Senin, 28 November 2011

MENYAMBUNG PATAHAN SEJARAH

Dimuat di Harian Seputar Indonesia (SINDO) Jatim
Monday, 28 November 2011

Oleh : Nanang Fahrudin

SURABAYA – Buku-buku kuno ditata rapi di museum House of Sampoerna. Erwin Dian Rosyidi sang pemilik bukubuku itu berada di sana. Sangat hati-hati kala memegangnya dan sesekali menjelaskan isi buku kepada pengunjung.”Buku adalah sejarah. Buku kuno terbitan Indonesia selalu diburu kolektor,” kata Erwin kepada SINDO.

Dia adalah satu kolektor buku kuno di Surabaya. Ada kurang lebih 1.000 buku kuno miliknya yang ada di kediamannya di Jalan Kupang Krajan Kidul. Sedang yang dibawa ke museum untuk dipamerkan hanya puluhan saja.

Menurut dia, di Kota Pahlawan ini banyak kolektor buku kuno.Sayangnya belum ada komunitas yang bisa mempertemukan mereka dalam sebuah forum bersama. ”Saya menginginkan itu. Suatu saat ada komunitas para pecinta buku kuno di Surabaya,” katanya. Bagi Erwin, buku seperti lembaran sejarah yang seringkali disobek oleh penguasa dengan seenaknya.

Ketika Belanda berkuasa di nusantara,tidak sembarang buku bisa terbit. Demikian juga ketika Jepang menjajah, setiap penerbitan harus seizin tentara Dai Nippon. Sejarah itu terus berlanjut saat orde baru berkuasa dan melarang buku-buku yang dinilai berbau komunisme. ”Sejarah terbitnya buku yang begitu sulit membuat buku kuno Indonesia berbobot,” tutur pria 31 tahun ini.

Sederet buku kuno pun akhirnya sampai ke tangan Erwin setelah usaha yang begitu berliku. Salah satunya adalah buku ”Oendang-Oendang Balatentara Dai Nippon” yang diterbitkan oleh D Arnowo Soerabaia tahun 1942. Buku itu bernilai tinggi karena dikumpulkan dan diberi penjelas oleh Mr. R.Alisastroamidjojo.Dalam catatan sejarah Alisastroamidjojo adalah perdana menteri yang menjabat dua periode yakni 1953-1955 dan 1956-1957.

Meski sekarang sudah mengoleksi 1.000 buku kuno,Erwin mengaku tak berhenti memburu buku kuno. Selama ini ia baru memburu di daerahdaerah dalam negeri saja, seperti Jakarta, Semarang, Solo, Yogyakarta, Medan dan tentu di Surabaya sendiri. ”Kebanyakan info dari temen. Lalu nego harga. Kalau cocok ya saya beli,”katanya.

Buku milik Erwin semuanya sudah tidak ada di toko buku modern.Bisa disebut di antaranya buku ”Tanah Air Kita” karya NA Douwes Dekker, atau ”Keluarga Gerilja” karya Pramoedya Ananta Tour.Memburu buku baginya memiliki ceritanya sendiri. Bahkan sampai dengan cara yang terkadang tidak masuk akal. Dia mengaku pernah mengigau saat tidur.

”Kata istri saya, waktu tidur saya teriak ”buku-buku”. Eh tidak lama saya dapat buku kuno,”katanya sambil tersenyum. Sejak mengumpulkan buku- buku kuno pada usia remaja, Erwin tidak pernah bermaksud menjualnya. Ia berobsesi akan terus menambah koleksinya. Baginya,sejarah selalu patah oleh pergerakan zaman. Dan hanya buku yang selalu berusaha menyambungkan patahan- patahan itu menjadi lembaran yang ”utuh”.

Ada lagi seorang pecinta buku kuno di Surabaya adalah Oei Hiem Hwie.Pak Oei, begitu ia disapa,begitu mencintai bukubukunya. Kediamannya yang menyatu dengan perpustakaan Medayu Agung memiliki koleksi buku kuno yang tergolong lengkap. Bagi mereka pecinta buku,sangat layak berkunjung ke sana. Di sana terdapat buku-buku langka yang orang sudah jarang melihat bentuk fisiknya.

