(Tokoh Kristenisasi Jawa Abad XIX)
:: Sebuah catatan pendek (capen) setelah membaca buku Kiai Sadrach
Oleh Nanang Fahrudin
Nama kecilnya Radin. Tak diketahui siapa nama orang tuanya.
Catatan sejarah (dari pengetahuan saya yang terbatas) hanya menyebut ia lahir
sekitar tahun 1835 (sumber lain menyebut 1837) di sebuah desa di sekitar Demak
(sumber lain menyebut Desa Loering Karesidenan Semarang). Ia berasal dari
keluarga petani miskin. Sejak kecil ia pergi meninggalkan rumah, mengembara
mencari kebenaran, keluar-masuk pesantren di Jawa Timur, hidup dari belas
kasihan orang. Ia beberapa kali diambil sebagai anak angkat oleh orang Belanda.
Hingga suatu ketika ia bertemu dengan Kurmen alias Sis Kanoman yang menjadi
gurunya belajar ngelmu Jawa.
Setelah belajar ke Sis, Radin melanjutkan perjalanannya
untuk menyempurnakan ilmunya. Ia berpindah dari satu pesantren ke pesantren
lain di Jawa Timur. Waktu itu pesantren adalah satu-satunya “sekolah” yang
terbuka untuk siapa saja, tak peduli asal-usulnya. “Siapa” dia tak dipedulikan
oleh pesantren, karena orang yang datang ke pesantren berarti dia hendak
menuntut ilmu yang akan diterima dengan pintu terbuka lebar.
Kelak, setelah dari pesantren Radin menambah nama Arab di
belakangnya, menjadi Radin Abas. Ia lalu berpindah-pindah tempat, dari Batavia,
Jombang, Kutoarjo, dan daerah-daerah lain di Jawa untuk menyebarkan agama. Lalu
ia dikenal dengan sebutan Kiai Sadrach (sumber lain menyebut Sadrach
Surapranata) dan memiliki banyak murid. Dia meninggal dalam usia 90 tahun.
Namun, sumber lain menyebut ia meninggal pada usia 89 tahun.
Sulit menemukan peninggalan sang Kiai. Salah satu
peninggalan sang Kiai adalah sebuah buku kecil sekitar 200 halaman yang
disimpan oleh ahli warisnya di Karangjoso. Buku itu ditulis tangan dalam bahasa
Arab yang berisi tentang tasawuf, silsilah raja Islam, transkripsi mistik dari
nama Nabi Muhammad (setiap huruf mengandung satu makna), dan juga sebuah dialog
antara Sunan Kalijogo dengan Sunan Bonang mengenai alam kubur.
Sampai di sini, Anda pasti mengira saya sedang mengisahkan
seorang kiai Islam. Bukan. Kiai Sadrach adalah misionaris Kristen, pengabar
Injil, dijuluki Kiai Rasul Sadrach, Sang Penggembala. Ia bersama Kiai Ibrahim
dan Kiai Kasan Mentaram (keduanya Kristen) berperan penting dalam kristenisasi
di Jawa. Sayang catatan-catatan tentang Sadrach sulit ditemukan, karena ia
sering cekcok dengan para misionaris Belanda (dan asing). Sadrach menjadi
pendeta pada tahun 1894-1924.
Kisah sang Kiai ini saya baca dari buku berjudul Kiai Sadrach, Riwayat Kristenisasi di Jawa
karya Claude Gulliot. Buku ini terbitan Grafiti Pers tahun 1985. Penerjemahnya
adalah Asvi Warman Adam, seorang sejarawan Indonesia terkemuka saat ini.
Gulliot (sesuai tertulis di bukunya) lahir tahun 1944. Pernah menjadi dosen
bahasa Prancis di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta (1973-1981). Buku ini
berjudul asli L’Affaire Sadrach, Un Esai
de Christianitation a Java au XIX e Siecle, yang merupakan buku pertama
memperoleh Prix Jeanne Cuisinier
(1981), sebuah penghargaan oleh Institut
National des Languages et Civilisations Orientales, Paris.
