Senin, 02 April 2012

Lampu Merah Cap Indonesia

Oleh : Nanang Fahrudin
(Dimuat di Harian Seputar Indonesia edisi Jawa Timur Senin 2 April 2012

Jika ditanya ke mana bisa belajar mengenali negeri ini dengan mudah, mungkin salah satu jawabannya adalah di traffic light atau kita biasa menyebutnya lampu merah. Lho kok?. Ya. Kalau tak percaya mari kita berhenti sejenak dan mengamati lampu merah yang banyak dipasang sebagai rambu lalu lintas jalan raya.

Ibarat negara, area lampu merah adalah negara itu. Di mana masyarakat setiap saat berkumpul di sana meski dalam waktu yang singkat. Lampu tiga warna adalah undang-undang yang harus ditaati oleh warga yang melintas. Merah adalah berhenti, kuning adalah hati-hati, dan hijau berjalan. Aturan tersebut mengandaikan sebuah keteraturan.

Dan apa benar sudah teratur?. Mari kita tidak langsung menjawab, namun mengamati dulu saja. Perilaku warga di lampu merah ternyata sangat beragam, persis beragamnya perilaku sosial, perilaku politik, perilaku ekonomi, perilaku hukum, dan berbagai perilaku dalam bernegara. Mungkin di lampu merah “kreativitas” perilaku warga itu lebih jelas terlihat.

Kalau hendak diklasifikasi, ada lampu merah yang sangat ketat di mana di tempat tersebut ada pos polisi, beberapa personil polisi berjaga dan membawa surat tilang. Hampir semua warga yang melintas tak berani melanggar aturan berlalu lintas. Bahkan jarang yang sampai melewati garis tengah warna putih itu.

Tapi, ada juga lampu merah yang “longgar”. Biasanya tak ada polisi berjaga, dan memang jarang ada surat tilang dikeluarkan di tempat tersebut. Nah, warga yang melintas biasanya hanya memperlambat laju kendaraan, lalu tengok kanan-tengok kiri. Saat dirasa aman, maka lampu merah bukan lagi bermakna harus berhenti.

“Kreativitas” warga yang melintasi lampu merah pun bisa bermacam-macam. Semakin sering seseorang melintasi lampu merah, maka ia akan semakin memahami seluk-beluk di lampu merah itu. Ia bisa membedakan mana lampu merah yang bisa diterobos, mana yang tidak bisa. Atau pada jam berapa lampu merah itu aman untuk dilanggar, dan pada jam berapa lampu merah itu wajib ditaati. Pada akkhirnya terciptalah sebuah keteraturan dalam ketidateraturan.

Nah, realitas di lampu merah itu bukankah mirip dengan negeri ini berjalan?. Para pejabat yang mengurus negeri ini sangat tahu mana pos-pos anggaran-mulai level pusat sampai daerah-yang bisa dikorupsi, dan mana pos yang tak bisa dikorupsi. Lalu kapan waktu aman untuk beraksi, dan kapan waktu untuk berdiam diri. Tentu, tergantung pada pejabat tersebut ingin menaati undang-undang, atau memilih melanggarnya. Jika melanggar dia bisa mendapatkan cukup uang, mirip ketika kita menerobos lampu merah maka akan bisa cepat sampai di tujuan. Risikonya, kalau ketahuan akan ditilang.

Untuk urusan melanggar UU korupsi, Gayus Tambunan adalah satu contoh yang tepat. Ia sangat tahu bagaimana memanipulasi pajak. Misalnya dengan cara bermain kurs rupiah. Hasilnya wajib pajak hanya wajib membayar pajak kecil dari yang seharusnya. Gayus pun menginspirasi Dhana Widyatmika yang beraksi juga saat menjadi pegawai Ditjen Pajak. Dan mungkin sebenarnya di negeri ini banyak Dhana-Dhana lain yang terinspirasi Gayus.

Perilaku itu, kalau kita amat-amati juga hampir mirip ketika seseorang melintas di lampu merah. Mungkin awalnya ia sangat taat aturan, berhenti saat lampu berwarna merah. Tapi lama kelamaan, ia terinspirasi oleh warga lain yang seenaknya saja menerobos. Lama-lama melanggar lampu merah pun menjadi kebiasaan. Seperti perilaku korupsi yang sudah menjadi kebiasaan di negeri ini.

Dalam sebuah survei tahun 2010 yang dilakukan oleh Political & Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hong Kong, Indonesia menjadi negara terkorup se-Asia Pasifik. Dari 16 negara yang disurvei Singapura adalah negara paling bersih alias paling tidak korup dan Indonesia menempati posisi paling jelek.

Dan entah ada hubungannya atau tidak, keteraturan berlalu lintas di Singapura terkenal sangat bagus. Ketertiban lampu merah tak hanya untuk para pengendara motor atau mobil, melainkan juga untuk pejalan kaki. Saking tertibnya lampu merah di sana, jarang sekali terlihat ada polisi di pojok jalan, atau di tikungan. Aturan lalu lintas itulah penjaga ketertiban itu.

Ya, urusan lalu lintas sebenarnya bukan hanya soal kelancaran kendaraan di jalan raya. Tapi juga persoalan penegakan aturan dan bagaimana beretika di ruang publik. Boleh jadi jalan raya adalah negara (dengan huruf n kecil).

Saat semua kendaraan melaju dengan tertib, ada sebagian kendaraan yang main potong kompas, mendahului ke kanan yang seharusnya digunakan untuk kendaraan dari arah berlawanan. Pada akhirnya realitas yang terjadi banyak kendaraan yang berjalan pelan dengan tertib aturan, tapi banyak kendaraan yang melaju kencang tanpa menghiraukan aturan. Salam!.

Atau klik di : http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/482603/

1 komentar:

Dili Istimora Eyato mengatakan...

Betul mas Nanang. Semoga, negara lampu merah ini tak berkelanjutan. Mari tanamkan kreativitas positif, saat akan, sedang maupun setelah melewati lampu merah. Bukan kreativitas untuk selalu menerobosnya.

 
© Copyright 2035 godongpring