Selasa, 06 Maret 2012

Secangkir Kopi untuk Kami dan Mereka

Oleh : Nanang Fahrudin
(Dimuat di Harian Seputar Indonesia (SINDO) Jatim Senin 5 Maret 2012)

Dalam kamus besar bahasa Indonesia kata “kami” bermakna kata ganti orang pertama jamak. Sedang “mereka” adalah kata ganti orang ketiga jamak. Dalam implementasinya dua kata menunjuk pada kelompok berbeda. Kami berada di sini, dan mereka berada di sana. Ada jarak yang memisahkan keduanya.

Di negeri ini banyak “kami-mereka” di mana-mana. Perceraian itu bisa dipicu oleh apa saja. Perbedaan warna bendera parpol, perbedaan pilihan agama, perbedaan keyakinan, perbedaan cara pandang, perbedaan jenis kelamin, dan bahkan perbedaan pilihan tempat di mana mencari makan siang. Perbedaan itu membuat bentangan jarak semakin meneguhkan diri masing-masing orang. Kami berada di sini dengan kebenaran, dan mereka berada di sana dalam sebuah jalan yang salah.

Kami-mereka menjadi identitas yang oleh Amartya Sen disebutnya sebagai identitas palsu. F. Budi Hardiman menyebutnya sebagai “aku” dan “the other”. Sebuah perbedaan yang sebenarnya sangat alami namun bisa memicu berbagai persoalan yang tak ada ujungnya.

Polemik pembubaran Front Pembela Islam (FPI) adalah salah satu bukti begitu meruncingnya perbedaan kami-mereka. Bagi FPI, masyarakat yang menolak mereka berada jauh di (dunia) sana. Sebaliknya bagi masyarakat yang menolak FPI, memandang ormas itu berpijak pada dunia yang jauh di sana. Ada ketidaksamaan saat memandang baik atau buruk, benar atau salah. Karena mereka memiliki standar masing-masing.

Ambil contoh kecil saja kasus bentrokan massa FPI dengan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKK-BB) di Jakarta pada tanggal 1 Juni 2008 silam. Kalau banyak pihak mengkritik aksi kekerasan yang dilakukan FPI, berbeda dengan sikap FPI sendiri. Dalam website www.eramuslim.com, bentrokan tersebut masuk pada berita “Daftar Kebaikan FPI”. Sedang AKK-BB dalam websitenya www.akkbb.wordpress.com/2008, menampilkan artikel-artikel yang sebagian besar anti FPI.

Banyak hal di negeri ini yang semakin mengukuhkan posisi “kami” dan posisi “mereka”. Akibatnya perbedaan itu semakin lebar dan menjurus pada kekerasan fisik. Di mana-mana terjadi aksi kekerasan entah atas nama apa saja. Mulai atas nama negara, atas nama parpol, atas nama agama, dan nama-nama lain. Ketika kami-mereka semakin mengakar, maka proses dialog yang dicoba dibangun hanya selalu berhenti pada formalitas semata. Ujungnya tetap saja kekerasan dan kekerasan.

Nah, seharusnya negara berperan sebagai “kita”. Yakni menjembatani antara “kami” dan “mereka”. Posisi boleh tetap kami atau mereka, tapi ketika menjadi sebuah masyarakat Indonesia bisa mencair menjadi “kita”. Kita bangsa Indonesia, sebagaimana dirasakan oleh para founding father negeri ini. Sayangnya posisi negara tak jarang malah berpihak pada kami atau berada di belakang mereka. Akibatnya proses dialog yang dibangun negara pun berhenti pada formalitas lagi.

Lalu bagaimana?. Entahlah. Otak saya yang sederhana ini tidak nutut pada hal-hal yang begitu besarnya. Saya hanya membayangkan diri kita ini ibarat sebuah rumah. Berikanlah jendela di rumah kita itu, agar orang lain bisa melongok apa isi di dalamnya. Begitu juga kita bisa melihat-lihat isi rumah orang lain. Tentu ada kamar yang memang itu sifatnya sangat privat yang tidak boleh ada orang lain tahu. Saling melihat isi rumah itulah proses dialog tersebut.

Jangan sampai rumah kita tanpa jendela dan tanpa pintu, tak ada orang lain yang bisa melihat apalagi berkunjung. Kenapa “kami” dan “mereka” tidak bisa duduk bersama di teras rumah sambil minum secangkir kopi. Kopi panas yang mengundang keakraban dan kebersamaan. Sama-sama berada di negeri yang sedang miskin karena korupsi. Sama-sama berada di bumi yang mulai rusak. Salam!.

3 komentar:

ria puspitasari mengatakan...

baru nemu blog ini.
dan saya menyukai tulisan-tulisan Bang Nanang.
Rajin-rajin menulis yaa Bang :)
biar makin banyak yang terinspirasi.

nanang fahrudin mengatakan...

Trimz dah mau mampir di blog ini..Blog anda juga keren. smoga sukses always!

Anonim mengatakan...

the other, wong liyan.. kok ya isih usum wae yo

 
© Copyright 2035 godongpring