Sabtu, 15 September 2012

Koran Minggu dan Secangkir Kopi



Oleh Nanang Fahrudin

Entah sejak kapan, hari Minggu menjadi hari yang menyegarkan. Ada setumpuk semangat membaca dan menulis yang tiba-tiba saja hadir tanpa saya undang. Andai saya tak menghanyutkan diri pada “tradisi Minggu” ini, waktu berjalan seperti tanpa isi seharian. (Mungkin saya terlalu mendramatisir apa yang terjadi).

Seperti pagi ini. Minggu 16 September 2012. Pagi yang cerah dengan angin kering kemarau yang mengusap kulit. Pukul 08.00 WIB, saya berangkat dari rumah menuju ke Pasar Sumbberjo, Bojonegoro. Jaraknya antara rumah dengan pasar ya kira-kira 10 – 15 km. Kalau ditempuh naik kendaraan umum butuh dua kali naik. Pertama naik ojek (Rp10.000), lalu naik angkutan (Rp2.000).

Tapi, pada Minggu pagi saya selalu menempuhnya dengan motor. Maklum, saya sekaligus mengantar istri belanja di pasar. Saya selalu mengelak jika diminta ikut masuk ke dalam pasar. Saya memilih membeli koran lalu duduk di warung kopi. Membaca koran sambil sesekali nyruput secangkir kopi. Hmm..nikmat rasanya.

Sayang, pagi ini saya kurang beruntung. Harian Kompas sudah tidak ada di deretan koran yang dijual. Tinggal Jawa Pos dan Surya. “Ah, keduluan orang,” kata saya dalam hati. Soal pilihan koran Minggu, mohon maaf, saya lebih menyukai Kompas. Dan tak bisa ditawar lagi. Ini hanya soal selera subyektif saya saja, jadi bukan soal penilaian kualitas sebuah media.

Tapi ketika Kompas tidak ada? Apa boleh buat, Jawa Pos sebagai pengganti. Sedang Koran Tempo, biasanya baru saya beli Senin, keesokan harinya. Maklum, Koran Tempo baru datang di kios koran pada Minggu sore. Jadi saya baru bisa menikmatinya pada hari Senin. Sedang Jawa Pos biasanya saya baca Senin juga, saat di kantor di kawasan kota Bojonegoro. Tapi pagi ini, Kompas tidak ada dan Jawa Pos menemani.

Saya sering mengusulkan kepada teman-teman di Sindikat Baca agar membeli koran Minggu. Karena, Koran Minggu serupa buku yang memiliki tema-tema aktual. Juga kalimat-kalimat yang segar. Informasi yang dihadirkan juga tidak basi dan inspiratif. Sehingga Koran Minggu bisa dibaca pada hari Senin, Selasa, dan hari-hari lain.

Koran edisi Minggu ini selalu saja saya nikmati di sebuah warung kopi yang tak pernah sepi. Berada di seberang jalan Polsek Sumberrejo. Saya duduk, buka koran, kopi datang, saya aduk, saya sruput. Asik. Sesekali orang-orang di warung yang kebanyakan tukang ojek, makelar, pedagang kecil di pasar, atau pemuda-pemuda pengangguran kerja ikut membaca koran yang saya bawa.

Di warung kopi, waktu tidak lama. Paling hanya 30 menit. Tapi tetap menyegarkan. Ada kopi, ada koran Minggu. Saya membacai resensi buku, cerpen, puisi, dan laporan-laporan ringan khas koran edisi Minggu. Saya pun merasa, koran edisi Minggu serupa halte kehidupan. Kita bisa berhenti sejenak dari rutinitas kerja, untuk kita lanjutkan perjalanan pada hari-hari setelahnya. Sepertinya, dari isinya, koran edisi Minggu bertujuan untuk menjadi halte. Dan sebagai pembaca, saya menyukainya.

Lalu, setelah menikmati waktu yang sebentar itu di warung kopi, saya kembali ke rumah, membawa barang-barang belanja yang dibeli istri di pasar. Saya seringkali pulang dengan pikiran segar, setelah membaca koran edisi Minggu dan menikmati secangkir kopi. Di rumah, saya melanjutkan membaca bagian lain yang belum sempat saya baca. Dan untuk pagi ini, saya melanjutkan membaca Ibunda karya Maxin Gorki yang belum usai saya jelajahi. Salam!.

Bojonegoro, 16 September 2012


(maaf, gambar untuk tulisan ini tidak nyambung dengan tulisan. Dan ini sebuah kesengajaan saja, yang tak membutuhkan penjelasan...hehe)

2 komentar:

Udin mengatakan...

berhenti sejenak dari hiruk pikuk informasi cepat yang berserakan di media. benar, mas. koran Minggu memang ruang permenungan. di sana kita bisa mengindera kehidupan dengan pikiran dan hati yang jernih..hehe

tabik, dari Jogja

Admin mengatakan...

Hehe yup, demikian yg kurasa...minggu yang menghadirkan senyum...salam

 
© Copyright 2035 godongpring