Oleh: Nanang Fahrudin
Sejarah berasal dari bahasa Arab “sajaroh” yang bermakna pohon, yang kemudian diadopsi bahasa Indonesia menjadi sejarah. Dan sebagaimana pohon, sejarah juga memiliki akar, dahan, cabang, ranting hingga daun yang menjadi sebuah kesatuan utuh. Namun, seringkali sejarah yang dikenal dan bertahan di ranah publik adalah sejarah tentang pohon-pohon besar saja. Sedang pohon-pohon kecil terlupakan.
Pemaknaan sejarah yang demikian tentu akan mempengaruhi pemahaman terhadap suatu masyarakat. Dalam cara pandang itu, masyarakat kecil hanya dinilai pasif dan menerima apa adanya. Sedang masyarakat elit sebagai pencipta tradisi yang kemudian diikuti oleh masyarakat kecil.
Hal ini merujuk pada dikotomi “tradisi besar” dan “tradisi kecil” yang dikemukakan oleh Robert Redfield (Redfield, 1956). Dikotomi ini menunjukkan adanya tradisi superior dari tradisi lain dengan ukuran-ukuran yang subjektif. Dan pembagian tradisi ini banyak dipakai oleh peneliti, termasuk Clifford Geertz dalam The Religion of Java. Namun dikotomi semacam ini banyak dikritik oleh peneliti termasuk oleh Prof. Dr. M. Bambang Pranowo saat meneliti masyarakat muslim di pesantren yang kemudian dibukukan menjadi Memahami Islam Jawa (2009).
Pesantren sebagai subkultur, sebagaimana diungkapkan oleh Abdurrahman Wahid dalam buku Menggerakkan Tradisi, Esai-esai Pesantren (LKiS, 2001), bahwa pesantren adalah kehidupan yang unik. Pola-pola hidup yang diterapkan berbeda dengan pola hidup masyarakat pada umumnya. Semua serba lentur dan tidak kaku.
Keunikan itu salah satunya adalah betapa dekatnya santri dengan rakyat. Meski ketika di pesantren, seorang santri seperti “terkurung” dalam sebuah sistem. Santri selalu berhubungan langsung dengan rakyat yang ada di sekitarnya. Karena salah satu tujuan mereka nyantri adalah untuk kembali ke masyarakat. Tak mengherankan jika KH Syaifudin Zuhri menyebut santri adalah “anak-anak rakyat” karena begitu dekatnya hubungan keduanya. Dan dengan menanggalkan dikotomi “tradisi besar”dan “tradisi kecil” itu, kita akan melihat dengan objektif posisi pesantren dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.
Konteks Bojonegoro
Kabupaten Bojonegoro bukan basis santri seperti Jombang dengan Ponpes Tebuireng-nya. Namun, bukan berarti tidak ada kaum santri di Bojonegoro. Banyaknya ponpes yang berdiri jauh sebelum masa kemerdekaan, menjadi bukti bahwa Bojonegoro memiliki sejarah panjang dengan kaum santri di dalamnya.
Ponpes Al-Rosyid di Desa Ngumpakdalem, Kecamatan Dander berdiri tahun 1909. Ponpes Al-Rosyid disebut sebagai pesantren tua di Kabupaten Bojonegoro. Al-Rosyid dirintis oleh KH Moh Rosyid anak dari R. Kaki Troenopatie bin Irodipo Dongeng bin Bambang Irawan putra Kanjeng Adipati Haryo Metahun. Lalu 1919 berdiri Ponpes Abu Dzarrin yang didirikan oleh Kiai Abu Dzarrin yang tak lain juga keturunan dari Singojoyo bin Singonoyo. Juga ada Ponpes Attanwir Talun, Sumberrejo yang mulai dirintis tahun 1933.
Semua ponpes memiliki peranan masing-masing dalam upaya perjuangan melawan Belanda. Namun yang pasti mereka menjadi kelompok intelektual organis pada masa itu yang terus menerus mengobarkan semangat perjuangan. Mati syahid saat perang melawan penjajah adalah fatwa para Kyai pada masa itu yang memberi sumbangsih besar pada kemerdekaan.
Di sisi lain, kekayaan alam Bojonegoro (mulai hutan, air bengawan solo, kandungan minyak) menjadi kekuatan Belanda untuk terus menguasai perdagangannya. Dulu sungai Bengawan Solo merupakan jalur transportasi utama untuk perdagangan selain jalur laut. Sehingga, daerah-daerah sekitar sungai dan hutan menjadi incaran Belanda untuk terus menguasainya.
Pelajaran Generasi Sekarang
Banyak sejarah yang terlupakan begitu saja, yakni ketika sejarah itu dipandang sebagai milik lokal. Ia dianggap hanya menjadi “tradisi kecil” yang pasif dan tak memiliki daya gerak menjadi sejarah dalam konteks “tradisi besar”. Padahal, sejarah lokal memiliki makna besar dalam upaya menemukan kearifan lokal. Tak heran jika generasi sekarang (siswa/mahasiswa) yang minim pengetahuan tentang sejarah lokal Bojonegoro, meski hal itu bukan semata-mata kekeliruan siswa/mahasiswa.
Ada beberapa faktor hilangnya sejarah lokal di Bojonegoro. Pertama, gemarnya pemerintah orde baru (waktu itu) membengkokkan sejarah. Sehingga, sejarah memiliki kesan kurang bisa dipercaya, mudah berubah-ubah. Kedua, kesadaran mempelajari sejarah bagi siswa/mahasiswa masih kurang. Karena mereka tidak mengerti untuk apa belajar sejarah.
Ketiga, minimnya literatur tentang sejarah lokal Bojonegoro yang dihubungkan dengan sejarah nasional. Misalnya sejarah kemerdekaan 1945, bagaimana posisi Bojonegoro saat itu. Atau ketika Perang Diponegoro terjadi, bagaimana kondisi Bojonegoro. Apakah ada pengikut-pengikut Sang Pangeran saat perang? Penelitian kearah sana masih sangat minim.
Akibat kelemahan-kelemahan itu, jarang sekali siswa mendapatkan pengetahuan tentang sejarahnya sendiri. Dunia terlanjur menganggap bahwa Bojonegoro adalah Bumi Angling Dharma, yang secara otomatis menenggelamkan cerita-cerita alternatif lain. Jika merujuk sejarah, seharusnya nama Arya Penangsang lebih dekat dengan Bojonegoro yang menjadi wilayah Kerajaan Jipang daripada nama Angling Dharma yang sekadar mitos.
Oleh karena itu, sudah saatnya Bojonegoro mencari jati dirinya melalui sejarah daerahnya yang bisa ditularkan kepada para generasi sekarang. Meski harus dipahami, sejarah bukan mengajak berhenti pada romantisme, melainkan melakukan pemaknaan baru akan masa lalu, untuk “mendesain” masa depan. Bojonegoro akan merugi jika sejarahnya terkubur begitu saja, tanpa ada yang mencoba menggalinya terus menerus, memaknaiknya terus menerus. Dan terpenting perlu ada penelitian serius tentang sejarah masyarakat Bojonegoro. Salam.
*) Tulisan ini dimuat di tabloid blokBojonegoro edisi Agustus 2013
Senin, 26 Agustus 2013
Browse » Home »
Esai Warung Kopi
» Menemukan Bojonegoro dalam Lipatan Sejarah Nasional
Menemukan Bojonegoro dalam Lipatan Sejarah Nasional
Label:
Esai Warung Kopi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar