(Sebuah Catatan tentang Buku)
Oleh : Nanang Fahrudin
Bukumu adalah kehidupanmu. Bukumu adalah dirimu. Ya, buku memang dipercaya bisa menunjukkan identitas siapa pemiliknya. Jika buku itu lusuh, kotor, atau banyak halaman yang dilipat, mungkin saja pemiliknya kurang menyayanginya. Sebaliknya, jika buku itu disampul rapi, halaman tak ada yang ditekuk, atau ada tulisan namanya di halaman pertama, mungkin pemiliknya begitu menyayanginya, merawatnya dengan baik. Soal penilaian demikian, anda boleh percaya, boleh juga tidak.
Buku atau dalam bahasa arab kitab, sejak dulu mempunyai “jiwa” sendiri. Jiwa itu akan tetap hidup di tengah peradaban manusia, mempengaruhi pikiran manusia, dan menentukan ke arah mana manusia melangkah. Jiwa itulah sebenarnya yang ditakuti siapapun, termasuk negara. Sehingga, atas nama negara buku ini dilarang terbit, atau buku itu dilarang terbit.
Di Indonesia, pelarangan buku sudah bukan hal aneh. Karya-karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer banyak yang dilarang terbit pada era orde baru. Buku-buku pelajaran sejarah yang tidak mencantumkan PKI harus ditarik dari peredaran. Bahkan, sejumlah majalah yang dianggap mengancam negara pun dilarang terbit. Hingga akhirnya, putusan MK yang memberi kran kebebasan untuk penerbitan buku terbit tahun 2010. Jika Kejaksaan Agung hendak melarang buku, harus pengadilan yang mengeluarkan perintah.
Di Amerika, pelarangan buku pun sempat ada. Tapi itu terjadi pada tahun 1950-an. Di antaranya menimpa buku karya Vladimir Nabokov berjudul Lolita. Buku ini berbentuk novel yang berkisah tentang percintaan seorang bapak dengan gadis remaja. Lantaran dilarang, buku ini pun laris di pasaran. Bahkan, buku yang ada tulisan tangan sang penulis di halaman depannya dilelang Rp2,4 miliar pada tahun 2004. Buku ini, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan bisa dibeli dengan harga Rp50.000 an.
Banyak buku yang hingga kini (bahkan di tahun-tahun mendatang) akan tetap “hidup”. Contoh yang paling gampang adalah buku tetralogi buru karya Pramoedya, mulai Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Atau buku karya Iwan Simatupang yang berjudul Ziarah atau Merahnya Merah. Dan sebut saja buku lain seperti Dilema Usaha Manusia Rasional karya Shindunata, atau buku tiga jilid berjudul Nusa Jawa: Silang Budaya karya Dennys Lombart. Belum lagi buku-buku karya tokoh besar seperti Bulughul Marom karya Ibnu Hajar Al-Asqalani, Muqoddimah karya Ibnu Kholdun, atau Das Kapital karya Karl Marx, dan seterusnya.
Saya meyakini, “jiwa” buku yang merupakan buah pemikiran penulisnya itu akan tetap hidup dari generasi ke generasi. Diproduksi dan direproduksi, secara fisik (dalam bentuk buku) maupun non fisik (diskursus). Dan jiwa itu hanya bisa digenggam oleh mereka yang menyenangi buku dan isinya. Karena mustahil orang yang tidak menyenangi buku, akan bisa mencintainya dengan sepenuh hati. Seperti halnya anda jika tidak mencintai pacar anda sepenuh hati, maka sulit mengenali hatinya.
Saya bukan hendak mengatakan, saya telah sampai pada titik mencintai buku dan mampu menggenggam jiwanya. Bukan. Saya hanyalah orang yang berusaha mencintai buku, dan berusaha meraih hatinya. Dan kalaupun bisa menggenggamnya, saya berusaha tidak melepaskannya begitu saja.
Maaf, mungkin saya terlalu hiperbola memaknai buku. Memang bagi sebagian orang, buku tak lebih kumpulan kata yang hendak menunjukkan sesuatu kepada pembaca. Bahkan, buku bisa menjadi sesuatu yang menjijikkan, karena dianggap berisi sesuatu yang buruk. Dan boleh jadi demikian. Sehingga, seperti yang saya katakan di awal tulisan ini, buku menunjukkan diri pemiliknya. Buku-buku apa yang dikoleksi, maka akan bisa ditebak orang seperti apa pemiliknya. Meski harus diakui, cara menyimpulkan demikian begitu dangkal. Tapi terpenting, buku benar-benar memiliki “jiwa”.
***
Ibarat kekasih, buku juga punya sejarah kelahirannya. Bukan soal proses penulisannya saja. Melainkan bagaimana anda mendapatkan buku itu pun bisa dimaknai sebagai proses percintaan. Dan anda kelak menjadikannya spesial di diri anda. Coba anda ingat-ingat, setiap kali membeli atau meminjam buku pasti disertai alasan. Entah karena anda mendengarkan kehebatan buku itu, atau sekedar penasaran, atau karena tidak sengaja mendapatkannya. Persis ketika anda mendapatkan seorang pacarkan?
Saya teringat ketika saya mendapatkan buku Musashi karya Eiji Yoshikawa. Sejak mahasiswa dulu, saya sudah mendengar buku ini. Seorang sahabat sudah membacanya. Tapi, waktu itu saya belum tertarik. Saya lebih senang dengan buku-buku karya Shindunata, Frans Magnis-Suseno dan sebagainya. Tapi, di tahun 2010 lalu, saya dipinjami seorang kawan. Saya pun membaca hingga halaman 600. Saya simpulkan, buku itu luar biasa. Saya pun sengaja berhenti membaca, karena ingin memiliki sendiri buku itu. Agar saya bisa menggenggamnya dan mengatakan pada buku itu : kamu sekarang milikku.
Buku itu pun akhirnya kubeli lewat toko buku online. Seminggu terasa sangat lama menunggu buku itu tiba. Hingga akhirnya buku yang berkisah tentang seorang samurai Miyamoto Musashi itu pun datang pada 9 Desember 2010. Pada tanggal 29 Desember 2010 saya merampungkan membaca buku itu. Entah kenapa saya pun tergerak menulis sesuatu di belakang buku itu : aku yakin buku punya “jiwa” nya sendiri. Jiwa yang bisa menyatu dengan pemiliknya.
Ya, buku bisa seperti kekasih. Memiliki bentangan cerita tentang pertemuan, dan juga perpisahan. Pertemuan yang menyenangkan, dan juga perpisahan yang menyedihkan. Seperti saya yang sampai saat ini masih meratapi buku-buku yang “hilang” dari genggaman saya. Dan anda pun mungkin juga memiliki cerita tersendiri tentang perjumpaan anda dengan buku-buku anda, atau cerita tentang perpisahan dengan buku-buku anda. Bisa jadi, cerita itu cukup indah jika anda tulis. Seperti kisah anda dengan kekasih anda.
Salam!.
Kayu Manis, 4 Januari 2011.
Kamis, 22 September 2011
Browse » Home »
Esai Warung Kopi
» Cintailah Bukumu seperti Kau Mencintai Kekasihmu
Cintailah Bukumu seperti Kau Mencintai Kekasihmu
Label:
Esai Warung Kopi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar