Rabu, 21 Maret 2012

Cerita Kecil tentang Sebuah “Kekalahan”

Oleh : Nanang Fahrudin

Tiada yang lebih berkuasa pada diriku saat ini kecuali buku. Entahlah, seperti tak ada pikiran lurus saja lagi. Atau jangan-jangan buku itulah pikiran lurusnya. Dan sekarang uang tinggal dua puluh ribu saja di kantong. Padahal kopi dan air mineral masih harus kubayar. Jika ada sisa maka itulah yang akan kubawa pulang dari tempat ini, pusat buku bekas Jalan Semarang Surabaya.

Seingatku sebelum sampai di sini, ada uang seratus lima puluh ribu di kantong. Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi tertanggal 25 Juli 2011. Tak sampai satu jam uang tinggal dua puluh ribu. Ha…??

Aku duduk di warung tengah dan membuka laptop mengamati buku-buku yang baru saja kubeli, ditemani secangkir kopi hitam, teman yang selalu setia di sampingku. Mengingat-ngingat apa yang sudah terjadi. Kalau ditulis, beginilah kisahnya.

Semua berawal dari niat jalan-jalan saja. Seperti irama hari-hariku di Kota Surabaya selama ini di luar kerja. Membacai buku dan buku, sesekali masuk ke bisnis buku bekas, dan seringkali menumpuk buku untuk diri sendiri. Saat masuk ke lapak-lapak buku itulah mulai ada peperangan. Berbagai senjata menunjuk ke arahku. Para penjual buku menyodoriku buku-buku nan indah. Aku sebenarnya sudah membangun benteng yang kokoh agar tak tertembus “peluru” para pedagang itu dalam sebuah peperangan singkat ini. Tapi kisah berjalan lain.

(Di tengah menulis catatan ini tiba-tiba ada pengemis datang dan tanpa kuketahui sudah berdiri di belakangku. Seorang ibu tua dengan tangan terbuka ke arahku. Aku pun memberinya uang lima ratus. Ide tulisan sempat terputus dan aku mencoba memungutinya lagi).

Serangan pedagang pertama bisa kutangkis. Tak ada buku yang harus kubeli. Tapi serangan pedagang semakin gencar, dan bentengku runtuh juga. Dua buku dimasukkan ke kantong plastik dan diserahkan kepadaku. Sebagai gantinya, aku menyodorkan uang kepada pedagang itu. “Dua buku ini saja dulu ah. Jangan tergoda yang lain. Toh Godfahter karya Mario Puzo belum usai kubaca,” kataku dalam hati mencoba membangun kembali bentengku yang mulai terkoyak di sana-sini.

Bergerak maju dengan benteng yang sudah sekali jebol, keyakinanku untuk menang dalam peperangan kali ini mulai goyah. Ketika kaki melangkah di kios buku pojok yang bersebalahan dengan kolam renang kecil, sang penjual langsung menyerangku. “Ada novel Ahmad Tohari. Mau?,” katanya menyerangku.

Aku langsung mengutuki diri, kenapa bentengku mudah runtuh kalau soal buku. “Ah, buku itu saya sudah punya,” kataku sambil memegang-megang buku “Orang-orang Proyek” karya Ahmad Tohari, seorang sastrawan yang kusukai. Kata-kataku sebenarnya lebih sebagai upaya membangun benteng saja.

Ee…seperti tahu kelemahanku. Sang penjual menyerangku lagi dengan menyodorkan buku petualangan Karl May. “Aduh” kataku dalam hati. Tawar menawarpun berlangsung dan pindahlah buku itu ke tanganku. Dan ternyata tak hanya buku itu saja, tapi “Folkfor Madura” karya Cak Nun juga ikut sekalian kuangkut.

“Tak apalah. Mungkin salah satunya bisa kujual lagi ke teman, kawan, atau sahabat,” kataku dalam hati yang merasa selalu saja enggan merasa kalah oleh peperangan dengan buku.

Empat buku sudah di tangan, dan oke aku menyerah kalah. Titik. Aku harus mengakhiri kekalahanku dalam peperangan ini dengan melangkah menuju ke tengah, sebuah warung kopi yang mirip sebuah kafe. Angin berhembus sejuk, ada fasilitas wifi, dan musik live dari panggung sederhana samping warung. Dari situ akan terlihat banyak ibu-ibu menyusuri kios-kios di sekitar warung untuk mencari buku pelajaran bagi anak mereka. Aku berpikir, bendera putih harus kukibarkan dan berharap tak ada yang menyerangku lagi. Cukuplah kekalahanku yang menyedihkan sekarang, jangan sampai ditambahi lagi. Uangku sudah hampir habis.

Tapi….ah, tiba-tiba saja aku kebelet pipis. Itu artinya aku harus berjalan lagi dan melewati beberapa kios buku. Ternyata perang sangat sulit juga untuk diakhiri. Menuju toilet aku berjalan gagah. Aku yakin bentengku sudah berdiri kokoh. Deretan buku di kios yang kulewati paling-paling buku biasa yang tidak menarik lagi. Dan aku pun berjalan dengan pandangan tetap fokus ke depan.

Tiba-tiba suara seorang laki-laki memanggil. Aku menoleh. Ia mengangkat setumpuk buku. “Ada buku-buku sastra. Mungkin menarik hati” katanya. Itu benar-benar sebuah serangan terbuka. Pelurunya tepat mengenai otakku yang tanpa sadar menggerakkan kakiku mendekatinya. Apalagi dia menyebut “sastra”, aduh benar-benar kurang ajar. Serangan yang sungguh berkekuatan super.

Aku duduk seperti anak manis mendapatkan permen. Setumpuk buku disodorkan kepadaku dengan ramah. Tapi keramahan itulah serangan yang sebenar-benarnya bagiku. Berbagai edisi majalah sastra kupegang. Kekalahan untuk kesekian kalinya menerjangku.

“Okelah, aku menyerah kalah. Buku benar-benar peluru yang membuatku tak bisa berkutik. Buku begitu mudah menjajahku. Aku berjanji, suatu saat aku akan menyerang balik. Menulis buku sebanyak-banyaknya dan aku sebagai pengarangnya, bukan hanya sebagai pembaca seperti selama ini. Awas kau buku!,” sebuah ancaman yang kudengungkan ke telingaku sendiri.

Dengan rasa malu, aku membawa majalah sastra itu. Seperti prajurit yang pulang membawa kekalahan, aku pun berjalan dengan gontai. Kaki melangkah pelan. Tubuh tercabik-cabik penuh luka. Uang sudah lepas dari tangan. Tinggal buku-buku itu menemaniku. Gajian masih tiga hari lagi. Artinya aku harus mencari pinjaman untuk bertahan hidup. Dan di ujung sana, istriku sms “susu anak kita habis”. Aku pun kembali nyruput kopi sambil menarik nafas panjang.

Nanang Fahrudin
Surabaya, 25 Juli 2011

2 komentar:

Dee mengatakan...

hahaha..
ijin posting ya mas Nang..

asik banget..
peperangan dengan buku memang selalu mengasyikkan..
tak hanya ketika membaca tapi juga ketika membeli..
aku memahami apa yg mas Nang rasakan..
tapi bedanya,
mas Nang harus memikirkan kebutuhan keluarga,
dan aku belum..
hehehehe :p

salam cinta buku

nanang fahrudin mengatakan...

Hahaha....begitulah. istriku sering cemburu dengan buku.....

 
© Copyright 2035 godongpring