Oleh : Nanang Fahrudin
(Dimuat di Harian Seputar Indonesia edisi Jawa Timur Minggu 30 Oktober 2011)
Bayangkan negeri kita sebagai sebuah pasar besar. Anda boleh membayangkannya dalam bentuk mal, supermarket, atau pasar krempyeng. Di sana ada transaksi kecil senilai Rp1.000, hingga transaksi besar triliunan rupiah. Di pasar itu juga barang yang diperdagangkan lumayan lengkap. Mulai terong, tomat, rumah, hingga gas alam dan minyak bumi juga tersedia. Tapi dengan catatan, cukup Anda bayangkan saja lho.
Pasar itu buka 24 jam nonstop. Tak ada syarat khusus untuk bisa bertransaksi di sana. Terpenting adalah memiliki uang. Di dalam pasar itu, semua orang larut dalam budaya menjual dan membeli. Bagi Anda yang berkantong tipis, menyingkir dululah sejenak dari pasar itu. Ah tidak perlu menyingkir juga bisa, karena Anda bisa berhutang uang untuk membeli aneka barang.
Tapi kita perlu hati-hati. Karena sekarang banyak barang bajakan dijual di pasar. Banyak barang asli tapi palsu juga dijual di pasar. Kita kesulitan membedakan mana kepentingan bersama dan mana kepentingan golongan. Kita kesulitan membedakan mana kepentingan rakyat dan mana kepentingan pejabat. Semua menjadi samar, karena dipandang sebagai transaksi jual beli.
Tak ada uang, maka tak sayang. Rumus inilah yang paling tepat untuk menggambarkan hidup di pasar. Jika kita tak punya uang, maka jangan harap bisa mendapatkan produk berupa pelayanan pendidikan berkualitas. Jika kita berkantong tipis, jangan harap bisa membeli kursi sebuah jabatan publik. Tapi jika kita kaya, jangankan membeli segala produk yang ada di pasar, kita juga bisa membeli pasarnya sekalian. Dan Anda tak perlu khawatir, membeli pasar sangat memungkinkan di sini. Karena hukum pasar menyebutkan ada penjual, ada pembeli.
Nah, apa lagi yang Anda pikirkan sekarang?. Cepat isi kantong Anda dengan uang sebanyak-banyaknya untuk membeli aneka macam produk yang Anda butuhkan. Kalau perlu, bukan untuk Anda saja, tapi sebagai cadangan untuk keluarga tujuh turunan mendatang. Mumpung pasar ini terbuka.
***
Sekali lagi, cukup kita bayangkan saja. Karena negeri kita bukan pasar dengan logika transaksional seperti itu. Negeri kita adalah negeri hukum dengan menjadikan kepentingan rakyat menjadi nomor satu. Kita punya pasal 33 undang-undang dasar 1945 yang menyebut “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Jadi bukan siapa memiliki modal besar bisa menguasi bumi, air dan kekayaan alam. Sebagai warga negara, kita terlindungi.
Negeri ini juga memiliki pasal 28A undang-undang dasar yang menyebutkan “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Jadi, sebagai warga negara kita dijamin untuk bisa hidup sejahtera, tak peduli kita kaya atau miskin. Kita pengusaha atau petani. Tak hanya itu, kita juga punya pasal 27 ayat 1 undang-undang dasar yang menjamin semua warga sama di hadapan hukum. Jadi jangan mengkhawatirkan jika nanti akan ada permainan hukum di negeri kita.
Negeri kita bukan pasar. Para penguasa bukanlah pedagang. Tak ada transaksi jual-beli untuk urusan kesejahteraan rakyat. Karena itu hak sebagai warga negara, dan kewajiban penguasa atas nama pemerintah. Tak ada transaksi hukum untuk keadilan. Tak ada transaksi uang politik untuk sebuah jabatan atau kebijakan. Karena negeri kita bukan pasar yang semua dilihat sebagai proses jual-beli.
Oh ya, mari kita duduk sejenak sambil minum kopi. Kita coba mengamati sekeliling kita. Melihat upaya pemberantasan korupsi, melihat reshuffle kabinet, melihat pemilihan kepala daerah, melihat anggaran APBN atau APBD. Atau kita coba melihat tetangga kita yang sedang mencari sekolah buat anaknya, melihat tetangga yang sedang sakit dan mencari obat, dan melihat tetangga kita yang sedang mengurus KTP dan akta kelahiran. Semoga tetangga kita bukan berada di sebuah negeri yang kita coba bayangkan seperti di awal tulisan ini.
Kita perlu meyakinkan diri kita lagi bahwa negeri ini bukan pasar. Ya, bukan pasar. Salam.
Selasa, 01 November 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar