Kamis, 22 Desember 2011

Tentang Sebuah Kemesraan

CATATAN PERJALANAN KE SINGAPURA (bagian 2-habis)


Pagi begitu dingin. Matahari terlambat datang setelah terhalang mendung. Tapi waktu tetap berjalan ke depan, tak peduli mendung, tak peduli matahari. Manusia tak lagi melihat perubahan alam untuk menentukan waktu. Karena cukup dengan jarum jam di dinding, lengan, atau di layar ponsel. Mereka yakin, itulah waktu yang sebenarnya.

Dari kaca jendela kamar hotel lantai enam, saya melihat orang-orang sudah mulai beraktivitas. Bukan orangnya yang tampak oleh mata saya, melainkan payung bulat yang menutupi kepala-kepala mereka dari rintik hujan yang mulai turun. Payung-payung itu bergerak, menyusuri pedestrian Orchard Road yang begitu lebar.

Jadwal pesawat pukul 09.00 waktu Singapura memaksa kami segera bersiap-siap. Hari itu, Senin (14/11) kami harus kembali ke tanah air. Beberapa potong kaos, oleh-oleh untuk anakku sudah masuk ke dalam tas, agar tak tertinggal. Setelah semua siap, kami (saya dan kawan jurnalis dari Semarang) turun ke resto untuk sarapan.

Dasar lidah jawa, saya tidak begitu banyak makan. Makanan yang ada, selain namanya sulit diucapkan juga rasanya tak enak. Saya pun hanya mengambil dua sosis, telur mata sapi, dan beberapa potong …(entah apa namanya). Sengaja saya ambil minuman berupa susu segar, agar tubuh ini segar.

Saat makan, di meja samping kanan saya ada dua orang yang juga sedang sarapan. Mereka duduk berhadap-hadapan. Usia keduanya mungkin sudah 50-60 an tahun. Keduanya saling bercakap sambil sesekali mengunyah makanan. Saya tidak faham apa yang dibicarakan karena memakai bahasa China. Tapi dari raut wajah, saya bisa menangkap bahwa mereka begitu mesra. Sesekali mereka tertawa kecil. Dan sesekali saya melirik mereka.

Tak lama kemudian, ada seorang perempuan sekitar usia 20 an tahun. Mungkin dia anaknya. Sambil membawa kamera kecil, keduanya diminta duduk berdekatan, dan ‘klik’ kamera itu mengabadikan gambar kemesraan itu. Sebuah kemesraan yang begitu indah di usia yang sudah lanjut. Setelah beberapa jepretan, mereka melanjutkan makan dengan tetap terus tersenyum. Sang nenek mengusap-usap pipi suaminya saat bercerita. Tapi sekali lagi, sayang saya tidak bisa mengerti apa yang mereka bicarakan. Hanya kemesraan mereka yang bisa saya tangkap. Saya menangkap dengan mata dan hati saya.

Usai sarapan, kami langsung menuju loby hotel menunggu taksi yang akan membawa kami ke Bandara Changi. Tak sampai lima menit, taksi sudah datang siap membawa kami ke bandara. Jalanan Singapura begitu rapi, begitu bersih. Sesekali saya masih bisa melihat sepeda vespa di jalan. Dan pikiran saya ternyata masih tertinggal di resto hotel, melihat pasangan lanjut usia yang begitu mesra.

Lantas saya pun ingat saat berada di pesawat dari Jakarta ke Singapura. Saya duduk di kursi dekat jendela. Di samping saya ada dua orang (sepertinya dari China juga) yang usianya sekitar 50-60 an tahun. Keduanya begitu akrab. Kami tidak mengobrol, tapi kami saling melempar senyum, saat hendak duduk, dan saat hendak keluar pesawat. Ketika pesawat sedang terbang, mereka menawari saya permen. Tapi saya menolak dengan senyuman. Saya berpikir itu tawaran basa-basi yang harus saya tolak. Sang nenek membuka bungkus permen lalu diberikan ke sang kakek. Hmm…dunia sekitar saya memang sedang berdendang lagu kemesraan.

Lamunan saya berhenti saat taksi masuk ke Bandara Changi. Masuk ke bandara pemeriksaan petugas begitu ketat. Laptop harus dikeluarkan dari tas, sabuk harus diperlihatkan, dan kunci motor saya dipelototi karena (mungkin) terbuat dari logam. Baru saat semua beres, kami boleh masuk ke pesawat.

Entah kebetulan atau kenapa, lagi-lagi saya bertemu dengan sepasang manusia. Saya berada di kursi dekat jendela dan ada dua orang duduk di samping saya. Hanya saja, pasangan ini berbeda dari dua pasangan yang saya ceritakan tadi. Pasangan kali ini berasal dari Kanada. Saya membaca dari arrival card yang diisinya. Nama Minni asal Kanada lahir tanggal 3 Desember 1986. Sedang yang laki-laki saya tidak mengetahuinya.

Sepanjang perjalanan mereka tak henti-hentinya menebar kemesraan. Tapi entah kenapa kemesraan kali ini berbeda dengan kemesraan nenek-kakek itu. Pasangan di samping saya terus saja berpelukan, dan saya risih sendiri berada di samping mereka. Mereka juga berfoto bersama. Dan tawanya begitu keras tanpa malu didengar penumpang lain.

Saya pun akhirnya tak tertarik dengan mereka lagi. Ingatan saya masih saja pada dua pasangan usia lanjut, di resto hotel dan di pesawat Jakarta-Singapura. Semuanya berbicara dengan bahasa kemesraan. Tapi entah kenapa kemesraan yang masing-masing mereka tunjukkan begitu berbeda. Di manakah perbedaan itu?. Saya sulit menjelaskan ke anda. Ah, mungkin anda lebih mengetahui jawabannya.

Singapura 12-14 November 2011

Rabu, 21 Desember 2011

High Technology dan Soto Surabaya

CATATAN PERJALANAN KE SINGAPURA (bagian 1)



Oleh : Nanang Fahrudin


Sabtu 12 November 2011. Pesawat Lion Air JT 573 terbang dari Bandara Juanda Surabaya ke Bandara Soekarno-Hatta Jakarta yang dilanjut dengan pesawat lain ke Bandara Changi Singapura. Pesawat pertama menempuh waktu 55 menit, dan pesawat kedua butuh waktu 1,25 jam untuk terbang.

Setelah mendapat masalah kecil karena tas milik seorang kawan tak ditemukan saat mendarat di Bandara Changi, akhirnya kami meluncur menuju Mandarin Orchard Hotel di kawasan Orchard Road. Tentu saja kami meluncur setelah membuat laporan kehilangan tas ke petugas bandara.

Malam baru saja dibasahi hujan. Lalu lintas jalanan kota di Singapura begitu tertib. Polisi jarang berdiri di pinggir jalan, karena rambu lalu lintas sudah begitu ditaati. Hampir 100% jalan raya dihiasi dengan mobil. Gedung-gedung menjulang tinggi seakan berkejaran saat saya lihat dari kaca jendela mobil yang membawa kami. Sopirnya orang India. Dia begitu bersemangat bicara. Dalam perjalanan tak henti-hentinya bercerita ini itu dengan seorang kawan jurnalis dari Brunai Darussalam. Sedang saya dan kawan dari Semarang duduk di belakang tanpa banyak bicara, karena tubuh terasa lelah sekali.

Sesampai di hotel, tak butuh waktu lama kami langsung menyantap makanan di restoran hotel. Tubuh begitu capek. Usai makan malam, kami langsung bergegas ke kamar 108, kamar yang disiapkan untuk kami. Di balik selimut, saya terlelap dengan nyaman. Mata baru terbuka saat pagi sudah mengetuk-ngetuk jendela dengan sinar matahari.

Keesokan harinya, kami berada di lantai 6 hotel bintang lima itu dan mengikuti seminar kesehatan. Seminar yang begitu asing bagiku, karena bertema tentang teknologi kesehatan yang begitu maju. Apalagi seminar menggunakan bahasa Inggris. Maklum, penguasaan bahasa inggrisku tidak begitu cantik.

Para pakar teknologi kesehatan di Singapura hadir di sini. Bisa dibayangkan ketika banyak pasien Indonesia ‘lari’ ke Singapura untuk memperoleh pelayanan kesehatan di sini, dan sekarang para dokter ahli itu sedang berbicara. Berbagai hasil teknologi kesehatan dibeber. Mulai alat yang menggantikan fungsi otot jantung. Otot yang tak lagi mampu memompa jantung bisa digantikan dengan alat itu, sehingga jantung tak sampai berhenti. Sebagian alat itu dipasang di dalam tubuh, sebagian disambungkan ke luar menyatu dengan dua baterai yang dibawa pasien.

Bahkan, ada teknologi kesehatan untuk mendesain bayi. Caranya, sel-sel yang tidak diinginkan oleh orang tua bayi bisa dibuang. Misalnya orang tuanya berambut keriting, dan orang tua menginginkan rambut lurus, maka sel itu diambil. Teknologi mendesain bayi ini memang masih menjadi perdebatan di dunia kesehatan, karena benturan etika. Meski pada mulanya teknologi ini adalah untuk mencegah bayi tertular penyakit semacam HIV/AIDS yang dibawa oleh sel telur dan sperma dari orang tuanya.

Saya memang begitu miskin akan pengetahuan teknologi kesehatan. Tapi tetap saja otakku langsung mengaguminya. Saya pun berpikir, bahwa teknologi memang sebuah keniscayaan di muka bumi. Dan teknologi akan membawa dunia ini pada sebuah puncak kehidupan manusia yang selalu bertanya. Teknologi menjadikan semuanya seakan serba mungkin, salah satunya menunda jantung berhenti berdetak. Satu hal lagi, teknologi sebagai anak modernitas telah menjadi penguasa di dunia ini.

Tapi benarkah teknologi membawa kesejahteraan?. Menjawab itu memang tidak mudah. Sejak zaman Karl Marx, teknologi dinilai menjadi penyebab menurunnya derajat manusia menjadi sama dengan benda. Manusia dipaksa bersaing dengan kemampuan teknologi dalam hal memproduksi barang. Ah, entahlah kok ngelantur ke sana.

Lebih baik saya tidak berbicara soal makna teknologi. Karena saya sendiri bingung antara mengagumi teknologi atau membencinya. Kagum karena begitu hebatnya mengatasi setiap persoalan yang dihadapi manusia. Benci karena teknologi telah merenggut sisi-sisi kemanusiaan manusia. Teknologi selalu hadir tanpa disertai etika. Teknologi hadir dalam bentuk yang sama di manapun berada.

Daripada bingung, saya dan dua orang kawan berjalan keluar hotel. Malam kembali dibasahi hujan deras. Orang-orang berlalu lalang dengan membawa payung. Kami berjalan ke Lucky Plaza yang berjarak sekitar 100 meter dari hotel. Masuk plaza perut mulai keroncongan. Di pojok terpampang tulisan ‘Soto Surabaya’. Aku pun memesannya dan menyerahkan uang 4 dollar Singapura. Lumayan, perut kenyang dan tak lagi pusing dengan teknologi tadi. Dan ternyata ‘rasa lokal’ tetap saya cari saat berada di luar negeri..hmmm.

Singapura, 12-14 November 2011

Minggu, 11 Desember 2011

YANG MUDA, YANG KREATIF?

Oleh: Nanang Fahrudin
(Dimuat di Harian Seputar Indonesia Edisi Jatim 11 Desember 2011)

Membolak-balik halaman buku, mencoba mengenal para tokoh pergerakan nasional pra kemerdekaan. Saya pun ‘bertemu’ dengan sosok Tirto Adhi Soerjo (1880-1918), Bapak Pers Nasional. Di usia 23 tahun, Tirto mendirikan koran yang diberi nama ‘Soenda Berita’. Dan pada usia 25 tahun ia mendirikan ‘Medan Prijaji’ yang di kemudian hari disebut sebagai media pertama dengan pengelola orang-orang pribumi.

Selain Tirto Adhi Soerjo, ada sejumlah nama besar yang ikut mewarnai sejarah bangsa ini. Mereka semua berkiprah pada usia muda. Sebut saja Soekarno (1901-1970) sang proklamator republik ini. Pada usia 25 tahun Bung Karno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung. Menginjak usia 28 tahun ia mulai merasakan hidup di penjara dan menulis pledoi ‘Indonesia Menggugat’.

Semaoen (1899-1971) sebagai tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah mulai berkiprah di dunia pergerakan pada usia 14 tahun. Saat itu ia masuk di Syarikat Islam (SI) dan usia 19 tahun memimpin SI Semarang. Jenderal Sudirman, pahlawan yang aktif di Hizbul Wathan Muhammadiyah diangkat menjadi panglima dan jenderal pada usia 31 tahun. Sedang pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan (1868-1923) memutuskan menimba ilmu di Mekkah pada usia 15 tahun karena merasa resah akan akhlak bangsa.

Dari membolak-balik buku dan mendapati tokoh masa lalu, saya mencoba mengenal para tokoh yang mewarnai kehidupan bernegara saat ini. Entah kenapa, eh.. ‘bertemu’ dengan Gayus Tambunan. Pejabat Ditjen Pajak ini menjadi begitu mewarnai wajah pemberantasan korupsi di tanah air. Di usianya ke-32, Gayus mampu ‘mengacak-acak’ sistem anti korupsi yang dibangun oleh negeri ini. waktu ditahan, dia bisa ke Singapura dan bisa nonton pertandingan tennis di Bali.

Kalau Anda ingin ‘mengenal’ Gayus pun sekarang tidak sulit karena tinggal klik: http://id.wikipedia.org/wiki/Gayus_Tambunan. Semua tentang Gayus bisa diketahui. Maklum, dia adalah salah satu ‘tokoh’ selain Jaksa Urip Tri Gunawan dan Malinda Dee.

Selain Gayus, saya ‘bertemu’ dengan Briptu Norman Kamaru (eh maaf sekarang tanpa Briptu). Mantan anggota Brimob ini kelewat terkenal di dunia artis sehingga memilih meninggalkan polisi. Norman memilih hengkang dari korps Polri karena ingin lebih serius menekuni dunia tarik suara.

Ya, Gayus dan Norman boleh jadi adalah inspirasi bagi remaja dan pemuda saat ini. Gayus berada pada kutub dunia birokrasi negeri ini yang terus dicoreng moreng oleh korupsi. Gayus membuktikan perilaku korupsi tak hanya dilakukan oleh para pejabat usia tua, karena ternyata pejabat usia muda pun (seperti Gayus) begitu ‘menikmati’ melakukan korupsi.

Sedang Norman adalah perwujudan keinginan jiwa muda yang menginginkan eksistensi di dunia hiburan yang begitu hingar bingar dan glamour. Anak-anak muda akan berpikir dua kali jika memilih hidup yang menjauh dari dunia konsumsi yang instan. Anak-anak remaja begitu asyik berdandan ala artis Korea, membikin boy/girl band, dan menjadikan diri mereka ‘sesuatu banget’. Dan memang inilah pilihan hidup anak muda dan remaja saat ini.

Memang, semua kembali pada persoalan pilihan hidup. Gayus memilih mengejar materi dengan caranya meski berakhir di penjara. Sedang Norman memilih keluar dari korps Polri untuk mengejar ketenaran. Tak ada yang salah dalam pilihan hidup, karena semua ada konsekuensinya. Dan ketika sebagian besar para remaja dan pemuda kita memilih jalan seperti Gayus ataupun Norman, kita juga bisa membayangkan ke mana bangsa ini melangkah.

Ah, sebaiknya saya membaca berita-berita di media massa (cetak maupun elektronik) agar tidak ketinggalan zaman. Eh, saya ‘bertemu’ dengan berbagai informasi tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang membidik rekening para PNS muda. Karena para PNS muda banyak yang memiliki rekening di luar kewajaran. Maksud saya tentu isinya yang kelewat banyak yakni miliaran rupiah.

Kawan saya mencolek bahu saya lalu berkata “dulu orang-orang muda berjuang memerdekakan bangsa dan mengusir penjajah. Sekarang orang-orang muda melanjutkan berjuang. Tapi berjuang dengan makna lain, yakni beras, baju, dan uang”. Saya pun menjawab santai “ah, tak semua seperti itu kok”.

Lalu saya membetulkan cara duduk dan memesan secangkir kopi. Kopi pahit yang terasa lebih nikmat. Salam.

Surabaya, 10 Desember 2011

Senin, 28 November 2011

PILIH BUKU DARIPADA UANG RP1 MILIAR

(Kisah Oei Hiem Hwie)



Dimuat di Harian Seputar Indonesia (SINDO) Jatim
Monday, 28 November 2011

Oleh : Nanang Fahrudin

KETIKA SINDO datang ke perpustakaan Medayu Agung,Oei Hiem Hwie duduk di mejanya, dan tangannya sibuk mengkliping berita koran. Di sekelilingnya buku dan klipingan koran menghiasi setiap sudut ruangan. ”Setiap kali kita membaca buku, kita sedang berdialog dengan penulisnya,” kata Pak Oei.


Buku telah menjadi bagian hidup Pak Oei. Hampir setiap langkah hidupnya selalu bergelut dengan buku. Kini Yayasan Medayu Agung menampung semua buku koleksinya yang berjumlah ribuan.Ia mempertahankan buku dengan sepenuh hatinya,bahkan nyawa menjadi taruhannya. Masih jelas ingatannya ketika tahun 1989, ada orang Australia tiba-tiba datang ke rumahnya.

Entah darimana ia mengetahui koleksi buku-buku kuno,Pak Oei pun sempat bingung. Apalagi bule itu menawar buku-buku Pak Oei dengan harga cukup tinggi yakni Rp1 miliar tapi ditolak. Menolak uang Rp1 miliar memang pilihan yang bukan main-main.Bagi Pak Oei,buku tak kan pernah dinilai dengan uang. Apalagi, buku, kliping, maupun catatan-catatan yang menjadi koleksinya memiliki sejarah panjang yang berliku.

Sebagian koleksinya adalah buku yang selamat dari operasi tentara saat ia menjadi tahanan politik (tapol). Usia Pak Oei kini memang sudah 76 tahun.Tapi ia masih begitu ingat dengan jelas bagaimana ia ikut menyelamatkan naskah-naskah Pramoedya Ananta Tour yang ditulis di Pulau Buru. Karena ia dan Pram berada di satu unit,yakni Unit IV Savana Jaya. Salah satunya adalah naskah ”Bumi Manusia” yakni bagian pertama dari tertalogi Pram.

Saat itu tahun 1978 ia dibebaskan dari Pulau Buru. Sedang Pram masih harus mendekam di sana.Pada waktu keluar dari Pulau Buru ia dititipi Pram naskah yang ditulis tangan.Pak Oei pun menyanggupi dan menaruh naskah asli ”Bumi Manusia” di antara pakaian-pakaian yang hendak dibawa pulang. Ia bersyukur bisa lolos dari pemeriksaan. ”Padahal, kalau sampai ketahuan, saya bisa dibunuh di situ,”katanya.

Tahun 1979 Pramoedya keluar dari pengasingan di Pulau Buru. Pak Oei berusaha mengembalikan naskah asli tersebut. Tapi Pram hanya mem-fotocopy saja dan naskah asli tetap diserahkan kepada Pak Oei.Naskah asli itu pun sampai saat ini masih tersimpan baik di salah satu etalase perpustakaan Medayu Agung. Tak hanya naskah ”Bumi Manusia” saja, saat di Pulau Buru, Pak Oei juga banyak membantu Pram menulis naskah lain seperti ”Arok Dedes”.

Saat itu di Unit VI ada tapol bernama Prof. Puradisastra. Pram meminta Pak Oei menemuinya dan mewawancarai tentang Ken Arok dan Ken Dedes.Karena Pram sudah agak lupa dengan cerita tersebut. ”Akhirnya sambil membawa singkong, saya menyelinap bertemu dengan profesor itu dan mewawancarainya. Saya mencatatnya dan saya serahkan kepada Pram. Lalu Pram ingat dan menulis naskah Arok Dedes,” katanya.Bagi para pecinta buku akan ”iri”jika melihat koleksinya.

Di perpustakaan tersebut ada ruangan berbeda yakni ”Ruang Koleksi Langka”dan ”Ruang Koleksi Khusus”. Di rak depan banyak bukubuku langka. Seperti ”Sam Kok” yang dicetak tahun 1910 dan 1911.Ada juga buku ”Max Havelar” karya Multatuli yang masih menggunakan bahasa Belanda. Pak Oei juga memiliki kliping koran Jerman yang memuat foto Adolf Hitler pada pembukaan Olimpiade Berlin 1 Agustus 1936.

MENYAMBUNG PATAHAN SEJARAH

Dimuat di Harian Seputar Indonesia (SINDO) Jatim
Monday, 28 November 2011

Oleh : Nanang Fahrudin

SURABAYA – Buku-buku kuno ditata rapi di museum House of Sampoerna. Erwin Dian Rosyidi sang pemilik bukubuku itu berada di sana. Sangat hati-hati kala memegangnya dan sesekali menjelaskan isi buku kepada pengunjung.”Buku adalah sejarah. Buku kuno terbitan Indonesia selalu diburu kolektor,” kata Erwin kepada SINDO.

Dia adalah satu kolektor buku kuno di Surabaya. Ada kurang lebih 1.000 buku kuno miliknya yang ada di kediamannya di Jalan Kupang Krajan Kidul. Sedang yang dibawa ke museum untuk dipamerkan hanya puluhan saja.

Menurut dia, di Kota Pahlawan ini banyak kolektor buku kuno.Sayangnya belum ada komunitas yang bisa mempertemukan mereka dalam sebuah forum bersama. ”Saya menginginkan itu. Suatu saat ada komunitas para pecinta buku kuno di Surabaya,” katanya. Bagi Erwin, buku seperti lembaran sejarah yang seringkali disobek oleh penguasa dengan seenaknya.

Ketika Belanda berkuasa di nusantara,tidak sembarang buku bisa terbit. Demikian juga ketika Jepang menjajah, setiap penerbitan harus seizin tentara Dai Nippon. Sejarah itu terus berlanjut saat orde baru berkuasa dan melarang buku-buku yang dinilai berbau komunisme. ”Sejarah terbitnya buku yang begitu sulit membuat buku kuno Indonesia berbobot,” tutur pria 31 tahun ini.

Sederet buku kuno pun akhirnya sampai ke tangan Erwin setelah usaha yang begitu berliku. Salah satunya adalah buku ”Oendang-Oendang Balatentara Dai Nippon” yang diterbitkan oleh D Arnowo Soerabaia tahun 1942. Buku itu bernilai tinggi karena dikumpulkan dan diberi penjelas oleh Mr. R.Alisastroamidjojo.Dalam catatan sejarah Alisastroamidjojo adalah perdana menteri yang menjabat dua periode yakni 1953-1955 dan 1956-1957.

Meski sekarang sudah mengoleksi 1.000 buku kuno,Erwin mengaku tak berhenti memburu buku kuno. Selama ini ia baru memburu di daerahdaerah dalam negeri saja, seperti Jakarta, Semarang, Solo, Yogyakarta, Medan dan tentu di Surabaya sendiri. ”Kebanyakan info dari temen. Lalu nego harga. Kalau cocok ya saya beli,”katanya.

Buku milik Erwin semuanya sudah tidak ada di toko buku modern.Bisa disebut di antaranya buku ”Tanah Air Kita” karya NA Douwes Dekker, atau ”Keluarga Gerilja” karya Pramoedya Ananta Tour.Memburu buku baginya memiliki ceritanya sendiri. Bahkan sampai dengan cara yang terkadang tidak masuk akal. Dia mengaku pernah mengigau saat tidur.

”Kata istri saya, waktu tidur saya teriak ”buku-buku”. Eh tidak lama saya dapat buku kuno,”katanya sambil tersenyum. Sejak mengumpulkan buku- buku kuno pada usia remaja, Erwin tidak pernah bermaksud menjualnya. Ia berobsesi akan terus menambah koleksinya. Baginya,sejarah selalu patah oleh pergerakan zaman. Dan hanya buku yang selalu berusaha menyambungkan patahan- patahan itu menjadi lembaran yang ”utuh”.

Ada lagi seorang pecinta buku kuno di Surabaya adalah Oei Hiem Hwie.Pak Oei, begitu ia disapa,begitu mencintai bukubukunya. Kediamannya yang menyatu dengan perpustakaan Medayu Agung memiliki koleksi buku kuno yang tergolong lengkap. Bagi mereka pecinta buku,sangat layak berkunjung ke sana. Di sana terdapat buku-buku langka yang orang sudah jarang melihat bentuk fisiknya.

Seperti ”Mein Kampf” karya Adolf Hitler yang berbahasa Jerman terbitan tahun 1939. Fisik buku itu masih sangat bagus dengan selimut buku berlapis beludru yang cantik. ”Buku ini pemberian kakek saya,”katanya sambil menunjukkan buku itu kepada SINDO. Pak Oei juga memiliki buku kumpulan gambar keramik koleksi Adam Malik. Di buku tebal itu terdapat tanda tangan Adam Malik yang waktu itu masih menjabat wakil presiden. ”Saya diberi oleh Pak Adam Malik saat beliau datang ke pernikahan saya. Ini kado,” katanya.

Bahkan,ia juga memiliki buku koleksi patung Bung Karno.Foto-foto patung perempuan di seluruh dunia itu berupa foto asli yang ditempel seperti album foto,jadi bukan hasil printpercetakan. Koleksi buku-bukunya sebenarnya sudah tidak lengkap lagi.Karena saat isu PKI (Partai Komunis Indonesia) merebak dan orang-orang yang dianggap komunis ditangkapi,bukubuku Pak Oei yang ada di rumahnya di Malang dirampas dan dibakar.

Buku yang selamat adalah buku-buku yang disembunyikan di atas plafon oleh adiknya. ”Sebagian besar dirampas,dibakar,”katanya. Sekitar tahun 1965,Pak Oei muda menjadi wartawan harian Terompet Masjarakat yang berkantor pusat di Surabaya. Tapi ia waktu itu menjadi wartawan Terompet Masjarakat perwakilan Malang.Karena dianggap dekat dengan PKI, ia pun terpaksa hidup dari penjara ke penjara.

Mulai penjara Batu, Lowokwaru Malang, lalu dipindah ke penjara Kalisosok di Surabaya, rumah tahanan militer (RTM) Koblen,dan penjara Nusakambangan. Akhir dari perjalanannya sebagai tahanan politik (tapol) adalah ketika dibuang di Pulau Buru. Ia satu unit dengan sastrawan Pramoedya Ananta Tour, yakni di Unit IV Savana Jaya. Di Pulau Buru, hanya Pram saja yang memperoleh keistimewaan boleh menulis, karena ada protes dari dunia internasional. ”Saya banyak diminta bantuan oleh Pram dalam proses menulis karya-karyanya,” terangnya.

Kebiasaan yang sampai saat ini tak pernah berhenti adalah mengkliping majalah dan koran. Baginya dokumentasi adalah sebuah usaha mengabadikan sejarah. Ia sadar, ingatannya tidak seperti mesin. Sehingga ia membutuhkan kliping untuk mengembalikan ingatannya kepada masa lalu. ”Kliping saya lengkap, ada sejarah, sastra,dan ini ada kliping tentang PAT. PAT itu Pramoedya Ananta Tour,”katanya.

Lain Erwin lain pula Pak Oei. Dan lain pula dengan Zainal Arifin, seorang guru di Bangkalan asal Surabaya. Sejak tiga tahun terakhir warga Jalan Banyuurip ini mulai serius mengumpulkan bukubuku kuno. Hampir setiap hari ia menyusuri lapak-lapak buku bekas di Jalan Semarang dan Pasar Blauran. ”Koleksi saya baru 200 an.Masih sedikit,”katanya.

Dia lalu menunjukkan buku sejarah berjudul ”G30S di Hadapan Mahmilub 2 di Djakarta”. Buku itu diterbitkan oleh Pusat Pendidikan dan Kehakiman AD tahun 1966. Baginya buku kuno memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan dengan buku-buku cetakan baru. ”Buku kuno ditulis dengan sangat teliti, pakai perasaan. Sehingga memiliki kualitas sangat bagus,”katanya.

Zainal mengaku sejak SD sudah senang dengan buku-buku kuno. Karena dia menggemaribukusejarah. Bahkan,sampai saat ini ia lebih senang membaca buku-buku yang ditulis menggunakan bahasa Indonesia ejaan Van Ophuijsen,seperti memakai kata jang dan bukan yang.”Saya lebih bisa menangkap isinya saja,”katanya.

Sementara itu, bergairahnya dunia buku kuno di Surabaya dibenarkan oleh Indra,salah satu penjual buku bekas di Jalan Semarang. Ia memiliki beberapa pelanggan yang selalu membeli buku kuno miliknya. Ia ingat pernah menjual buku koleksi lukisan Bung Karno lima jilid.Buku itu dijual seharga Rp5 juta.Selain itu bukubuku sastra lama juga banyak diminati pasar, terutama para kolektor.

Jumat, 11 November 2011

BLOK CEPU, PILKADA, DAN MASA DEPAN BOJONEGORO

Oleh : Nanang Fahrudin


Sebentar lagi, tepatnya tanggal 10 Desember 2007 mendatang Kabupaten Bojonegoro akan punya gawe besar yaitu Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pilkada yang pertama kalinya dilakukan secara langsung dipilih oleh masyarakat ini bisa dibilang berbeda dengan pilkada di daerah lain, di Jawa Timur. Pasalnya, tidak hanya menentukan wajah kabupaten berpenduduk 1,3 juta jiwa dalam kurun lima tahun ke depan, melainkan juga Bojonegoro puluhan tahun ke depan.

Salah satu penyebab utamanya adalah adanya eksplorasi dan eksploitasi ladang minyak dan gas bumi (migas) Blok Cepu yang ada di Kecamatan Ngasem, wilayah
selatan Bojonegoro. Korelasi antara Bupati – Wakil Bupati terpilih dengan pengelolaan sumber daya alam (SDA) itu sangat menentukan nasib masyarakat Bojonegoro secara khusus, dan masyarakat Jawa Timur pada umunya.

Saat ini, Blok Cepu yang konon mempunyai kandungan minyak terbesar di Asia Tenggara yaitu 250 juta barel, sudah pada tahap eksplorasi di beberapa sumur, di antaranya di dua sumur yang berada di lapangan Banyuurip. Dan dalam waktu dekat, sumur Alas Tuo Barat, Alas Tuo Timur, dan Kedung Keris yang berada di Kecamatan Kalitidu, dan Kecamatan Ngasem juga akan mulai dieksplorasi. ExxonMobil Oil Indonesia (EMOI) menargetkan 2008 sudah mulai produksi minyak meski dengan jumlah kecil di bawah 20.000 barel/hari, dan mencapai puncaknya tahun 2010 nanti sebanyak 165.000 barel/hari.

Jika diasumsikan (secara kasar) produksi mulai tahun 2008 sebesar 20.000 barel/hari maka uang yang akan keluar dari perut bumi di Blok Cepu mencapai USD 1,6
juta/hari atau Rp14,4 miliar/hari (itu dihitung jika 1 barel : USD 80 dan USD 1 : Rp9000). Tidak mengherankan jika survey Bank Indonesia, pendapatan asli Kabupaten Bojonegoro saat produksi minyak di Blok Cepu bisa mencapai Rp1,9 triliun/tahun. Pendapatan dengan angka demikian, akan menjadi pendapatan daerah paling tinggi di Jawa Timur, dan bahkan mungkin terbesar di Indonesia.

Aliran dana yang luar biasa besar itu masuk ke kas daerah Kabupaten Bojonegoro, nantinya dipastikan akan membuat shock birokrasi yang ada. Apalagi, pendapatan asli daerah (PAD) Bojonegoro tahun 2006 hanya Rp39 miliar dan naik menjadi Rp45 miliar tahun 2007 ini.

Sehingga dengan adanya peningkatan pendapatan yang berlipat-lipat itu mengharuskan manajemen daerah bekerja maksimal, agar jangan sampai uang itu hanya
menguntungkan sekelompok orang saja.

Di sinilah sebenarnya titik tolak pelaksanaan pilkada Bojonegoro 10 Desember mendatang. Artinya, setelah kepala daerah terpilih dan dilantik pada 8 Pebruari 2008, maka tugas utamanya adalah melakukan manajemen yang baik terhadap aliran dana yang setiap tahunnya mengalami kenaikan. Karena, Kepala Daerah dan DPRD mempunyai kewenangan mengatur keuangan daerahnya. Apalagi pada tahun itu, produksi awal Blok Cepu sudah dimulai.

Dalam kaitannya dengan keberadaan ladang minyak Blok Cpu itu, Pemkab seharusnya berada pada posisi “mengamankan” warganya dari ancaman “kematian” di
lumbung padi. Karena logika sederhadanya, keberadaan Blok Cepu akan mengundang kekuatan modal (kapital) dan kekuasaan (politik) untuk “terjun” ke Bojonegoro.
Tujuannya satu, yaitu ikut menikmati kekayaan alam, yaitu migas. Sehingga, ibarat ayam, pemkab harus menjadi induk ayam yang mampu melindungi warganya dari
terkaman binatang buas. Caranya, di antaranya membuat aturan-aturan yang berpihak masyarakat, hingga mengelola keuangan daerah dengan baik untuk kepentingan masyarakat.

Karena ternyata, kondisi riil sebagian besar masyarakat Bojonegoro saat ini masih jauh dari kesiapan menyongsong era industrialisasi yang sering didengung-dengungkan Pemkab Bojonegoro. Salah satu contoh konkretnya, dua kecamatan yang menjadi lokasi
ekplorasi migas Blok Cepu yaitu Kecamatan Kalitidu dan Ngasem mempunyai angka pengangguran cukup tinggi.

Bahkan, secara umum di Bojonegoro tahun 2006 masih terdapat 10.000 lebih warga yang menyandang prediket buta huruf. Apalagi, di sekitar Blok Cepu
masyarakatnya masih banyak yang miskin, dan sebagian besar buruh tani dengan status lahan pertanian tadah hujan.

Beban berat itulah yang nantinya akan dipikul di pundak kepala daerah yang terpilih dalam pilkada mendatang. Tantangannya, apakah mereka mampu melindungi, mensejahterakan, dan mengabdikan diri untuk kepentingan masyarakat luas. Dan penulis sendiri tidak mau berandai-andai tentang kinerja kepala daerah nanti. Karena siapapun dari tiga calon yang terpilih, mau tidak mau ia harus mampu mengemban tugas berat tersebut, karena apa yang dilakukan akan menjadi catatan sejarah Bojonegoro ke depan.

Untuk memprediksi kemampuan kepala daerah mengemban tugas itu, penulis lebih suka melihat keberhasilan kepala daerah terpilih sangat ditentukan oleh berbagai
faktor. Dan “faktor” itu melingkar seperti cincin yang berlapis-lapis. Lapis pertama adalah pada rumah tangga Bupati dan Wakil Bupati itu sendiri. Kedua jabatan politik itu pasti akan memunculkan sharing kekuasaan dan menentukan “batas kekuasaan politik” antara bupati dan wakilnya. Sharing kekuasaan itu akan memakan waktu
lama jika keduanya mempunyai kekuasaan politik yang besar, dan itu berarti menunda langkah pemkab secara institusional.

Jika lapis pertama sudah bisa diatasi antara bupati dan wakilnya, maka langkah akan beralih pada lapis kedua, yaitu parpol pengusung. Parpol pengusung ini sering menjadi hambatan kepala daerah dalam menentukan arah kebijakan, karena mereka juga meminta jatah “kue” kekuasaan sebagai kompensasi dukungan yang mereka berikan. Jika parpol pengusung ini tidak “serakah”, maka kebijakan yang menyangkut kepentingan umum akan cepat terlaksana, seperti kesehatan dan pendidikan gratis.

Dengan menggunakan analisa itu, artinya bupati – wakil bupati Bojonegoro nantinya tidak mungkin langsung bisa start untuk menjadi induk bagi anak-anaknya. Banyak kendala yang harus dilalui agar mampu menjalankan roda pemerintahan dengan baik. Jika tidak, maka roda pemerintahan itu akan bergerak liar dan malah menabrak warganya sendiri. Padahal, di sisi lain produksi minyak sudah dimulai dan warga
membutuhkan “rasa manis” dari apa yang keluar dari bumi Bojonegoro.

Oleh karena itu, sekali lagi, pilkada Bojonegoro tahun ini mempunyai bobot yang jauh lebih berat dibandingkan dengan pilkada sebelumnya. Sehingga, terlebih penting lagi, masyarakat Bojonegoro yang mempunyai hak pilih, memiliki tanggungjawab moral
untuk membawa perubahan Bojonegoro ke depan. Jika warga salah memilih pemimpin, maka risikonya akan sangat besar bagi masa depan. Lalu siapa yang pantas dipilih?. Untuk menjawab itu sebaiknya dikembalikan kepada hati nurani masyarakat saja. Wallahu A’lam.

Nanang Fahrudin
Alumni FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, warga Bojonegoro.

Jumat, 04 November 2011

BOJONEGORO HENDAK MELANGKAH KE MANA?

Oleh : Nanang Fahrudin

(atau klik : http://blokbojonegoro.com/read/module/20110920/bojonegoro-hendak-melangkah-ke-mana.html )

Ladang minyak Blok Cepu di wilayah selatan Kabupaten Bojonegoro telah begitu banyak merubah wajah daerah. Pendapatan daerah meningkat seiring pendapatan dari sektor minyak. Tahun 2010, minyak memasok pendapatan daerah Rp 169 miliar. Sektor minyak benar-benar menjadi sebuah pusat pembangunan sektor lain. Semua pengembangan daerah dimaksudkan menopang bisnis minyak tersebut.

Rumah sakit bertaraf internasional dibangun dengan landasan berpikir, bahwa Bojonegoro akan menjadi kota besar dan membutuhkan pelayanan kesehatan yang bagus. Seakan sedang berlomba, dibangunlah sekolah internasional yang akhirnya bernama Sekolah Menengah Terpadu (SMT). Dana yang ditanam di situ lebih dari Rp 100 miliar.

Sedang pihak swasta pun tak mau ketinggalan, berdirilah kafe, restoran, hotel, tempat karaoke, dan semua fasilitas yang memanjakan masyarakat berduit. Landasan berpikirnya tetaplah sama, bahwa Bojonegoro akan menjadi kota besar. Peluang bisnis layaknya kota besar lain, sangat terbuka lebar.

Tetapi, satu hal yang sering terlupakan dari hingar bingar pembangunan daerah. Yakni dimana nanti posisi masyarakat Bojonegoro yang berada di bawah garis kemiskinan. Perlu dicatat, bahwa sebagian besar masyarakat Bojonegoro masihlah sama dengan masyarakat Bojonegoro 5 atau 10 tahun lalu. Artinya, tingkat pendidikan, ekonomi dan kepekaan psikologis akan perubahan sosial tak jauh berbeda. Bisa dibilang, mereka masih berada di tempat sama sejak 5 tahun silam. Petani tetap menggarap sawahnya, pedagang kelontong tetap membuka tokonya, belantik sapi tetap jadi belantik sapi, dan seterusnya. Semua dalam kondisi sama, hasil keringat masih tak sebanding dengan harga kebutuhan yang terus melambung.

Masyarakat Bojonegoro level bawah masih berkubang pada keseharian yang relatif masih banyak yang miskin. Berada di desa-desa dengan sistem pengairan, dan pengetahuan pertanian masih tradisional. Atau berada di desa pinggir hutan yang jauh dari akses ekonomi, dengan sesekali menjadi blandong kayu jati.

Data di Pemprov Jatim menunjukkan, bahwa Bojonegoro ranking ke-5 termiskin pada tahun 2009. Dari data yang dikumpulkan Pusdalip Bakorwil II Bojonegoro, pada tahun 2009 itu jumlah rumah tangga miskin (RTM) di Kabupaten Bojonegoro sebanyak 128.981. Jumlah itu terdiri dari rumah tangga hampir miskin sebanyak 49.769 keluarga, kategori miskin sebanyak 56.456, dan sangat miskin sebanyak 22.756 keluarga.

Data itu semakin mencengangkan karena dua kecamatan, di mana ladang minyak Blok Cepu berada, menjadi kecamatan dengan jumlah keluarga miskin cukup banyak. Di Kecamatan Kalitidu misalnya terdapat 6.064 keluarga miskin, yang 1.320 di antaranya masuk kategori sangat miskin. Sedang di Kecamatan Ngasem, dimana lapangan Banyuurip berada masih terdapat 1.376 keluarga sangat miskin, 4.342 keluarga miskin, dan 4.447 keluarga hampir miskin.

Padahal, di sisi lain produksi minyak Blok Cepu sudah mulai mengalir sejak akhir 2008, dan sebelum dana minyak cair, juga telah ada dana-dana community development (comdev) yang dikucurkan kepada masyarakat sekitar ladang minyak. Artinya, keberadaan minyak di Bojonegoro belum memberikan kontribusi nyata terhadap kesejahteraan masyarakat, setidaknya dalam beberapa tahun ini. Dan jika ada yang harus bertanggungjawab terkait hal ini tentu saja pengelola keuangan daerah, yakni pemerintah daerah mulai tingkat kabupaten sampai desa. Meski, semua stakeholders lain juga harus ikut bertanggungjawab, terutama operator ladang minyak.

Ketika masyarakat bawah berkubang dengan kemiskinan dengan kondisi pendidikan yang ala kadarnya, masyarakat level tengah dan atas (pejabat, pengusaha, LSM, anggota dewan, guru, dan masyarakat terpelajar lain) banyak (saya menyebut ‘banyak’ karena harus diakui tak semuanya terperosok ke lubang itu) yang terjebak pada perebutan “kekuasaan” pragmatis.

Pada level atas terjadi persaingan berebut kapital, menyusun intrik-intrik dan sesekali membawa serta masyarakat bawah. Kita pun bertanya, kemana Bojonegoro akan melangkah. Minyak itu akan membawa berkah atau menjadi bencana bagi masyarakat?

Sebenarnya, pertanyaan itu sudah berulang kali dilontarkan oleh berbagai pihak. Jawaban pun selalu terlontar lewat kalimat-kalimat para penguasa daerah. Tapi sayang, gerak nyata di tingkat bawah malah belum dirasakan. Bojonegoro tetap Bojonegoro dengan angka kemiskinan cukup besar.

Desain Jangka Panjang

Ibarat anak ayam, gerak Bojonegoro saat ini begitu mengekor pada ‘induknya’, yakni perkembangan di dunia minyak dan segala hal yang mengelilinginya. Pembangunan daerah seperti tertuju pada satu titik sama, yaitu pendukung sektor minyak. Padahal, Bojonegoro memerlukan desain pembangunan jangka panjang. Dan Blok Cepu dengan minyaknya, hanya salah satu faktor saja. Masih banyak faktor lain yang berhak berdiri sendiri. Berdiri sendiri di sini bukan berarti tidak ada sinergi antar sektor.

Salah satu hal yang perlu adanya desain jangka panjang adalah pendidikan di Bojonegoro. Selama ini pendidikan hanya sebatas pada dinding formal yang menjadi bagian dari kurikulum nasional, atau peningkatan skill untuk memenuhi tuntutan kerja saja. Padahal, pendidikan di Bojonegoro harus bisa menentukan gerak kemajuan daerah. Oleh karena itu, upaya siapapun untuk meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat perlu diapresiasi.

Pendidikan Bojonegoro pun nantinya tidak harus mengekor pada kebutuhan agar bisa menyuplai tenaga kerja di bidang perminyakan saja, karena itu hanya akan mengecilkan makna pendidikan itu sendiri. Bojonegoro harus punya keberanian mendirikan perguruan tinggi negeri besar yang bisa bersaing dengan Universitas Jember (Unej), Universitas Brawijaya (Unibraw) dan Universitas Airlangga (Unair). Jika Bojonegoro berani melangkah ke arah sana, maka perkembangan wacana kelilmuan akan terus direproduksi di Bojonegoro sendiri, bukan direproduksi di luar Bojonegoro untuk diterapkan di Bojonegoro.

Sudah saatnya Bojonegoro dikenal dengan geliat keilmuannya, geliat kebudayaannya, geliat membaca, dan geliat kreatifitasnya. Bukan hanya dikenal dari geliat bisnisnya yang begitu terjebak pada dunia perminyakan yang menjadi pusatnya.

Mungkin saya terlalu takut melihat gerak daerah kaya sumber minyak ini hendak ke mana. Tulisan ini bukan hendak berunjuk rasa. Bukan. Tapi hanya sebuah teriakan pelan dari sudut emperan toko di antara deru mobil-mobil mewah yang mulai menari-nari di jalanan kota Bojonegoro, sambil nyruput secangkir kopi ala PKL. Salam!.

*Pegiat Sindikat Baca di Bojonegoro

Selasa, 01 November 2011

NEGARA (BUKAN) PASAR

Oleh : Nanang Fahrudin
(Dimuat di Harian Seputar Indonesia edisi Jawa Timur Minggu 30 Oktober 2011)


Bayangkan negeri kita sebagai sebuah pasar besar. Anda boleh membayangkannya dalam bentuk mal, supermarket, atau pasar krempyeng. Di sana ada transaksi kecil senilai Rp1.000, hingga transaksi besar triliunan rupiah. Di pasar itu juga barang yang diperdagangkan lumayan lengkap. Mulai terong, tomat, rumah, hingga gas alam dan minyak bumi juga tersedia. Tapi dengan catatan, cukup Anda bayangkan saja lho.

Pasar itu buka 24 jam nonstop. Tak ada syarat khusus untuk bisa bertransaksi di sana. Terpenting adalah memiliki uang. Di dalam pasar itu, semua orang larut dalam budaya menjual dan membeli. Bagi Anda yang berkantong tipis, menyingkir dululah sejenak dari pasar itu. Ah tidak perlu menyingkir juga bisa, karena Anda bisa berhutang uang untuk membeli aneka barang.

Tapi kita perlu hati-hati. Karena sekarang banyak barang bajakan dijual di pasar. Banyak barang asli tapi palsu juga dijual di pasar. Kita kesulitan membedakan mana kepentingan bersama dan mana kepentingan golongan. Kita kesulitan membedakan mana kepentingan rakyat dan mana kepentingan pejabat. Semua menjadi samar, karena dipandang sebagai transaksi jual beli.

Tak ada uang, maka tak sayang. Rumus inilah yang paling tepat untuk menggambarkan hidup di pasar. Jika kita tak punya uang, maka jangan harap bisa mendapatkan produk berupa pelayanan pendidikan berkualitas. Jika kita berkantong tipis, jangan harap bisa membeli kursi sebuah jabatan publik. Tapi jika kita kaya, jangankan membeli segala produk yang ada di pasar, kita juga bisa membeli pasarnya sekalian. Dan Anda tak perlu khawatir, membeli pasar sangat memungkinkan di sini. Karena hukum pasar menyebutkan ada penjual, ada pembeli.

Nah, apa lagi yang Anda pikirkan sekarang?. Cepat isi kantong Anda dengan uang sebanyak-banyaknya untuk membeli aneka macam produk yang Anda butuhkan. Kalau perlu, bukan untuk Anda saja, tapi sebagai cadangan untuk keluarga tujuh turunan mendatang. Mumpung pasar ini terbuka.

***

Sekali lagi, cukup kita bayangkan saja. Karena negeri kita bukan pasar dengan logika transaksional seperti itu. Negeri kita adalah negeri hukum dengan menjadikan kepentingan rakyat menjadi nomor satu. Kita punya pasal 33 undang-undang dasar 1945 yang menyebut “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Jadi bukan siapa memiliki modal besar bisa menguasi bumi, air dan kekayaan alam. Sebagai warga negara, kita terlindungi.

Negeri ini juga memiliki pasal 28A undang-undang dasar yang menyebutkan “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Jadi, sebagai warga negara kita dijamin untuk bisa hidup sejahtera, tak peduli kita kaya atau miskin. Kita pengusaha atau petani. Tak hanya itu, kita juga punya pasal 27 ayat 1 undang-undang dasar yang menjamin semua warga sama di hadapan hukum. Jadi jangan mengkhawatirkan jika nanti akan ada permainan hukum di negeri kita.

Negeri kita bukan pasar. Para penguasa bukanlah pedagang. Tak ada transaksi jual-beli untuk urusan kesejahteraan rakyat. Karena itu hak sebagai warga negara, dan kewajiban penguasa atas nama pemerintah. Tak ada transaksi hukum untuk keadilan. Tak ada transaksi uang politik untuk sebuah jabatan atau kebijakan. Karena negeri kita bukan pasar yang semua dilihat sebagai proses jual-beli.

Oh ya, mari kita duduk sejenak sambil minum kopi. Kita coba mengamati sekeliling kita. Melihat upaya pemberantasan korupsi, melihat reshuffle kabinet, melihat pemilihan kepala daerah, melihat anggaran APBN atau APBD. Atau kita coba melihat tetangga kita yang sedang mencari sekolah buat anaknya, melihat tetangga yang sedang sakit dan mencari obat, dan melihat tetangga kita yang sedang mengurus KTP dan akta kelahiran. Semoga tetangga kita bukan berada di sebuah negeri yang kita coba bayangkan seperti di awal tulisan ini.

Kita perlu meyakinkan diri kita lagi bahwa negeri ini bukan pasar. Ya, bukan pasar. Salam.

Kamis, 22 September 2011

Menguak Relasi Sosiolog-Negara


Resensi Buku "Geneologi Kekuasaan Ilmu Sosial Indonesia"
Penulis : Hanneman Samuel
Penerbit : Kepik Ungu bekerjasama dengan LabSosio UI
Cetakan : I September 2010
Tebal : 160 halaman

Oleh : Nanang Fahrudin



Ketika orde baru yang berkuasa selama 32 tahun tumbang pada tahun 1998, tiba-tiba saja pemikiran berbau kiri datang menggelinding. Buah pikiran para tokoh seperti Marx Weber, Karl Marx, Antonio Gramsci, hingga pemikiran sosial kritis Jurgen Habermas membanjiri dunia intelektual Indonesia. Di mana pemikiran-pemikiran itu selama orde baru berkuasa?.

Salah satu jawaban adalah adanya campur tangan pemerintah (negara). Penguasa orde baru sengaja menyembunyikannya di kotak rapat yang tak boleh ada yang membukanya. Sebagai gantinya, pemerintah memperkenalkan pikiran-pikiran sosiolog berparadigma fungsionalisme struktural seperti Talcott Parsons.

Parsons berpandangan bahwa masyarakat memiliki kecenderungan menjaga kesatuan. Masyarakat merupakan suatu system sosial yang terdiri dari elemen-elemen yang saling berkaitan menjaga keseimbangan. Pandangan inilah yang mendapat tempat khusus pada saat orde baru berkuasa di bawah kendali Soeharto. Jika ada kelompok masyarakat yang mengkritik negara, maka dicap sebagai gerakan yang mengancam disintegrasi bangsa. Tak mengherankan jika saat orde baru tumbang, pemikiran-pemikiran sosial yang ada di dalam kotak berhamburan keluar.

Ya, kekuasaan memang memegang kendali. Kekuasaan tak hanya berarti fisik, yakni menguasai masyarakat, tapi juga mengatur cara pandang masyarakat. Tak terkecuali arah pandangan para ilmuwan sosial (sosiolog) juga sangat dipengaruhi oleh siapa yang berkuasa pada waktu itu.

Dan buku yang ditulis Hanneman Samuel, seorang sosilog Universitas Indonesia dengan cermat mencoba mengurai benang kusut “perselingkuhan” kekuasaan dengan ilmu sosial di Indonesia. Terutama masa kolonial Belanda hingga masa pasca kemerdekaan. Sehingga sangatlah tepat jika penulis memberi judul pada bukunya “Geneologi Kekuasaan Ilmu Sosial Indonesia”.

Akan sangat mudah untuk bisa mengikuti alur buku ini jika kita menggunakan kaca mata teori relasi kekuasaan yang dikenalkan oleh M Foucault. Menurut Foucault, kekuasaan selalu memproduksi kebenaran dan sekaligus menjaga kebenaran itu. Dan kebenaran pengetahuan selalu saja ditentukan oleh penguasa, atau setidaknya penguasa tidak mau begitu saja membiarkan sebuah pengetahuan berkembang di masyarakat jika hal itu nantinya mengancam kedudukannya.

Dan memang begitulah potret ilmu sosial di Indonesia sejak zaman Belanda. Penulis buku ini dengan detail menceritakan cengkraman penguasa atas ilmu sosial yang berkembang di negeri ini. Saat Belanda berkuasa, masyarakat pribumi hanyalah obyek penelitian. Itu berawal ketika pada tahun 1851 pemerintah Belanda mendirikan Royal Institute of Linguistics, Geography dan Etnology of the Netherland Indies (Koninklijk Institut Vor Taal-, Land- En Volkenkunde Van Nederlandsch- Indie/KITLV) yang bertempat di Leiden. Organisasi inilah yang akhirnya mempopulerkan indologi (pengetahuan tentang Indonesia).

KITLV selalu melakukan penelitian-penelitian masyarakat dan dilaporkan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk kemudian lahirlah kebijakan-kebijakan penjajah untuk masyarakat yang dijajah. Peran itulah yang kemudian melambungkan nama Cristiaan Snouck Hurgronje, seorang guru besar Universitas Leiden yang cakap akan pengetahuan agama Islam. Ia meneliti tentang masyarakat Islam di Hindia Belanda (Indonesia) dan menyimpulkan bahwa menjalankan syariat Islam harus dibedakan dengan gerakan politik Islam. Sehingga, ia merekomendasikan ke pemerintah Belanda agar umat Islam dibiarkan beribadah tapi dijauhkan dari politik. Peradaban eropa harus didesakkan ke masyarakat Islam Hindia Belanda. Selain itu harus ada pengawasan ketat di lembaga-lembaga pendidikan umat Islam.

Pemikir-pemikir era penjajah Belanda secara jelas menjadi “kepanjangan tangan” kepentingan penguasa. Mereka memang sengaja digunakan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan. Meski pada sisi lain hasil kerja para Indolog sepeti Snouck menjadi warisan sangat berarti jika hendak melihat perkembangan masyarakat Hindia Belanda pada abad ke-19.

Perkembangan ilmu sosial berubah ketika Indonesia mendapatkan kemerdekaan sebagai negara berdaulat. Pemikiran Parsons yang mencerminkan kepentingan AS menyerobot masuk. Pada kurun waktu 1945-1965, pusat kajian AS di Indonesia marak. Ini tak lepas dari kepentingan AS untuk masuk ke negara-negara asia tenggara, khususnya Indonesia.
Amerikanisasi terlihat ketika tiga universitas Amerika Serikat (Massachusetts Insitute of Technology, Cornell University, dan Yale University) memfasilitasi penelitian-penelitian sosial di Indonesia. Mereka mendirikan pusat-pusat studi sebagai kepanjangan tangan kepentingan AS di Indonesia. Beberapa nama masih dikenal sampai sekarang di antaranya Clifford Geertz, Bennedict Anderson dan Herbert Feith. (hal:83).

Tapi, garis politik Soekarno yang lebih condong ke sosialis-komunis membuat kebijakan retradisionalisasi Indonesia. Integrasi nasional menjadi pusat dan pada ujungnya lahirlah sistem Demkrasi Terpimpin. Wacana-wacana yang digulirkan adalah timur dan barat. Indonesia yang timur tidak bisa dikelola dengan gaya barat. Bahkan bapak sosiologi Indonesia Selo Soemardjan juga berdiri untuk memuaskan kebutuhan pemerintah dengan membela Demokrasi Terpimpin. Dalam tulisannya Demokrasi Terpimpin dan Tradisi Kebudayaan Kita (ditulis tahun 1961) Soemardjan menulis Demokrasi Terpimpin memiliki konsekuensi yang positif bagi perkembangan Indonesia. (hal: 133-134).

Pada tahun 1965-1966 Soekarno ambruk disertai kekisruhan. Tapi ilmu sosial yang berkiblat ke Talcott Parsons ala Amerika dipadu dengan gaya Indolog era penjajah Belanda masih begitu kental. Era Soeharto pun mewarisi hal tersebut dan memanfaatkannya untuk kepentingan kelanggengan kekuasaan. Pikiran-pikiran ilmuwan sosial kritis tak begitu mendapatkan tempat.

Memang, buku karya Hanneman Samuel ini hanya membentang zaman kolonialisme Belanda hingga 20 tahun pasca kemerdekaan yakni 1965. Tapi, pisau analisanya bisa digunakan pada era orde baru dan bahkan era reformasi. Betapa kekuasaan punya kekuatan menyetir perkembangan ilmu pengetahuan, tentunya dengan cara-cara ilmiah juga yang seringkali masyarakat kebanyakan tidak begitu merasakannya.

Buku ini bisa menjadi cermin bagi perkembangan sosiologi di Indonesia. Apakah sosiolog selalu berperan tanpa kepentingan penguasa? Apakah sosiologi selalu bebas nilai seperti apa yang dipikirkan Parsons?. Meski buku ini tipis (160 halaman), tapi bisa menjadi teman diskusi anda untuk mengetahui sosilogi di Indonesia.
Buku ini memang bukann hendak mencari paradigma sosiologi Indonesia. Tapi, kehadiran buku ini menjadi sumbangan amat penting dalam perkembangan ilmu sosial di Indonesia. Terutama melihat posisi ilmuwan Indonesia di kancah politik nasional.

Cintailah Bukumu seperti Kau Mencintai Kekasihmu

(Sebuah Catatan tentang Buku)

Oleh : Nanang Fahrudin

Bukumu adalah kehidupanmu. Bukumu adalah dirimu. Ya, buku memang dipercaya bisa menunjukkan identitas siapa pemiliknya. Jika buku itu lusuh, kotor, atau banyak halaman yang dilipat, mungkin saja pemiliknya kurang menyayanginya. Sebaliknya, jika buku itu disampul rapi, halaman tak ada yang ditekuk, atau ada tulisan namanya di halaman pertama, mungkin pemiliknya begitu menyayanginya, merawatnya dengan baik. Soal penilaian demikian, anda boleh percaya, boleh juga tidak.

Buku atau dalam bahasa arab kitab, sejak dulu mempunyai “jiwa” sendiri. Jiwa itu akan tetap hidup di tengah peradaban manusia, mempengaruhi pikiran manusia, dan menentukan ke arah mana manusia melangkah. Jiwa itulah sebenarnya yang ditakuti siapapun, termasuk negara. Sehingga, atas nama negara buku ini dilarang terbit, atau buku itu dilarang terbit.

Di Indonesia, pelarangan buku sudah bukan hal aneh. Karya-karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer banyak yang dilarang terbit pada era orde baru. Buku-buku pelajaran sejarah yang tidak mencantumkan PKI harus ditarik dari peredaran. Bahkan, sejumlah majalah yang dianggap mengancam negara pun dilarang terbit. Hingga akhirnya, putusan MK yang memberi kran kebebasan untuk penerbitan buku terbit tahun 2010. Jika Kejaksaan Agung hendak melarang buku, harus pengadilan yang mengeluarkan perintah.

Di Amerika, pelarangan buku pun sempat ada. Tapi itu terjadi pada tahun 1950-an. Di antaranya menimpa buku karya Vladimir Nabokov berjudul Lolita. Buku ini berbentuk novel yang berkisah tentang percintaan seorang bapak dengan gadis remaja. Lantaran dilarang, buku ini pun laris di pasaran. Bahkan, buku yang ada tulisan tangan sang penulis di halaman depannya dilelang Rp2,4 miliar pada tahun 2004. Buku ini, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan bisa dibeli dengan harga Rp50.000 an.

Banyak buku yang hingga kini (bahkan di tahun-tahun mendatang) akan tetap “hidup”. Contoh yang paling gampang adalah buku tetralogi buru karya Pramoedya, mulai Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Atau buku karya Iwan Simatupang yang berjudul Ziarah atau Merahnya Merah. Dan sebut saja buku lain seperti Dilema Usaha Manusia Rasional karya Shindunata, atau buku tiga jilid berjudul Nusa Jawa: Silang Budaya karya Dennys Lombart. Belum lagi buku-buku karya tokoh besar seperti Bulughul Marom karya Ibnu Hajar Al-Asqalani, Muqoddimah karya Ibnu Kholdun, atau Das Kapital karya Karl Marx, dan seterusnya.

Saya meyakini, “jiwa” buku yang merupakan buah pemikiran penulisnya itu akan tetap hidup dari generasi ke generasi. Diproduksi dan direproduksi, secara fisik (dalam bentuk buku) maupun non fisik (diskursus). Dan jiwa itu hanya bisa digenggam oleh mereka yang menyenangi buku dan isinya. Karena mustahil orang yang tidak menyenangi buku, akan bisa mencintainya dengan sepenuh hati. Seperti halnya anda jika tidak mencintai pacar anda sepenuh hati, maka sulit mengenali hatinya.

Saya bukan hendak mengatakan, saya telah sampai pada titik mencintai buku dan mampu menggenggam jiwanya. Bukan. Saya hanyalah orang yang berusaha mencintai buku, dan berusaha meraih hatinya. Dan kalaupun bisa menggenggamnya, saya berusaha tidak melepaskannya begitu saja.

Maaf, mungkin saya terlalu hiperbola memaknai buku. Memang bagi sebagian orang, buku tak lebih kumpulan kata yang hendak menunjukkan sesuatu kepada pembaca. Bahkan, buku bisa menjadi sesuatu yang menjijikkan, karena dianggap berisi sesuatu yang buruk. Dan boleh jadi demikian. Sehingga, seperti yang saya katakan di awal tulisan ini, buku menunjukkan diri pemiliknya. Buku-buku apa yang dikoleksi, maka akan bisa ditebak orang seperti apa pemiliknya. Meski harus diakui, cara menyimpulkan demikian begitu dangkal. Tapi terpenting, buku benar-benar memiliki “jiwa”.

***


Ibarat kekasih, buku juga punya sejarah kelahirannya. Bukan soal proses penulisannya saja. Melainkan bagaimana anda mendapatkan buku itu pun bisa dimaknai sebagai proses percintaan. Dan anda kelak menjadikannya spesial di diri anda. Coba anda ingat-ingat, setiap kali membeli atau meminjam buku pasti disertai alasan. Entah karena anda mendengarkan kehebatan buku itu, atau sekedar penasaran, atau karena tidak sengaja mendapatkannya. Persis ketika anda mendapatkan seorang pacarkan?

Saya teringat ketika saya mendapatkan buku Musashi karya Eiji Yoshikawa. Sejak mahasiswa dulu, saya sudah mendengar buku ini. Seorang sahabat sudah membacanya. Tapi, waktu itu saya belum tertarik. Saya lebih senang dengan buku-buku karya Shindunata, Frans Magnis-Suseno dan sebagainya. Tapi, di tahun 2010 lalu, saya dipinjami seorang kawan. Saya pun membaca hingga halaman 600. Saya simpulkan, buku itu luar biasa. Saya pun sengaja berhenti membaca, karena ingin memiliki sendiri buku itu. Agar saya bisa menggenggamnya dan mengatakan pada buku itu : kamu sekarang milikku.

Buku itu pun akhirnya kubeli lewat toko buku online. Seminggu terasa sangat lama menunggu buku itu tiba. Hingga akhirnya buku yang berkisah tentang seorang samurai Miyamoto Musashi itu pun datang pada 9 Desember 2010. Pada tanggal 29 Desember 2010 saya merampungkan membaca buku itu. Entah kenapa saya pun tergerak menulis sesuatu di belakang buku itu : aku yakin buku punya “jiwa” nya sendiri. Jiwa yang bisa menyatu dengan pemiliknya.

Ya, buku bisa seperti kekasih. Memiliki bentangan cerita tentang pertemuan, dan juga perpisahan. Pertemuan yang menyenangkan, dan juga perpisahan yang menyedihkan. Seperti saya yang sampai saat ini masih meratapi buku-buku yang “hilang” dari genggaman saya. Dan anda pun mungkin juga memiliki cerita tersendiri tentang perjumpaan anda dengan buku-buku anda, atau cerita tentang perpisahan dengan buku-buku anda. Bisa jadi, cerita itu cukup indah jika anda tulis. Seperti kisah anda dengan kekasih anda.

Salam!.

Kayu Manis, 4 Januari 2011.

Bojonegoro Membaca, Siapa Peduli?

(Menyambut Hari Buku Nasional 17 Mei 2010)

Oleh : Nanang Fahrudin

Jika Anda iseng bertanya tentang bagaimana kondisi minat baca masyarakat Bojonegoro dan mencoba menemukan jawabannya. Cobalah sekali-kali menengok pusat perbelanjaan Jalan Pemuda. Lebih baik lagi jika awal bulan saat banyak orang memegang uang gaji. Anda yang gemar menenteng buku, membaca majalah, koran serta bahan bacaan
lainnya akan sedikit miris. Prihatin.

Kasir lantai I yang jumlahnya lebih dari lima meja penuh. Antrean ke belakang di tiap meja mengular. Puluhan bahkan ratusan orang berbelanja seperti berburu hewan di hutan. Siapa cepat ia bisa lebih awal antre di kasir. Tapi coba Anda naik ke lantai II, tempat toko buku. Di sana begitu lengang. Tidak ada sepertiga dari para pembeli itu membelanjakan untuk buku dan bahan bacaan. Jika kurang yakin, coba Anda ke Perpustakaan Daerah (Perpusda) Jalan Panglima Polim. Anda akan menemukan hal serupa. Pengunjung Perpusda memang selalu ada, terutama anak-anak sekolah. Tapi, coba bandingkan lebih
banyak mana pengunjung perpusda dengan siswa yang nongkrong di warung kopi sepanjang jalan?.

Dua fenomena yang saya sajikan di atas memang tak bisa menggambarkan secara utuh kondisi minat baca masyarakat Bojonegoro. Tapi, setidaknya bisa menjadi bahan awal diskusi bagaimana kondisi literal masyarakat di daerah yang punya kandungan minyak dan gas bumi (migas) besar. Dan terpenting adalah menjadi bahan untuk mencari strategi
meningkatkan minat baca.

Membaca, bagi masyarakat Bojonegoro memang belum menjadi sebuah kebutuhan. Pendidikan formal di lingkungan sekitar kita masih berpandangan membaca bukan
masuk kotak pendidikan. Karena sekolah terlanjur dimaknai sebagai (hanya) proses belajar untuk mendapatkan nilai bagus saat ujian nasional. Kegemaran membaca tidak pernah ditanamkan kepada para siswa sebagai prasyarat dalam proses pendidikan. Akibatnya, setelah lulus sekolah merekapun tak peduli dengan membaca. Membaca tereduksi hanya sebagai alat agar nilai bagus.

Padahal, membaca mempunyai makna yang lebih luas. Selain memang diperintah Allah melalui ayat pertama yang diturunkan kepada Muhammad saw, membaca bisa menjadi alat mengenal "yang lain" melalui pikiran-pikiran yang ada di bahan bacaan itu. Membaca, bahkan bagi sebagian orang adalah rekreasi. Membaca menjadi sebuah seni
menginterperatasikan tanda-tanda dalam setiap bahasa. Dan terpenting lagi adalah membaca bisa membawa perubahan lebih baik.

Negara-negara yang kuat, rata-rata mempunyai masyarakat dengan tingkat baca yang tinggi. Jepang yang memiliki teknologi maju, menuntaskan angka buta huruf pada abad ke-17. Di Indonesia, setelah tiga abad berlalu masih berkutat pada pengentasan buta huruf, termasuk di Bojonegoro. Padahal, melek huruf belum tentu melek baca. Membaca benar-benar menjadi "yang terbuang" bagi masyarakat.
Pemkab Pasif

Pemkab Bojonegoro, sejauh ini masih belum terlihat maksimal ngopeni kegiatan membaca di kalangan masyarakat. Stimulus akan minat baca di masyarakat masih
sangat minim. Itu terlihat dari minimnya sarana baca yang dimiliki pemkab selain Perpusda. Bahkan, tragisnya anggaran untuk perpusda hanya rata-rata Rp50 juta tiap tahun. Itupun hanya Rp5 juta untuk belanja menambah koleksi buku. Praktis, perpusda memajang buku yang itu-itu saja. Berbeda dengan pos lain seperti pakaian dinas anggota DPRD Rp400 juta lebih (hanya salah satu contoh perbandingan).

Pemkab melalui Dinas Pendidikan Daerah masih terlihat menggunakan paradigma lama, yakni bagi SD - SMA 100 persen lulus ujian. Sedang bidang pendidikan luar sekolah (PLS) lebih sibuk menuntaskan pemberantasan buta huruf, pelaksanaan kejar paket B dan C. Sementara, Perpusda sendiri selalu kebingungan soal anggaran dan seakan berdiri
sendiri tanpa bersanding dengan Dinas Pendidikan Daerah.

Melihat fenomena itu, praktis pemkab tidak mempunyai desain besar untuk meningkatkan minat baca masyarakat. Padahal, pemkablah yang mempunyai kewenangan mengelola keuangan daerah, menentukan arah kebijakan satu hingga lima tahun kedepan. Sehingga sudah sewajarnya jika memimpikan pemkab berandil besar mendorong minat baca masyarakat.

Kalau pemkab kurang peduli, lalu kepada siapa kita bisa berharap?. Sebenarnya ada banyak pihak yang memiliki potensi ikut mendorong gerakan "Bojonegoro Membaca". Di daerah dengan potensi alam yang besar, Bojonegoro mempunyai banyak perguruan tinggi. Jika hendak disederhanakan, para mahasiswa, dosen, serta insan kampus
adalah masuk kotak intelektual. Seyogyanya, merekalah yang bisa mentradisikan membaca dengan membangun infrastruktur perpustakaan di setiap kampus. Bacaan lengkap sangat dibutuhkan untuk meningkatkan intelektualitas mahasiswa.

Tapi sayang gema aktivitas kampus terutama soal gerakan membaca masih belum begitu tampak. Kampus yang ada (meski tidak semua) terjebak pada pendidikan mengejar ijazah. Sedang, gerakan mahasiswa masih mirip gerakan LSM, bukan kegiatan intelektual. Lebih parah lagi, insan kampus terjebak pada kepentingan politik. Sehingga
yang terjadi adalah ada kampus merah, kuning, hijau dan lainnya. Stigma politik tersebut sedikit banyak mengaburkan keberadaan kampus sebagai "pencetak kaum intelektual".

Lalu jika kampus saja tidak peduli dengan gerakan membaca, lalu kepada siapa berharap?. Sulit memang menjawab pertanyaan itu. Karena dari 1,2 juta jiwa warga Bojonegoro yang ada, sangat sedikit yang menganggap rendahnya minat baca adalah sebuah masalah. Membaca masih dimaknai sebagai mengisi waktu luang. Bukan berdialog, berdiskusi, mencari pengetahuan, menginterpretasi sebuah pemikiran, atau menguji pikiran kita dengan pikiran yang tersurat maupun tersirat dari bahan bacaan. Membaca jadinya hanya milik kalangan tertentu saja.

Tawaran Solusi
Suram. Mungkin itulah masa depan tradisi membaca di Bojonegoro jika semua pihak diam di tempat dan merasa tidak ada masalah serius. Pasalnya, kaum terpelajar, kelas ekonomi menengah ke atas (pejabat, anggota DPRD, dan pengusaha), serta masyarakat yang melek baca tak segera bergerak ikut mendorong minat baca di Bojonegoro. Sehingga, sangat tidak mungkin jika kita menggantungkan hal itu kepada masyarakat bawah, yang setiap harinya terpaksa bergelut untuk mencari sesuap nasi.

Ada beberapa langkah sebenarnya yang bisa ditempuh untuk mendorong minat baca
masyarakat. Setidaknya, itu dilakukan tanpa aksi saling tunggu antara semua pihak. Satu hal, dari sekian banyak hal, yang perlu dilakukan adalah melengkapi bahan bacaan atau
membuat perpustakaan keluarga di rumah masing-masing. Perpustakaan keluarga, setidaknya bisa menumbuhkan gairah membaca (minimal) bagi anggota keluarga. Kampanye perpustakaan keluarga, harus segera dikumandangkan di tengah-tengah budaya visual yang terus menggerus masyarakat.

