(Sebuah pengalaman bersama peserta Kelas Menulis)
Oleh: Nanang Fahrudin
Pernahkah kau menikmati kopi yang dilumuri cahaya rembulan?. Sekadar memberitahu saja, aku pernah. Dan baru kemarin malam. Kopiku berdiri di tengah tanah lapang yang bisa untuk bermain bola. Dan sesekali api lilin yang sedang bermain-main dengan angin malam menjilatnya. Kopiku menjadi lebih nikmat oleh semuanya.
Kopiku tidak sendirian. Di sampingnya berderet gelas-gelas berisi kopi. Gelas itu ada yang dipegang, ada yang terguling, ada yang kosong lalu diisi lagi dari ceret, dan ada yang tetap dihuni kopi sebelum ada mulut yang mendekatinya dan memindahkan semuanya dari gelas menuju perut.
Dan satu lagi. Kopiku lain dari kopi yang selama ini kunikmati. Karena kopiku berada jauh dari kota Bojonegoro. Tepatnya 50 kilometer dari kota. Kopiku berdiri di antara bukit dan jalan terjal. Kopiku terselip di antara rumah-rumah kecil yang ditata tak beraturan, menyesuaikan bentuk alam pegunungan yang tak rata.
Ya, segelas kopi itu berada di Dusun Tadahan, Desa Krondonan, Kecamatan Gondang, masuk wilayah selatan Kabupaten Bojonegoro. Segelas kopi yang dilumuri cahaya rembulan menjadi nikmat sekali. Apalagi menikmati kopi bersama dengan 25 orang peserta Workshop Menulis yang digelar Sindikat Baca bersama Yayasan Peran Indonesia. Ah, kopi yang indah.
Jika kau terbiasa minum kopi di kafe semacam Starbuck atau warung kopi semacam Mak Bah, ah…semua terasa kecil saat itu. Dan kopiku yang dilumuri cahaya rembulan menjadi sungguh istimewa. Dari tempatku duduk menikmati segelas kopi, aku bisa melihat pucuk bukit Atas Angin yang hitam, bisa menunjuk ke arah Gunung Pandan yang diselimuti malam, dan merasakan air terjun yang lokasinya tak jauh.
Segelas kopi menemani malam kami hingga larut. Udara dingin tak kami hiraukan, kopi telah mengusirnya jauh-jauh. Sambil menikmati kopi dan air putih, kami saling bercerita tentang membaca dan menulis. Tentang gerakan membaca di Bojonegoro yang terus kami suarakan.
“Aku selalu dilarang membaca oleh ibuku, karena mataku minus. Tapi aku tetap membaca. Biasanya di wc. Kalau habis membaca buku kuselipkan di baju,” kata salah satu peserta Workshop Menulis yang berkacamata.
“Kalau aku awalnya tak suka membaca, apalagi menulis. Tapi aku sekarang selalu ingin membaca,” kata peserta lain lagi.
“Aku suka membaca koran, lalu kalau ada teman butuh kliping koran biasanya minta ke aku. Tapi dia kusuruh bayar. Terus aku dapat uang,” sambung yang lain.
“Awal aku menulis dan dimuat di koran, ibuku sangat senang. Sekarang aku malah dikasih uang lima puluh ribu tiap bulan oleh ibuku untuk beli buku,” tutur peserta yang tulisannya pernah di muat di media massa.
Kami seakan semakin diakrabkan oleh cerita-cerita kami tentang pengalaman membaca dan menulis. Ada yang sedang membaca karya Pramoedya Ananta Toer, ada yang menyukai Sang Alkemis karangan Paulo Coelho. Dan ada pula yang bercerita tentang kecintaannya membaca sampai dilarang oleh Kyainya lantaran buku-buku yang dibaca terlalu liberal.
Cerita-cerita itu melebur dengan udara yang kami hirup melalui hidung, dan memenuhi paru-paru kami. Cerita itu pun menjadi bentangan lukisan abstrak tentang dunia membaca di Bojonegoro. Dan ternyata, masih banyak keluarga yang tak begitu bersahabat dengan aktivitas membaca. Bagi sebagian keluarga, membaca tak bisa mengangkat seseorang secara ekonomi.
Ah, aku sampai lupa dengan kopiku, kopi yang dilumuri cahaya rembulan. Gelas kuisi lagi dengan kopi. Malam semakin larut. Kokok ayam terdengar bersahut-sahutan. Udara semakin dingin. Sebagian pindah ke ruang kelas SMPN 2 Krondonan yang disulap jadi kamar tidur, dan sebagian merebahkan diri di atas tikar di tanah lapang.
Dan malam pun berlalu dengan cerita-cerita tentang membaca dan menulis yang masih memenuhi pikiranku. Dan kopiku, ya kopiku di mana dirimu?. Salam.
Bojonegoro, 11 Juni 2012
Selasa, 12 Juni 2012
Browse » Home »
Esai Warung Kopi
» Kopi oh Kopi (Bagian 4)
Kopi oh Kopi (Bagian 4)
Label:
Esai Warung Kopi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar