Senin, 26 Maret 2012

Tuhan, Saya Izin Korupsi

Oleh : Nanang Fahrudin

(Dimuat di SINDO Jawa Timur tanggal 26 Maret 2012)

Sejak dikukuhkan menjadi sebuah negara berdaulat, Indonesia tak mengizinkan warganya tak mengimani Tuhan. Sila pertama Pancasila “Ketuhanan Yang Maha Esa” membuktikan itu. Sampai-sampai pada salah satu kolom di kartu tanda penduduk (KTP) tertera agama pemegang KTP.

Kenapa harus beragama?. Tentu agar tercipta keteraturan kehidupan, yang pada akhirnya akan menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang besar. Tapi benarkah sudah demikian?. Pertanyaan-pertanyaan “nakal” pun berdatangan. Apakah bangsa yang ber-Tuhan telah menjadi bangsa besar?. Apakah masyarakatnya suka tolong menolong, tidak mencuri, mengambil hak orang lain, tidak mengkorup uang negara?.

Mungkin kita tidak perlu langsung menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas. Tapi mari kita amati apa yang terjadi di sekeliling kita. Ketika seseorang dinyatakan bersalah dan melakukan korupsi, apakah dia tidak beragama?. Kalau dia beragama, bukankah Tuhan melarang umatnya mencuri?.

Jangan-jangan tanpa sadar, kita mengiyakan bahwa agama dan kehidupan sosial ini terputus. Artinya agama berada di wiliayah suci (yakni di masjid, gereja, pura, atau tempat suci lain), sedang dunia ini berada di sisi lain yang kotor alias tidak suci lagi. Dunia ya dunia, agama ya agama.

Dikotomi semacam itu sebenarnya tak lepas dari pemaknaan seseorang akan Tuhan. Penafsiran akan Tuhan termanifestasi pada perbuatan manusia yang kemudian membentuk pola kehidupan sosial, politik, ekonomi sebuah masyarakat. Memaknai Tuhan bukan berarti mengenali esensi Tuhan, karena esensi Tuhan tidak pernah bisa tercapai dengan manusia yang serba terbatas. Sederhananya adalah yang terbatas tidaklah mungkin mengetahui “Sesuatu Yang Tak Terbatas”. Manusia hanya bisa mengenali Tuhannya dengan tanda, yang tanda itu merujuk pada “Adanya” Tuhan. (Audifax, Semiotika Tuhan, 2007).

Dalam sejarah Islam, cara memaknai Tuhan membentuk sebuah aliran teologi, yang pada kemunculannya juga dipengaruhi kondisi sosial, politik waktu itu. Kita bisa menyebut di antaranya kelompok Jabariyah, Qodariyah, Khowarij, Mur’jiah, Asy’ariyah dan seterusnya. Kelompok-kelompok ini mempunyai pemaknaan berbeda terhadap Tuhan.

Nah, beragama adalah sebuah sikap dan keyakinan terhadap keberadaan Tuhan, lalu menerjemahkannya dalam perilaku sehari-hari. Jika dia politisi, maka penerjemahan berkeyakinan atas Tuhan itu adalah kepada rakyat, di gedung dewan, atau di partainya. Jika dia seorang ibu, maka penerjemahannya adalah kepada keluarganya, dan seterusnya dan seterusnya. Tentu saja perilaku itu akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan sekaligus kepada “yang diterjemahi” tersebut. Di sinilah keselarasan hubungan dengan Tuhan dan hubungan dengan manusia.

Kembali ke soal korupsi yang begitu sulit dihilangkan dari negeri ini, kita perlu bertanya ulang. Apakah korupsi tidak dilarang agama?. Apakah korupsi bukan perbuatan mencuri?. Jangan-jangan UU nomor 31 tahun 1999 tentang Tipikor tidak selaras dengan “hukum” dalam sebuah agama?. Atau (pertanyaan “nakal” lagi) apakah sudah tak ada hubungan antara mencuri dengan mempercayai Tuhan?.

Perilaku koruptif, secara sederhana bisa dimaknai sebagai sebuah perilaku yang berpotensi membuat kerugian keuangan negara, sekecil apapun. Makna lebih luasnya adalah perilaku yang berpotensi merugikan orang lain. Ketika iman hanya dimaknai sebagai ritual di masjid, gereja, atau tempat ibadah lainnya maka iman dan perilaku koruptif tak ada hubungannya.

Di catatan ini, saya bukan hendak menjawab semua pertanyaan di atas. Tapi mari kita bertanya pada diri kita sendiri, dan mencoba menjawabnya. Apakah negeri Indonesia yang mengklaim sebagai negara beragama dengan masyarakatnya yang religius, tak ada pejabatnya yang korup?.

Ah entahlah. Buktinya banyak koruptor ditangkapi, dan lebih banyak yang belum ditangkap. Mungkin saja para koruptor (yang semuanya mengaku sebagai orang beragama) itu sebelum melakukan tindak pidana korupsi berujar: Tuhan, saya izin korupsi. Hasil korupsi akan saya gunakan sebaik-baiknya untuk memuliakan keluarga saya, yang mereka juga hamba-Mu. (Wallahu A’lam)

0 komentar:

 
© Copyright 2035 godongpring