Selasa, 20 September 2011

Surat untuk Ainaya

*Sebagai kado kecil sebuah kelahiran

Surat ini memang tak lah penting. Surat yang kutulis untuk anakku yang kini masih usia hitungan hari. Tapi tak apalah, aku ingin menulisnya sekarang meski baru akan dibaca tujuh atau sepuluh tahun lagi saat dia mengenal huruf-huruf. Sebuah surat cinta dari seorang ayah kepada anaknya, sebuah surat dari sesama manusia, sebuah surat dari pengharap kepada yang diharapkannya, sebuah surat dari malam kepada bulan.

***
Kepada anakku yang tersayang,
Ainaya Isfi Qulubina
di pelukan ibumu


Anakku!. Saat kau lahir malam sedang murung. Hujan deras disertai petir yang sesekali menyambar. Usia malam belumlah larut, tapi hujan menjadikannya sedikit cepat tua. Dan orang-orang enggan keluar rumah. Malam seakan ingin berkata kepadamu jika dunia sedang menangisi dirinya. Ingin mengadu kepadamu sebagai manusia yang masih suci. Mengadu tentang dirinya yang diinjak-injak manusia. Manusia yang tak lagi menghargai alam. Alam yang sedang sakit hati.
Anakku!. Kau lahir pada Rabu 4 Mei 2011 pukul 22.10 WIB. Lahir Rabu tapi dalam hitungan Jawa, dihitung lahir pada hari Kamis. Hitungan Jawa tidak diawali pada pijakan fajar pagi, tapi saat senja datang menyambut malam. Kenapa begitu? Ayah juga belum mengetahui pasti penyebabnya. Mungkin karena semua berawal dari sebuah senja, matahari bergeser sembunyi di balik cakrawala, dan saat itu tak baik ada manusia yang tidur. Semua harus menyaksikannya, harus merasakannya. Merasakan senja dengan upacara perpisahan matahari. Sandikala. Mungkin keindahannya, mungkin kesakralannya. Entahlah, tapi senja memang indah. Dan bagi orang Jawa, itulah awal pergantian hari.

Sampai di sini, bolehlah ayah bercerita sedikit. Saat kau merasakan dunia untuk pertama kalinya, negerimu sedang diterpa bermacam masalah. Ayahmu ini seringkali menyaksikan di televisi berita-berita yang tidak menyenangkan. Orang-orang yang diduga teroris diberondong peluru oleh Densus 88, ada pondok pesantren diidentikkan dengan gerakan negara Islam Indonesia, atau hanya gara-gara utang seorang suami tega membunuh istri dan anaknya. Hmm….ayah sering menangis dibuatnya.

Belum lama ini, ayah bertemu dengan banyak kawan. Mereka bertanya tentang dirimu. Aku menjawab jika kau masih belum lahir. Tapi saat kau dilahirkan, ayah begitu bahagia dan langsung mengabarkan kepada semua orang bahwa anakku telah lahir. Ayah masih ingat suara tangismu pertama kali. Tahukah kau, jika saat kau lahir, kau langsung bersin-bersin, seakan hendak mengeluarkan semua virus yang ada di tubuhmu. Ayah dan ibumu sangat senang. Kami semua tersenyum.
Tentang ibumu, ya ibumu begitu lemas malam itu. Dia selalu menatap ayah dengan tatapan ketakutan. Dia takut tak bertenaga saat melahirkanmu. Sejak ashar ibumu merasakan sakit yang teramat sakit. Tangan ayah digenggamnya kuat-kuat sampai memerah. Ibumu tidak mau ditinggal, ibumu begitu ketakutan. Lebih takut daripada saat melahirkan kakakmu Isfa A. Didharma.

“Sekarang prosesnya tinggal di sampean. Kami hanya bisa membantu saja” kata bidan desa kepada ibumu.
“Masih lamakah bu Al?”
“Ndak, sebentar lagi pasti lahir”
“Tapi aku kuat nggak bu?”

“Harus yakin kuat. Fokus saja. Sampean yang menentukan lama atau tidaknya proses. Nafas harus teratur. Fokus saat ngeden biar tidak percuma. Pendek-pendek saja, yang penting fokus. Dan jangan tutup mata. Buka saja. Kalau ditutup nanti matanya merah”.

“Bismillah. Yakin bisa. Sebentar lagi pasti lahir. harus kuat ya”.


Malam itu seakan menjadi puncak ketakutan bagi ibumu. Sebelumnya ketakutan itu selalu disuarakan kepada ayahmu ini. Saat menjelang tidur, saat bangun tidur, saat salat malam, dan saat-saat lain. Pernah ayah diminta mengucap janji agar ayah tidak menikah lagi jika ibumu tak terselamatkan saat melahirkanmu. Ayah jadi merinding dibuatnya dan hanya mengatakan “Istighfar sayang, Allah Maha Kuat. Tak ada yang tak mungkin bagi-Nya,”.

Dan malam itu, ya malam itu ketakutan yang sangat juga menjalar ke diri ayahmu ini. Ayah melihat lagi ketakutan ibumu yang dulu-dulu. Jantung ayah berdetak kencang, tapi wajah ayah selalu mencoba tersenyum menunjukkan ketegaran. Ayah tak mau ibumu tahu jika ayah juga ketakutan.

