok suka buku. Bukan. Tapi karena memang aku menyukai dua-duanya. Kopi dan buku.

Pernah suatu kali seorang kawan bertanya “Kenapa selalu kopi dan buku?”. Pertanyaan itu pun menyadarkanku. Mungkin karena aku terlalu menyukai kopi dan buku, sehingga pertanyaan itu terdengar ganjil di telingaku. Pada kenyataannya aku juga sering menonton film dan menikmati segelas teh atau segelas susu, toh tetap saja kopi dan buku yang hadir ke permukaan. Seperti hadir begitu saja.

Kopi dan buku. Hmm.., seperti kawan lama yang tiba-tiba hadir menemani. Keduanya selalu menghadirkan kehangatan. Jadilah kebiasaanku : membaca ditemani secangkir kopi. Seperti kebiasaanku pada hari Minggu. Pada hari itu aku libur kerja. Hari libur adalah hari yang pendek. Minggu siang harus balik ke Surabaya, memulai kerja. Nah Minggu pagi itulah waktu di mana aku duduk ditemani secangkir kopi. Sedang istriku berburu belanja di pasar. Dan kebiasaan itu mendatangkan kerinduan tersendiri jika Minggu pada jam yang sama aku tidak duduk di kursi itu sambil menunggu sang istri muncul dari pasar.

Kalau dilukis dengan kata-kata mungkin begini bentuknya :

Pagi pukul sembilan. Sebuah upacara menyuapi anak telah usai. Aku menyuapi kakak (anakku yang pertama), sedang istriku menyuapi adiknya.

“Semua beres. Ayo berangkat. Nanti keburu habis,” kata istriku. Yang dimaksud istriku habis adalah aneka lauk untuk dua anakku. Yang kecil biasa disuapi dengan ati ayam jowo, sedang yang kakaknya menyukai udang.

Aku pun bersiap dengan vespa orange. Anakku yang gede selalu tidak suka naik vespa. Katanya vespa jelek. Tapi istriku suka-suka saja naik. Karena yang penting sampai di pasar yang berjarak sekitar lima belas kilometer.

Sampai depan pasar kami berpisah. Istriku masuk ke pasar yang seperti lautan manusia. Aku melanjutkan perjalanan barang lima puluh meter untuk membeli Kompas edisi Minggu. Koran lalu kubawa ke sebuah warung kopi depan pasar. Lalu lalang kendaraan seperti tak pernah sepi. Terus menderu dan menderu.

Vespa kuparkir, helm hijau kutaruh di atas jok. Sebelum masuk ke warung aku menyempatkan mengati vespa itu. “Indah sekali” kataku untuk vespa.

“Nganter istri belanja mas,” tanya penjual.

“Ya kang,” kataku sambil menarik salah satu kursi plastik.

Warung kopi itu berada di atas trotoar. Berbekal gerobak kecil, meja panjang, dan kursi plastik. Taplak meja begitu kotor. Kompor dan tempat mencuci cangkir berada di samping meja. Suasana sangat bising, oleh kendaraan dan juga oleh orang-orang pasar.

Aku pun membuka Kompas. Halaman cerpen kubuka, lalu resensi, perjalanan, dan tak lupa rubrik Aku dan Rumahku. Aku suka membaca rubrik Perjalanan, karena gaya tulisannya yang mengalir indah. Sesekali kopi kuminum. Hmm…nikmat!.

Tak lama kemudian istriku muncul dari pasar dan langsung menghampiriku. Ia duduk sejenak dan kopi dibayar. Kopi yang hanya seharga seribu rupiah. Lalu kami menuju vespa dan treng treng treng, vespa meluncur ke rumah.

Dan hari Minggu selalu berulang di warung kopi itu. Dengan isi Kompas yang selalu berbeda, dengan kopi berbeda, tapi di tempat yang sama. Kopi di antara kebisingan pasar.

***

Aku sebenarnya menyukai kopi dengan sederhana. Artinya bukan lantas minum kopi tiga kali dalam sehari, melainkan hanya secangkir sehari. Entahlah, kopi menjadi begitu cantik. Apalagi jika ditemani buku. (hahaha…lebay)

Beberapa warung kopi begitu menyenangkan. Di Bojonegoro ada Kopi Mak Bah. Di sini aku selalu memesan Kopi Kethek.

