Minggu, 14 April 2013

Kisah Kiai Sadrach


(Tokoh Kristenisasi Jawa Abad XIX)

:: Sebuah catatan pendek (capen) setelah membaca buku Kiai Sadrach

Oleh Nanang Fahrudin

Nama kecilnya Radin. Tak diketahui siapa nama orang tuanya. Catatan sejarah (dari pengetahuan saya yang terbatas) hanya menyebut ia lahir sekitar tahun 1835 (sumber lain menyebut 1837) di sebuah desa di sekitar Demak (sumber lain menyebut Desa Loering Karesidenan Semarang). Ia berasal dari keluarga petani miskin. Sejak kecil ia pergi meninggalkan rumah, mengembara mencari kebenaran, keluar-masuk pesantren di Jawa Timur, hidup dari belas kasihan orang. Ia beberapa kali diambil sebagai anak angkat oleh orang Belanda. Hingga suatu ketika ia bertemu dengan Kurmen alias Sis Kanoman yang menjadi gurunya belajar ngelmu Jawa.

Setelah belajar ke Sis, Radin melanjutkan perjalanannya untuk menyempurnakan ilmunya. Ia berpindah dari satu pesantren ke pesantren lain di Jawa Timur. Waktu itu pesantren adalah satu-satunya “sekolah” yang terbuka untuk siapa saja, tak peduli asal-usulnya. “Siapa” dia tak dipedulikan oleh pesantren, karena orang yang datang ke pesantren berarti dia hendak menuntut ilmu yang akan diterima dengan pintu terbuka lebar.

Kelak, setelah dari pesantren Radin menambah nama Arab di belakangnya, menjadi Radin Abas. Ia lalu berpindah-pindah tempat, dari Batavia, Jombang, Kutoarjo, dan daerah-daerah lain di Jawa untuk menyebarkan agama. Lalu ia dikenal dengan sebutan Kiai Sadrach (sumber lain menyebut Sadrach Surapranata) dan memiliki banyak murid. Dia meninggal dalam usia 90 tahun. Namun, sumber lain menyebut ia meninggal pada usia 89 tahun.

Sulit menemukan peninggalan sang Kiai. Salah satu peninggalan sang Kiai adalah sebuah buku kecil sekitar 200 halaman yang disimpan oleh ahli warisnya di Karangjoso. Buku itu ditulis tangan dalam bahasa Arab yang berisi tentang tasawuf, silsilah raja Islam, transkripsi mistik dari nama Nabi Muhammad (setiap huruf mengandung satu makna), dan juga sebuah dialog antara Sunan Kalijogo dengan Sunan Bonang mengenai alam kubur.

Sampai di sini, Anda pasti mengira saya sedang mengisahkan seorang kiai Islam. Bukan. Kiai Sadrach adalah misionaris Kristen, pengabar Injil, dijuluki Kiai Rasul Sadrach, Sang Penggembala. Ia bersama Kiai Ibrahim dan Kiai Kasan Mentaram (keduanya Kristen) berperan penting dalam kristenisasi di Jawa. Sayang catatan-catatan tentang Sadrach sulit ditemukan, karena ia sering cekcok dengan para misionaris Belanda (dan asing). Sadrach menjadi pendeta pada tahun 1894-1924.

Kisah sang Kiai ini saya baca dari buku berjudul Kiai Sadrach, Riwayat Kristenisasi di Jawa karya Claude Gulliot. Buku ini terbitan Grafiti Pers tahun 1985. Penerjemahnya adalah Asvi Warman Adam, seorang sejarawan Indonesia terkemuka saat ini. Gulliot (sesuai tertulis di bukunya) lahir tahun 1944. Pernah menjadi dosen bahasa Prancis di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (1973-1981). Buku ini berjudul asli L’Affaire Sadrach, Un Esai de Christianitation a Java au XIX e Siecle, yang merupakan buku pertama memperoleh Prix Jeanne Cuisinier (1981), sebuah penghargaan oleh Institut National des Languages et Civilisations Orientales, Paris.

Meski banyak mengkristenkan masyarakat Jawa, Sadrach tidak diakui oleh misionaris Belanda. Bahkan antara Sadrach dengan para misionaris Belanda sering berdebat. Sadrach dianggap mengajarkan kesesatan. Lion-Cachet seorang misionaris Belanda yang lama di Afrika Selatan pada Desember 1891, di Purworejo membuat sebuah pernyataan, di antaranya berbunyi:

Demi kebesaran Tuhan dan keselamatan jiwa para umat termasuk Sadrach, para misionaris harus memisahkan diri dari Sadrach yang telah meracuni lingkungan kerjanya dan menghidupkan suatu agama Kristen Jawa yang tidak member tempat yang seharusnya bagi Kristus…”. (hal:162)

Perselisihan antara Sadrach (dan pengikutnya) dengan misionaris Belanda akhirnya memuncak dan Sadrach memutuskan tidak lagi berhubungan dengan misionaris Belanda. Sadrach sering dinilai sesat karena mengkristenkan orang Jawa dengan caranya sendiri, bukan dengan cara-cara orang Eropa. Bahkan, Sadrach menganggap dirinya sederajat dengan misionaris-misionaris Belanda. Padahal, waktu itu seharusnya posisi Sadrach sebagai pribumi hanya bisa sebagai asisten misionaris.

Meski tak diakui oleh misionaris Belanda, Sadrach terbukti suskes mengkristenkan masyarakat Jawa. Tahun 1898 pengikut Sadrach tercatat lebih dari 7.000 orang. Namun pada tahun 1907 menurun menjadi 2.735 orang. Data pengikut tahun 1907 masih jadi perdebatan apakah benar atau salah. (hal:169-170). Pengikut Sadrach adalah masyarakat di pedesaan.

Kehidupan Sadrach berakhir saat tidur pada malam tanggal 14 (15?) November 1924. Ia dimakamkan di Karangjoso. Makamnya berlokasi sekitar 2 km dari rumahnya dan di atas makamnya terdapat sebuah cungkup, atapnya bertingkat tiga.   

Dalam buku karya Gulliot ini memang tidak menyinggung soal pilihan politik Sadrach. Mungkin karena posisi Kiai Sadrach lebih pada seorang guru spiritual. Anhar Gonggong mencatat pada tahun 1923 Ignatius Joseph Kasimo (1900-1986) mendirikan organisasi bernama Pakempalan Politik Katolik Djawi (PPKD). Pada tahun itu jumlah umat Katolik di Jawa tercatat sebanyak 10.000. Organisasi ini mengusung etno-nasionalisme untuk memerdekakan bangsa. (Basis, nomor 11-12, tahun ke-59, 2010. Hal:30-35). Sayang saya tidak menemukan (atau memang tidak ada?) penelitian tentang adakah hubungan antara Kiai Sadrach dengan Ignatius Joseph Kasimo? Meski Sadrach berada di kelompok Gereja Protestan.

Melihat dua tokoh yang sama-sama berlatar belakang Jawa ini sangat mungkin pernah bertemu. Karena meski Sadrach tidak pernah menggelorakan nasionalisme, namun ia berpendirian sangat teguh bahwa orang Belanda tidak punya perbedaan dengan orang pribumi. Bahkan, Sadrach enggan tunduk di bawah misionaris Belanda, melainkan tetap menapaki jalannya sebagai guru dan penyebar agama Kristen yang kental nuansa Jawa-nya. Sehingga waktu itu muncul istilah Kristen Jowo yang merujuk Sadrach beserta murid-muridnya, dan Kristen Londo yang merujuk pada misionaris Belanda dan pengikutnya.

Dan bukan sebuah kebetulan bahwa Sadrach hidup sezaman dengan penyebar agama Islam KH Ahmad Dahlan di Jogjakarta (1868-1923). Sedang di Jombang KH Hasyim Asy’ari mendirikan pondok pesantren Tebuireng pada 1899. Ponpes Tebuireng ini berada di Kecamatan Diwek, Jombang. KH Hasyim Asy’ari lahir tahun 1875 atau sekitar 40 tahun setelah kelahiran Kiai Sadrach. Waktu itu di Jombang, sebelum Ponpes Tebuireng berdiri, sudah ada desa-desa Kristen yang didirikan oleh misionaris. Di antaranya Ngoro yang didirikan misionaris Coolen yang terletak sekitar 20 km dari kota. Juga ada Desa Kristen Mojowarno yang didirikan Abisai Ditotruno dan Tosari.

Kiai Sadrach memulai kontak dengan orang-orang Kristen berawal dari desa-desa Kristen di Jombang ini. Dia tinggal di Jombang antara tahun 1851-1858 pada usia antara 16 dan 23 tahun. Sebelumnya ia sudah berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren di Jawa Timur untuk memperdalam agama Islam. Artinya, pada tahun 1800-1900 di Jombang ada penyebaran dua agama besar yakni Islam dan Kristen. 

0 komentar:

 
© Copyright 2035 godongpring