Minggu, 22 Juli 2012

Sastra dan Sebaris Pertanyaan Tentangnya

Oleh: Nanang Fahrudin

Kenapa menyukai sastra?. Seberapa pentingkah sastra bagimu?. Dua pertanyaan ini, beberapa waktu terakhir sengaja saya sodorkan kepada orang-orang dekat. Mereka ada yang sebelumnya memang sudah menyukai sastra, tapi ada juga yang tidak menyukai sastra sama sekali.

Jawaban mereka beragam. “Saya suka sastra karena bahasanya yang indah” jawab seseorang. “Saya tak suka sastra. Sastra itu hanya angan-angan, bukan kenyataan.” yang lain menjawab. Ada pula yang menjawab “Saya sejak dulu tak suka sastra. Sastra hanya pembodohan, karena bercerita tentang percintaan saja. Sangat menjemukan,” kata seorang kawan yang lain lagi.

Saya pun sebenarnya memiliki pertanyaan serupa untuk diri saya sendiri. Seberapa pentingkah sastra bagi saya?. Dan baru satu jawaban yang saya temukan, yakni sastra mampu membantu memahami gerak dunia. Dan sebagai pembaca sastra, saya lebih senang menyandingkan sastra dengan ilmu sosial-budaya masyarakat.

Tapi, apa sebenarnya sastra itu? Dalam buku “Kebenaran dan Dustra dalam Sastra”, Radhar Panca Dahana (2000) mengungkapkan sastra adalah dusta. Karena sastra lahir dari suatu kreasi imajinasi seseorang. Sastra menjadi “dusta” saat ia dinisbatkan harus memiliki standar logis. Tapi jangan lupa, dustra dalam sastra menjadi sebuah standar unik untuk menyingkap kebenaran.

Sastra memang bukan laporan jurnalistik yang selalu berpijak pada fakta dan wawancara. Tapi sastra adalah menyingkap kebenaran sosial-budaya masyarakat, dan menunjukkan kebenaran adanya ketidakadilan. Sastra terkadang bisa lebih tajam mengungkap borok penindasan. Bahkan, karya sastra bisa meneropong masa depan manusia, yang baru terbukti pada puluhan atau ratusan tahun setelahnya.

Ketika Multatuli menulis Max Havelaar, betapa marahnya ia sebagai penulis melihat penindasan pada masa penjajahan Belanda di bumi Banten Selatan. Gambaran penindasan itu tercermin salah satunya dari kisah Saijah dan Adinda yang ada dalam buku tersebut. Kesukaran hidup yang dialami Saijah dan Adinda bisa jadi lebih mengena, dibandingkan dengan catatan sejarah resmi tentang penjajahan Belanda di Indonesia.

Demikian juga ketika Jules Verne (lahir 1828) menulis “Berkeliling Dunia di Bawah Laut”. Saat itu belum ada penelitian tentang kapal selam yang mampu menembus laut es dan sampai ke kutub utara. Tapi karya Jules tentang kapal bernama Nautilus milik Kapten Nemo sudah mampu melewati semuanya. Dalam novelnya, kapal selam Nautilus itu dinilai terlalu canggih untuk masanya.

Dan hampir 100 tahun setelah novel itu terbit, angkatan laut Amerika Serikat akhirnya membuat sebuah kapal selam yang diberi nama Nautilus, lengkapnya USS Nautilus SSN-571. Kapal selam ini mulai diluncurkan pada 21 Januari 1954. Dan pada 3 Agustus 1958 USS Nautilus berhasil mencapai Greenland dengan waktu tempuh 96 jam dan berlayar sejauh 1.590 mil. Kapal selam ini pun dinyatakan sebagai kapal selam pertama kali berhasil berada pada titik 90ยบ, titik pusat Kutub Utara.

Lalu, pentingkah sastra?. Saya lebih senang menjawab “ya”. Dan anda boleh menjawab “tidak”. Tapi yang terpenting adalah, banyak kalangan yang belum mengetahui apa itu sastra. Para siswa sekolah banyak yang belum mengerti tentang sastra, terlepas nanti mereka menyukai sastra atau tidak.

Pada titik inilah sebenarnya peran penting guru mata pelajaran (mapel) Bahasa dan Sastra Indonesia untuk mengenalkan sastra kepada para siswa. Para siswa seyogyanya tak sekadar mengetahui sastra, melainkan memahami sastra sebagaimana ia memahami ilmu fisika, kimia, sejarah, matematika dan sederet mapel lainnya. Sastra bukan milik segelintir orang, tapi sastra adalah milik semua masyarakat.

Seberapa pentingkah sastra bagimu?. Mari kita sama-sama mencari jawabannya. Salam!.

Penulis adalah Redaktur Pelaksa (Redpel) blokBojonegoro.com dan Koordinator GusRis Foundation

0 komentar:

 
© Copyright 2035 godongpring