Oleh : Nanang Fahrudin
Kopi dan buku. Secangkir kopi dan sepotong buku. Seringkali itu-itu saja yang hadir dalam keseharianku. Di Facebook foto secangkir kopi yang bersanding dengan buku sering kuunggah. Bukan hendak narsis dan sok suka buku. Bukan. Tapi karena memang aku menyukai dua-duanya. Kopi dan buku.
Pernah suatu kali seorang kawan bertanya “Kenapa selalu kopi dan buku?”. Pertanyaan itu pun menyadarkanku. Mungkin karena aku terlalu menyukai kopi dan buku, sehingga pertanyaan itu terdengar ganjil di telingaku. Pada kenyataannya aku juga sering menonton film dan menikmati segelas teh atau segelas susu, toh tetap saja kopi dan buku yang hadir ke permukaan. Seperti hadir begitu saja.
Kopi dan buku. Hmm.., seperti kawan lama yang tiba-tiba hadir menemani. Keduanya selalu menghadirkan kehangatan. Jadilah kebiasaanku : membaca ditemani secangkir kopi. Seperti kebiasaanku pada hari Minggu.
Pada hari itu aku libur kerja. Hari libur adalah hari yang pendek. Minggu siang harus balik ke Surabaya, memulai kerja. Nah Minggu pagi itulah waktu di mana aku duduk ditemani secangkir kopi. Sedang istriku berburu belanja di pasar. Dan kebiasaan itu mendatangkan kerinduan tersendiri jika Minggu pada jam yang sama aku tidak duduk di kursi itu sambil menunggu sang istri muncul dari pasar.
Kalau dilukis dengan kata-kata mungkin begini bentuknya :
Pagi pukul sembilan. Sebuah upacara menyuapi anak telah usai. Aku menyuapi kakak (anakku yang pertama), sedang istriku menyuapi adiknya.
“Semua beres. Ayo berangkat. Nanti keburu habis,” kata istriku. Yang dimaksud istriku habis adalah aneka lauk untuk dua anakku. Yang kecil biasa disuapi dengan ati ayam jowo, sedang yang kakaknya menyukai udang.
Aku pun bersiap dengan vespa orange. Anakku yang gede selalu tidak suka naik vespa. Katanya vespa jelek. Tapi istriku suka-suka saja naik. Karena yang penting sampai di pasar yang berjarak sekitar lima belas kilometer.
Sampai depan pasar kami berpisah. Istriku masuk ke pasar yang seperti lautan manusia. Aku melanjutkan perjalanan barang lima puluh meter untuk membeli Kompas edisi Minggu. Koran lalu kubawa ke sebuah warung kopi depan pasar. Lalu lalang kendaraan seperti tak pernah sepi. Terus menderu dan menderu.
Vespa kuparkir, helm hijau kutaruh di atas jok. Sebelum masuk ke warung aku menyempatkan mengati vespa itu. “Indah sekali” kataku untuk vespa.
“Nganter istri belanja mas,” tanya penjual.
“Ya kang,” kataku sambil menarik salah satu kursi plastik.
Warung kopi itu berada di atas trotoar. Berbekal gerobak kecil, meja panjang, dan kursi plastik. Taplak meja begitu kotor. Kompor dan tempat mencuci cangkir berada di samping meja. Suasana sangat bising, oleh kendaraan dan juga oleh orang-orang pasar.
Aku pun membuka Kompas. Halaman cerpen kubuka, lalu resensi, perjalanan, dan tak lupa rubrik Aku dan Rumahku. Aku suka membaca rubrik Perjalanan, karena gaya tulisannya yang mengalir indah. Sesekali kopi kuminum. Hmm…nikmat!.
Tak lama kemudian istriku muncul dari pasar dan langsung menghampiriku. Ia duduk sejenak dan kopi dibayar. Kopi yang hanya seharga seribu rupiah. Lalu kami menuju vespa dan treng treng treng, vespa meluncur ke rumah.
Dan hari Minggu selalu berulang di warung kopi itu. Dengan isi Kompas yang selalu berbeda, dengan kopi berbeda, tapi di tempat yang sama. Kopi di antara kebisingan pasar.
***
Aku sebenarnya menyukai kopi dengan sederhana. Artinya bukan lantas minum kopi tiga kali dalam sehari, melainkan hanya secangkir sehari. Entahlah, kopi menjadi begitu cantik. Apalagi jika ditemani buku. (hahaha…lebay)
Beberapa warung kopi begitu menyenangkan. Di Bojonegoro ada Kopi Mak Bah. Di sini aku selalu memesan Kopi Kethek.
“Apa itu?” tanya seorang kawan yang baru tahu ada menu kopi yang unik
“Kalau kopi jahe itu kopi dengan tambahan campuran jahe. Tapi kalau Kopi Kethek itu jahe dengan tambahan campuran kopi. Jadi porsinya dibalik,” kataku bersemangat.
Di Surabaya kopi Kampoeng Ilmu begitu asyik. Lokasi warung yang dikelilingi lapak buku bekas membuat kopiku menjadi lebih terasa. Di warung kopi ini aku biasa membuka laptop dan menulis apa saja yang ingin kutulis. Kadang kuselingi dengan membaca buku-buku hasil tangkapan hari itu.
Ya, kopi dan buku memang sesuatu yang menyenangkan. Tapi orang di sebelahku bilang : aku tidak suka kopi. Jadi malas membaca tulisanmu. Aduh!!!!
Surabaya, 9 Mei 2012
Rabu, 09 Mei 2012
Browse » Home »
Esai Warung Kopi
» Kopi…Oh Kopi (bagian 3)
Kopi…Oh Kopi (bagian 3)
Label:
Esai Warung Kopi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar