Oleh : Nanang Fahrudin
(Dimuat di Harian Seputar Indonesia (SINDO) edisi Jatim 26 Juni 2011)
Judul tulisan ini sebenarnya judul cerita pendek (cerpen) yang ditulis Seno Gumira Ajidarma pada tahun 1980. Cerpen ini berkisah tentang seseorang yang membenci dunia beserta manusianya. Ia lebih memilih hidup di sebuah rumah dengan tembok keliling (tanpa pintu, tanpa jendela) daripada bergaul dengan manusia. Baginya dunia adalah kepalsuan, manusianya slalu menunjukkan kebodohan.
Gambaran yang terlalu ekstrim? Ya memang. Tapi bukankah sekarang banyak orang yang membangun tembok tinggi untuk membuat sekat pembatas dirinya dari dunia luar?. Banyak orang yang membuat kotak sebagai upaya meng-eksklusif-kan diri. Meski latar belakang dan tujuannya berbeda dengan tokoh dalam cerpen itu. Atau bisa jadi kebalikannya, yakni asyik di dunia kepalsuan dan akhirnya membangun benteng dari suatu keaslian.
Dan sekarang kotak-kotak itulah yang berserakan di mana-mana. Semua berburu menjadi eksklusif. Persis seperti gambaran manusia kamar di atas. Banyak orang membangun kotaknya tanpa diberi jendela, tanpa ada pintu. Toleransi ditutup rapat-rapat. Keramahtamahan digantung. Keakraban dilipat di bawah intrik-intrik politik untuk mendapatkan kekuasaan politik sekaligus kekuasaan ekonomi. Sebaliknya, kecurigaanlah yang sekarang tumbuh subur. Ketidakpercayaan berujung kebencian selalu menyertai setiap gerak bangsa ini.
Ya, bangsa ini banyak dihuni oleh manusia-manusia kamar dengan makna lain. Bukan makna manusia kamar ala Seno yang membacai buku filsafat, sastra, budaya, etika, dan lalu mencoba meluruskan gerak bangsa yang bengkok, dengan alat tulisan-tulisannya. Tanpa pamrih, tanpa butuh nama besar.
Manusia kamar sekitar kita saat ini adalah manusia dengan berbagai macam kotak yang dibangunnya. Kotak eksklusif itu berupa partai, agama, organisasi, paguyuban, dan lain-lainnya. Kotak eksklusif yang bertahan dengan pandangan tertutup, kecurigaan yang membabi buta, ketidakpercayaan dengan yang lain. Kotak (sekali lagi) yang tanpa pintu dan tanpa jendela, tanpa toleransi dan tanpa saling pengertian.
Kotak-kotak yang berserakan itu sebenarnya bukan masalah ketika saling terhubung satu dengan yang lain, melalui jendela dan pintu. Sayangnya, kotak sudah banyak yang tertutup rapat. Kita saksikan di sekeliling kita, hanya gara-gara tidak sama pandangan politiknya, seseorang tidak saling menyapa. Gara-gara beda aliran agama, seseorang mudah menggunakan kekesaran untuk “meluruskan”. Gara-gara beda kepentingan, elit politik saling serang dan rakyat kecil sebagai pion.
Kondisi seperti ini sebenarnya bukan hal baru. Tapi justru pembiaran dalam jangka lama waktu lama itulah sebenarnya menjadi sesuatu yang sangat mengkhawatirkan. Masyarakat begitu mudah tersulut emosi jika menemukan sesuatu yang dibenci bersama. Ny Siami, warga kampung Gadel, di Surabaya sempat diusir dari kampungnya karena mengungkit-ungkit masalah contek massal di SDN 2 Gadel. Meski akhirnya, mereka saling memaafkan setelah ada saling pengertian. Saya ibaratkan saling pengertian itulah jendela dan pintu yang selalu terbuka.
Kita juga mudah menemui pribadi masyarakat Indonesia yang hanya mementingkan isi kotaknya saja. Seorang wakil rakyat akan lebih mementingkan orang-orang yang sekotak dengan dia, dibanding dengan masyarakat di kotak lain. Kita mudah menjumpai pejabat yang memberikan “jalan pintas” kepada orang-orang yang ada di sekitarnya untuk mendapatkan akses ekonomi. Bahkan, kita sekarang sangat mudah menemukan seseorang yang tidak lagi peduli atas kemiskinan orang lain, hanya gara-gara dia beda agama, bendera politik, organisasi masyarakat, dan perbedaan-perbedaan lain.
Manusia kamar, manusia kotak, manusia eksklusif. Sebuah pribadi yang jamak ada di negeri ini. Manusia yang acuh tak acuh terhadap kehidupan sekitar. Manusia yang mementingkan diri dan kelompok. Di dunia pendidikan misalnya, manusia yang hendak dicetak adalah manusia yang unggul secara pribadi dengan nilai UN cukup tinggi. Bukan manusia yang cakap bekerjasama dalam sebuah tugas kelompok.
Entahlah. Lagi-lagi saya melihat gerak negeri ini dari sudut yang negatif. Sudah saatnya memang, negeri ini membuka jendela dan pintu. Terutama para pejabat dan politikus, bangunlah kotakmu sekaligus dengan pintu dan jendela. Jangan ditutup rapat hingga menolak kebersamaan. Salam!.
Senin, 11 Juli 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar