Minggu, 11 Desember 2011

YANG MUDA, YANG KREATIF?

Oleh: Nanang Fahrudin
(Dimuat di Harian Seputar Indonesia Edisi Jatim 11 Desember 2011)

Membolak-balik halaman buku, mencoba mengenal para tokoh pergerakan nasional pra kemerdekaan. Saya pun ‘bertemu’ dengan sosok Tirto Adhi Soerjo (1880-1918), Bapak Pers Nasional. Di usia 23 tahun, Tirto mendirikan koran yang diberi nama ‘Soenda Berita’. Dan pada usia 25 tahun ia mendirikan ‘Medan Prijaji’ yang di kemudian hari disebut sebagai media pertama dengan pengelola orang-orang pribumi.

Selain Tirto Adhi Soerjo, ada sejumlah nama besar yang ikut mewarnai sejarah bangsa ini. Mereka semua berkiprah pada usia muda. Sebut saja Soekarno (1901-1970) sang proklamator republik ini. Pada usia 25 tahun Bung Karno mendirikan Algemene Studie Club di Bandung. Menginjak usia 28 tahun ia mulai merasakan hidup di penjara dan menulis pledoi ‘Indonesia Menggugat’.

Semaoen (1899-1971) sebagai tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah mulai berkiprah di dunia pergerakan pada usia 14 tahun. Saat itu ia masuk di Syarikat Islam (SI) dan usia 19 tahun memimpin SI Semarang. Jenderal Sudirman, pahlawan yang aktif di Hizbul Wathan Muhammadiyah diangkat menjadi panglima dan jenderal pada usia 31 tahun. Sedang pendiri Muhammadiyah KH. Ahmad Dahlan (1868-1923) memutuskan menimba ilmu di Mekkah pada usia 15 tahun karena merasa resah akan akhlak bangsa.

Dari membolak-balik buku dan mendapati tokoh masa lalu, saya mencoba mengenal para tokoh yang mewarnai kehidupan bernegara saat ini. Entah kenapa, eh.. ‘bertemu’ dengan Gayus Tambunan. Pejabat Ditjen Pajak ini menjadi begitu mewarnai wajah pemberantasan korupsi di tanah air. Di usianya ke-32, Gayus mampu ‘mengacak-acak’ sistem anti korupsi yang dibangun oleh negeri ini. waktu ditahan, dia bisa ke Singapura dan bisa nonton pertandingan tennis di Bali.

Kalau Anda ingin ‘mengenal’ Gayus pun sekarang tidak sulit karena tinggal klik: http://id.wikipedia.org/wiki/Gayus_Tambunan. Semua tentang Gayus bisa diketahui. Maklum, dia adalah salah satu ‘tokoh’ selain Jaksa Urip Tri Gunawan dan Malinda Dee.

Selain Gayus, saya ‘bertemu’ dengan Briptu Norman Kamaru (eh maaf sekarang tanpa Briptu). Mantan anggota Brimob ini kelewat terkenal di dunia artis sehingga memilih meninggalkan polisi. Norman memilih hengkang dari korps Polri karena ingin lebih serius menekuni dunia tarik suara.

Ya, Gayus dan Norman boleh jadi adalah inspirasi bagi remaja dan pemuda saat ini. Gayus berada pada kutub dunia birokrasi negeri ini yang terus dicoreng moreng oleh korupsi. Gayus membuktikan perilaku korupsi tak hanya dilakukan oleh para pejabat usia tua, karena ternyata pejabat usia muda pun (seperti Gayus) begitu ‘menikmati’ melakukan korupsi.

Sedang Norman adalah perwujudan keinginan jiwa muda yang menginginkan eksistensi di dunia hiburan yang begitu hingar bingar dan glamour. Anak-anak muda akan berpikir dua kali jika memilih hidup yang menjauh dari dunia konsumsi yang instan. Anak-anak remaja begitu asyik berdandan ala artis Korea, membikin boy/girl band, dan menjadikan diri mereka ‘sesuatu banget’. Dan memang inilah pilihan hidup anak muda dan remaja saat ini.

Memang, semua kembali pada persoalan pilihan hidup. Gayus memilih mengejar materi dengan caranya meski berakhir di penjara. Sedang Norman memilih keluar dari korps Polri untuk mengejar ketenaran. Tak ada yang salah dalam pilihan hidup, karena semua ada konsekuensinya. Dan ketika sebagian besar para remaja dan pemuda kita memilih jalan seperti Gayus ataupun Norman, kita juga bisa membayangkan ke mana bangsa ini melangkah.

Ah, sebaiknya saya membaca berita-berita di media massa (cetak maupun elektronik) agar tidak ketinggalan zaman. Eh, saya ‘bertemu’ dengan berbagai informasi tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang membidik rekening para PNS muda. Karena para PNS muda banyak yang memiliki rekening di luar kewajaran. Maksud saya tentu isinya yang kelewat banyak yakni miliaran rupiah.

Kawan saya mencolek bahu saya lalu berkata “dulu orang-orang muda berjuang memerdekakan bangsa dan mengusir penjajah. Sekarang orang-orang muda melanjutkan berjuang. Tapi berjuang dengan makna lain, yakni beras, baju, dan uang”. Saya pun menjawab santai “ah, tak semua seperti itu kok”.

Lalu saya membetulkan cara duduk dan memesan secangkir kopi. Kopi pahit yang terasa lebih nikmat. Salam.

Surabaya, 10 Desember 2011

2 komentar:

Dee mengatakan...

aih aih..
mantab,mas Nang..
iya juga ya, aksi para "muda" itu yg harusnya jadi titik perhatian utama..karena para muda lah yg akan menentukan wajah bangsa ini di masa mendatang..
perasaan jadi campur aduk ne..
sebagai pemuda, "apa yg sudah kulakukan utk negriku?" hmm...

sekolahmenulis mengatakan...

Oke dita, penting tetap semangat...hehe. sukses always

 
© Copyright 2035 godongpring