Minggu, 12 Agustus 2012

Mengakrabi Ketidakberesan


Oleh Nanang Fahrudin

Negeri ini sedang bergembira. Dua lembaga penegak hukumnya sedang sibuk mengusut kasus dugaan korupsi alat simulator SIM. Sebagai warga negara yang baik, bolehlah kita senang melihat dua lembaga berlomba-lomba menyidik kasus besar. Dua lembaga tak lain adalah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

“Kan lucu, dua lembaga menyidik satu kasus yang sama, tersangka juga sama?,” kata seorang kawan. Ah, apanya yang lucu, kataku. Banyak kelucuan lain yang tak kalah heboh, namun luput dari penghilatan kita. Dan kelucuan itu pun menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja.

Kawanku tetap saja marah. Katanya, hukum telah ditumpangi politik. Fenomena cicak vs buaya terulang kembali. Ada sebuah skenario besar untuk menumpulkan pisau KPK yang semakin hari semakin tajam. Ini bukan lagi murni hukum. Apalagi ada kabar, salah satu menteri akan menjadi tersangka. Pasti ada parpol yang panas dan membuat move politik untuk menggagalkannya.

“Sebaiknya kita bisa mengakrabi ketidakberesan di negeri ini,” kataku. Karena mungkin itu salah satu cara kita menikmati hidup di negeri ini. Kalau kita tidak bisa akrab dengan ketidakberesan, maka kita hanya akan menjadi generasi frustasi. Sederhananya, biarkan KPK-Polri ribut, toh harga pendidikan tetap saja tinggi, harga beras terus naik, dan harga BBM tak mungkin turun.

Ketidakberesan demi ketidakberesan itulah yang sedang terjadi di negeri ini. Apa yang terjadi antara KPK dengan Polri adalah satu di antara sekian ketidakberesan. Orang yang dikenal dekat dengan Presiden, diduga terlibat menyuap. Politisi yang dulu sering nongol di televisi berkampanye anti korupsi, ternyata ditangkap KPK gara-gara kasus korupsi. Pendidikan yang menekankan kejujuran, ternyata banyak ditemukan penyimpangan anggaran.

Jika kita urai lagi ketidakberesan ini, maka akan panjang membentang. Negeri dengan sumberdaya alam cukup melimpah, hanya menjadi negara konsumen belaka. Lihat saja, berapa sepeda motor yang seliweran di jalan raya, tak ada satu pun hasil produksi dalam negeri.

Atau, mari kita mengamati hal-hal kecil di sekitar kita. Ketika masyarakat desa mengeluhkan irigasi pertanian yang tidak ada, akan sangat sulit mewujudkan solusi. Tapi ketika sebuah gang menuju rumah pejabat rusak, maka sangat mudah untuk merealisasikan pembangunannya.

Oleh karena itu, mari kita mengakrabi ketidakberesan di negeri ini. Sebagai warga negara, kita memang sedang diajak menjadi warga yang “tidak beres”. Kalau mau cepat mengurus admistrasi, lewatlah jalur khusus. Jika ingin masuk sekolah favorit, bayarlah uang sumbangan paling tinggi. Dan jika kita menjadi orang yang “beres” maka, kejengkelan demi kejengkelan akan menghantui diri kita.

Sayang, sebagai makhluk Tuhan, kita dituntut menjadi orang yang “beres”. Sehingga, kita harus siap dengan kejengkelan demi kejengkelan yang ada di negeri ini. Dan kita bisa melawan dengan cara-cara yang beres. Salam!.

0 komentar:

 
© Copyright 2035 godongpring