Selasa, 18 September 2012

Bulan Menggantung di Langit



Oleh Alif Didharma

Matahari mulai diselimuti senja ketika aku masuk ke rumah. Istriku muncul dari dapur dan merebut tanganku untuk dicium. Lelahku diusirnya dengan secangkir kopi yang sudah siap di meja. Aku duduk di kursi rotan berdebu. Menyandarkan punggung yang kaku setelah seharian bergelut dengan cangkul di sawah. Istriku kembali masuk ke dapur.

“Ulan Songo kali ini kita harus bisa panen kang”. Aku teringat omongan istriku beberapa hari lalu. Saat itu sambil berbicara ia memijit-mijit kakiku di balai-balai kayu di teras rumah. Wajahnya teduh seperti pohon jambu depan rumah. Tapi keteduhan itu dihiasi tangis yang ditahan. Dan aku lebih tahu dari siapapun tentang isi hati istriku.

“Sebentar lagi bulan Juni. Wati waktunya masuk esempe. Dede saatnya masuk esde.” Lagi-lagi aku teringat kata-kata istriku.

Sambil menyandarkan kepala di kursi aku baru sadar betapa hebatnya seorang istri. Ia terlihat lemah tapi begitu kuat ketika harus mengurus empat bocah seorang diri. Anakku yang ketiga masih hampir satu tahun, sedang yang ke empat masih di perut istriku. Aku pun sudah tak ingat lagi berapa usia anak pertama dan kedua kami. Urusan anak seperti sudah menjadi urusan istriku.

Aku terlalu larut dalam keseharian dengan lumpur sawah. Tak ada yang kubisa selain menanam padi di musim hujan dan menanam tembakau di musim kemarau. Musim hujan lalu padi kami gagal panen. Gara-garanya hujan tidak turun-turun dan padi jadi kering lalu mati sebelum berisi. Sawah yang kugarap adalah milik desa. Sebagai penggarap sawah aku mendapat bagian setengahnya saat panen.

“Ada apa kang, kok melamun begitu,”

Aku tak menjawab. Kuamati istriku yang mengulurkan piring berisi tiga biji pisang goreng. Ia lalu duduk di kursi sebelahku. Diseretnya kursi itu lebih mendekat lagi ke tempat dudukku.

“Tadi Mbok Jah datang. Dia memberi kita nasi kuning. Lagi tironan katanya. Itu nasinya masih ada. Anak-anak kita semua sudah makan. Mau kuambilkan,” katanya pelan. Masih teduh seperti tadi.

“Ya ambilkan. Aku lapar sekali”

“Tunggu sebentar ya”

Istriku masuk lagi ke dapur dan kembali membawa piring berisi nasi kuning, telur dadar, mi kuning goreng, dan sambal tempe. Aku pun menegakkan punggung dan menerima piring itu. Nasi itu pun habis kusantap. Enak sekali.

“Di mana anak-anak kita?”

“Mereka sudah berangkat ke langgar Haji Tohir jam lima tadi. Sana cepat mandi sebentar lagi adzan maghrib,” kata istriku.

Seperti anak kecil aku digiringnya ke sumur. Tak ada bak mandi di rumahku, yang ada hanya bak kecil dan sumur pompa. Bak kecil itu dikelilingi gedhek. Lantainya hanya batu kerikil kali yang sudah mulai berlumut. Bak itu sudah penuh air. Pasti istriku tadi mengisinya sebelum aku tiba.

“Besok Pak Lurah mau datang ke rumah kita Kang. Katanya mau membicarakan soal sawah,” kata istriku sedikit berteriak. Gemericik air kadang melenyapkan suaranya.

“Jam berapa?”

“Pagi katanya”

“Pagi jam berapa?”

“Aduh, pokoknya pagi”

“Ya ya ya pagi” kataku dari kamar mandi.

***

Kampungku berada jauh dari sungai besar. Separoh warganya jadi buruh tani. Aku salah satunya. Pertanian hanya disuguhi air dari langit. Belum ada irigasi atau semacamnya. Aku tidak begitu tahu soal pengairan. Hanya kudengar dari siaran radio bahwa sekarang di mana-mana menanam padi bisa tiga kali setahun, karena air bisa datang dari mana saja. Tapi di kampungku menanam padi ya sekali dalam setahun. Jika cuaca lagi baik, hujan turun menyuburkan sawah. Tapi jika musim tanam padi lantas tidak ada hujan, maka panen dipastikan gagal. Seperti tahun lalu.

Di kampungku jumlah petani seperti diriku pun semakin sedikit. Banyak yang beralih profesi, menjadi tukang becak, asongan di kereta api, atau pergi ke kota besar mencari kerja apa saja. Warga kampungku sangat disiplin. Matahari belum terbit, yang laki-laki sudah pergi ke sawah, yang ibu-ibu mulai mengepulkan asap di dapur.

