Pada awalnya, Mardi Luhung adalah penyair. Ia lebih dikenal dengan puisi-puisinya yang panjang, yang bercakap-cakap. Puncaknya saat ia dinobatkan sebagai peraih Khatulistiwa Literary Award (KLA) tahun 2010, sebuah anugerah bergengsi di dunia kepenyairan nasional. Puisi-puisinya yang memenangkan KLA adalah antologi puisi berjudul Buwun. Buwun adalah kata lain dari Bawean, sebuah pulau kecil yang secara administratif masuk wilayah Kabupaten Gresik.
Dan beberapa waktu lalu, Baca! berbincang dengannya saat dia berada di Jakarta untuk persiapan launching buku kumpulan cerpennya berjudul “Aku Jatuh Cinta Lagi pada Istriku”. Berikut perbincangan kami tentang proses kreatifnya dalam dunia sastra:
Bagaimana awal anda menjadi penulis sastra?
Bagi saya, menulis itu selalu dipengaruhi latar belakang. Dan latar belakang setiap orang menyimpan peristiwa yang selalu berbeda antara satu orang dengan orang lain. Dan saya kebetulan memiliki latar belakang yang cukup unik, karena sejak kecil saya selalu menyendiri dan suka membaca komik. Terutama komik Indonesia. Hitam putih yang ditulis komikus-komikus yang sampai kini masih tetap saya ingat. Seperti Yan Mintaraga, Teguh Santosa, Hans Jaladara dan lainnya.
Komik-komik itu bercerita tentang dunia persilatan. Orang yang bisa terbang, mengelak, dan bahkan sesekali berjumpalitan. Dari situlah saya suka menulis cerita dari imajinasi saya setelah membaca cerita-cerita silat itu. Akibatnya, karena begitu tertariknya, maka tak heran ketika saat dewasa sekarang, dalam tulisan saya selalu saja ada gerakan-gerakan tubuh atau percakapan yang masuk. Termasuk di dalam puisi.
Bagi saya, hal itu sangat membahagiakan. Sebab bisa mengingat kenangan dan juga mengekalkan imajinasi. Oh ya, ketika menulis cerita pendek (cerpen), apa yang saya uraikan itupun juga terlihat adanya, bahkan oleh beberapa teman cerpen-cerpen saya tampak muskil. Seperti cerpen berjudul “Sepedaku Menabrak Dinding” (dimuat di Jawa Pos 24 Februari 2009), atau “Pohon Jambu” (dimuat di Memorandum 24 Maret 1996).
Bagaimana anda menemukan ide yang selanjutnya anda tulis dalam puisi maupun cerpen?
Ide biasa berawal dari sebuah kata, atau peristiwa yang kecil di sekitar. Misalnya, ketika saya membeli bibit pohon jambu dan akan menanamnya, saya melihat akar pohon jambu begitu indah. Maka tiba-tiba saja saya menulis cerpen Pohon Jambu yang bercerita tentang bagaimana akar itu berubah menjadi sebatang akar logam yg bergerak-gerak. Atau ketika saya mendengar kata mati. Maka saya membayangkan orang malah tak bisa mati. Akhirnya jadilah cerpen “Lebih Kuat dari Mati” (dimuat di Jawa Pos). Dan itupun juga sama ketika menulis puisi.
Setelah ide anda temukan, lalu bagaimana anda menuangkan dalam karya-karya anda?
Saya secara teknis dalam menulis mengalir bebas saja. Baru setelah tulisan jadi, peristiwa yang tidak bersambung saya perhalus. Meskipun kadang-kadang hasilnya tetap tidak nyambung. Tapi hal itu tidak apa-apa, toh di dalam menulis tidak ada patokan harus begini atau begitu. Kita (saya) harus berani untuk menulis dengan cara kita sendiri.
Bagaimana ceritanya karya pertama anda bisa dimuat di media?
Ketika pertama kali cerpen saya pertama kali dimuat berjudul “Tembok Pabrik” (Surabaya Post, 27 Februari 1994), saya merasa tidak percaya. Padahal awalnya cerpen itu cuma sekedar ujicoba saja. Di mana di dalam ujicoba itu saya ingin berbagi pengalaman dengan yang lainnya. Tapi saya senang sekali.
Berbeda dengan saat saya mencipta puisi. Pengalaman saya lebih dipenuhi rasa kejengkelan. Puisi-puisi yang saya tulis hampir tidak pernah diterima media massa di Jatim. Jumlahnya lebih dari 30-an. Itu terjadi sekitar tahun 1993 an. Dari kejengkelan itu saya mencoba mengirimkan tiga puisi ke sebuah jurnal sastra di Jakarta yang saat itu cukup punya nama di Indonesia. Ternyata dimuat. Judulnya “Dari Jalanan dan Pengantin Pesisir”. Dan itu membuat saya berpikir, bahwa sebuah karya sastra itu kerap memiliki nasibnya sendiri-sendiri, dan mencari pembacanya sendiri-sendiri.
Oleh karenanya, saya berkeyakinan pemublikasian karya sastra terutama bagi penulis pemula itu sangat perlu. Itu bisa digunakan untuk mencari pembacanya.
Selama menulis sastra ada kendala yang anda rasakan?
Kendala saya menulis adalah ketika saya merasa karya yang saya tulis terasa gagal. Dan celakanya, tulisan itu telah terlanjur dikirimkan. Saya pernah mengedit lagi tulisan yang telah saya kirim, bahkan juga menarik kembali tulisan yang saya kirim ke media. Sebab benar-benar saya merasa karya itu sangat buruk. Itu artinya kendala dalam menulis yang paling utama adalah kendala ketika tulisan itu telah terbentuk (jadi), dan bukan ketika sedang ditulis.
Ada tips penulis pemula?
Kita harus berani untuk menuliskan apa saja yang ingin kita tulis. Masalah ini itu, teknik atau bukan, bukanlah hal penting. Misalnya, ketika tulisan kita berbentuk yang tak lazim (cerpen mendekati puisi) atau sebaliknya, marilah kita terima itu apa adanya. Dan kita harus yakin bahwa tulisan-tulisan itu bukanlah hal yang kebetulan. Melainkan sesuatu yang ingin mencari dunianya sendiri sekaligus orang-oang yang juga mencintainya.
Pesan apa sih yang hendak anda sampaikan lewat karya-karya anda?
Pesan yang ingin saya sampaikan dalam karya-karya saya adalah mencoba untuk berbagi bahwa setiap kemungkinan itu selalu terbentang. Termasuk kemungkinan untuk berimajinasi dan mengembangkan pikiran yang berbeda dengan apa yang ada di sekitar kita. Ibarat sebuah hutan, kehidupan kita adalah hutan yang penuh dengan pohon-pohon dan salah sayu dari pohon itu adalah pohon karya-karya kita. Pohon yang mandiri, yang saling meng-ada-kan bagi pohon-pohon yang lain.
*) Mengenal Mardi Luhung
Di sebelah barat Pasar Kota Gresik, tepatnya Jalan Sindujoyo ada sebuah warung kopi. Warung kopi itu tak pernah sepi, apalagi yang nongkrong di sana kebanyakan adalah para seniman. Mardi Luhung salah satunya, karena rumahnya tak jauh dari sana. Jika tidak ngopi di situ, maka tempat favorit lain adalah warung kopi pojok barat alun-alun milik Bung Jepri.
Di sanalah sekitar tahun 2005 an saya sering ngopi bareng dengan Mardi Luhung. Terutama tentang puisinya, kesenian di Gresik, hingga perbincangan tentang siapa sebenarnya yang pantas disebut seniman?. Mardi Luhung memang memiliki pikiran-pikiran “liar”, terutama dalam hal dunia kepengarangan.
Baginya, karya sastra harus mengusik pembacanya. Kalau tidak mengusik, maka karya itu tidak akan dianggap apa-apa oleh pembaca. Mengusik di sini bermakna luas. Artinya, karya harus selalu menunjukkan sesuatu yang selalu baru. Katanya: Bukankah di dunia ini selalu dihadirkan oleh Allah sesuatu yang selalu baru?.
Mardi Luhung lahir di Gresik pada 5 Maret 1965. Dia lulusan Fakultas Sastra Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Jember. Kini ia mengajar di SMA Nahdlatul Ulama 1 Gresik. Puisinya tersebar di berbagai media massa, di antaranya Kalam, Surabaya Post, Media Indonesia, Koran Tempo, HAI, dan lainnya. Buku puisi tunggalnya Terbelah Sudah Jantungku (1996), Wanita yang Kencing di Semak (2002), Ciuman Bibirku yang Kelabu (2007), Buwun (2010). Lewat antologi puisinya yang berjudul Buwun itulah ia mendapat penghargaan augerah Khatulistiwa Literaty Award tahun 2010.
Pada Februari 2011 ini, ia menerbitkan kumpulan cerpennya yang berjudul Aku Jatuh Cinta Lagi pada Istriku. Kumpulan cerpen ini baru dilaunching Maret 2011, berisi 12 cerpen yang semuanya sudah pernah dipublikasikan di media massa. Dalam halaman awal buku itu tertulis “untuk istriku Mas Indasah si pendamping yang tabah”. Sebuah ungkapan cinta seseorang kepada orang yang ketika hidup bersamanya telah diamanati tiga anak.
Mardi Luhung berpikir kehidupan selalu bergerak maju. Tapi Tuhan tak pernah memutus rantai gerak itu barang sedetikpun, sehingga gerak itu saling berhubungan. Demikian juga gerak maju manusia. Sehingga, ia sejak dulu menyukai berdoa bagi anak cucunya agar diberikan kebaikan dunia-akherat, meski waktu berdoa ia belum memiliki anak ataupun cucu. Salam!.
(Disarikan dari wawancara
editor Baca! Nanang Fahrudin dengan Mardi Luhung
pada tanggal 26 Februari 2011 lalu
di Jakarta)
Dimuat di buletin Baca! terbitan Sindikat Baca Bojonegoro 2011
Kamis, 15 Maret 2012
Browse » Home »
Esai Warung Kopi
» Karya Sastra Selalu Menemukan Pembacanya Sendiri
Karya Sastra Selalu Menemukan Pembacanya Sendiri
Label:
Esai Warung Kopi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Siiippp....
Menginspirasi tulisanya mas...hehe
Mantab.. Tadi siang diskusi ringan seputar sastra. Banyak sekali sharing sama kami (Pawon Sastra Solo).
Makasih pak. Ilmu yang sangat berarti buatku.
Posting Komentar