“Apa itu?” tanya seorang kawan yang baru tahu ada menu kopi yang unik

“Kalau kopi jahe itu kopi dengan tambahan campuran jahe. Tapi kalau Kopi Kethek itu jahe dengan tambahan campuran kopi. Jadi porsinya dibalik,” kataku bersemangat.

Di Surabaya kopi Kampoeng Ilmu begitu asyik. Lokasi warung yang dikelilingi lapak buku bekas membuat kopiku menjadi lebih terasa. Di warung kopi ini aku biasa membuka laptop dan menulis apa saja yang ingin kutulis. Kadang kuselingi dengan membaca buku-buku hasil tangkapan hari itu.

Ya, kopi dan buku memang sesuatu yang menyenangkan. Tapi orang di sebelahku bilang : aku tidak suka kopi. Jadi malas membaca tulisanmu. Aduh!!!!

Surabaya, 9 Mei 2012

Rabu, 25 April 2012

Kopi…Oh Kopi (bagian 2)

Oleh : Nanang Fahrudin

Kopi tak pernah lelah hadir. Sekali-kali dengarkanlah dengan hati kala dia berbisik. Ia akan mengundang keakraban. Aromanya akan melukisi angin. Menepuk-nepuk mesra wajah siapa saja yang duduk santai di sampingnya.

Ah, mungkin aku terlalu puitis tentang kopi. Maksudku kopi yang ada di sampingku sebenarnya biasa-biasa saja. Aromanya juga biasa-biasa saja. Hanya memang ada kalanya suasana yang ikut hadir bersama kehadiran kopi itulah yang menyenangkan. Jadinya kopi selalu mengundang ketentraman.

“Bubuk kopinya ndak bisa halus,” kata si penjual.
“Lho kenapa?”
“Karena kopinya ditumbuk sendiri, jadi ndak digiling pake mesin”
“Ooo….!!!”

Aku bersama seorang kawan mampir di warung kopi itu. Berada di belakang masjid Jami’ Kota Gresik. Kebetulan aku sendiri tidak memesan kopi pagi itu. Tapi minumanku tak kalah asyik. Namanya Secang.

“Minuman ini dari rendaman kayu secang, jadi warnanya merah. Trus dicampur teh, jahe, dan kapulada”

Aku pun langsung nyruput dan hmm…rasanya memang enak. Apalagi jika diminum pas masih panas. Sambil nyruput Secang aku berpikir. Kopi ternyata juga memilih caranya sendiri untuk hadir. Kopi Cak Rokim-begitu kami menyebutnya-adalah salah satu contohnya. Bubuknya saja anti teknologi, digoreng lalu ditumbuk dengan tenaga tangan, bukan mesin giling. Apa pemiliknya juga anti modernitas?. Ah, lagi-lagi aku memaknai sesuatu terlalu besar. Kuminum lagi saja Secang ku.

Tapi kopi itu benar-benar menarik perhatianku. Kopi itu disuguhkan kepada pembeli dengan sendok ditaruh di lepek. Penjual tidak mengaduk terlebih dulu melainkan langsung diberikan ke pembeli. Karena pembeli akan mengaduknya sendiri, perlahan dengan irama sedang. Usai diaduk, bubuk kopi yang kasar akan mengapung di atas. Dan ternyata sendok yang disiapkan itu berfungsi untuk mengambil bubuk kopi yang mengapung di gelas, lalu ditaruh di wadah yang juga disiapkan khusus.

“Nah, soal menyajikan kopi ternyata juga tak selalu sama. Kopi benar-benar indah” kataku dalam hati. Memang kita (saya maksudnya) sering lebih melihat hasil daripada proses. Padahal segala hasil selalu didahului proses, entah itu mudah atau sulit. Kita (aduh lagi-lagi saya mengklaim mewakili orang banyak) sering melihat sebuah kebenaran tanpa melihat proses pencarian kebenaran itu. Padahal melihat proses bisa merasa lebih dekat dengan obyek yang dilihat. Ya contohnya kopi tadi.

Usai upacara penyajian kopi itu, kami (saya dan kawan Chusnul Cahyadi) asyik ngobrol kesana kemari. Sesekali disela oleh pembeli kopi yang sudah jadi pelanggan. Para pembeli satu dua orang datang, begitu akrab antara satu dengan yang lain. Saling tegur sapa, bersalaman, dan ah kopi memang mengundang keakraban.

***

Malam sebelumnya aku juga berteman kopi, tepatnya kopi susu. Mardi Luhung, penyair asal Gresik memesan kopi hitam dan es teh. Ashadi Iksan kawan dekat yang juga satu profesi denganku memesan teh panas. Ajhi Ramadhan, anak Mardi Luhung yang baru saja menerbitkan buku kumpulan puisinya, memesan es teh. Kami duduk lesehan santai di pojok alun-alun, di sebuah warung kopi yang dilengkapi pesawat televisi. Udara malam tak begitu terasa.

“Menulis itu harus dipaksa” kata HU. Kami biasa memanggil Mardi Luhung demikian. Ia lalu bercerita tentang proses dirinya di dunia sastra. Awalnya dia penyair, lalu mencoba masuk di dunia cerpen. Ia sadar dalam hidup harus bergerak, harus tidak stagnan. Dalam menulis pun harus terus bereksplorasi.

“Anakku yang perempuan sedang menulis cerpen. Gaya tulisannya mirip Susana Tamaro. Karena dia membacai karya-karya Susana” katanya.

Ditemani kopi dan teh kami larut dalam obrolan. Kedatanganku malam-malam ke Gresik memang mendambakan obrolan santai ini. Dan tentu ingin merasakan kopinya. Tak terasa malam beranjak pagi. Kami lelah dan akhirnya meninggalkan warung kopi itu. Warung kopi yang entah sudah berapa kali kami hampiri. Kopi yang menemani kami ngobrol, atau obrolan itu yang menemani kopi. Entahlah.


Gresik, 24/25 April 2012

Kamis, 12 April 2012

Belajar Hidup dari Filsafat Tukang Becak

(Catatan Pendek Buku “Waton Urip” karya Sindhunata)

Siapa bilang intelektualitas selalu berbanding lurus dengan kualitas hidup seseorang. Orang yang berpendidikan tinggi belum tentu bisa menemukan kebijaksanaan, sebagaimana yang coba dicari oleh para filsuf sepanjang zaman. Hidup itu penuh warna. Kebijaksaan bisa datang dari siapapun, tak peduli dia kaya atau miskin, tak peduli dia bergelar profesor atau profesi tukang becak.

“Apa yang bukan jatah dan rezeki saya, tak bisa saya dapat. Kalau teman lain mendapatkannya, dan saya emosi atau iri, jatah rezeki saya malah lari”.

Kalimat bijak itu bukan keluar dari filsuf atau sang motivator seperti Mario Teguh. Tapi diucapkan oleh Sukiman, seorang tukang becak asal Desa Dlagon, Sukorejo, Delanggu-Yogyakarta.

Bagi Sukiman dan tukang becak lain, rezeki itu ada di jalan-jalan. Ketika kendaraan sudah banyak merayap di jalan raya, mereka harus membawa becaknya bersaing dengan bus, angkutan kota, dan tukang ojek. Ketika banyak orang memiliki motor sendiri, tukang becak tetap bertahan. Ketika harga BBM naik dan semua tarif angkutan naik, tarif becak tetap tidak naik.

Tapi para tukang becak selalu memiliki hati yang terang. Bagi mereka rezeki itu sesuatu yang terang, jadi tidak menyukai sesuatu yang muram. Maksudnya, tukang becak selalu melihat dunia ini dengan kacamata positif. Ada banyak hal yang bisa menjadikan mereka memeluk rasa syukur dengan erat.

“Kalau kurang, siapapun akan kurang. Orang kaya juga selalu kurang. Dan dalam hal kekurangan, jangan kita membandingkan dengan mereka yang kelebihan. Tengoklah ke bawah, jangan ke atas. Di bawah kita juga banyak wong kere yang lebih tidak enak daripada kita. Mereka belum tentu bisa makan seperti kita. Maka syukur tukang becak, kita masih bisa makan”.

Kalimat panjang itu dituturkan oleh Pak Kliwon, tukang becak di Lempuyangan. Pak Kliwon berusia 60 tahun. Dan sudah 40 tahun mbecak.

Para tukang becak sangat sadar ketika roda dunia berputar, mereka tetap berada di bawah. Tak pernah ikut berputar dan berada di atas. Tapi berada di bawah tak lantas membuat mereka selalu ngersulo (mengeluh). Mereka memiliki kebijaksanaan untuk menerima kemiskinan itu dengan lapang dada.

Mereka menggenggam erat ilmu banyu mili atau air mengalir. Rezeki mereka adalah air mengalir. Meski sedikit tapi terus mengalir dan melewati kerongkongan agar tak sampai kering. Hidup juga mereka jalani dengan ilmu waton urip. Maksudnya bukan asal hidup, tapi menerima hidup tanpa memberontak hidup. Apa yang diberikan hidup, diterima. Apa yang tidak diberikan hidup, jangan diminta.

Dua ilmu itu selalu dipegang oleh para tukang becak. Mereka pun memiliki cara mereka sendiri-sendiri untuk bertahan dalam kubangan kemiskinan materi. Seakan-akan mereka hendak bilang : boleh miskin uang, tapi harus kaya hati. Dan memang benar, itulah yang dipraktikkan oleh para tukang becak.

“Untuk cari makan, orang harus berani bekerja. Kalau bisanya mbecak, mengapa tidak, kalau saya memang kuat?. Saya hanya punya bahu (tenaga). Punyanya hanya itu, mengapa harus malu,” kata Ponirah. Ia adalah tukang becak perempuan. Ia ditinggal mati suaminya yang sakit diserang liver. Tapi ia harus bertahan untuk bisa menghidupi keluarganya, yakni mbecak.

Ponirah setiap hari bangun jam empat pagi. Lalu menanak nasi dan merebus air untuk keluarganya. Jam enam ia mulai narik becak. Kini usianya sudah 55 tahun, dan perempuan ini harus tetap mbecak agar bisa makan.

Tapi, ia tetap tersenyum. Menertawakan kemiskinan yang membelit dirinya dan keluarganya. “Obah kados pundi mawon, kulo niki tetep kepepet, wong kulo niki kere awet” (Berusaha apapun saya tetap terpepet, sebab saya ini kere yang awet). Begitu kata Ponirah. Lalu ia melanjutkan : “Jadi orang kaya itu tidak mudah. Nyatanya orang itu kaya, kok giginya habis semua. Saya melucu ya” katanya sambil tertawa.

***

Ilmu waton urip dan banyu mili ini disajikan begitu menyentuh oleh Sindhunata dalam buku berjudul “Waton Urip”. Buku ini dilengkapi dengan jepretan foto yang juga banyak berbicara tentang dunia tukang becak. Kita seperti hendak disentak dengan cerita-cerita orang pinggiran yang begitu bijak menghadapi hidup.

Mereka begitu kaya akan filsafat hidup yang membuat mereka bisa tetap tersenyum lapang. Mereka selalu yakin Tuhan memberik rezeki kepada semua manusia. Tak ada manusia yang tak diberi rezeki. Bahkan anggota badan yang genap dan tenaga kuat untuk bisa mbecak juga dimaknai sebagai sebuah rezeki yang sangat besar.

Di sudut warung kopi, 12 April 2012

Senin, 02 April 2012

Lampu Merah Cap Indonesia

Oleh : Nanang Fahrudin
(Dimuat di Harian Seputar Indonesia edisi Jawa Timur Senin 2 April 2012

Jika ditanya ke mana bisa belajar mengenali negeri ini dengan mudah, mungkin salah satu jawabannya adalah di traffic light atau kita biasa menyebutnya lampu merah. Lho kok?. Ya. Kalau tak percaya mari kita berhenti sejenak dan mengamati lampu merah yang banyak dipasang sebagai rambu lalu lintas jalan raya.

Ibarat negara, area lampu merah adalah negara itu. Di mana masyarakat setiap saat berkumpul di sana meski dalam waktu yang singkat. Lampu tiga warna adalah undang-undang yang harus ditaati oleh warga yang melintas. Merah adalah berhenti, kuning adalah hati-hati, dan hijau berjalan. Aturan tersebut mengandaikan sebuah keteraturan.