Tapi pagi ini sedikit berbeda. Jam enam aku masih di rumah. Kata istriku pagi ini Pak Lurah akan datang ke rumah. Tadi pagi sekali istriku kuminta menyiapkan secangkir kopi dan pisang goreng. Di luar langit cukup cerah. Empat anakku ramai di sumur belakang rumah berebut mandi lebih dulu. Suara penjual sayur keliling melolong-lolong menawarkan dagangannya. Aku sendiri berada di samping rumah mencari ulat yang merusak tanaman cabe yang hanya tiga batang saja. Sekadar menunggu Pak Lurah datang.

“Assalamu’alaikum”

“Alaikum salam. Monggo Pak Lurah. Silahkan masuk,” kataku sopan. Bagi warga kecil
seperti kami Pak Lurah adalah simbol kekuasaan. Semua apa kata Pak Lurah. Waktu anak pertama saya lahir dan Pak Lurah datang memberi nama Wati, kami langsung memberikan nama itu kepada anak kami. Ketika Pak Lurah minta semua pohon jati pinggir jalan ditebangi kami semua langsung menurut. Untuk apa pohon jati itu selanjutnya, kami tidak tahu dan tak pernah bertanya.

Dan seperti pagi ini, ia ada di rumahku. Aku harus patuh sepatuh patuhnya. Istriku kupanggil. Kopi dan pisang goreng kuminta didekatkan ke meja agar Pak Lurah mudah mengambilnya. Tak lupa kuminta menyiapkan kobokan dan serbet. Pak Lurah pasti tak ingin ada minyak menempel di tangannya.

“Begini Kang,” katanya memulai pembicaraan. Aku duduk di sampingnya, bukan seperti bapak kepada anaknya. Tapi anak kepada bapaknya. Meski usia Pak Lurah jauh di bawahku. Aku pun tak berani menyela omongannya.

“Pak Bupati minta semua desa meningkatkan produksi padi. Eh maksudku panen padi harus diperbanyak. Tembakau juga harus lebih banyak. Daerah sini mau dibuat percontohan sebagai daerah paling banyak memanen padi dan tembakau,”
Aku mendengarkan dengan pandangan mata tetap ke arah mulut Pak Lurah tanpa tahu apa arti kalimat panjang itu.

“Emm.. jadi semua harus bekerja keras. Butuh keahlian lebih baik lagi untuk menggarap sawah,”

Aku tetap duduk tenang. Dan tetap tidak tahu arah pembicaraannya.

“Jadi sekarang pengelolaan sawah oleh desa di-outsourcing. Eh maksud saya ada perusahaan yang akan menggarap sawah-sawah yang ada. Jadi warga tidak perlu susah-susah menggarapnya. Ini demi meningkatkan produksi, eh maksud saya jumlah padi dan tembakau yang dipanen.”

“Para penggarap sawah seperti sampean Kang akan dicarikan pekerjaan lain yang lebih layak. Karena sawah akan ditangani oleh orang-orang yang mengerti teknologi. Mereka akan mendatangkan traktor, mesin panen padi, membangun pengairan, membangun waduk, dan mengganti tenaga manusia dengan mesin. Jadi sampean tidak perlu repot-repot menggarap sawah lagi”

Aku masih tidak mengerti apa makna pembicaraan Pak Lurah yang panjang itu.
“Terus kenapa Pak?” tanyaku.

“Begini Kang. Maksud kedatangan saya ya ingin mengambil sawah yang sampean garap. Nanti ada pekerjaan lain untuk sampean”

“Pekerjaan apa itu Pak? Saya hanya bisa menggarap sawah. Saya tidak bisa apa-apa,”

“Tenang saja. Semua akan baik-baik saja”

“Ya Pak!”

Lalu Pak Lurah bangkit dari duduknya. Ia menyalamiku yang kusambut dengan cepat. Aku tetap tak begitu mengerti omongan panjang itu. Hanya yang kutahu aku tak lagi diperbolehkan menggarap sawah. Ada tawaran pekerjaan lain.

“Assalamu’alaikum Kang, saya balik dulu. Pak Bupati mau datang nanti ke balai desa”.

“Waalaikum salam Pak,”

Aku berdiri di depan pintu. Di depanku Pak Lurah berjalan menuju mobil mengkilap warna putih. Aku tidak tahu mobil apa namanya. Aku menganggukkan kepala saat Pak Lurah memandang ke arahku. Mobil lalu melaju di atas jalan tidak rata dengan batu-batu menonjol di sana-sini.

Istriku masih di sumur bersama anak-anakku yang belum selesai mandi. Udara pagi masih terasa dingin. Maklum semalam hujan turun meski tidak terlalu deras. Embun masih menempel di pucuk-pucuk daun. Burung cendet bernyanyi dari rumpun bambu di belakang rumah. Nyanyiannya semakin indah karena burung perkutut ikut manggung juga. Seakan burung-burung itu hendak bercakap-cakap.