Langkah lain yang patut dicoba adalah, sebuah kesadaran dari para pejabat, anggota DPRD, serta pengusaha untuk ikut mendorong minat baca di lingkungan sekitar. Langkah mereka tidak harus seragam, melainkan bisa bervariasi sesuai kebutuhan lingkungan. Jika langkah itu dikawinkan dengan kepedulian pemkab, pasti Bojonegoro akan menjadi daerah kaya minyak dengan tradisi membaca yang tinggi. Selamat Hari Buku Nasional 17 Mei. Selamat Membaca Bojonegoro!.

Penulis adalah Alumni MAI At-tanwir Talun, Sumberrejo,
Bojonegoro angkatan 1997. Warga Desa Ngemplak, Kecamatan Baureno.
(Dimuat di Radar Bojonegoro)

Selasa, 20 September 2011

Menggerakkan Keluarga Membaca

(catatan kecil kampanye membaca di Bojonegoro)

Sebagai Kado untuk Satu Tahun Buletin Baca! pada 14 Juli 2010


Oleh : Nanang Fahrudin

Negeri ini, memang punya catatan buruk soal membaca. Sejak tahun 2000, Indonesia berada di urutan belakang jika berurusan dengan membaca. Laporan Human Development Report 2008/2009 yang dikeluarkan UNDP menyebut dalam urusan ini, Indonesia berada di peringkat 96 dari seluruh dunia. Di Asia Tenggara, hanya ada dua negara di bawah Indonesia, yaitu Kamboja dan Laos. Tapi, kalau urusan konsumsi, maka Indonesia menempati peringkat teratas.

Realitas yang ada, membaca bagi sebagian besar masyarakat bukan dimaknai sebagai sebuah keharusan. Membaca tak lebih sebagai pengisi waktu luang. Bagi pejabat, membaca tak lebih sebagai pekerjaan, bagi mahasiswa membaca tak lebih sebagai tugas kuliah, dan bagi siswa membaca tak lebih sebagai pertaruhan lulus atau tidak saat Ujian Nasional (UN). Meski perlu diberi catatan, tak semuanya memaknainya begitu.

Cara pandang demikian lah yang menyeret masyarakat menempatkan koran, majalah, buku, serta bahan bacaan lain sebagai (hanya) konsumsi. Sekali pakai habis. Sehingga, tradisi menyimpan artikel, buku, majalah, atau bahan bacaan apapun sangatlah minim. Rentetan dari masalah itu adalah, tiadanya bahan bacaan di tengah keluarga. Rak-rak buku di dalam rumah, sangat jarang. Masyarakat lebih suka memajang pernik-pernik hiasan di almari kaca, daripada buku yang setiap saat bisa dibaca semua anggota keluarga.

Padahal, bahan bacaan seperti bukulah yang memiliki andil melakukan perubahan peradaban kita. Coba kita buka halaman-halaman buku berjudul “Buku-buku Pengubah Sejarah” karya penulis Robert B.Downs. Buku ini terbit berbahasa Indonesia tahun 2001. Dalam buku ini, penulis menunjukkan 10 buku yang ternyata mampu merubah cara berpikir masyarakat dunia, dan pikiran-pikiran itu masih banyak digenggam masyarakat kita.

Salah satu buku yang dimasukkan penulis dalam deretan buku pengubah sejarah adalah “Das Kapital” karya Karl Marx. Marx yang lahir pada tahun 1818 di Jerman dianggap membawa semangat revolusioner menentang ekonomi kapitalisme. (hal:110-130). Diakui atau tidak, meski sudah ratusan tahun lalu, buku Das Kapital masih menghantui masyarakat sekarang ini.

Beberapa buku karya penulis ternama yang pikiran-pikirannya ternyata masih tersimpan jauh dari masanya adalah buku “Wealth of Nation” karya Adam Smith. Smith tak lain peletak dasar ekonomi modernis yang (tentunya) kapitalis dan kemudian dikritik Marx. Banyak juga bidang keilmuan yang dipengaruhi oleh buku-buku seperti Origin of Species (Asal usul Spesies) karya Charles Darwin, Relativity, The Special and General Theories (Kenisbian, Teori-teori Khusus dan Umum).

Buku-buku tersebut hanyalah sebagian kecil yang dinilai mampu merubah peradapan dan cara berpikir masyarakat. Karena masih banyak buku-buku yang punya andil besar dalam proses perubahan sebuah masyarakat, seperti Mukoddimah karya Ibnu Kholdun.

Besarnya pengaruh buku, sebenarnya sudah lama ditangkap oleh negara. Tak mengherankan jika pada era Orde Baru dulu, banyak buku-buku yang dilarang terbit. Larangan itu merujuk UU nomor 4/PNPS/tahun 1963 tentang Pengawasan Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum. Buku diakui mempunyai kekuatan tersendiri. Terlepas kekuatan itu akan dipakai untuk berjalan ke kanan atau ke kiri. Kalau tak punya kekuatan, tak mungkin lah negara melarang sebuah buku.

Mari Memulai

Masalahnya sekarang, pengaruh buku yang demikian besar ternyata tak ditangkap sebagai sebuah upaya menuju perubahan yang lebih baik. Buku, masih dipandang sebelah mata. Membaca hanya sebagai sebuah pekerjaan, seakan tak punya nilai dalam kehidupan, khususnya pada sisi afeksi, kognisi, dan behaviour manusia.

Nah, dari cara pandang itulah perlu sebuah gerakan membaca di Bojonegoro untuk membawa daerah ini tak hanya dikenal dari kemiskinannya, kondisi jalan yang rusak, atau soal ladang minyaknya. Gerakan membaca, memang tak bisa diandaikan mengurangi kemiskinan atau pengangguran. Tapi, dengan membaca, maka cara pandang masyarakat bisa berubah.
Dari sinilah perlu kiranya melakukan sebuah gerakan membaca yang memiliki “daya tahan” lama. Tak hanya “sekali selesai”. Kampanye membaca, tak bisa disamakan dengan kampanye calon kepala daerah. Kampanye membaca, mungkin bisa disamakan dengan kampanye hidup sehat. Butuh kampanye yang simultan, terus menerus dan dalam jangka waktu lama.

Salah satu dari sekian banyak cara adalah gerakan “Keluarga Membaca”. Setiap keluarga harus memiliki “perpustakaan” sendiri. Minimal, ada beberapa buku yang bisa dibaca oleh anak-anaknya, tamu yang datang, atau siapapun dari anggota keluarga tersebut. Perpustakaan keluarga itu bisa mengimbangi keberadaan televisi yang sudah menjadi identitas masyarakat. Tak ada keluarga yang tak memiliki televisi, dan kemudian, tak ada keluarga yang tak memiliki perpustakaan. Kenapa tidak?.

Ingat, tradisi membaca pada anak sulit diwujudkan jika lingkungannya lebih banyak mencintai televisi. Psikologi anak sulit diperintah, karena karakter anak adalah meniru. Meniru lingkungan sekitar, terutama keluarganya. Sehingga, kampanye membaca pada anak, sulit maksimal jika tanpa melibatkan peran orangtua. Di sinilah letak betapa pentingnya gerakan keluarga membaca.

Tanpa disadari, Keluarga Membaca sebenarnya sudah menjadi bagian dari banyak keluarga di Bojonegoro. Hanya saja, keluarga itu masih terkesan eksklusif dan belum berbagi kepada para tetangganya. Jika keluarga membaca ini menjadi frame atau kacamata bersama, maka bisa jadi setiap keluarga akan berkampanye membaca dengan caranya sendiri.
Tak penting sebenarnya siapa yang memulainya. Tapi yang jelas “Keluarga Membaca” adalah sebuah cara yang efektif untuk mengawali gerakan kampanye membaca di Bojonegoro.

Siapapun seyogyanya ikut andil dalam gerakan Keluarga Membaca, tentunya dengan caranya sendiri-sendiri. Misalnya, pemerintah daerah (Pemda) dengan upaya memperbesar Perpusda di Jalan Panglima Polim, mengefektifkan perpustakaan sekolah, mendirikan perpustakaan di tiap kecamatan atau bahkan desa. Pemda sebetulnya lebih mengetahui apa yang harus dilakukannya.

Pada akhirnya, penulis harus menutup tulisan ini dengan sebuah harapan Bojonegoro memiliki tradisi membaca yang tinggi. Mempunyai perpustakaan yang representatif, muncul penulis-penulis berkualitas, memiliki kampus dengan tradisi intelektual tinggi. Penulis yakin, semua bisa terwujud dari sebuah gerakan kecil, yakni gerakan keluarga membaca.
Mari membaca!.

Penulis adalah Editor Buletin ‘Baca!’, Alumnus MA I Attanwir Talun, Sumberrejo.

Bojonegoro Maju dengan Buku

(Refleksi Hari Buku Sedunia pada 23 April)

Oleh : Nanang Fahrudin

Banyak orang mempercayai jika politik yang kuat akan merubah sebuah bangsa lebih maju (baca: baik). Banyak pula yang meyakini jika ekonomi kuat akan bisa mengantarkan bangsa ke kejayaan. Tapi sedikit yang mengimani jika buku (membaca) bisa membantu sebuah bangsa menjadi besar.

Guna membuktikan itu tidaklah sulit. Pemerintah pusat sampai daerah seakan berlomba menancapkan dasar-dasar politik dan ekonomi yang kuat dengan tujuan membawa bangsa ini lebih baik. Regulasi pertarungan ekonomi dibuat, pun demikian regulasi politik dibuat. Aturan-aturan itu terjelma dalam bentuk UU, Perpres, Peraturan Menteri, hingga Peraturan Daerah (Perda) di tingkat kabupaten/kota.

Bagaimana dengan buku?. Buku bukan sesuatu yang diperhitungkan. Buku seakan menjadi pelengkap dari semuanya saja. Hanya pelengkap. Tak pernah ada regulasi khusus dari tingkat pusat maupun daerah yang berisi tentang menggairahkan dunia buku atau dunia membaca. Kecuali aturan tentang buku-buku pelajaran sekolah yang dibuat secara elektronik (e-book) yang ujungnya buku tetap saja mahal. Atau yang terkenal adalah UU No 4/PNPS/1963 pasal 1 ayat (1) tentang kewenangan Kejaksaan Agung menyemprit penerbitan buku atas nama ketentraman masyarakat. Beruntung Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mencabutnya pada 2010 lalu.

Regulasi pemerintah sebenarnya tidak begitu penting jika masyarakat Indonesia sudah menjadikan buku sebagai sesuatu yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Tapi sayang, membaca belum menjadi tradisi yang kuat di tengah masyarakat. Tragisnya lagi, pemerintah memandang sebelah mata terhadap dunia buku. Salah satu bukti adalah “penelantaran” pusat dokumentasi HB Jasin di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, yang pada ujungnya menggerakkan sejumlah orang untuk menggalang #koinsastra. Semacam gerakan koin untuk Prita dulu.

Padahal, banyak sejarah mencatat buku menjadikan sebuah bangsa besar. Buku identik dengan ilmu pengetahuan. Bayangkan jika dunia buku tidak diperhatikan, maka akibatnya sama ketika tidak memperhatikan ilmu pengetahuan. Bangsa Jepang maju karena pada abad ke-17 sudah kuat di bidang membaca. Jerman menjadi negara besar karena di sana ada para filsuf dunia yang banyak melahirkan buku seperti Hegel, Karl Marx, hingga buku-buku era madzhab frankfurt.

Di sisi lain, ilmu pengetahuan adalah anak kandung modernitas. Artinya, pada era modern saat ini mendalami ilmu pengetahuan adalah sebuah keharusan. Meski ilmu pengetahuan sendiri adalah ciri masyarakat barat. Pada akhirnya bangsa yang kuat adalah bangsa yang menggenggam ilmu pengetahuan.

Bagaimana dengan Bojonegoro?

Secara sosial-ekonomi, Bojonegoro saat ini ibarat lapangan terbuka. Semua orang bisa masuk dengan “bebas”. Perusahaan asing seperti Mobil Cepu Limited (MCL) di Blok Cepu (kini didesak menjadi Blok Bojonegoro), atau perusahaan lain yang mengiringinya menjadikan Bojonegoro magnet bagi semua orang.

Investor Jakarta yang biasanya tak melirik Bojonegoro, kini datang saling berebut. Para pengusaha lokal pun tak mau ketinggalan. Sebagai anak daerah, mereka akan berusaha “mempertahankan” daerahnya. Bojonegoro akhirnya diserbu orang-orang baru dari luar seperti peneliti, pekerja sosial, pengusaha, buruh, investor, dan kelompok lain. Tak hanya itu, Bojonegoro juga dimasuki modal besar, kepentingan ekonomi-politik-budaya, dan segala sesuatu yang baru. Dan masyarakat harus siap berhadapan dengan segala yang baru tersebut.

Orang-orang baru tersebut tak hanya bekerja di Bojonegoro, melainkan juga membawa gagasan-gagasan. Persaingan ekonomi misalnya tak hanya pada sisi modal, melainkan juga konsep. Gerak sosial masyarakat juga ditentukan dengan pertarungan gagasan-gagasan yang seringkali tak dirisaukan. Demikian juga di bidang budaya pasti akan ada pergesekan yang bisa jadi mengancam budaya-tradisi lokal Bojonegoro.

Kita semua tidak menginginkan jika pada puncak pergesekan gagasan ekonomi-sosial-budaya-politik berujung pada tersingkirnya masyarakat lokal Bojonegoro. Digantikan mereka para pendatang yang menggenggam ilmu pengetahuan dan teknologi. Kita tidak menginginkan pada puncak pertarungan ekonomi, masyarakat lokal Bojonegoro tersisih dari kehidupan layak.

Kuncinya, masyarakat Bojonegoro harus cerdas. Berani bertarung pada gagasan dan konsep. Memang pasti akan muncul pesimisme bahwa benteng itu akan kalah juga dengan kekuatan modal yang datang. Tetapi kecerdasan akan selalu menemukan lubang sekecil apapun untuk bisa menggerakkan masyarakat berkembang maju.

Dan bagi saya, untuk memiliki “kunci” di atas, masyarakat harus gemar membaca. Masyarakat harus mulai memberi perhatian lebih terhadap buku. Masyarakat tak bisa cerdas hanya dengan menonton. Buku harus menjadi keseharian masyarakat Bojonegoro. Gerakan membaca harus menjadi gerakan massif. Dari tingkat kabupaten sampai tingkat RT atau lingkungan.

