Jumat, 04 November 2011

BOJONEGORO HENDAK MELANGKAH KE MANA?

Oleh : Nanang Fahrudin

(atau klik : http://blokbojonegoro.com/read/module/20110920/bojonegoro-hendak-melangkah-ke-mana.html )

Ladang minyak Blok Cepu di wilayah selatan Kabupaten Bojonegoro telah begitu banyak merubah wajah daerah. Pendapatan daerah meningkat seiring pendapatan dari sektor minyak. Tahun 2010, minyak memasok pendapatan daerah Rp 169 miliar. Sektor minyak benar-benar menjadi sebuah pusat pembangunan sektor lain. Semua pengembangan daerah dimaksudkan menopang bisnis minyak tersebut.

Rumah sakit bertaraf internasional dibangun dengan landasan berpikir, bahwa Bojonegoro akan menjadi kota besar dan membutuhkan pelayanan kesehatan yang bagus. Seakan sedang berlomba, dibangunlah sekolah internasional yang akhirnya bernama Sekolah Menengah Terpadu (SMT). Dana yang ditanam di situ lebih dari Rp 100 miliar.

Sedang pihak swasta pun tak mau ketinggalan, berdirilah kafe, restoran, hotel, tempat karaoke, dan semua fasilitas yang memanjakan masyarakat berduit. Landasan berpikirnya tetaplah sama, bahwa Bojonegoro akan menjadi kota besar. Peluang bisnis layaknya kota besar lain, sangat terbuka lebar.

Tetapi, satu hal yang sering terlupakan dari hingar bingar pembangunan daerah. Yakni dimana nanti posisi masyarakat Bojonegoro yang berada di bawah garis kemiskinan. Perlu dicatat, bahwa sebagian besar masyarakat Bojonegoro masihlah sama dengan masyarakat Bojonegoro 5 atau 10 tahun lalu. Artinya, tingkat pendidikan, ekonomi dan kepekaan psikologis akan perubahan sosial tak jauh berbeda. Bisa dibilang, mereka masih berada di tempat sama sejak 5 tahun silam. Petani tetap menggarap sawahnya, pedagang kelontong tetap membuka tokonya, belantik sapi tetap jadi belantik sapi, dan seterusnya. Semua dalam kondisi sama, hasil keringat masih tak sebanding dengan harga kebutuhan yang terus melambung.

Masyarakat Bojonegoro level bawah masih berkubang pada keseharian yang relatif masih banyak yang miskin. Berada di desa-desa dengan sistem pengairan, dan pengetahuan pertanian masih tradisional. Atau berada di desa pinggir hutan yang jauh dari akses ekonomi, dengan sesekali menjadi blandong kayu jati.

Data di Pemprov Jatim menunjukkan, bahwa Bojonegoro ranking ke-5 termiskin pada tahun 2009. Dari data yang dikumpulkan Pusdalip Bakorwil II Bojonegoro, pada tahun 2009 itu jumlah rumah tangga miskin (RTM) di Kabupaten Bojonegoro sebanyak 128.981. Jumlah itu terdiri dari rumah tangga hampir miskin sebanyak 49.769 keluarga, kategori miskin sebanyak 56.456, dan sangat miskin sebanyak 22.756 keluarga.

Data itu semakin mencengangkan karena dua kecamatan, di mana ladang minyak Blok Cepu berada, menjadi kecamatan dengan jumlah keluarga miskin cukup banyak. Di Kecamatan Kalitidu misalnya terdapat 6.064 keluarga miskin, yang 1.320 di antaranya masuk kategori sangat miskin. Sedang di Kecamatan Ngasem, dimana lapangan Banyuurip berada masih terdapat 1.376 keluarga sangat miskin, 4.342 keluarga miskin, dan 4.447 keluarga hampir miskin.

