(Catatan Pendek Buku “Waton Urip” karya Sindhunata)
Siapa bilang intelektualitas selalu berbanding lurus dengan kualitas hidup seseorang. Orang yang berpendidikan tinggi belum tentu bisa menemukan kebijaksanaan, sebagaimana yang coba dicari oleh para filsuf sepanjang zaman. Hidup itu penuh warna. Kebijaksaan bisa datang dari siapapun, tak peduli dia kaya atau miskin, tak peduli dia bergelar profesor atau profesi tukang becak.
“Apa yang bukan jatah dan rezeki saya, tak bisa saya dapat. Kalau teman lain mendapatkannya, dan saya emosi atau iri, jatah rezeki saya malah lari”.
Kalimat bijak itu bukan keluar dari filsuf atau sang motivator seperti Mario Teguh. Tapi diucapkan oleh Sukiman, seorang tukang becak asal Desa Dlagon, Sukorejo, Delanggu-Yogyakarta.
Bagi Sukiman dan tukang becak lain, rezeki itu ada di jalan-jalan. Ketika kendaraan sudah banyak merayap di jalan raya, mereka harus membawa becaknya bersaing dengan bus, angkutan kota, dan tukang ojek. Ketika banyak orang memiliki motor sendiri, tukang becak tetap bertahan. Ketika harga BBM naik dan semua tarif angkutan naik, tarif becak tetap tidak naik.
Tapi para tukang becak selalu memiliki hati yang terang. Bagi mereka rezeki itu sesuatu yang terang, jadi tidak menyukai sesuatu yang muram. Maksudnya, tukang becak selalu melihat dunia ini dengan kacamata positif. Ada banyak hal yang bisa menjadikan mereka memeluk rasa syukur dengan erat.
“Kalau kurang, siapapun akan kurang. Orang kaya juga selalu kurang. Dan dalam hal kekurangan, jangan kita membandingkan dengan mereka yang kelebihan. Tengoklah ke bawah, jangan ke atas. Di bawah kita juga banyak wong kere yang lebih tidak enak daripada kita. Mereka belum tentu bisa makan seperti kita. Maka syukur tukang becak, kita masih bisa makan”.
Kalimat panjang itu dituturkan oleh Pak Kliwon, tukang becak di Lempuyangan. Pak Kliwon berusia 60 tahun. Dan sudah 40 tahun mbecak.
Para tukang becak sangat sadar ketika roda dunia berputar, mereka tetap berada di bawah. Tak pernah ikut berputar dan berada di atas. Tapi berada di bawah tak lantas membuat mereka selalu ngersulo (mengeluh). Mereka memiliki kebijaksanaan untuk menerima kemiskinan itu dengan lapang dada.
Mereka menggenggam erat ilmu banyu mili atau air mengalir. Rezeki mereka adalah air mengalir. Meski sedikit tapi terus mengalir dan melewati kerongkongan agar tak sampai kering. Hidup juga mereka jalani dengan ilmu waton urip. Maksudnya bukan asal hidup, tapi menerima hidup tanpa memberontak hidup. Apa yang diberikan hidup, diterima. Apa yang tidak diberikan hidup, jangan diminta.
Dua ilmu itu selalu dipegang oleh para tukang becak. Mereka pun memiliki cara mereka sendiri-sendiri untuk bertahan dalam kubangan kemiskinan materi. Seakan-akan mereka hendak bilang : boleh miskin uang, tapi harus kaya hati. Dan memang benar, itulah yang dipraktikkan oleh para tukang becak.
“Untuk cari makan, orang harus berani bekerja. Kalau bisanya mbecak, mengapa tidak, kalau saya memang kuat?. Saya hanya punya bahu (tenaga). Punyanya hanya itu, mengapa harus malu,” kata Ponirah. Ia adalah tukang becak perempuan. Ia ditinggal mati suaminya yang sakit diserang liver. Tapi ia harus bertahan untuk bisa menghidupi keluarganya, yakni mbecak.
Ponirah setiap hari bangun jam empat pagi. Lalu menanak nasi dan merebus air untuk keluarganya. Jam enam ia mulai narik becak. Kini usianya sudah 55 tahun, dan perempuan ini harus tetap mbecak agar bisa makan.
Tapi, ia tetap tersenyum. Menertawakan kemiskinan yang membelit dirinya dan keluarganya. “Obah kados pundi mawon, kulo niki tetep kepepet, wong kulo niki kere awet” (Berusaha apapun saya tetap terpepet, sebab saya ini kere yang awet). Begitu kata Ponirah. Lalu ia melanjutkan : “Jadi orang kaya itu tidak mudah. Nyatanya orang itu kaya, kok giginya habis semua. Saya melucu ya” katanya sambil tertawa.
***
Ilmu waton urip dan banyu mili ini disajikan begitu menyentuh oleh Sindhunata dalam buku berjudul “Waton Urip”. Buku ini dilengkapi dengan jepretan foto yang juga banyak berbicara tentang dunia tukang becak. Kita seperti hendak disentak dengan cerita-cerita orang pinggiran yang begitu bijak menghadapi hidup.
Mereka begitu kaya akan filsafat hidup yang membuat mereka bisa tetap tersenyum lapang. Mereka selalu yakin Tuhan memberik rezeki kepada semua manusia. Tak ada manusia yang tak diberi rezeki. Bahkan anggota badan yang genap dan tenaga kuat untuk bisa mbecak juga dimaknai sebagai sebuah rezeki yang sangat besar.
Di sudut warung kopi, 12 April 2012
Kamis, 12 April 2012
Browse » Home »
Jejak Buku
» Belajar Hidup dari Filsafat Tukang Becak
Belajar Hidup dari Filsafat Tukang Becak
Label:
Jejak Buku
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Pelajaran di sekolah tak pernah membahas tentang masalah semacam ini. Benar sekali jika orang yang berpendidikan tinggi belum tentu bisa menemukan kebijaksanaan
Posting Komentar