Saat itu, eyang putrimu tak tega melihat ibumu. Beliau hanya bisa berdoa sambil menangis di sudut ruang polindes yang sempit. Mukanya ditutup dengan dua telapak tangan. La haula wala quwwata illa billahil aliyyil adhim dilafalkan berulang-ulang dan berulang-ulang. Sedang budhe, bulek dan semua kerabat tak mengeluarkan suara apapun. Hening. Ayah tahu mereka semua berdoa dalam hati agar kau segera lahir. Dan kakakmu, Isfa sejak sore dia ingin sekali ikut ke polindes, tapi kakakmu masih terlalu belia. Kakakmu dibujuk agar tetap di rumah bersama mbah kakung. Itu pertama kali kakakmu tidur tanpa ayah dan ibumu. (nak!, ayah menangis saat menulis ini).

Malam benar-benar hening. Suara hanya terdengar dari ibumu. Suara erangan dengan tenaga yang tersisa untuk mendorongmu keluar. Sesekali ayah memberinya minum air agar tenaganya terkumpul lagi. Di luar malam masih basah oleh hujan. Bidan desa meminta ibumu memejamkan mata saat tidak ngeden. Relaksasi untuk mendatangkan tenaga baru.

Dan satu, dua, tiga…..akhirnya kau lahir ke dunia nak!. Awalnya kau belum langsung menangis. Ayah takut. Takut sekali. Tapi tak ada semenit kau keluarkan tangisan emas itu. Tangisan yang ditunggu semua orang. Ayah menangis, eyang putrimu menangis, dan semua kerabat ikut menangis. Tangisan bahagia. Sedang ibumu, dia lemas dan hanya menatap ayah dengan tatapan bingung. “Alhamdulillah” kata ayah di telinga ibumu.

Alhamdulillah. Satu manusia lahir ke dunia. Sebagai apa kau lahir?. Ayah sulit menjawab pertanyaan itu. Tapi ayah berpikir, kau bukan manusia yang akan menyebarkan kerusakan di darat dan di laut. Sebagai muslim, ayah berdoa kepada Tuhan untuk itu. Amin. Allah selalu mendengar doa yang baik. Ayah yakin itu.

Saat kau lahir banyak hal menyertai. Banyak hal memenuhi pikiran ayah. Manusia melihat proses kelahiran manusia. Seperti manusia melihat kematian manusia. Kau lahir sebagai manusia yang tentunya punya hak yang sama dengan manusia lain. Anakku, kau juga akan hidup sebagai manuisa yang kesehariannya bersama manusia. Kelahiran manusia seakan menunjukkan ada-tiada.

Anakku!. Pada satu sisi ayah merasa bimbang dengan kehadiranmu sebagai amanah anak dari Tuhan. Dunia ini sudah tak begitu manusiawi. Manusianya bergerak meninggalkan kemanusiaan. Banyak orang teriak atas nama Tuhan, meski yang sebenarnya adalah atas nama dirinya sendiri. Banyak orang membagi-bagikan keadilan, tapi nyatanya adalah membagikan kemalangan. Ya, kau lahir saat alam sudah begini rusaknya, udara sudah begini kotornya, moralitas tak lagi digenggam erat dalam bermasyarakat. Ah, banyak lagi kebimbangan-kebimbangan yang pada akhirnya membawaku pada titik terendah: ketakutan. Takut tak mampu memikul amanah.

Tapi, pada sisi lain aku begitu sombong merasa sangat kuat. Mampu membawa kau melewati semuanya. Mendidiknya, merawatnya, membantunya menjadi manusia. Ya, ternyata aku hanya bisa membantumu menjadi “manusia”. Tidak lebih. Semua berpulang kepada Tuhan, lingkungan, dan alam yang akan membentuknya dalam proses gerak kehidupannya. Dan masih banyak manusia yang tetap memegang kemanusiaan, banyak manusia yang tersenyum dan tak hanya marah, banyak manusia yang riang bukan manusia pencaci.

Yach, kebimbangan dan kegembiraan, kegundahan dan kesenangan, ketakutan dan keberanian, seakan berayun-ayun menyertaimu. Ayah dan ibumu pun sadar, kami tak punya kekuatan apapun, kecuali hanya mendampingimu sebagai manusia yang ditakdirkan paling dekat denganmu. Sebagai bapak-ibu.

Harapan…., ya harapan. Itulah yang kami punyai. Harapan itu menjelma pada nama yang kami berikan kepadamu. Isfi Qulubina. Dalam bahasa Arab nama itu berarti obatilah hati kami. Karena kami memang berharap, kau akan menjadi obat bagi kami, bukan menjadi racun. Di depan namamu kami tambahkan “Ainaya” yang bermakna dua mataku. Itupun sebuah harapan, kau akan menjadi dua mata yang akan menunjukkan kami jalan. Jalan Tuhan.

Anakku!. Namamu bukanlah beban bagimu. Kami sadar itu. Nama itu bukanlah sebuah tuntutan kami kepadamu. Karena alangkah malangnya kau, jika baru lahir sudah dituntut menjadi obat, atau menjadi begini dan begitu. Kami akan membiarkan kau menjadi dirimu sendiri. Ayah sadar, mungkin omongan ini mudah ayah ucapkan, tapi sulit ayah praktikkan kelak.

Anakku!. Selamat datang di dunia.

Salam hangat,
Hormat ayah yang selalu menyayangimu.

***


Selesai menulis surat, aku merasakan malam semakin dingin. Bulan separoh indah terlihat. Atap-atap gedung seperti bayangan hitam diterpa cahaya. Surat kulipat lalu kumasukkan ke dalam sebuah amplop putih. Istriku tidur nyenyak. Dua anakku dibuai mimpi didekap istriku.


Bumi Tuhan, 16 Mei 2011

0 komentar:

 
© Copyright 2035 godongpring