Selasa, 14 Februari 2017

Aku dan Buku, Sebuah Perjumpaan Tak Selesai (Bagian Pertama)

Oleh: Nanang Fahrudin 

Sejak kapan menyukai buku? Saya bukan penulis terkenal atau orang-orang yang punya masa lalu indah di dunia buku. Saya sering mendengar seseorang berujar, bahwa dirinya mengenal cerita ini dan cerita itu saat masih SD. Atau sudah membaca buku ini dan buku itu waktu masih kecil. Saya sangat menyukai cerita-cerita macam itu.

Kenapa? Lebih disebabkan masa kecil saya jauh dari dunia buku. Tak ada tradisi membaca buku di keluarga saya. Jangankan beli buku, untuk kebutuhan makan saja keteteran. Memori saya hanya mencatat masa kecil memegang majalah Bobo, yakni ketika saya merengek meminta dibelikan majalah Bobo saat di angkutan umum sepulang dari Pasar Babat. Dan itu satu-satunya bacaan yang terbeli. Seingat saya, selain Bobo yang 1 eksemplar itu, tak pernah lagi saya dibelikan buku.

Perjumpaan dengan buku kemudian digantikan dengan tradisi membawa kitab. Di sekolah Tsanawiyah dan Aliyah di Attanwir, saya diwajibkan membacai kitab-kitab. Seperti Bulughul Marom, Nahwu, Sorof, Al-Adyan, Tafsir Jalalain, dan kitab-kitab lain. Saya menyebut kitab sekedar untuk membedakan dengan buku-buku umum. Kitab-kitab tersebut lebih banyak berbahasa Arab.

Tak hanya di sekolah, saya banyak berjumpa dengan kitab-kitab lain seperti Irsyadul Ibad dan tafsir Al-Iqlil saat mengaji di langgar Al-Misbah. Kitab-kitab itu didaras pada waktu-waktu tertentu, yakni sehabis salat Magrib, Isya, dan Subuh. Saya masih ingat pulang pergi menggunakan onthel unta kepunyaan mbah. Guru mengajinya Pak Hamim Sanadi. Entah kenapa, sampai sekarang, orang yang paling saya hormati adalah beliau.

Masa itu adalah masa-masa penuh kebahagiaan. Pagi jam 04.00, saya sudah dibangunkan oleh ibu saya. Lalu mengambil air wudlu dan berangkat ke langgar dengan sepeda onthel. Pagi selalu masih gelap, tapi semua menjadi biasa begitu saja. Di langgar, usai salat subuh akan dilanjut mengaji kitab. Lalu pulang dan bersiap berangkat sekolah. Begitulah. Kitab-kitab itu menemani keseharian saya.

Lulus sekolah, tak pernah terbersit hendak menjadi manusia yang bagaimana. Kuliah di Universitas Muhammadiyah Malang jurusan Ilmu Komunikasi bukan pilihan utama. Karena keinginan awal adalah bekerja, mendapatkan uang. Tapi Tuhan membuatkan jalan kuliah di Malang. Dan akhirnya lulus setelah 4 tahun.

Di Malang, kitab-kitab yang biasa saya baca tiba-tiba tertutup. Saya tidak tahu kenapa. Mungkin karena lingkungan saya yang hampir tak ada tradisi membaca kitab kuning. Apalagi fakultas ilmu sosial dan ilmu politik, dimana saya berada tak ada hubungannya sama sekali dengan kitab kuning. Saya menjadi terasing di dunia itu. Saya yang terbiasa diminta memaknai kitab gundul dengan membedakan ini mubtada' dan ini khobar, atau ini maf'ul bih, kini dihadapkan pada buku-buku pengantar ilmu sosial, pengantar ilmu politik, dan sebagainya. Padahal, ilmu kitab-kitab itu belum ada yang tuntas saya pelajari.

Saya memohon ampun pada Tuhan. Saya yakin ini jalan Nya yang diberikan pada saya. Saya lalu mencoba mengakrabi buku-buku, dan pemikiran-pemikiran barat itu. Sesuatu yang sangat baru bagi saya. Saya membaca Dunia Shopie, novel filsafat itu sampai dua kali. Dan saya masih tak begitu paham isinya. Saya hanya mengamini bahwa dunia ini sangat luas. Bahwa bahan bacaan juga sangat banyak pilihan.

Di PMII Rayon Fisip, Universitas Muhammadiyah Malang, kami mendirikan LSE, yakni Lingkar Studi Epistemologi (bagaimana nasib LSE sekarang ya). Di sana ada Ghozi Mufarrihin, Sofian J. Anom, Wahfudi Hidayat, dan teman-teman lain. Ada yang lucu di sini, yakni kami sama-sama pembaca pemula tentang filsafat, jadi kami berlomba-lomba mencari literarur untuk diskusi. Sudah ada tema, tapi kami belum pernah baca di buku manapun.

Lalu bersama teman-teman lain lagi mendirikan Lembaga Studi Ilmu Islam dan Transformasi Sosial (elsits)- yang ini sedang mati suri dalam waktu sangat lama. Hehe. elsits menjadi lembaga yang lebih mengakrabkan kami dengan buku-buku sosial. 

Gairah membaca buku makin tinggi saat ada seorang teman (Siswanto) mendirikan Ibnu 'Araby Club. Saya pun berusaha mengikuti ritme hari-hari macam itu. Saya memaksakan diri mengikuti kegiatan-kegiatan diskusi buku atau membaca pemikiran, seperti diskusi di Kebun Teh Lawang tentang filsafat. Saya ingat ikut berkemah di antara kebun teh dengan kurikulum diskusi filsafat. Namun, dengan ikut kegiatan-kegiatan diskusi itu bukan berarti saya paham semuanya. Bukan. Saya hanya berusaha mengakrabi sedikit buku-buku tersebut.

Membaca, berdiskusi, minum kopi, merokok, membaca lagi, dan sesekali menulis (Yang jelek-jelek tidak saya tulis, hehe) menjadi keseharian. Obrolan buku menjadi keseharian. Kami (saya dan teman-teman) membangun tradisi mengobrol buku. Terkadang menemukan buku bagus di perpustakaan, lalu kami foto copy bareng. Di lain waktu, kami bedah buku per bab. Satu buku bisa berhari-hari dibedah.

Hampir semua buku yang saya baca saat kuliah adalah buku perpustakaan, atau buku pinjaman. Sangat sedikit yang saya beli. Saat kuliah, saya memang diwanti-wanti tidak membeli buku di luar kebutuhan kuliah. Maklum, orang tua bukan konglomerat atau seorang pejabat. Jika ada buku di rumah, ibu saya pasti bertanya ini kamu beli? Buku kuliah atau tidak? Ibu saya hanya tamatan MI, dan ingin anaknya lulus kuliah. Membaca dan membeli buku diluar kebutuhan kuliah dilihatnya mengganggu perkuliahan.

Jalan-jalan paling menyenangkan adalah ketika ke blok M dan menyambangi buku-buku bekas di lapak-lapak kecil. Lalu tawar menawar harga. Juga jalan ke lapak buku Sriwijaya, seingat saya ada di depan stasiun Malang agak kesamping, tepat di depan kantor Malang Post. Di situ banyak sekali buku-buku tua yang dijual murah.

Di akhir masa kuliah, saya sering meresensi buku dan dimuat di Malang Post. Dari kampus dapat uang Rp 50.000/tulisan. Namun saya jarang membeli buku. Karena buku yang saya resensi, kebanyakan buku kepunyaan teman. Tujuan saya hanya satu: dapat uang. Karena orang tua sudah jarang mengirimi uang. Sebagian tulisan saya di Malang Post masih tersimpan di sebuah map, berkumpul dengan klipingan-klipingan lain.


Selain memaksakan diri menulis resensi dan artikel, saya juga membantu teman yang punya rental komputer yang berada di belakang kampus UMM. Saya menjadi “buruh ketik” saat ada mahasiswa yang merentalkan ketikan tugas kuliah atau skripsi. Saya akan dapat fee dari pekerjaan itu. Seringkali saya mengerjakan hingga menjelang pagi lantaran kejar setoran. Masa-masa itu, praktis saya tak pernah membeli buku. Namun hanya meminjam saja. (bersambung)

0 komentar:

 
© Copyright 2035 godongpring