Padahal, di sisi lain produksi minyak Blok Cepu sudah mulai mengalir sejak akhir 2008, dan sebelum dana minyak cair, juga telah ada dana-dana community development (comdev) yang dikucurkan kepada masyarakat sekitar ladang minyak. Artinya, keberadaan minyak di Bojonegoro belum memberikan kontribusi nyata terhadap kesejahteraan masyarakat, setidaknya dalam beberapa tahun ini. Dan jika ada yang harus bertanggungjawab terkait hal ini tentu saja pengelola keuangan daerah, yakni pemerintah daerah mulai tingkat kabupaten sampai desa. Meski, semua stakeholders lain juga harus ikut bertanggungjawab, terutama operator ladang minyak.

Ketika masyarakat bawah berkubang dengan kemiskinan dengan kondisi pendidikan yang ala kadarnya, masyarakat level tengah dan atas (pejabat, pengusaha, LSM, anggota dewan, guru, dan masyarakat terpelajar lain) banyak (saya menyebut ‘banyak’ karena harus diakui tak semuanya terperosok ke lubang itu) yang terjebak pada perebutan “kekuasaan” pragmatis.

Pada level atas terjadi persaingan berebut kapital, menyusun intrik-intrik dan sesekali membawa serta masyarakat bawah. Kita pun bertanya, kemana Bojonegoro akan melangkah. Minyak itu akan membawa berkah atau menjadi bencana bagi masyarakat?

Sebenarnya, pertanyaan itu sudah berulang kali dilontarkan oleh berbagai pihak. Jawaban pun selalu terlontar lewat kalimat-kalimat para penguasa daerah. Tapi sayang, gerak nyata di tingkat bawah malah belum dirasakan. Bojonegoro tetap Bojonegoro dengan angka kemiskinan cukup besar.

Desain Jangka Panjang

Ibarat anak ayam, gerak Bojonegoro saat ini begitu mengekor pada ‘induknya’, yakni perkembangan di dunia minyak dan segala hal yang mengelilinginya. Pembangunan daerah seperti tertuju pada satu titik sama, yaitu pendukung sektor minyak. Padahal, Bojonegoro memerlukan desain pembangunan jangka panjang. Dan Blok Cepu dengan minyaknya, hanya salah satu faktor saja. Masih banyak faktor lain yang berhak berdiri sendiri. Berdiri sendiri di sini bukan berarti tidak ada sinergi antar sektor.

Salah satu hal yang perlu adanya desain jangka panjang adalah pendidikan di Bojonegoro. Selama ini pendidikan hanya sebatas pada dinding formal yang menjadi bagian dari kurikulum nasional, atau peningkatan skill untuk memenuhi tuntutan kerja saja. Padahal, pendidikan di Bojonegoro harus bisa menentukan gerak kemajuan daerah. Oleh karena itu, upaya siapapun untuk meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat perlu diapresiasi.

Pendidikan Bojonegoro pun nantinya tidak harus mengekor pada kebutuhan agar bisa menyuplai tenaga kerja di bidang perminyakan saja, karena itu hanya akan mengecilkan makna pendidikan itu sendiri. Bojonegoro harus punya keberanian mendirikan perguruan tinggi negeri besar yang bisa bersaing dengan Universitas Jember (Unej), Universitas Brawijaya (Unibraw) dan Universitas Airlangga (Unair). Jika Bojonegoro berani melangkah ke arah sana, maka perkembangan wacana kelilmuan akan terus direproduksi di Bojonegoro sendiri, bukan direproduksi di luar Bojonegoro untuk diterapkan di Bojonegoro.

Sudah saatnya Bojonegoro dikenal dengan geliat keilmuannya, geliat kebudayaannya, geliat membaca, dan geliat kreatifitasnya. Bukan hanya dikenal dari geliat bisnisnya yang begitu terjebak pada dunia perminyakan yang menjadi pusatnya.

Mungkin saya terlalu takut melihat gerak daerah kaya sumber minyak ini hendak ke mana. Tulisan ini bukan hendak berunjuk rasa. Bukan. Tapi hanya sebuah teriakan pelan dari sudut emperan toko di antara deru mobil-mobil mewah yang mulai menari-nari di jalanan kota Bojonegoro, sambil nyruput secangkir kopi ala PKL. Salam!.

*Pegiat Sindikat Baca di Bojonegoro

0 komentar:

 
© Copyright 2035 godongpring