Dari cara berpikir demikian, perlu sebuah desain gerakan membaca sesuai dengan posisi dan kewenangannya. Pemkab harus berani mendorong gerakan membaca sampai institusi pemerintah paling bawah yakni kepala desa. Formula harus diatur sesuai kebutuhan, dan jika dipandang perlu ada sebuah peraturan daerah (perda) atau peraturan bupati (perbup) tentang gerakan membaca, pemkab harus membuatnya. Fasilitas-fasilitas harus segera dibangun untuk mendorong membaca. Dan paling mendasar dan utama adalah membangun kesadaran akan pentingnya membaca (buku).

Tak hanya pemkab, tapi mahasiswa, pekerja sosial, politisi, seniman, guru, wartawan, pengusaha dan siapapun sudah saatnya membangun gerakan membaca untuk menuju masyarakat Bojonegoro yang cerdas. Masyarakat yang siap dengan angin perubahan yang sewaktu-waktu pasti akan membawa ke depan dengan lompatan, bukan hanya gerakan lamban.
Dan tak kalah penting adalah peran Dinas Pendidikan Daerah (Disdikda) yang menjadi motor penggerak di bidang pendidikan. Sayangnya paradigma pendidikan bagus adalah jika gedung sekolah semuanya bagus, banyak sekolah yang distempel berstandar internasional, gaji guru naik, dan sebagainya. Bukan pada berapa karya (buku) yang diterbitkan oleh pejabat Disdikda, oleh para guru, atau oleh para murid. Buku masih belum menjadi indikator keberhasilan sebuah pendidikan daerah, melainkan hanya pelengkap yang seringkali dilupakan. Padahal, banyak guru dan pejabat di Disdikda yang lulusan S-2.

Pada akhirnya, saya hendak mengatakan bahwa Bojonegoro (hanya) akan maju jika masyarakatnya mencintai ilmu pengetahuan, mencintai buku, memiliki tradisi membaca yang kuat. Dan jika tidak dimulai dari sekarang, maka generasi membaca akan hilang, digantikan dengan generasi menonton. Karena berapa jam anak-anak sekarang menonton televisi, dan berapa jam anak-anak membaca buku. Padahal, 5-10 tahun mereka akan berusia 30 an tahun.

Selamat Hari Buku Sedunia. Salam.


Nanang Fahrudin
Alumnus MA-I Attanwir Talun Sumberrejo. Aktif di gerakan membaca Sindikat Baca.

Surat untuk Ainaya

*Sebagai kado kecil sebuah kelahiran

Surat ini memang tak lah penting. Surat yang kutulis untuk anakku yang kini masih usia hitungan hari. Tapi tak apalah, aku ingin menulisnya sekarang meski baru akan dibaca tujuh atau sepuluh tahun lagi saat dia mengenal huruf-huruf. Sebuah surat cinta dari seorang ayah kepada anaknya, sebuah surat dari sesama manusia, sebuah surat dari pengharap kepada yang diharapkannya, sebuah surat dari malam kepada bulan.

***
Kepada anakku yang tersayang,
Ainaya Isfi Qulubina
di pelukan ibumu


Anakku!. Saat kau lahir malam sedang murung. Hujan deras disertai petir yang sesekali menyambar. Usia malam belumlah larut, tapi hujan menjadikannya sedikit cepat tua. Dan orang-orang enggan keluar rumah. Malam seakan ingin berkata kepadamu jika dunia sedang menangisi dirinya. Ingin mengadu kepadamu sebagai manusia yang masih suci. Mengadu tentang dirinya yang diinjak-injak manusia. Manusia yang tak lagi menghargai alam. Alam yang sedang sakit hati.
Anakku!. Kau lahir pada Rabu 4 Mei 2011 pukul 22.10 WIB. Lahir Rabu tapi dalam hitungan Jawa, dihitung lahir pada hari Kamis. Hitungan Jawa tidak diawali pada pijakan fajar pagi, tapi saat senja datang menyambut malam. Kenapa begitu? Ayah juga belum mengetahui pasti penyebabnya. Mungkin karena semua berawal dari sebuah senja, matahari bergeser sembunyi di balik cakrawala, dan saat itu tak baik ada manusia yang tidur. Semua harus menyaksikannya, harus merasakannya. Merasakan senja dengan upacara perpisahan matahari. Sandikala. Mungkin keindahannya, mungkin kesakralannya. Entahlah, tapi senja memang indah. Dan bagi orang Jawa, itulah awal pergantian hari.

Sampai di sini, bolehlah ayah bercerita sedikit. Saat kau merasakan dunia untuk pertama kalinya, negerimu sedang diterpa bermacam masalah. Ayahmu ini seringkali menyaksikan di televisi berita-berita yang tidak menyenangkan. Orang-orang yang diduga teroris diberondong peluru oleh Densus 88, ada pondok pesantren diidentikkan dengan gerakan negara Islam Indonesia, atau hanya gara-gara utang seorang suami tega membunuh istri dan anaknya. Hmm….ayah sering menangis dibuatnya.

Belum lama ini, ayah bertemu dengan banyak kawan. Mereka bertanya tentang dirimu. Aku menjawab jika kau masih belum lahir. Tapi saat kau dilahirkan, ayah begitu bahagia dan langsung mengabarkan kepada semua orang bahwa anakku telah lahir. Ayah masih ingat suara tangismu pertama kali. Tahukah kau, jika saat kau lahir, kau langsung bersin-bersin, seakan hendak mengeluarkan semua virus yang ada di tubuhmu. Ayah dan ibumu sangat senang. Kami semua tersenyum.
Tentang ibumu, ya ibumu begitu lemas malam itu. Dia selalu menatap ayah dengan tatapan ketakutan. Dia takut tak bertenaga saat melahirkanmu. Sejak ashar ibumu merasakan sakit yang teramat sakit. Tangan ayah digenggamnya kuat-kuat sampai memerah. Ibumu tidak mau ditinggal, ibumu begitu ketakutan. Lebih takut daripada saat melahirkan kakakmu Isfa A. Didharma.

“Sekarang prosesnya tinggal di sampean. Kami hanya bisa membantu saja” kata bidan desa kepada ibumu.
“Masih lamakah bu Al?”
“Ndak, sebentar lagi pasti lahir”
“Tapi aku kuat nggak bu?”

“Harus yakin kuat. Fokus saja. Sampean yang menentukan lama atau tidaknya proses. Nafas harus teratur. Fokus saat ngeden biar tidak percuma. Pendek-pendek saja, yang penting fokus. Dan jangan tutup mata. Buka saja. Kalau ditutup nanti matanya merah”.

“Bismillah. Yakin bisa. Sebentar lagi pasti lahir. harus kuat ya”.


Malam itu seakan menjadi puncak ketakutan bagi ibumu. Sebelumnya ketakutan itu selalu disuarakan kepada ayahmu ini. Saat menjelang tidur, saat bangun tidur, saat salat malam, dan saat-saat lain. Pernah ayah diminta mengucap janji agar ayah tidak menikah lagi jika ibumu tak terselamatkan saat melahirkanmu. Ayah jadi merinding dibuatnya dan hanya mengatakan “Istighfar sayang, Allah Maha Kuat. Tak ada yang tak mungkin bagi-Nya,”.

Dan malam itu, ya malam itu ketakutan yang sangat juga menjalar ke diri ayahmu ini. Ayah melihat lagi ketakutan ibumu yang dulu-dulu. Jantung ayah berdetak kencang, tapi wajah ayah selalu mencoba tersenyum menunjukkan ketegaran. Ayah tak mau ibumu tahu jika ayah juga ketakutan.

Saat itu, eyang putrimu tak tega melihat ibumu. Beliau hanya bisa berdoa sambil menangis di sudut ruang polindes yang sempit. Mukanya ditutup dengan dua telapak tangan. La haula wala quwwata illa billahil aliyyil adhim dilafalkan berulang-ulang dan berulang-ulang. Sedang budhe, bulek dan semua kerabat tak mengeluarkan suara apapun. Hening. Ayah tahu mereka semua berdoa dalam hati agar kau segera lahir. Dan kakakmu, Isfa sejak sore dia ingin sekali ikut ke polindes, tapi kakakmu masih terlalu belia. Kakakmu dibujuk agar tetap di rumah bersama mbah kakung. Itu pertama kali kakakmu tidur tanpa ayah dan ibumu. (nak!, ayah menangis saat menulis ini).

Malam benar-benar hening. Suara hanya terdengar dari ibumu. Suara erangan dengan tenaga yang tersisa untuk mendorongmu keluar. Sesekali ayah memberinya minum air agar tenaganya terkumpul lagi. Di luar malam masih basah oleh hujan. Bidan desa meminta ibumu memejamkan mata saat tidak ngeden. Relaksasi untuk mendatangkan tenaga baru.

Dan satu, dua, tiga…..akhirnya kau lahir ke dunia nak!. Awalnya kau belum langsung menangis. Ayah takut. Takut sekali. Tapi tak ada semenit kau keluarkan tangisan emas itu. Tangisan yang ditunggu semua orang. Ayah menangis, eyang putrimu menangis, dan semua kerabat ikut menangis. Tangisan bahagia. Sedang ibumu, dia lemas dan hanya menatap ayah dengan tatapan bingung. “Alhamdulillah” kata ayah di telinga ibumu.

Alhamdulillah. Satu manusia lahir ke dunia. Sebagai apa kau lahir?. Ayah sulit menjawab pertanyaan itu. Tapi ayah berpikir, kau bukan manusia yang akan menyebarkan kerusakan di darat dan di laut. Sebagai muslim, ayah berdoa kepada Tuhan untuk itu. Amin. Allah selalu mendengar doa yang baik. Ayah yakin itu.

Saat kau lahir banyak hal menyertai. Banyak hal memenuhi pikiran ayah. Manusia melihat proses kelahiran manusia. Seperti manusia melihat kematian manusia. Kau lahir sebagai manusia yang tentunya punya hak yang sama dengan manusia lain. Anakku, kau juga akan hidup sebagai manuisa yang kesehariannya bersama manusia. Kelahiran manusia seakan menunjukkan ada-tiada.

Anakku!. Pada satu sisi ayah merasa bimbang dengan kehadiranmu sebagai amanah anak dari Tuhan. Dunia ini sudah tak begitu manusiawi. Manusianya bergerak meninggalkan kemanusiaan. Banyak orang teriak atas nama Tuhan, meski yang sebenarnya adalah atas nama dirinya sendiri. Banyak orang membagi-bagikan keadilan, tapi nyatanya adalah membagikan kemalangan. Ya, kau lahir saat alam sudah begini rusaknya, udara sudah begini kotornya, moralitas tak lagi digenggam erat dalam bermasyarakat. Ah, banyak lagi kebimbangan-kebimbangan yang pada akhirnya membawaku pada titik terendah: ketakutan. Takut tak mampu memikul amanah.

Tapi, pada sisi lain aku begitu sombong merasa sangat kuat. Mampu membawa kau melewati semuanya. Mendidiknya, merawatnya, membantunya menjadi manusia. Ya, ternyata aku hanya bisa membantumu menjadi “manusia”. Tidak lebih. Semua berpulang kepada Tuhan, lingkungan, dan alam yang akan membentuknya dalam proses gerak kehidupannya. Dan masih banyak manusia yang tetap memegang kemanusiaan, banyak manusia yang tersenyum dan tak hanya marah, banyak manusia yang riang bukan manusia pencaci.

Yach, kebimbangan dan kegembiraan, kegundahan dan kesenangan, ketakutan dan keberanian, seakan berayun-ayun menyertaimu. Ayah dan ibumu pun sadar, kami tak punya kekuatan apapun, kecuali hanya mendampingimu sebagai manusia yang ditakdirkan paling dekat denganmu. Sebagai bapak-ibu.

Harapan…., ya harapan. Itulah yang kami punyai. Harapan itu menjelma pada nama yang kami berikan kepadamu. Isfi Qulubina. Dalam bahasa Arab nama itu berarti obatilah hati kami. Karena kami memang berharap, kau akan menjadi obat bagi kami, bukan menjadi racun. Di depan namamu kami tambahkan “Ainaya” yang bermakna dua mataku. Itupun sebuah harapan, kau akan menjadi dua mata yang akan menunjukkan kami jalan. Jalan Tuhan.

Anakku!. Namamu bukanlah beban bagimu. Kami sadar itu. Nama itu bukanlah sebuah tuntutan kami kepadamu. Karena alangkah malangnya kau, jika baru lahir sudah dituntut menjadi obat, atau menjadi begini dan begitu. Kami akan membiarkan kau menjadi dirimu sendiri. Ayah sadar, mungkin omongan ini mudah ayah ucapkan, tapi sulit ayah praktikkan kelak.

Anakku!. Selamat datang di dunia.

Salam hangat,
Hormat ayah yang selalu menyayangimu.

***


Selesai menulis surat, aku merasakan malam semakin dingin. Bulan separoh indah terlihat. Atap-atap gedung seperti bayangan hitam diterpa cahaya. Surat kulipat lalu kumasukkan ke dalam sebuah amplop putih. Istriku tidur nyenyak. Dua anakku dibuai mimpi didekap istriku.


Bumi Tuhan, 16 Mei 2011

Minggu, 18 September 2011

JANGAN (TAKUT) KORUPSI

OLEH : NANANG FAHRUDIN
(Dimuat Koran Seputar Indonesia Edisi Jatim, Senin 19 September 2011)
Bisa klik juga di : http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/428949/


Masihkah anda terus mengikuti berita-berita korupsi di media massa akhir-akhir ini?.Lalu bagaimana kesan anda dengan gerakan pemberantasan korupsi di negeri ini?. Maaf,saya tidak bermaksud melakukan survei ke anda,untuk kemudian saya munculkan ke media massa agar menjadi opini publik yang terus menggelinding seperti bola salju.Semakin jauh menggelinding,maka semakin besar pula bola salju itu.

Seorang tokoh sekaligus budayawan pernah menuturkan, negeri ini sedang bergerak tidak normal.Sehingga jalan-jalan normal sudah tidak bisa lagi diharapkan. Kalau perlu harus ada operasi caesar untuk melahirkan perubahan negeri ini agar lebih baik.Bayangkan,katanya,kalau dengan jalan normal maka perlu waktu 300 tahun untuk memberantas korupsi.Padahal, 300 tahun lagi kita sudah menyatu dengan tanah.

