Selasa, 21 Februari 2017

Jalan Berliku Menerbitkan Buku (Bagian Ketiga)

Oleh: Nanang Fahrudin

Saya bukan satu-satunya orang yang menerbitkan buku di Bojonegoro. Orang-orang sebelum saya, terutama para penulis berbahasa Jawa sudah lama menerbitkan buku, mungkin saat saya baru mengenal huruf mereka sudah menerbitkan buku. Diantaranya JFX Hoery, Djajus Pete, Nono Warnono, Yonathan Rahardjo dan penulis-penulis lain.

Tapi izinkan saya berbagi kisah tentang bagaimana pergulatan saya menelorkan buku. Saya bukan hendak membesarkan diri, namun sekadar berbagi. Semoga ada bagian kecil dari tulisan ini yang bisa memberi inspirasi pembaca untuk menerbitkan buku. Yakni ketika Bojonegoro membutuhkan penulis-penulis untuk berbagai tujuan kemajuan ke depan.

Kemajuan teknologi mempermudah penerbitan buku. Yakni dengan percetakan print on demand (PoD). Sistem PoD belum banyak dikenal di Bojonegoro. Masyarakat literasi di Kota Ledre kenalnya dengan sistem percetakan offset yang mencetak dengan jumlah minimal 500-1.000 eksemplar. Artinya sistem offset mengharuskan penulis berkantong tebal jika hendak menerbitkan karyanya. Memang ada cara mudah, yakni mengirim naskah ke penerbit, tapi tak semua karya bisa masuk ke percetakan penerbit besar.

Menerbitkan buku dengan jumlah sedikit (minimal 1 eksemplar) baru saya kenal ketika hendak menerbitkan buku untuk hadiah ulang tahun istriku. Yakni tahun 2012 silam. Saya lupa informasi dari siapa, karena yang jelas saya menemukan percetakan di Surabaya. Saya mencetak 2 eksemplar buku kecil bejudul “Puisi Sederhana untuk Perempuan Tak Sederhana”. Saya sebut buku karena bentuknya memang buku. Meski sebagian orang akan menyebutnya “buku-bukuan”.

Lalu, saya menerbitkan buku lagi berjudul “Membaca untuk Bojonegoro” yang disambut hangat oleh teman-teman di Bojonegoro (hehe kepedean). Saya selalu menjelaskan kepada semua bahwa menerbitkaan buku tidaklah sulit. Asal ada naskah yang akan diterbitkan saja. Buku saya ini pun dibeli 50 eksemplar oleh mas Agus Susanto Rismanto yang waktu itu duduk di DPRD Bojonegoro.

Lalu mas Agus mempunyai ide untuk membantu penulis-penulis Bojonegoro yang kesulitan dana untuk menerbitkan buku. Saya menyambutnya dengan gembira, karena Bojonegoro memang harus dikenal lewat karya bukan hanya lewat migas dan banjirnya saja. Maka lahirlah GusRis Foundation, dan saya dipercaya memegangnya. Awalnya tiga buku diterbitkan, yakni karya Mohammad Roqib (wartawan Sindo) berjudul Cerita dari Mojodelik, karya Djajus Pete berjudul Gara-Gara Kagiri-Giri, dan karya Anas AG berjudul Catatan Kecil Sastra dan Cerita Lainnya.

Tiga buku itu kemudian di-launching di Hotel Griya Dharma Kusuma, hotel paling mewah saat itu. Meja kursi berlapis kain putih ditata dengan apik. Banyak orang datang untuk mengikuti acara peluncuran buku yang berjalan meriah itu. Empat orang duduk di depan, yakni tiga penulis dan saya sebagai moderator.

Masing-masing judul buku dicetak 100 eksemplar dengan sepenuhnya biaya ditanggung oleh mas Agus. Penulis benar-benar dihormati. Karena begitulah keinginan Mas Agus: menghormati penulis lokal. Tak hanya itu, masing-masing penulis juga mendapatkan uang Rp 3 juta sebagai penghargaan atas karyanya. Jadi penulis mendapatkan 100 eksemplar dan uang tunai. Selain itu, semua penjualan dari buku tersebut sepenuhnya milik penulis. Jika penulis setelah itu hendak menerbitkan lagi dengan penerbit lain, maka sepenuhnya hak penulis. GusRis Foundation mempersilakan.

Untuk pra cetak, sampul buku dibikin oleh Erfan Effendie. Saya bagian mengurus ISBN nya. Waktu itu ISBN diurus via email, bukan login seperti sekarang. Setelah ISBN keluar dari Perpusnas, maka buku segera masuk ke percetakan. Buku tercetak pada waktu yang mepet, sehingga saya harus mengambil sendiri ke Surabaya naik bus lanjut angkutan kota. Sampai rumah malam, dan paginya langsung saya bawa ke tempat acara.

Sukses menerbitkan tiga buku tersebut, langkah menerbitkan buku dilanjutkan. Bedanya adalah tidak ada uang tunai lagi bagi penulis. Harapannya, uang untuk penulis bisa dibuat untuk menerbitkan buku-buku lainnya karya penulis Bojonegoro. Hasilnya, total ada 10 judul buku yang akhirnya bisa diterbitkan oleh GusRis Foundation. Salah satunya adalah buku karya Yonathan Rahardjo berupa novel bahasa Jawa.



Waktu terus berjalan. Ada banyak perubahan terjadi. Tak terkecuali perubahan di diri GusRis Foundation. Setelah 10 buku terbit, kemudian mandek. Tapi semangat menerbitkan buku tak pernah padam. Terus menggelora. Karena menerbitkan buku adalah kebahagiaan yang tak terkira. Kau tak akan bisa merasakan bagaimana bahagianya bisa membantu menerbitkan buku atau menerbitkan buku kita sendiri.

Buku yang kemudian saya terbitkan adalah kumpulan tulisan saya sendiri, yakni buku “Lampu Merah Cap Indonesia”. Buku itu kumpulan tulisan saya sejak menjadi redaktur Koran Sindo hingga editor di blokBojonegoro. Layout saya biayai sendiri, saya sunting sendiri, saya urus ISBN sendiri, dan saya bawa ke percetakan sendiri juga. Saya yakin begitulah dunia buku berjalan di daerah. Apalagi penulis-penulis di daerah tidak banyak dikenal masyarakat pembaca buku. Saya misalnya, bukan siapa-siapa. Tulisan saya mentok muncul di Jawa Pos berupa resensi buku.

Lama vakum tak menerbitkan buku, rasanya kok bagaimana gitu. Hendak menerbitkan buku orang lain, jelas tak ada modal. Kebanyakan penulis di Bojonegoro berharap bukunya diterbitkan oleh penerbit besar, mungkin lebih keren. Tapi itu wajar sih. Meski penerbit besar hanya menang di distribusi saja.

Setelah itu banyak muncul buku yang diterbitkan oleh penulis Bojonegoro dengan sistem cetak PoD. Pak Susanto, guru SMAN 3 Bojonegoro membuat penerbitan sendiri dan beberapa kali menerbitkan buku karya siswanya. Bu Emi dari SMPN 1 Baureno juga banyak menerbitkan buku karya siswa. Buku menjadi lebih hidup oleh penerbit-penerbit lokal. Prawoto, seorang guru pelosok di Kecamatan Gondang juga beberapa kali menerbitkan buku penulis lokal Bojonegoro.

Saya pun demikian, berusaha terus menyemarakkan dunia buku Bojonegoro. Maka lahirlah penerbit Nun Buku yang saya gawangi bersama Mohamad Tohir. Lantaran tanpa modal, maka buku yang diterbitkan lagi-lagi kumpulan tulisan saya. Ada dua buku yang sudah terbit yakni “Orang Bojonegoro Berdarah Bugis? Dan Esai-esai lainnya”. Sedang buku satunya saya tulis bersama Ahmad Yakub wartawan Media Indonesia. Buku itu berjudul “Angin Jenogoro; Dari Kerajinan Kayu Jati Hingga Kesenian Langen Tayub”.

Sungguh, sebuah kebahagiaan bisa menerbitkan buku. Dan setelah ini entah apa lagi yang harus saya lakukan untuk tetap setia dengan buku.(bersambung)

Teks Foto: 

1. Tiga dari 10 buku yang diterbitkan GusRis Foundation        
2. Buku novel Wayang Urip karya Yonathan Rahardjo

0 komentar:

 
© Copyright 2035 godongpring