Minggu, 01 Juli 2012

Kopi Warung Lubang Dinding

(Kopi oh Kopi Bagian 5)

Oleh: Nanang Fahrudin

Lama sekali aku tak masuk kampus. Setelah lulus dari Unmuh Malang tahun 2002, hanya satu dua kali saja aku masuk kampus. Paling saat tahun-tahun awal lulus, ketika hendak mengurus legalisir ijazah untuk melamar kerja. Dan setiap kali masuk kampus lagi, aku selalu merasa kampus adalah tempat yang sungguh menyenangkan.

Aku masih ingat ketika ikut di Teater Sinden, dan harus latihan malam-malam di lapangan basket. Semua duduk dengan posisi melingkar, bersila, diam, memejamkan mata, mendengarkan suara apa saja, merasakan angin yang menyapa kulit. Atau ketika ruang kuliah dipindah dari lantai tiga ke lantai enam, aku harus setengah berlari saat naik tangga agar tak ketinggalan. Nafas selalu ngos-ngosan saat berlari. Sesampai di kelas, aku masuk dan “Maaf pak saya terlambat”. Maklum waktu itu belum ada lift seperti yang sudah ada di kampus Unmuh sekarang.

Aku juga masih ingat, ketika selain jadi mahasiswa, aku dan beberapa teman membuka warung di kawasan Sengkaling, tak jauh dari lokasi wisata Sengkaling. Jam lima pagi, aku harus mengendarai motor meluncur dari tempat kos di Tirto Utomo menuju Pasar Dinoyo, samping kampus Unisma. Di pasar, aku belanja cabe, wortel, lele, brambang, telur, dan entah apa lagi, aku sudah lupa.

Semua belanjaan itu kami masak sendiri, dan saat warung buka, kami harus melayani pembeli. Melayani maksudnya kalau pesan es teh, aku harus menyiapkan. Kalau pesan telur penyet, aku akan menggoreng telur. Kalau pembeli minta nasinya dibungkus, maka aku membungkus nasi itu dengan kertas minyak. Dan semua terasa menjemukan saat itu, tapi menyenangkan diingat saat ini.

Semua ingatan itu tiba-tiba saja hadir kembali saat aku masuk ke kampus. Tapi, kali ini bukan masuk kampus Unmuh Malang, melainkan kampus IAIN Surabaya. Dan seperti sudah kubilang, bahwa aku menyukai masuk kampus. Bagiku kampus adalah tempat yang menyenangkan.

Dan sekarang, aku sedang duduk di salah satu sudut kampus IAIN. Aku tak tahu apa tempatku duduk ini bagian belakang, atau di bagian pojok kampus. Dan memang itu tak begitu penting. Karena yang penting, dan ingin kuceritakan kepada anda pembaca, bahwa aku duduk di kursi yang dipaku sekenanya. Di depanku ada meja triplek yang sudah bolong di sana-sini. Laptopku kutaruh di atasnya, dan aku mulai mengetik tulisan ini.

Aku duduk dengan santai sambil bersandar tembok. Di sebelah kananku, ada rumpun bambu yang kehilangan bambunya dan menyisakan tunas-tunasnya saja. Di tembok belakangku ada tulisan di papan kecil “Bambu Keramat”. Mungkin hendak menunjuk para bambu di sebelah kananku.

Aku duduk sendirian menunggu seorang kawan. Tapi sendirian terkadang beda dengan merasa sendirian. Orang yang merasa sendirian, akan selalu sendiri meski berada di kerumunan. Dan sebaliknya, aku selalu merasa tidak sendiri meski sedang tidak ada orang lain menemaniku. Memang dari tempatku duduk, ada mahasiswa yang berlalu lalang. Tapi tak ada yang kukenal, jadi tak ada yang kusapa.

Aku merasa tidak sendirian, karena aku ditemani kopi. Kopiku selalu indah. Awalnya aku tak melihat ada warung di sekelilingku, sampai akhirnya aku melihat ada seorang perempuan tua yang menyembulkan badan bagian atasnya dari lubang berbentuk kotak. Lubang itu posisinya agak tinggi karena berada sejajar di atas pagar kampus. Lubang itu adalah rumah yang bagian dindingnya sengaja dijebol, sepertinya khusus untuk melakukan transaksi. Dan rumah yang dindingnya dijebol itu berada di luar pagar kampus.

“Kalau piring atau gelasnya sudah selesai dipakai pembeli, Mak akan turun dengan tangga dan mengambilnya,” kata seorang kawan. Mak adalah perempuan tua tadi. Dia adalah pemilik “warung lubang dinding” itu.

Kopi mulai kunikmati. Enak rasanya. Aku lantas berpikir, kopi selalu punya cerita. Tak salah jika Multatuli menulis Max Havelaar dengan tokoh akunya adalah makelar kopi. Bukti lain adalah Filosofi Kopi buah karya Dee. Ya, kopi selalu inspiratif. Tapi aku bukan seperti penulis-penulis hebat itu, karena aku hanya menyukai kopi dan membuat catatan-catatan kecil tentangnya. Kalau aku bisa menulis puisi, mungkin aku akan menulis puisi yang khusus kupersembahkan untuk kopi. Sayang, aku tak begitu bisa menulis puisi.

Kalau aku menawarkan sebuah gagasan tentang kopi kepada anda, kira-kira menarik ndak ya?. Gagasan yang kumaksud begini. Bagaimana seandainya kita (aku dan anda pembaca), yang suka kopi tentunya, membuat sebuah tempat sentra kopi. Tapi bukan pabrik kopi, atau kebun kopi. Melainkan membuat sebuah “kampung” yang semua daya kreasi bertema kopi tumplek blek di sana. Ada warung kopi, ada outlet menjual kaos bertema kopi, gerai menyediakan souvenir tema kopi, hingga desain aristektur rumah bertemakan kopi. Ya, ibaratnya jika seseorang masuk ke kampung itu, maka serasa masuk ke kampung kopi. Kampung kopi yang semuanya bertema kopi.

Kenapa kopi?. Jawabanku sederhana saja. Karena kebetulan aku menyukai kopi. Soal apa dan bagaimana kopi, tak ada salahnya kita mampir ke http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_kopi. Di laman ini disebutkan kopi pernah diharamkan bagi agama Kristen, kopi dilarang oleh negara karena menjadi tempat makar, dan segudang cerita tentang kopi sejak tahun sebelum masehi.

Ah, lebih baik kuakhiri tulisan ini. Kawanku sudah menjemputku. Meski aku masih ingin melanjutkan menulis tentang kopi, tapi laptop ini harus segera kututup. Kopi yang tinggal sedikit kunikmati lagi. Kawanku membayar kopi dan nasi pecel kami. Perempuan tua kembali muncul di lubang dinding yang posisinya lebih atas dari kami. Sehingga, saat bicara dengannya, kami harus mendongakkan kepala. “Suwun mak,” kata kawanku. Dan kami pun meninggalkan gelas kopi itu sendirian.

Surabaya, 20 Juni 2012

0 komentar:

 
© Copyright 2035 godongpring