Rabu, 07 Maret 2012

Ideologi Itu Bernama Kemanusiaan

(Catatan Pendek novel “KUBAH” karya Ahmad Tohari)

Oleh : Nanang Fahrudin

Bagi saya ada kesamaan pada setiap karya Ahmad Tohari. Kesamaan itu adalah bahwa saya tak pernah bisa berhenti lama saat membaca karya-karya beliau. Kisahnya selalu mengejar-ngejar dan “memaksa” saya terus mengikuti kelanjutan cerita pada halaman per halaman.

Saya masih ingat ketika menuntaskan membaca “Ronggeng Dukuh Paruk”, tepatnya bagian buku ketiga “Jantera Bianglala”, tak terasa malam berganti pagi. Dan saya membacanya penuh dengan emosi. Sampai-sampai usai membaca novel trilogi itu saya sangat ingin melihat sosok Srintil, tokoh dalam Ronggeng Dukuh Paruk. Keinginan mustahil yang terlalu emosional.

Dan ketika film “Sang Penari” yang diadopsi dari novel tersebut diputar di bioskop-bioskop, entah kenapa saya tak ingin melihatnya. Saya khawatir imajinasi saya tentang sosok Srintil akan buyar. Biarlah saya mengimajinasikan Srintil dan kehidupan masyarakat Dukuh Paruk lewat buku, bukan lewat visual film.

Ah terlalu panjang kalau puji-pujian terhadap karya Ahmad Tohari saya tulis di sini. Apalagi tanpa dipuji pun karyanya sudah diakui dunia sastra. Seperti novel “Kubah” yang baru saja saya baca. Novel ini dicetak pertama tahun 1995, tapi buku yang saya pegang adalah cetakan ketiga (2005). Buku ini mendapatkan penghargaan Yayasan Buku Utama (1981) dan sudah terbit dalam bahasa Jepang.

Dalam novel ini penulis begitu berani bergelut dalam pertarungan ideologi. Dan posisi penulis jelas, yakni menolak komunis. Komunisme yang diagung-agungkan oleh aktivis Partai Komunis Indonesia (PKI) diblejeti dengan hal-hal yang sangat sederhana, hal-hal yang berada di sekitar kita, dan mungkin ada pada diri kita sendiri.

Ketika Karman (tokoh utama) menjadi tahanan politik di Pulau B, ia berada pada titik keputusasaan saat menerima sepucuk surat dari Marni, istrinya. Dalam surat itu Marni mengatakan bahwa ia terpaksa menikah lagi dengan laki-laki lain, meski belum resmi berstatus cerai dengan Karman. Marni mengaku tidak kuat membiayai kebutuhan makan setiap hari untuk tiga anak mereka yang masih kecil, sedang Karman diasingkan.

Setelah surat itu datang, Karman melihat dunia berhenti. Ia membiarkan dirinya terbaring sakit di ruang tahanan yang sempit. Hingga akhirnya Kapten Somad menjenguknya dan meyakinkan bahwa ia tak memiliki kekuatan sepenuhnya atas dirinya. Karena ada kekuatan yang maha besar atas dirinya. Oleh sang kapten, Karman dikembalikan kepada Tuhannya yang sudah lama ia tinggalkan.

Hidup Karman sendiri penuh liku. Ayahnya mati saat carut marut awal kemerdekaan. Ia lalu diasuh oleh Haji Bakir yang merasa kasihan dengannya. Karman kecil diberi pekerjaan ringan, menyapu masjid atau memberi makanan ikan di kolam. Karman pun bisa makan nasi yang pada tahun 1950 an tak semua warga Desa Pegaten (salah satu desa di Jawa Tengah) bisa menikmatinya. Ia akrab dengan masjid dan kehidupan agama di desanya.

Karman diam-diam menyukai Rifah (anak Haji Bakir). Tapi cinta itu bertepuk sebelah tangan karena Rifah dinikahkan oleh ayahnya dengan Abdul Rahman. Sebagai anak asuh Haji Bakir, Karman tidak mempermasalahkannya. Namun Margo dan Triman, tokoh PKI, melihat berbeda. Pikiran Karman diracuni untuk membenci Haji Bakir karena dialah tuan tanah penghisap rakyat. Buku-buku Marxisme diberikan secara cuma-cuma. Bahkan saat Karman membutuhkan pekerjaan, cepat-cepat Margo mencarikannya, yakni sebagai juru tulis di kecamatan.

Singkat kisah, Karman terpesona dengan nilai-nilai revolusioner yang ditanamkan Margo dan kawan-kawannya. Ia mulai membenci Haji Bakir dan segala kepatuhan yang dibangun warga Pegaten. Puncaknya bambu tempat wudlu ia rusak, karena baginya agama adalah candu yang membuat masyarakat tidak revolusioner.

Pergolakan politik berubah dan geger 1965 membuat PKI terpojok. Semua aktivis PKI dihabisi. Karman sendiri melarikan diri dan berbulan-bulan pindah dari satu kuburan ke kuburan lain. Sejak saat itu ia tak bertemu dengan Marni dan tiga anaknya. Ia keluar saat malam untuk mencari makan buah mentah dan daun-daunan.

Dalam pelariannya, pada sebuah malam menjelang pagi, ia melihat Kastagethek mencari ikan di sungai. Kastagethek bisa dibilang orang paling miskin di kampungnya. Matapencahariannya adalah mencari ikan atau mengantarkan barang dengan gethek (semacam perahu dari bambu yang ditata). Di keheningan malam, Kastagethek bersujud kepada Tuhan lalu berdzikir.

Karman yang tak kuat lapar keluar dari persembunyiannya. Ia mendekati Kastagethek yang menyambutnya dengan senyum. Karman diajak makan bersama dan minum secangkir kopi. Karman tak habis pikir, dalam partainya, orang seperti Kastagethek lah yang dijadikan simbol rakyat jelata yang dihisap oleh tuan tanah. Tapi kenapa Kastaghetek begitu bersyukur akan hidupnya?. Kenapa ia tidak susah seperti yang digambarkan oleh partainya?.

Keherannya semakin menjadi-jadi tatkala dalam kemelaratannya, Kastagethek membagikan hasil tangkapan ikan ke Karman. Sungguh sebuah rasa kemanusiaan yang cukup tinggi yang ditunjukkan Kastagethek. Ia tak memerlukan ideologi revolusioner seperti di partainya untuk berbagi dengan sesama manusia.

Ah, saya harus menghentikan cerita sampai di sini saja. Anda lebih baik membacanya sendiri. Betapa gamblangnya penggambaran penulis akan suasana pedesaan di Desa Pegaten. Bagaimana lika-liku Karman, terutama saat sudah keluar dari pengasingan dan bertemu dengan Marni (istrinya) yang sudah bersuami Parta. Dan bagaimana Karman memulai kehidupannya saat dipercaya membuat kubah masjid. Salam!



Surabaya, 7 Maret 2012

0 komentar:

 
© Copyright 2035 godongpring