Oleh: Nanang Fahrudin
Saya sering berpikir, bagaimana kondisi psikologi penulis saat menulis buku-bukunya. Apakah ia sedang marah, geram, tertekan, gembira, atau sedang memanggul rasa dendam yang membara?. Ketika dunia semiotika mengampanyekan “Matinya Sang Pengarang”, teks dipandang begitu bebas berdiri sendiri. Teks menjadi layang-layang yang diputus talinya, yang siapa saja bisa mengambilnya kalau mau. Dan di angkasa sana, puluhan atau bahkan ribuan layang-layang diputus dari talinya.
Mungkin anda tipe pembaca yang menyukai obyektivitas teks seperti itu. Melihat teks seperti layang-layang yang terputus dari orang yang menerbangkannya. Lalu kita menikmati layang-layang itu, bahwa layang-layang itu indah atau tidak indah, bagus atau tidak bagus.
Dan dalam soal menikmati layang-layang ini, saya mungkin orang yang kuno. Saya selalu ingin tahu siapa yang membuat dan menerbangkan layang-layang itu. Saya selalu berusaha yakin bahwa layang-layang itu tak putus dari talinya. Jadi, saya selalu tidak bisa mengiyakan “Matinya Sang Pengarang”. Karya, bagi saya, selalu tersambung dengan penulisnya.
Seperti ketika saya membaca buku-buku karya Ahmad Tohari, saya tergerak mencari tahu siapa dia. Ketika saya membaca novel Ziarah, Merahnya Merah dan kumpulan cerpen Tegak Lurus dengan Langit karya Iwan Simatupang, saya selalu ingin tahu siapa Iwan. Meski informasi tentang penulisnya sangat sedikit, saya pun selalu membayangkan bagaimana penulisnya.
Mencoba mengenal siapa penulisnya, membuat saya lebih bisa menikmati buku-buku yang saya baca. Mungkin anda berbeda dengan saya. Tapi perbedaan itu tak perlu dipersoalkan. Ibarat kita sama-sama menyukai kopi, dan saya lebih suka menikmatinya di warung kopi emperan toko, sedang anda mungkin lebih senang menikmati kopi di rumah.
Begitulah saya menikmati buku. Saya ingin mengenal penulis, lalu membaca karya-karyanya. Penulis “yang saya kenal” itu pun hadir pada “ruh” teks yang saya baca. Penulis itu melambai-lambaikan tangan, menyapa, dan berkisah tentang apa yang ditulis. Penulis itu berteriak-teriak, berpuisi indah, marah, tertawa, memaki, yang semuanya mambawa suasana membaca di diri saya lebih hidup. Membaca pun benar-benar seperti menikmati secangkir kopi. Ya seperti nyruput secangkir buku.
Pada saat itulah buku seperti bara api. Dan pada lain waktu buku seperti cokelat yang nikmat, dan pada waktu lain lagi buku seperti teman. Tapi sesekali buku juga menjadi musuh yang menjijikkan, buku menjadi senja yang indah, buku menjadi angin topan, buku menjadi gunung, buku menjadi gemericik air, dan buku menjadi dan menjadi, entah apa lagi.
Ketika membaca buku Max Havelaar karya Multatuli, saya seperti sedang memegang bara api, yang membara oleh kebencian. Kebencian akan ketidakadilan, kebencian akan penindasan. Coba kita membaca pada bagian kisah Saijah dan Adinda. Aduh, betapa menderitanya orang-orang pribumi di kala itu.
Ketika membaca buku Keluarga yang Bahagia karya Leo Tolstoy, saya seperti sedang menggenggam senja yang indah, ada siluet rama dan sinta. Indah sekali. Pun demikian ketika saya membaca Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis, ada kegetiran pada diri Guru Isa.
Ah, mungkin saya terlalu menikmati cara saya membaca. Padahal, saya di sini ingin berdiskusi dengan Anda bagaimana cara menikmati buku. Apakah Anda senang menikmati buku seperti cara saya menikmati buku?. Saya sangat berharap Anda mau menceritakannya kepada saya. Alangkah senangnya saya.
Saya yakin, ada seribu satu cara seseorang menikmati buku. Seperti ada seribu satu cara seseorang membuat kopi. Kopi bisa disajikan dengan cangkir atau gelas, bisa dengan cara memilih air yang dimasak dengan kompor atau dengan arang. Membaca buku adalah melihat kemarahan, kemuakan, kerinduan, kecintaan, kedamaian (dan lainnya), melalui teks yang ada. Yang teks itu lahir dari pergolakan pikiran, perasaan, jiwa, dan raga para penulis.
Ya, buku selalu memiliki jiwa. Dan ketika kita membaca buku, kita sedang bercengkrama dengannya. Salam!.
Bojonegoro, 1 Juli 2012
Minggu, 01 Juli 2012
Browse » Home »
Esai Warung Kopi
» Menikmati Secangkir Buku
Menikmati Secangkir Buku
Label:
Esai Warung Kopi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar