Oleh: Nanang Fahrudin
Tidak terasa, satu tahun lebih aku tinggal di rumah kontrakan yang sempit di gang buntu. Hari-hari aku lalui bersama keluarga seperti roda. Tanpa berhenti, terus berputar, menggilas semua yang kulewati. Kadang menabrak pagar rumah orang, membawa serta bunga-bunga asri di pekarangannya, serta menyeret semuanya untuk ikut berputar. Tanpa henti. Indah tapi mengerikan.
Isteriku sering menjerit meraung-raung. Katanya rodaku juga menggilas seseorang. Pemilik tubuh itu hanya bisa melambai-lambaikan tangan, karena mulutnya ada di kepala yang terbawa dalam putaran rodaku. Isteriku menangis dan meminta menghentikan roda itu karena iba melihat tubuh tanpa kepala. Tanpa otak, tanpa mata, tanpa telinga, tanpa pikiran. Satu, dua, tiga, dan banyak sekali kepala beserta otak dan pikirannya tergilas dan terbawa putaran rodaku yang sulit berhenti.
Kawanku selalu mengataiku tengah berbohong dengan ceritaku yang tidak masuk akal itu. Meski berulang kali aku mengatakan bahwa ceritaku itu bisa diakal. Bahkan saking marahnya kawanku itu, ia menganggapku sudah tidak waras.
"Tapi tak apalah, bukankah nabi Muhammad awalnya juga dianggap gila oleh orang-orang bangsa Arab. Bukankah Nietzche juga banyak yang menganggap tak waras saat mengatakan tuhan telah mati."
"Tapi aku bukan Nabi dan juga bukan Nietzche?"
Jangan-jangan aku memang sudah tidak waras lagi? Entahlah.
***
Usia 18-an tahun, aku menginjakkan kaki di kampus. Banyak hal baru yang tak ku temui di sekitarku sebelumnya. Banyak kawan baru, kami pun sering saling bercerita. Tentang latar belakang keluarga, adat istiadat, pacar, sampai kebiasaan buang air di sungai Bengawan Solo pun menjadi topik cerita yang menyenangkan kala itu. Maklum, kita berasal dari daerah berbeda-beda. Aku berasal dari pinggiran kota perbatasan Jawa Timur dengan Jawa Barat, dan rumahku tepatnya berjarak 10 meter sungai Bengawan Solo.
Sejak saat itulah aku menyukai sebuah cerita. Cerita apa saja. Kadang bagiku cerita mempunyai dunianya sendiri. Dunia yang menyenangkan yang selalu hidup. Tapi kadang mengharukan saking sedihnya.Bukankah manusia tahu siapa Sokrates dari cerita Aristoteles dan Plato? Dengan cerita, seseorang bisa berbagi suka maupun duka. Dengan cerita, manusia bisa timbul rasa kasihan, marah, cinta, benci terhadap apa dan siapapun.
Kebiasaan saling bercerita itupun sudah seperti hal yang wajib bagiku dan beberapa teman. Kalau tidak ada cerita seperti makan tanpa minum air rasanya, jadinya sereten. Kalau sudah berkumpul selalu saja ada cerita yang muncul. Terkadang aku juga heran, cerita itu seperti baju di dalam lemari. Tinggal ambil terus dibuka. Kalau semua sudah mengetahuinya, lalu ambil lagi dan dilihat bersama lagi. Begitu terus menerus.
Tiada hari tanpa cerita. Itulah hari-hariku saat menjadi mahasiswa di salah satu kampus di Kota Malang. Bercerita seakan wajib hukumnya. Salah satu teman yang suka pakai sarung, selalu bercerita tentang seluk beluk dunia Islam. Kenapa umat Islam yang banyak di atas muka bumi ini hidupnya terbelakang? Islam, katanya, mesti dipahami tidak hanya sebagai proses penyembahan terhadap Tuhan. Buat apa beragama kalau sukanya nipu orang, mengambil hak orang lain, senang melihat tetangga mati kelaparan.
Itu cerita temanku yang senang pakau sarung. Katanya lagi, kalau pakai celana kalau pipis sulit. Tapi kalau pakai sarung mudah.
Cerita temanku yang lain beda lagi. Dia biasa disebut gudang cerita humor. Aku seingkali dibuat heran, daripada cerita-cerita itu diperolehnya. Dan kebanyakan ceritanya pasti tentang orang Madura. Mulai di Madura tak ada sekolah TK karena di sana disebut Taman Nak Kanak, hingga orang Madura yang suka mengumpulkan besi tua.
Waktu terus berjalan. Lulus kuliah semuanya pergi menjalani garis hidupnya masing-masing. Ada yang menjadi tukang suntik hewan, ada yang jadi pegawai kantor, pedagang ikan, pengusaha jasa warnet hingga wartawan. Bercerita kini tinggal menjadi sebuah cerita.
Aku sendiri kini menjadi pekerja rendahan di salah satu perusahaan kontraktor. Gaji bulanan belum bisa dibilang cukup untuk keperluan sehari-hari. Untuk menutupinya perlu kerja tambahan. Dan pekerjaan itu adalah selalu menyenangkan hati bos. Membantu menyogok sana menyuap sini untuk mendapatkan proyek, lalu dapat komisi. Semakin banyak suap, semakin banyak proyek, semakin banyak pula komisi yang aku terima.
Untuk bisa menyuap, aku harus mempercepat langkah, dan kalau bisa berlari. Berlari kencang tanpa menoleh tetangga kanan yang tergusur, atau tetangga kiri yang tidak kuat bayar rekening listrik. Bahkan hingga terkadang aku lupa jika ada segumpal hati di dalam tubuhku. Ya, tubuhku seperti robot. Berlari dan berlari.
Mungkin karena aku sekarang menjadi pelari. Tak pernah cukup waktu untuk sekedar duduk untuk berhenti. Betapa tidak, pagi sudah harus bangun, memasukkan uang ke dalam amplop, mencatat nama-nama yang perlu didatangi, serta mempersiapkan laporan ke big bos. Sehingga sudah tak ada lagi waktu bercerita, tentang si miskin dan si kaya, cerita si rusa yang baik hati, yang sering aku ceritakan kepada anakku. Putaran hidupku seperti roda yang tak pernah berhenti.
Putaran itupun awalnya tidak masalah bagiku. karena uang terus mengalir. Anak tak nangis lagi saat minta dibelikan mainan. Istri tak cemberut lagi karena bedak dan hand and body lotion selalu tersedia di atas meja. Tapi roda itu kian kencang putarannya. Jangankan bercerita, berhenti untuk berpikir saja rasanya tak sempat. Hidup hanya seperti jalan-jalan yang setiap hari aku lewati. Seperti sungai yang mengalir, tanpa ada kedalaman.
"Sudahlah, hentikan rodamu. Biarkan hidup kita berhenti. Meski hanya sejenak," kata istriku suatu hari.
Aku diam.
"Lihatlah, banyak kepala tersangkut dirodamu. Mereka menjerit-jerit. Suaranya selalu menghantuiku,"
"Percepat larimu. Kamu akan merasa nyaman. Tak kan lagi kau dengar jeritan-jeritan itu. Percayalah sayangku," kataku.
"Aku ingin bercerita..." katamu memelas.
Aku tetap diam dan mempercepat lariku.
"Suamiku. Manusia diciptakan Tuhan ibarat kaca yang retak yang akan direkatkan oleh orang lain. Manusia hanya boleh berlari jika Tuhan menyuruhnya berlari. Tapi untuk apa jika kita berlari malah menjauh dari Tuhan dan manusia ciptaan-Nya. Nafasku sudah tidak kuat lagi untuk terus berlari. Suamiku, seringkali aku bercerita, dan seringkali pula kamu tidak mendengarkannya. Suamiku sayang, ini mungkin ceritaku yang terakhir."
Aku tetap saja diam. Terus berlari dan tak sempat bercerita lagi.
Kamis, 01 Maret 2012
Browse » Home »
Cerita Pendek
» Cerita Terakhir
Cerita Terakhir
Label:
Cerita Pendek
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Si isteri akhirnya tak mampu berkata-kata lagi, mulut dan matanya terkatup rapat, telinga sdh tak bisa mendengar, sang suami baru tersadar setelah tanggannya secara tak sengaja menyentuh tubuh isterinya, dingin dan kaku.
sejak kapan mas jawa timur berbatasan dengan jawa barat????
Posting Komentar