CATATAN PERJALANAN KE SINGAPURA (bagian 2-habis)
Pagi begitu dingin. Matahari terlambat datang setelah terhalang mendung. Tapi waktu tetap berjalan ke depan, tak peduli mendung, tak peduli matahari. Manusia tak lagi melihat perubahan alam untuk menentukan waktu. Karena cukup dengan jarum jam di dinding, lengan, atau di layar ponsel. Mereka yakin, itulah waktu yang sebenarnya.
Dari kaca jendela kamar hotel lantai enam, saya melihat orang-orang sudah mulai beraktivitas. Bukan orangnya yang tampak oleh mata saya, melainkan payung bulat yang menutupi kepala-kepala mereka dari rintik hujan yang mulai turun. Payung-payung itu bergerak, menyusuri pedestrian Orchard Road yang begitu lebar.
Jadwal pesawat pukul 09.00 waktu Singapura memaksa kami segera bersiap-siap. Hari itu, Senin (14/11) kami harus kembali ke tanah air. Beberapa potong kaos, oleh-oleh untuk anakku sudah masuk ke dalam tas, agar tak tertinggal. Setelah semua siap, kami (saya dan kawan jurnalis dari Semarang) turun ke resto untuk sarapan.
Dasar lidah jawa, saya tidak begitu banyak makan. Makanan yang ada, selain namanya sulit diucapkan juga rasanya tak enak. Saya pun hanya mengambil dua sosis, telur mata sapi, dan beberapa potong …(entah apa namanya). Sengaja saya ambil minuman berupa susu segar, agar tubuh ini segar.
Saat makan, di meja samping kanan saya ada dua orang yang juga sedang sarapan. Mereka duduk berhadap-hadapan. Usia keduanya mungkin sudah 50-60 an tahun. Keduanya saling bercakap sambil sesekali mengunyah makanan. Saya tidak faham apa yang dibicarakan karena memakai bahasa China. Tapi dari raut wajah, saya bisa menangkap bahwa mereka begitu mesra. Sesekali mereka tertawa kecil. Dan sesekali saya melirik mereka.
Tak lama kemudian, ada seorang perempuan sekitar usia 20 an tahun. Mungkin dia anaknya. Sambil membawa kamera kecil, keduanya diminta duduk berdekatan, dan ‘klik’ kamera itu mengabadikan gambar kemesraan itu. Sebuah kemesraan yang begitu indah di usia yang sudah lanjut. Setelah beberapa jepretan, mereka melanjutkan makan dengan tetap terus tersenyum. Sang nenek mengusap-usap pipi suaminya saat bercerita. Tapi sekali lagi, sayang saya tidak bisa mengerti apa yang mereka bicarakan. Hanya kemesraan mereka yang bisa saya tangkap. Saya menangkap dengan mata dan hati saya.
Usai sarapan, kami langsung menuju loby hotel menunggu taksi yang akan membawa kami ke Bandara Changi. Tak sampai lima menit, taksi sudah datang siap membawa kami ke bandara. Jalanan Singapura begitu rapi, begitu bersih. Sesekali saya masih bisa melihat sepeda vespa di jalan. Dan pikiran saya ternyata masih tertinggal di resto hotel, melihat pasangan lanjut usia yang begitu mesra.
Lantas saya pun ingat saat berada di pesawat dari Jakarta ke Singapura. Saya duduk di kursi dekat jendela. Di samping saya ada dua orang (sepertinya dari China juga) yang usianya sekitar 50-60 an tahun. Keduanya begitu akrab. Kami tidak mengobrol, tapi kami saling melempar senyum, saat hendak duduk, dan saat hendak keluar pesawat. Ketika pesawat sedang terbang, mereka menawari saya permen. Tapi saya menolak dengan senyuman. Saya berpikir itu tawaran basa-basi yang harus saya tolak. Sang nenek membuka bungkus permen lalu diberikan ke sang kakek. Hmm…dunia sekitar saya memang sedang berdendang lagu kemesraan.
Lamunan saya berhenti saat taksi masuk ke Bandara Changi. Masuk ke bandara pemeriksaan petugas begitu ketat. Laptop harus dikeluarkan dari tas, sabuk harus diperlihatkan, dan kunci motor saya dipelototi karena (mungkin) terbuat dari logam. Baru saat semua beres, kami boleh masuk ke pesawat.
Entah kebetulan atau kenapa, lagi-lagi saya bertemu dengan sepasang manusia. Saya berada di kursi dekat jendela dan ada dua orang duduk di samping saya. Hanya saja, pasangan ini berbeda dari dua pasangan yang saya ceritakan tadi. Pasangan kali ini berasal dari Kanada. Saya membaca dari arrival card yang diisinya. Nama Minni asal Kanada lahir tanggal 3 Desember 1986. Sedang yang laki-laki saya tidak mengetahuinya.
Sepanjang perjalanan mereka tak henti-hentinya menebar kemesraan. Tapi entah kenapa kemesraan kali ini berbeda dengan kemesraan nenek-kakek itu. Pasangan di samping saya terus saja berpelukan, dan saya risih sendiri berada di samping mereka. Mereka juga berfoto bersama. Dan tawanya begitu keras tanpa malu didengar penumpang lain.
Saya pun akhirnya tak tertarik dengan mereka lagi. Ingatan saya masih saja pada dua pasangan usia lanjut, di resto hotel dan di pesawat Jakarta-Singapura. Semuanya berbicara dengan bahasa kemesraan. Tapi entah kenapa kemesraan yang masing-masing mereka tunjukkan begitu berbeda. Di manakah perbedaan itu?. Saya sulit menjelaskan ke anda. Ah, mungkin anda lebih mengetahui jawabannya.
