Sabtu, 01 September 2012

Selamat Datang Atas Angin!


Oleh Nanang Fahrudin

Sanggar Guna 1 September 2012. Atas Angin mengetuk pintu semua orang yang datang. Siswa, mahasiswa, guru, pengarang, pekerja, dan entah siapa lagi. Mereka menyambut kedatangan Atas Angin dengan bungah. Mungkin seperti menyambut saudara, sahabat, teman, atau kawan yang lama tak bersua.

Atas Angin adalah majalah yang hadir dalam 20 halaman, terbit setiap bulan, berisi tulisan-tulisan sastra dan budaya, digarap oleh anak-anak muda yang kreatif, dengan semangat yang menyala-nyala. Dan Atas Angin, bagi saya, seperti sebuah rumah kreatif, rumah yang bisa melahirkan kreativitas anak-anak muda Bojonegoro.

Edisi pertama Agustus 2012, dilaunching di Sanggar Guna, Bojonegoro. Jonathan Rahardjo, penulis novel sekaligus penyair hadir dan memberi amunisi semangat bagi Atas Angin ke depan. Susanto, seorang guru sekaligus dosen yang banyak melahirkan karya tulis juga hadir. Pak Santo, demikian ia akrab disapa, berujar bahwa Atas Angin harus eksis tidak hanya pada edisi pertama, tapi edisi selanjutnya dan selanjutnya. Dan ada juga Prawoto R. Sujadi, seorang guru, fotografer, sekaligus penulis ikut duduk di depan untuk menyambut kedatangan Atas Angin.

Di Bojonegoro, bahkan di pelosok tanah air ini, media serupa Atas Angin (sepengatahuan saya yang sempit) sangatlah minim. Media yang menggarap dunia budaya, dunia sastra, dunia buku, dan dunia tulis menulis. Apalagi bagi kalangan anak muda, yakni pelajar dan mahasiswa. Mata Baca pernah menyapa pembaca, namun hilang untuk selanjutnya. Horison hadir sampai hari ini, namun untuk wilayah Bojonegoro dan sekitarnya, mencari Horison tidaklah gampang, belum lagi soal harga.

Seabrek media seperti Majalah Basis atau Ulumul Quran sulit diperoleh di Bojonegoro dan sekitarnya. Saya tidak tahu, mungkin Bojonegoro tidak masuk “peta”. Entahlah. Nah, Atas Angin hadir hendak mengisi “ruang kosong” tersebut. Anak muda Bojonegoro perlu “rumah”, dan Atas Angin harus menjadi rumah bersama, untuk membangun kreativitas, membangun tradisi cerdas.

Akibat kegersangan bahan bacaan tentang budaya, tentang sastra, tentang buku, tentang dunia anak muda, membuat Atas Angin memikul banyak “beban” di pundaknya. “Atas Angin harus mengurus ISSN. Penerbitnya, Sindikat Baca harus dicantumkan, juga kredit foto dan naskah harus disertakan, karena ini soal kekayaan intelektual,” kata Jonathan Rahardjo.

“Bulan depan Atas Angin harus hidup. Jangan pernah mencari hidup dari Atas Angin,” kata Pak Santo. “Rubrik harus dievaluasi. Apa rubrik yang ada adalah yang dibutuhkan oleh anak-anak muda?,” kata Prwaoto.

Ya, Atas Angin menjadi bayi yang banyak orang berharap menjadi bayi yang sehat. Menjadi dewasa yang menebarkan tradisi cerdas di Bojonegoro. Tapi Atas Angin bisa saja menjadi hutan yang tandus, rumah yang terbakar, atau sungai kering kerontang. Dan semua berpulang kepada “kita” semua. Kepada redaksi yang mengurus semua, dari a sampai z. Mulai mencari naskah, proses editing, tata letak, cetak, distribusi, dan bahkan soal keuangan. Juga kepada pembaca yang selalu membaca Atas Angin, yang menunggunya, mencacinya, memujinya, mengkritiknya, membuangnya, atau menyimpannya.

Lalu ke mana Atas Angin harus melangkah, bercermin, berpijak, dan ber “ada”?. Saya lebih senang menjawab: Atas Angin harus menjadi Atas Angin. Untuk siapa Atas Angin? Saya lebih senang menjawab: untuk kehidupan. Salam!

Nanang Fahrudin,
Pecinta Atas Angin

0 komentar:

 
© Copyright 2035 godongpring