Meski banyak mengkristenkan masyarakat Jawa, Sadrach tidak diakui
oleh misionaris Belanda. Bahkan antara Sadrach dengan para misionaris Belanda
sering berdebat. Sadrach dianggap mengajarkan kesesatan. Lion-Cachet seorang
misionaris Belanda yang lama di Afrika Selatan pada Desember 1891, di Purworejo
membuat sebuah pernyataan, di antaranya berbunyi:
“Demi kebesaran Tuhan
dan keselamatan jiwa para umat termasuk Sadrach, para misionaris harus
memisahkan diri dari Sadrach yang telah meracuni lingkungan kerjanya dan
menghidupkan suatu agama Kristen Jawa yang tidak member tempat yang seharusnya
bagi Kristus…”. (hal:162)
Perselisihan antara Sadrach (dan pengikutnya) dengan
misionaris Belanda akhirnya memuncak dan Sadrach memutuskan tidak lagi
berhubungan dengan misionaris Belanda. Sadrach sering dinilai sesat karena
mengkristenkan orang Jawa dengan caranya sendiri, bukan dengan cara-cara orang
Eropa. Bahkan, Sadrach menganggap dirinya sederajat dengan
misionaris-misionaris Belanda. Padahal, waktu itu seharusnya posisi Sadrach
sebagai pribumi hanya bisa sebagai asisten misionaris.
Meski tak diakui oleh misionaris Belanda, Sadrach terbukti
suskes mengkristenkan masyarakat Jawa. Tahun 1898 pengikut Sadrach tercatat
lebih dari 7.000 orang. Namun pada tahun 1907 menurun menjadi 2.735 orang. Data
pengikut tahun 1907 masih jadi perdebatan apakah benar atau salah. (hal:169-170).
Pengikut Sadrach adalah masyarakat di pedesaan.
Kehidupan Sadrach berakhir saat tidur pada malam tanggal 14
(15?) November 1924. Ia dimakamkan di Karangjoso. Makamnya berlokasi sekitar 2
km dari rumahnya dan di atas makamnya terdapat sebuah cungkup, atapnya
bertingkat tiga.
Dalam buku karya Gulliot ini memang tidak menyinggung soal
pilihan politik Sadrach. Mungkin karena posisi Kiai Sadrach lebih pada seorang
guru spiritual. Anhar Gonggong mencatat pada tahun 1923 Ignatius Joseph Kasimo
(1900-1986) mendirikan organisasi bernama Pakempalan Politik Katolik Djawi
(PPKD). Pada tahun itu jumlah umat Katolik di Jawa tercatat sebanyak 10.000.
Organisasi ini mengusung etno-nasionalisme untuk memerdekakan bangsa. (Basis,
nomor 11-12, tahun ke-59, 2010. Hal:30-35). Sayang saya tidak menemukan (atau
memang tidak ada?) penelitian tentang adakah hubungan antara Kiai Sadrach
dengan Ignatius Joseph Kasimo? Meski Sadrach berada di kelompok Gereja
Protestan.
Melihat dua tokoh yang sama-sama berlatar belakang Jawa ini sangat
mungkin pernah bertemu. Karena meski Sadrach tidak pernah menggelorakan
nasionalisme, namun ia berpendirian sangat teguh bahwa orang Belanda tidak
punya perbedaan dengan orang pribumi. Bahkan, Sadrach enggan tunduk di bawah
misionaris Belanda, melainkan tetap menapaki jalannya sebagai guru dan penyebar
agama Kristen yang kental nuansa Jawa-nya. Sehingga waktu itu muncul istilah
Kristen Jowo yang merujuk Sadrach beserta murid-muridnya, dan Kristen Londo
yang merujuk pada misionaris Belanda dan pengikutnya.
Dan bukan sebuah kebetulan bahwa Sadrach hidup sezaman
dengan penyebar agama Islam KH Ahmad Dahlan di Jogjakarta (1868-1923). Sedang
di Jombang KH Hasyim Asy’ari mendirikan pondok pesantren Tebuireng pada 1899.
Ponpes Tebuireng ini berada di Kecamatan Diwek, Jombang. KH Hasyim Asy’ari
lahir tahun 1875 atau sekitar 40 tahun setelah kelahiran Kiai Sadrach. Waktu
itu di Jombang, sebelum Ponpes Tebuireng berdiri, sudah ada desa-desa Kristen
yang didirikan oleh misionaris. Di antaranya Ngoro yang didirikan misionaris
Coolen yang terletak sekitar 20 km dari kota. Juga ada Desa Kristen Mojowarno
yang didirikan Abisai Ditotruno dan Tosari.
Kiai Sadrach memulai kontak dengan orang-orang Kristen
berawal dari desa-desa Kristen di Jombang ini. Dia tinggal di Jombang antara
tahun 1851-1858 pada usia antara 16 dan 23 tahun. Sebelumnya ia sudah
berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren di Jawa Timur untuk
memperdalam agama Islam. Artinya, pada tahun 1800-1900 di Jombang ada
penyebaran dua agama besar yakni Islam dan Kristen.
0 komentar:
Posting Komentar