Dan apa benar sudah teratur?. Mari kita tidak langsung menjawab, namun mengamati dulu saja. Perilaku warga di lampu merah ternyata sangat beragam, persis beragamnya perilaku sosial, perilaku politik, perilaku ekonomi, perilaku hukum, dan berbagai perilaku dalam bernegara. Mungkin di lampu merah “kreativitas” perilaku warga itu lebih jelas terlihat.

Kalau hendak diklasifikasi, ada lampu merah yang sangat ketat di mana di tempat tersebut ada pos polisi, beberapa personil polisi berjaga dan membawa surat tilang. Hampir semua warga yang melintas tak berani melanggar aturan berlalu lintas. Bahkan jarang yang sampai melewati garis tengah warna putih itu.

Tapi, ada juga lampu merah yang “longgar”. Biasanya tak ada polisi berjaga, dan memang jarang ada surat tilang dikeluarkan di tempat tersebut. Nah, warga yang melintas biasanya hanya memperlambat laju kendaraan, lalu tengok kanan-tengok kiri. Saat dirasa aman, maka lampu merah bukan lagi bermakna harus berhenti.

“Kreativitas” warga yang melintasi lampu merah pun bisa bermacam-macam. Semakin sering seseorang melintasi lampu merah, maka ia akan semakin memahami seluk-beluk di lampu merah itu. Ia bisa membedakan mana lampu merah yang bisa diterobos, mana yang tidak bisa. Atau pada jam berapa lampu merah itu aman untuk dilanggar, dan pada jam berapa lampu merah itu wajib ditaati. Pada akkhirnya terciptalah sebuah keteraturan dalam ketidateraturan.

Nah, realitas di lampu merah itu bukankah mirip dengan negeri ini berjalan?. Para pejabat yang mengurus negeri ini sangat tahu mana pos-pos anggaran-mulai level pusat sampai daerah-yang bisa dikorupsi, dan mana pos yang tak bisa dikorupsi. Lalu kapan waktu aman untuk beraksi, dan kapan waktu untuk berdiam diri. Tentu, tergantung pada pejabat tersebut ingin menaati undang-undang, atau memilih melanggarnya. Jika melanggar dia bisa mendapatkan cukup uang, mirip ketika kita menerobos lampu merah maka akan bisa cepat sampai di tujuan. Risikonya, kalau ketahuan akan ditilang.

Untuk urusan melanggar UU korupsi, Gayus Tambunan adalah satu contoh yang tepat. Ia sangat tahu bagaimana memanipulasi pajak. Misalnya dengan cara bermain kurs rupiah. Hasilnya wajib pajak hanya wajib membayar pajak kecil dari yang seharusnya. Gayus pun menginspirasi Dhana Widyatmika yang beraksi juga saat menjadi pegawai Ditjen Pajak. Dan mungkin sebenarnya di negeri ini banyak Dhana-Dhana lain yang terinspirasi Gayus.

Perilaku itu, kalau kita amat-amati juga hampir mirip ketika seseorang melintas di lampu merah. Mungkin awalnya ia sangat taat aturan, berhenti saat lampu berwarna merah. Tapi lama kelamaan, ia terinspirasi oleh warga lain yang seenaknya saja menerobos. Lama-lama melanggar lampu merah pun menjadi kebiasaan. Seperti perilaku korupsi yang sudah menjadi kebiasaan di negeri ini.

Dalam sebuah survei tahun 2010 yang dilakukan oleh Political & Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hong Kong, Indonesia menjadi negara terkorup se-Asia Pasifik. Dari 16 negara yang disurvei Singapura adalah negara paling bersih alias paling tidak korup dan Indonesia menempati posisi paling jelek.

Dan entah ada hubungannya atau tidak, keteraturan berlalu lintas di Singapura terkenal sangat bagus. Ketertiban lampu merah tak hanya untuk para pengendara motor atau mobil, melainkan juga untuk pejalan kaki. Saking tertibnya lampu merah di sana, jarang sekali terlihat ada polisi di pojok jalan, atau di tikungan. Aturan lalu lintas itulah penjaga ketertiban itu.