Ya,negeri ini memang sudah begitu akut diserang virus korupsi.Korupsi telah menyebabkan banyak orang mudah frustasi.Lihat saja,ulah Arifin Wardiyanto asal Yogyakarta melakukan aksi menyayat keningnya sendiri dengan pisau cutter. Aksi ini dilakukan di depan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jl.HR. Rasuna Said,Jakarta Selatan, Kamis (15/9) lalu.

Arifin beralasan, ia nekat menyayat keningnya karena tak puas dengan kinerja KPK dalam memberantas korupsi. Arifin mungkin satu di antara sekian banyak warga negeri ini yang frustasi.Ia pun memilih jalan yang tak lazim itu,yakni melukai diri sendiri. Tapi tak jarang warga negeri ini yang juga merasa frustasi atas virus korupsi ini.Tapi memilih jalan yang berbeda.Misalnya jalan demonstasi,dialog, mencari data-data dugaan korupsi,atau hanya memilih diam saja.

Tapi banyak pula masyarakat yang frustasi akibat meyakini jika korupsi di negeri ini tak mungkin diberantas lagi. Maka mereka lalu memilih jalan ikut korupsi,dan berkata “Enak saja,masak Gayus saja yang bisa korupsi dan mengeruk uang negera miliaran rupiah. Masak Nazarudin saja yang bisa membeli tas seharga motor.Saya pun bisa,meski kecil-kecilan.Gayus dan Nazarudin itu kan pas lagi apes saja sekarang”.

Jika dulu masyarakat memaknai korupsi sebagai tindakan mencuri,tapi kini ada pergeseran makna.Korupsi tak lagi diopinikan sebagai tindakan mencuri,melainkan sebagai penyalahgunaan wewenang atau penyelewengan uang negara.Akibatnya korupsi hanya persoalan menyalahi aturan,dan tak berkaitan langsung dengan menyalahi moral, apalagi melanggar hukum agama.

Makna korupsi yang demikian terus menggelinding menjadi opini publik.Pejabat tak lagi khawatir bersentuhan dengan praktik korupsi.Karena korupsi dipandang hanya persoalan memaknai undangundang. Perbedaan memaknai aturan, bisa berdampak pada perbedaan memaknai apakah tindakan itu korupsi (mencuri) atau hanya kesalahan administrasi. Tindakan korupsi pun menjadi bukan tindakan tercela, karena hanya persoalan beda pandangan akan sebuah aturan saja.

Akhirnya,korupsi di negeri ini menjadi bukan sesuatu yang perlu ditakuti lagi.Pertama, karena tak semua koruptor bisa dijebloskan ke penjara. Kedua,seseorang yang diduga melakukan korupsi bisa ‘bermain’ pada ranah pembuktian, karena korupsi sulit dibuktikan. Ketigadan seterusnya, tindakan korupsi bisa ‘dibenarkan’ melalui opini publik yang terus dibangun,sehingga koruptor akan tetap dipuji masyarakat di kemudian hari.

Ah,ngomong soal korupsi koktiba-tiba saya teringat cerita dari seorang kawan.Alkisah di akherat nanti setiap orang berkumpul sesuai asal negaranya. Setiap negara ditandai dengan jam dinding yang putaran jam-nya tergantung pada tingkat korupsi di negerinya. Warga Thailand sempat bertanya “Malaikat,kok jam kami berputar cepat?”.Malaikat menjawab “Karena di negeri anda korupsi sangat tinggi”. Berbeda dengan jam milik negara Singapura yang berputar pelan.“Karena di negeri anda angka korupsinya kecil,” kata sang malaikat.

Lalu di tempat orang Indonesia,semua ribut karena jam dindingnya tidak ada. “Di mana jam kami?,”tanya salah satu warga Indonesia.“Anda dari mana?”. Dengan serentak dijawab “kami dari Indonesia”.Sang malaikat pun menjawab dengan tenang “maaf ya,jam anda kami pinjam untuk kipas angin. Tuh ada di sudut”.Salam.

Minggu, 07 Agustus 2011

PENGGANTI SECANGKIR KOPI PAGI HARI

(Dimuat di Koran SINDO Jatim edisi Minggu 7 Agustus 2011)



Oleh : Nanang Fahrudin

Ketika bangun pagi, kebiasaan anda mungkin duduk di depan teve dan mengobati rasa ingin tahu anda tentang kabar terbaru apa hari ini. Atau memilih duduk di teras rumah sambil membaca koran pagi, dan membuka halaman politik. Di teve maupun koran, berita dipenuhi kasus korupsi, mafia peradilan, nyanyian Nazarudin, atau omongan Marzuki Ali yang orang terhormat itu tentang perlunya memaafkan koruptor.

Kita akan semakin bingung ketika banyak orang berlomba mendirikan parpol baru, meski setiap survei menunjukkan bahwa parpol adalah lembaga paling korup. Saya sebagai bagian dari masyarakat bawah semakin bingung ketika KPK dituntut dibubarkan saja. Satu hal yang menyembul dari pikiran saya yang sederhana ini: kemana negeri ini melangkah?. Saya benar-benar sulit memahami apa yang sedang terjadi.

Saat bingung dan mencoba menerka-nerka gerak bangsa ini, saya membaca novel “The Godfather” karya Mario Puzo. Pada novel itu saya mengenal sosok Don Vito Corleone, sang penguasa dunia mafia di Amerika tahun 1940 an yang menjadi tokoh utama dalam novel 600 an halaman itu. Bisnis keluarganya “menguasai” sebagian kawasan Amerika meski harus bersaing dengan lima kerajaan bisnis keluarga lain. Bagi Don Corleone, negara adalah patner yang menyenangkan untuk diajak berbisnis.

Bisnis ekspor minyak zaitun dari Italia dan bisnis perjudian berkembang pesat di bawah tangan Don. Kerajaan bisnisnya terus berkembang ke perhotelan, kasino dan diskotek dengan tanpa hambatan. Ia memiliki banyak koneksi dengan pihak kepolisian dan para hakim yang sangat membantu gerak roda bisnisnya. Semua bisa diatur oleh tangannya. Tapi, tangan-tangan Don yang memiliki kekuatan besar itu tak pernah diperlihatkan ke publik. Tangan itu bergerak di bawah tanah dengan sistem yang cukup rapi. Sedang tanganya di mata publik adalah tangan yang penuh persahabatan.

Usai membaca “The Godfather” saya teringat roman “Rumah Kaca” yang saya baca beberapa tahun lalu. Karya Pramoedya Ananta Tour tersebut merupakan buku keempat dari Tetralogi Pulau Buru. Buku pertama “Bumi Manusia” lalu disusul buku “Anak Semua Bangsa” dan “Jejak Langkah” serta yang terakhir ditutup dengan “Rumah Kaca”. Buku keempat roman ini memotret dengan apik soal tangan-tangan tak terlihat yang dipakai penguasa mengendalikan warganya, terutama warga yang “tak disukai”.

Melalui tokoh fiksi bernama Minke, Pramoedya menunjukkan dengan tepat bagaimana penguasa meletakkan kaca cermin di setiap sudut kehidupan Minke. Cermin itu hanya bisa dilihat oleh penguasa, sedang Minke tak merasa curiga. Tangan tak terlihat itu mengerti betul kapan Minke sakit dan dokter mana yang akan dituju untuk dimintai tolong, semua sudah terlihat jelas di kaca cermin itu. Hingga akhirnya, Minke meninggal setelah dokter yang hendak memeriksa dirinya sudah diancam agar tidak menangani Minke. Ancaman itu datang persis sesaat sebelum Minke dibawa ke kamar praktek sang dokter. Minke pun dibawa pulang lagi tanpa pengobatan layak di rumahnya, hingga akhirnya tak tertolong. Sebuah kematian yang sudah direncakan dengan bagus kepada seorang tokoh pergerakan nasional.

***

Sambil duduk di teras rumah tanpa ditemani secangkir kopi (karena puasa Ramadan), saya teringat pertanyaan saya di awal tulisan ini : kemana negeri ini melangkah?. Lalu saya bertanya -entah kepada siapa, mungkin kepada anda- adakah tangan-tangan tak terlihat seperti dalam dua karya fiksi yang saya sebutkan di atas, yang menggerakkan bangsa ini dan membawanya entah kemana.

Jika jawabannya “ya”, maka saya sedikit lega. Karena bisa sedikit memahami arah negeri ini. Kelegaan itu bukan soal menyetujui arah langkah negeri ini yang begitu muram, tapi karena terbebas dari kebingungan memahaminya. Jika “ya” berarti negeri ini sekarang berada di tangan-tangan pengendali yang tak terlihat dengan desain yang sudah matang. Dan yang tampak di teve, surat kabar, atau pernyataan di depan publik mungkin hanya pernyataan luaran saja.

Tapi jika jawabannya “tidak”, maka dengan cara bagaimana lagi memahami negeri ini. Apakah Nazarudin adalah benar seorang pahlawan yang hendak menyelamatkan negeri ini dari badai korupsi yang melanda?. Apakah Marzuki Ali adalah orang yang begitu arif dan bijaksana dengan menyerukan pemaafan massal kepada koruptor, ketika semua orang menebarkan kebencian kepada koruptor?. Atau apakah tetangga saya yang miskin sejak kakeknya bukan karena ada tangan-tangan tak terlihat yang merampas haknya untuk hidup berkecukupan?. Entahlah. Salam!.

Senin, 25 Juli 2011

SHOPAHOLIC HORE


Oleh : Nanang Fahrudin
(Catatan di Koran Seputar Indonesia edisi Jatim pada 24 Juli 2011)

Mari kita rayakan zaman ini. Shopaholic Hore!. Semua asyik berbelanja. Anak-anak remaja antre berjam-jam untuk membeli tiket nonton penampilan Jastin Bieber. Para ibu-ibu duduk-duduk bergerombol sambil cas-cis-cus di kafe lantai empat sebuah mal. Sedang para bapak yang terhormat memilih-milih lukisan yang dipamerkan di hotel berbintang lima. Pulang ke rumah, mereka bertemu, bersenda gurau menunjukkan kehebatan masing-masing mendapatkan barang-barang buruannya.

Sementara di sudut gang sempit, anak usia SD merengek kepada bapaknya minta dibelikan ponsel nokia 3G. Hape yang digenggamnya tak sama dengan hape yang dibawa teman-temannya saat bermain di bawah pohon keres. Sang anak menangis karena selalu diejek teman-temannya. Sang bapak pun tak tega dan berjanji saat gaji guru bulan depan cair, anaknya akan dibelikan hape yang diinginkannya.

Ya, semangat berbelanja benar-benar sedang menggelora. Belanja telah menemukan “dirinya” yang sebenarnya. Tak peduli kaya atau miskin. Entah bagaimana ceritanya, belanja telah bergandengan dengan pariwisata sehingga lahirnya istilah : wisata belanja. Belanja juga berubah menjadi kebutuhan psikologis, bukan kebutuhan biologis semata. Ketika anda membeli jam tangan, bukan jam tangan lagi yang anda butuhkan tapi merek dan harganya. Ketika sedang depresi, belanja bisa menjadi obat, seperti Brietny Spears yang menghabiskan ….. untuk memulihkan psikologisnya dari depresi. Kok bisa?. Itulah shopaholic, dan sekarang sedang dirayakan oleh hampir semua orang.

Shopaholic sendiri berasal dari kata shop yang berarti belanja, dan aholic yang bermakna sebuah kebiasaan atau ketergantungan terhadap hal yang dilakukan dengan sadar atau pun tidak. Jadi shopaholic adalah ketergantungan seseorang akan belanja, disadari ataupun tidak. Anda mudah menemukan orang-orang yang terjangkit shopaholic itu. Bahkan mungkin menemukannya pada diri kita sendiri. Bukan pada orang lain.

“Ya normal lah. Sekarang memang zamannya demikian. Tak ada yang salah dengan berbelanja kan?” tanya kawanku. Ya, memang tak ada yang salah, bahkan sangat benar mungkin. Belanja akan menggerakkan roda ekonomi. Ketika roda ekonomi bergeliat, berarti “pasar” dalam kondisi sehat.

Tapi pernahkah kita bertanya, siapa yang diuntungkan?. Kenapa kita harus belanja barang-barang yang seringkali tidak dibutuhkan?. Bukankah barang-barang yang kita beli memiliki harga selangit akibat persaingan dengan barang-barang lainnya?. Ketika perusahaan-perusahaan besar memproduksi barang-barang konsumsi, mereka memberi sejuta pilihan kepada kita. Tapi bagi kita, tak ada pilihan kecuali merayakannya, menjadi shopaholic dan melompat girang sambil berteriak : horeee….

Istilah “wisata belanja” dan “menjadi shopaholic” telah menjadi mitos di zaman ini. Ketika kita bukan shopaholic, kita belumlah menjadi manusia sempurna. Dorongan shopaholic begitu kuat merasuk dalam diri seseorang. Ketika Rasul Muhammad memberi tuntunan “makanlah ketika merasa lapar”, kini dirubah menjadi “makanlah di restoran atau kafe, ada masakan Italia atau masakan Jepang”. Ketika agama menuntun “isi sepertiga perutmu dengan makanan, sepertiganya dengan air, dan sepertiganya lagi dengan angin”, kini mungkin yang terjadi adalah “isilah sepertiga rumahmu dengan mobil, sepertiganya dengan perhiasan emas, dan sepertiganya perabot mahal dari tanah Tiongkok”.

Hmm….mari kita tarik nafas panjang. Duduk di kursi malas sejenak, menikmati suara deburan ombak imitasi dari layar televisi, membuka buku berisi pikiran-pikiran Sekolah Frankfurt teori kritis masyarakat, dan sesekali mendengar seruan Nabi yang keluar dari compact disk “tidak bakal susah orang yang hidup sederhana,” sebuah hadits riwayat Imam Ahmad. Kalo butuh merenung lebih lama, pesan saja kopi lewat telepon genggang yang ada di saku anda.

Apa yang anda pikirkan sekarang?. Memilih hidup sederhana (membatasi konsumsi, selalu menimbang arah budaya masyarakat, membanding-bandingkan rasionalitas dengan irasionalitas saat berbelanja), atau memilih hidup yang juga sederhana (menjadi sophaholic, ceria di mal, bisa berwisata belanja tiap hari, tak perlu berpikir berat-berat, yang penting sukses memiliki uang banyak tak peduli cara mendapatkannya). Jika anda memilih yang pertama, anda berada di lingkaran kecil. Sedang jika anda memilih pilihan kedua, banyak teman anda yang siap menyertai. Bisa tertawa lepas merayakan shopaholic, sambil berteriak : horeeee…..
 
© Copyright 2035 godongpring