***

Malam belum begitu tua. Bulan separoh menggantung di langit. Kelelawar terbang tersesat dan berputar-putar di dalam rumah. Tiga anakku sudah tidur di satu kamar. Mereka sudah terbiasa berdesak-desakan. Karena memang tak ada lagi ruangan yang tersisa.

Aku duduk di kursi rotan berdebu. Kursi itu berada di ruang tamu berlantai tanah. Rumahku cukup indah di mata kami. Meski ukurannya kecil sekecil garasi mobil Pak Lurah. Di depan ada pohon kersen yang selalu berbuah. Anak-anakku dan teman-temannya sering bermain di bawah pohon itu kala sore menjelang maghrib.

Istriku masih di dapur membersihkan barang-barang pecah belah. Kemarin aku melihat matanya merah. Tapi saat kutanya kenapa, dia hanya tersenyum dan mengatakan tidak ada apa-apa. Tapi aku selalu tahu isi hatinya melebihi siapapun. Di mataku hatinya tak pernah bisa ditutupi oleh apa saja. Aku bisa merasakannya, bisa membacanya, bisa mendengarkannya, dan bisa menggenggamnya.

Seperti halnya dirinya yang selalu bisa menggenggam hatiku, bahkan apa yang kupikirkan sekaligus. Dan sekarang diapun menggenggam semuanya. Kami selalu tahu apa isi hati, tapi kami tak pernah mengatakannya. Aku tak pernah mengatakan kepada istriku, dan demikian juga istriku diam dan tersenyum tak pernah bertanya apa-apa tentang hati.

Aku tahu istriku sedih. Istriku juga tahu aku sedang sedih. Keputusan Pak Lurah mengambil sawah yang selama ini kugarap membuat kami tak bisa berbuat apa-apa. Kami baru sadar sekarang setelah sebulan lalu Pak Lurah mengatakannya kepadaku. Sejak saat itu aku tak pernah ke sawah lagi. Tak bisa menanam padi.

Biasanya separuh bidang sawah kutanami ketela dan kacang-kacangan untuk ditukar dengan sepotong tempe. Aku juga biasa menanaminya jagung yang bisa kujual untuk membayar biaya sekolah.

Tapi sekarang. Semua seperti berhenti mendadak. Aku tak lagi menggarap sawah sedang setiap hari tetap perlu makan.

“Kang…!”. Istriku begitu terlihat tua malam ini. Matanya merah, dan aku tak bertanya lagi.

“Sudah ada kabar dari Pak Lurah soal pekerjaan?” tanya istriku. Ia mendekat duduk di sampingku. Memijat pundakku yang terasa lemas.

Aku menarik nafas panjang. Kubelai rambutnya yang diikat karet gelang. Kuusap-usap pipinya yang tak halus lagi. Aku tersenyum dan istriku ikut tersenyum.

“Besok aku akan mulai kerja” kataku pelan.

“Kerja apa kang?,”

“Aku mau ikut Kang Somad pergi ke kota”

“Kenapa tidak di kampung kita saja”

“Pekerjaannya ada di kota. Jadi aku harus ke sana. Aku sudah bilang sama Kang Somad”

“Kerja apa Kang?”

“Yang penting halal dik!”

“Yang penting sampean kuat Kang”

“Ya dik!”

Kami pun menutup pintu rumah dan mematikan lampu. Kami berjalan pelan ke kamar tidur. Malam begitu damai. Tuhan berbisik lewat angin yang menerobos dari dinding gedhek rumah kami dan menenteramkan jiwa kami. Sesekali terdengar raungan sepeda motor yang lewat di depan rumah kami.

Kami dibangunkan oleh suara adzan subuh. Istriku sudah berada di dapur sedang aku baru menurunkan kaki dari tempat tidur. Tiga anakku masih tidur di kamar sebelah. Kami pun lantas sama-sama menuju langgar Kang Tohir yang hanya berjarak beberapa meter saja dari rumahku.

Usai salat subuh istriku menyiapkan secangkir kopi untukku. Kopi pagi selalu memberi semangat bagi tubuh yang sudah mulai rapuh ini.

“Aku berangkat pagi ini ya,” kataku sambil mengangkat cangkir.

“Kenapa sawah tidak bisa kita garap lagi Kang?”

“Aku tidak tahu dik. Katanya mesin lebih canggih daripada manusia”

“Tapi mesin tak butuh makan Kang. Sedang kita butuh”

“Aku tidak tahu dik”

“Wati sebentar lagi masuk esempe, pasti butuh biaya banyak”

“Tuhan Maha Adil dik”

“Kemarin Dede menangis minta dibelikan sepeda”

“Aku berangkat dulu dik ya”

“Sebentar lagi aku melahirkan”

“Aku berangkat dulu ya”

Tanganku dicium oleh istriku. Aku merasa tanganku basah. Aku melangkah keluar rumah. Di seberang jalan Kang Somad sudah membawa tas kecil di pundak dan melambaikan tangan.

Bojonegoro, Mei 2012

(maaf, gambar belum nyambung dengan tulisan)

0 komentar:

 
© Copyright 2035 godongpring