Ya, urusan lalu lintas sebenarnya bukan hanya soal kelancaran kendaraan di jalan raya. Tapi juga persoalan penegakan aturan dan bagaimana beretika di ruang publik. Boleh jadi jalan raya adalah negara (dengan huruf n kecil).

Saat semua kendaraan melaju dengan tertib, ada sebagian kendaraan yang main potong kompas, mendahului ke kanan yang seharusnya digunakan untuk kendaraan dari arah berlawanan. Pada akhirnya realitas yang terjadi banyak kendaraan yang berjalan pelan dengan tertib aturan, tapi banyak kendaraan yang melaju kencang tanpa menghiraukan aturan. Salam!.

Atau klik di : http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/482603/

Senin, 26 Maret 2012

Tuhan, Saya Izin Korupsi

Oleh : Nanang Fahrudin

(Dimuat di SINDO Jawa Timur tanggal 26 Maret 2012)

Sejak dikukuhkan menjadi sebuah negara berdaulat, Indonesia tak mengizinkan warganya tak mengimani Tuhan. Sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” membuktikan itu. Sampai-sampai pada salah satu kolom di kartu tanda penduduk (KTP) tertera agama pemegang KTP.

Kenapa harus beragama?. Tentu agar tercipta keteraturan kehidupan, yang pada akhirnya akan menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang besar. Tapi benarkah sudah demikian?. Pertanyaan-pertanyaan “nakal” pun berdatangan. Apakah bangsa yang ber-Tuhan telah menjadi bangsa besar?. Apakah masyarakatnya suka tolong menolong, tidak mencuri, mengambil hak orang lain, tidak mengkorup uang negara?.

Mungkin kita tidak perlu langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Tapi mari kita amati apa yang terjadi di sekeliling kita. Ketika seseorang dinyatakan bersalah dan melakukan korupsi, apakah dia tidak beragama?. Kalau dia beragama, bukankah Tuhan melarang umatnya mencuri?.

Jangan-jangan tanpa sadar, kita mengiyakan bahwa agama dan kehidupan sosial ini terputus. Artinya agama berada di wiliayah suci (yakni di masjid, gereja, pura, atau tempat suci lain), sedang dunia ini berada di sisi lain yang kotor alias tidak suci lagi. Dunia ya dunia, agama ya agama.

Dikotomi semacam itu sebenarnya tak lepas dari pemaknaan seseorang akan Tuhan. Penafsiran akan Tuhan termanifestasi pada perbuatan manusia yang kemudian membentuk pola kehidupan sosial, politik, ekonomi sebuah masyarakat. Memaknai Tuhan bukan berarti mengenali esensi Tuhan, karena esensi Tuhan tidak pernah bisa tercapai dengan manusia yang serba terbatas. Sederhananya adalah yang terbatas tidaklah mungkin mengetahui “Sesuatu Yang Tak Terbatas”. Manusia hanya bisa mengenali Tuhannya dengan tanda, yang tanda itu merujuk pada “Adanya” Tuhan. (Audifax, Semiotika Tuhan, 2007).

Dalam sejarah Islam, cara memaknai Tuhan membentuk sebuah aliran teologi, yang pada kemunculannya juga dipengaruhi kondisi sosial, politik waktu itu. Kita bisa menyebut di antaranya kelompok Jabariyah, Qodariyah, Khowarij, Mur’jiah, Asy’ariyah dan seterusnya. Kelompok-kelompok ini mempunyai pemaknaan berbeda terhadap Tuhan.

Nah, beragama adalah sebuah sikap dan keyakinan terhadap keberadaan Tuhan, lalu menerjemahkannya dalam perilaku sehari-hari. Jika dia politisi, maka penerjemahan berkeyakinan atas Tuhan itu adalah kepada rakyat, di gedung dewan, atau di partainya. Jika dia seorang ibu, maka penerjemahannya adalah kepada keluarganya, dan seterusnya dan seterusnya. Tentu saja perilaku itu akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan sekaligus kepada “yang diterjemahi” tersebut. Di sinilah keselarasan hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan manusia.

Kembali ke soal korupsi yang begitu sulit dihilangkan dari negeri ini, kita perlu bertanya ulang. Apakah korupsi tidak dilarang agama?. Apakah korupsi bukan perbuatan mencuri?. Jangan-jangan UU nomor 31 tahun 1999 tentang Tipikor tidak selaras dengan “hukum” dalam sebuah agama?. Atau (pertanyaan “nakal” lagi) apakah sudah tak ada hubungan antara mencuri dengan mempercayai Tuhan?.

Perilaku koruptif, secara sederhana bisa dimaknai sebagai sebuah perilaku yang berpotensi membuat kerugian keuangan negara, sekecil apapun. Makna lebih luasnya adalah perilaku yang berpotensi merugikan orang lain. Ketika iman hanya dimaknai sebagai ritual di masjid, gereja, atau tempat ibadah lainnya maka iman dan perilaku koruptif tak ada hubungannya.

Di catatan ini, saya bukan hendak menjawab semua pertanyaan di atas. Tapi mari kita bertanya pada diri kita sendiri, dan mencoba menjawabnya. Apakah negeri Indonesia yang mengklaim sebagai negara beragama dengan masyarakatnya yang religius, tak ada pejabatnya yang korup?.

Ah entahlah. Buktinya banyak koruptor ditangkapi, dan lebih banyak yang belum ditangkap. Mungkin saja para koruptor (yang semuanya mengaku sebagai orang beragama) itu sebelum melakukan tindak pidana korupsi berujar: Tuhan, saya izin korupsi. Hasil korupsi akan saya gunakan sebaik-baiknya untuk memuliakan keluarga saya, yang mereka juga hamba-Mu. (Wallahu A’lam)

Rabu, 21 Maret 2012

Cerita Kecil tentang Sebuah “Kekalahan”

Oleh : Nanang Fahrudin

Tiada yang lebih berkuasa pada diriku saat ini kecuali buku. Entahlah, seperti tak ada pikiran lurus saja lagi. Atau jangan-jangan buku itulah pikiran lurusnya. Dan sekarang uang tinggal dua puluh ribu saja di kantong. Padahal kopi dan air mineral masih harus kubayar. Jika ada sisa maka itulah yang akan kubawa pulang dari tempat ini, pusat buku bekas Jalan Semarang Surabaya.

Seingatku sebelum sampai di sini, ada uang seratus lima puluh ribu di kantong. Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi tertanggal 25 Juli 2011. Tak sampai satu jam uang tinggal dua puluh ribu. Ha…??

Aku duduk di warung tengah dan membuka laptop mengamati buku-buku yang baru saja kubeli, ditemani secangkir kopi hitam, teman yang selalu setia di sampingku. Mengingat-ngingat apa yang sudah terjadi. Kalau ditulis, beginilah kisahnya.

Semua berawal dari niat jalan-jalan saja. Seperti irama hari-hariku di Kota Surabaya selama ini di luar kerja. Membacai buku dan buku, sesekali masuk ke bisnis buku bekas, dan seringkali menumpuk buku untuk diri sendiri. Saat masuk ke lapak-lapak buku itulah mulai ada peperangan. Berbagai senjata menunjuk ke arahku. Para penjual buku menyodoriku buku-buku nan indah. Aku sebenarnya sudah membangun benteng yang kokoh agar tak tertembus “peluru” para pedagang itu dalam sebuah peperangan singkat ini. Tapi kisah berjalan lain.

(Di tengah menulis catatan ini tiba-tiba ada pengemis datang dan tanpa kuketahui sudah berdiri di belakangku. Seorang ibu tua dengan tangan terbuka ke arahku. Aku pun memberinya uang lima ratus. Ide tulisan sempat terputus dan aku mencoba memungutinya lagi).

Serangan pedagang pertama bisa kutangkis. Tak ada buku yang harus kubeli. Tapi serangan pedagang semakin gencar, dan bentengku runtuh juga. Dua buku dimasukkan ke kantong plastik dan diserahkan kepadaku. Sebagai gantinya, aku menyodorkan uang kepada pedagang itu. “Dua buku ini saja dulu ah. Jangan tergoda yang lain. Toh Godfahter karya Mario Puzo belum usai kubaca,” kataku dalam hati mencoba membangun kembali bentengku yang mulai terkoyak di sana-sini.

Bergerak maju dengan benteng yang sudah sekali jebol, keyakinanku untuk menang dalam peperangan kali ini mulai goyah. Ketika kaki melangkah di kios buku pojok yang bersebalahan dengan kolam renang kecil, sang penjual langsung menyerangku. “Ada novel Ahmad Tohari. Mau?,” katanya menyerangku.

Aku langsung mengutuki diri, kenapa bentengku mudah runtuh kalau soal buku. “Ah, buku itu saya sudah punya,” kataku sambil memegang-megang buku “Orang-orang Proyek” karya Ahmad Tohari, seorang sastrawan yang kusukai. Kata-kataku sebenarnya lebih sebagai upaya membangun benteng saja.

Ee…seperti tahu kelemahanku. Sang penjual menyerangku lagi dengan menyodorkan buku petualangan Karl May. “Aduh” kataku dalam hati. Tawar menawarpun berlangsung dan pindahlah buku itu ke tanganku. Dan ternyata tak hanya buku itu saja, tapi “Folkfor Madura” karya Cak Nun juga ikut sekalian kuangkut.

“Tak apalah. Mungkin salah satunya bisa kujual lagi ke teman, kawan, atau sahabat,” kataku dalam hati yang merasa selalu saja enggan merasa kalah oleh peperangan dengan buku.

Empat buku sudah di tangan, dan oke aku menyerah kalah. Titik. Aku harus mengakhiri kekalahanku dalam peperangan ini dengan melangkah menuju ke tengah, sebuah warung kopi yang mirip sebuah kafe. Angin berhembus sejuk, ada fasilitas wifi, dan musik live dari panggung sederhana samping warung. Dari situ akan terlihat banyak ibu-ibu menyusuri kios-kios di sekitar warung untuk mencari buku pelajaran bagi anak mereka. Aku berpikir, bendera putih harus kukibarkan dan berharap tak ada yang menyerangku lagi. Cukuplah kekalahanku yang menyedihkan sekarang, jangan sampai ditambahi lagi. Uangku sudah hampir habis.

Tapi….ah, tiba-tiba saja aku kebelet pipis. Itu artinya aku harus berjalan lagi dan melewati beberapa kios buku. Ternyata perang sangat sulit juga untuk diakhiri. Menuju toilet aku berjalan gagah. Aku yakin bentengku sudah berdiri kokoh. Deretan buku di kios yang kulewati paling-paling buku biasa yang tidak menarik lagi. Dan aku pun berjalan dengan pandangan tetap fokus ke depan.

Tiba-tiba suara seorang laki-laki memanggil. Aku menoleh. Ia mengangkat setumpuk buku. “Ada buku-buku sastra. Mungkin menarik hati” katanya. Itu benar-benar sebuah serangan terbuka. Pelurunya tepat mengenai otakku yang tanpa sadar menggerakkan kakiku mendekatinya. Apalagi dia menyebut “sastra”, aduh benar-benar kurang ajar. Serangan yang sungguh berkekuatan super.

Aku duduk seperti anak manis mendapatkan permen. Setumpuk buku disodorkan kepadaku dengan ramah. Tapi keramahan itulah serangan yang sebenar-benarnya bagiku. Berbagai edisi majalah sastra kupegang. Kekalahan untuk kesekian kalinya menerjangku.

“Okelah, aku menyerah kalah. Buku benar-benar peluru yang membuatku tak bisa berkutik. Buku begitu mudah menjajahku. Aku berjanji, suatu saat aku akan menyerang balik. Menulis buku sebanyak-banyaknya dan aku sebagai pengarangnya, bukan hanya sebagai pembaca seperti selama ini. Awas kau buku!,” sebuah ancaman yang kudengungkan ke telingaku sendiri.

Dengan rasa malu, aku membawa majalah sastra itu. Seperti prajurit yang pulang membawa kekalahan, aku pun berjalan dengan gontai. Kaki melangkah pelan. Tubuh tercabik-cabik penuh luka. Uang sudah lepas dari tangan. Tinggal buku-buku itu menemaniku. Gajian masih tiga hari lagi. Artinya aku harus mencari pinjaman untuk bertahan hidup. Dan di ujung sana, istriku sms “susu anak kita habis”. Aku pun kembali nyruput kopi sambil menarik nafas panjang.

Nanang Fahrudin
Surabaya, 25 Juli 2011
 
© Copyright 2035 godongpring