Singapura 12-14 November 2011
Pagi begitu dingin. Matahari terlambat datang setelah terhalang mendung. Tapi waktu tetap berjalan ke depan, tak peduli mendung, tak peduli matahari. Manusia tak lagi melihat perubahan alam untuk menentukan waktu. Karena cukup dengan jarum jam di dinding, lengan, atau di layar ponsel. Mereka yakin, itulah waktu yang sebenarnya.
Dari kaca jendela kamar hotel lantai enam, saya melihat orang-orang sudah mulai beraktivitas. Bukan orangnya yang tampak oleh mata saya, melainkan payung bulat yang menutupi kepala-kepala mereka dari rintik hujan yang mulai turun. Payung-payung itu bergerak, menyusuri pedestrian Orchard Road yang begitu lebar.
Jadwal pesawat pukul 09.00 waktu Singapura memaksa kami segera bersiap-siap. Hari itu, Senin (14/11) kami harus kembali ke tanah air. Beberapa potong kaos, oleh-oleh untuk anakku sudah masuk ke dalam tas, agar tak tertinggal. Setelah semua siap, kami (saya dan kawan jurnalis dari Semarang) turun ke resto untuk sarapan.
Dasar lidah jawa, saya tidak begitu banyak makan. Makanan yang ada, selain namanya sulit diucapkan juga rasanya tak enak. Saya pun hanya mengambil dua sosis, telur mata sapi, dan beberapa potong …(entah apa namanya). Sengaja saya ambil minuman berupa susu segar, agar tubuh ini segar.
Saat makan, di meja samping kanan saya ada dua orang yang juga sedang sarapan. Mereka duduk berhadap-hadapan. Usia keduanya mungkin sudah 50-60 an tahun. Keduanya saling bercakap sambil sesekali mengunyah makanan. Saya tidak faham apa yang dibicarakan karena memakai bahasa China. Tapi dari raut wajah, saya bisa menangkap bahwa mereka begitu mesra. Sesekali mereka tertawa kecil. Dan sesekali saya melirik mereka.
Tak lama kemudian, ada seorang perempuan sekitar usia 20 an tahun. Mungkin dia anaknya. Sambil membawa kamera kecil, keduanya diminta duduk berdekatan, dan ‘klik’ kamera itu mengabadikan gambar kemesraan itu. Sebuah kemesraan yang begitu indah di usia yang sudah lanjut. Setelah beberapa jepretan, mereka melanjutkan makan dengan tetap terus tersenyum. Sang nenek mengusap-usap pipi suaminya saat bercerita. Tapi sekali lagi, sayang saya tidak bisa mengerti apa yang mereka bicarakan. Hanya kemesraan mereka yang bisa saya tangkap. Saya menangkap dengan mata dan hati saya.
Usai sarapan, kami langsung menuju loby hotel menunggu taksi yang akan membawa kami ke Bandara Changi. Tak sampai lima menit, taksi sudah datang siap membawa kami ke bandara. Jalanan Singapura begitu rapi, begitu bersih. Sesekali saya masih bisa melihat sepeda vespa di jalan. Dan pikiran saya ternyata masih tertinggal di resto hotel, melihat pasangan lanjut usia yang begitu mesra.
Lantas saya pun ingat saat berada di pesawat dari Jakarta ke Singapura. Saya duduk di kursi dekat jendela. Di samping saya ada dua orang (sepertinya dari China juga) yang usianya sekitar 50-60 an tahun. Keduanya begitu akrab. Kami tidak mengobrol, tapi kami saling melempar senyum, saat hendak duduk, dan saat hendak keluar pesawat. Ketika pesawat sedang terbang, mereka menawari saya permen. Tapi saya menolak dengan senyuman. Saya berpikir itu tawaran basa-basi yang harus saya tolak. Sang nenek membuka bungkus permen lalu diberikan ke sang kakek. Hmm…dunia sekitar saya memang sedang berdendang lagu kemesraan.
Lamunan saya berhenti saat taksi masuk ke Bandara Changi. Masuk ke bandara pemeriksaan petugas begitu ketat. Laptop harus dikeluarkan dari tas, sabuk harus diperlihatkan, dan kunci motor saya dipelototi karena (mungkin) terbuat dari logam. Baru saat semua beres, kami boleh masuk ke pesawat.
Entah kebetulan atau kenapa, lagi-lagi saya bertemu dengan sepasang manusia. Saya berada di kursi dekat jendela dan ada dua orang duduk di samping saya. Hanya saja, pasangan ini berbeda dari dua pasangan yang saya ceritakan tadi. Pasangan kali ini berasal dari Kanada. Saya membaca dari arrival card yang diisinya. Nama Minni asal Kanada lahir tanggal 3 Desember 1986. Sedang yang laki-laki saya tidak mengetahuinya.
Sepanjang perjalanan mereka tak henti-hentinya menebar kemesraan. Tapi entah kenapa kemesraan kali ini berbeda dengan kemesraan nenek-kakek itu. Pasangan di samping saya terus saja berpelukan, dan saya risih sendiri berada di samping mereka. Mereka juga berfoto bersama. Dan tawanya begitu keras tanpa malu didengar penumpang lain.
Saya pun akhirnya tak tertarik dengan mereka lagi. Ingatan saya masih saja pada dua pasangan usia lanjut, di resto hotel dan di pesawat Jakarta-Singapura. Semuanya berbicara dengan bahasa kemesraan. Tapi entah kenapa kemesraan yang masing-masing mereka tunjukkan begitu berbeda. Di manakah perbedaan itu?. Saya sulit menjelaskan ke anda. Ah, mungkin anda lebih mengetahui jawabannya.
Singapura 12-14 November 2011