Seperti ”Mein Kampf” karya Adolf Hitler yang berbahasa Jerman terbitan tahun 1939. Fisik buku itu masih sangat bagus dengan selimut buku berlapis beludru yang cantik. ”Buku ini pemberian kakek saya,”katanya sambil menunjukkan buku itu kepada SINDO. Pak Oei juga memiliki buku kumpulan gambar keramik koleksi Adam Malik. Di buku tebal itu terdapat tanda tangan Adam Malik yang waktu itu masih menjabat wakil presiden. ”Saya diberi oleh Pak Adam Malik saat beliau datang ke pernikahan saya. Ini kado,” katanya.

Bahkan,ia juga memiliki buku koleksi patung Bung Karno.Foto-foto patung perempuan di seluruh dunia itu berupa foto asli yang ditempel seperti album foto,jadi bukan hasil printpercetakan. Koleksi buku-bukunya sebenarnya sudah tidak lengkap lagi.Karena saat isu PKI (Partai Komunis Indonesia) merebak dan orang-orang yang dianggap komunis ditangkapi,bukubuku Pak Oei yang ada di rumahnya di Malang dirampas dan dibakar.

Buku yang selamat adalah buku-buku yang disembunyikan di atas plafon oleh adiknya. ”Sebagian besar dirampas,dibakar,”katanya. Sekitar tahun 1965,Pak Oei muda menjadi wartawan harian Terompet Masjarakat yang berkantor pusat di Surabaya. Tapi ia waktu itu menjadi wartawan Terompet Masjarakat perwakilan Malang.Karena dianggap dekat dengan PKI, ia pun terpaksa hidup dari penjara ke penjara.

Mulai penjara Batu, Lowokwaru Malang, lalu dipindah ke penjara Kalisosok di Surabaya, rumah tahanan militer (RTM) Koblen,dan penjara Nusakambangan. Akhir dari perjalanannya sebagai tahanan politik (tapol) adalah ketika dibuang di Pulau Buru. Ia satu unit dengan sastrawan Pramoedya Ananta Tour, yakni di Unit IV Savana Jaya. Di Pulau Buru, hanya Pram saja yang memperoleh keistimewaan boleh menulis, karena ada protes dari dunia internasional. ”Saya banyak diminta bantuan oleh Pram dalam proses menulis karya-karyanya,” terangnya.

Kebiasaan yang sampai saat ini tak pernah berhenti adalah mengkliping majalah dan koran. Baginya dokumentasi adalah sebuah usaha mengabadikan sejarah. Ia sadar, ingatannya tidak seperti mesin. Sehingga ia membutuhkan kliping untuk mengembalikan ingatannya kepada masa lalu. ”Kliping saya lengkap, ada sejarah, sastra,dan ini ada kliping tentang PAT. PAT itu Pramoedya Ananta Tour,”katanya.

Lain Erwin lain pula Pak Oei. Dan lain pula dengan Zainal Arifin, seorang guru di Bangkalan asal Surabaya. Sejak tiga tahun terakhir warga Jalan Banyuurip ini mulai serius mengumpulkan bukubuku kuno. Hampir setiap hari ia menyusuri lapak-lapak buku bekas di Jalan Semarang dan Pasar Blauran. ”Koleksi saya baru 200 an.Masih sedikit,”katanya.

Dia lalu menunjukkan buku sejarah berjudul ”G30S di Hadapan Mahmilub 2 di Djakarta”. Buku itu diterbitkan oleh Pusat Pendidikan dan Kehakiman AD tahun 1966. Baginya buku kuno memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan dengan buku-buku cetakan baru. ”Buku kuno ditulis dengan sangat teliti, pakai perasaan. Sehingga memiliki kualitas sangat bagus,”katanya.

Zainal mengaku sejak SD sudah senang dengan buku-buku kuno. Karena dia menggemaribukusejarah. Bahkan,sampai saat ini ia lebih senang membaca buku-buku yang ditulis menggunakan bahasa Indonesia ejaan Van Ophuijsen,seperti memakai kata jang dan bukan yang.”Saya lebih bisa menangkap isinya saja,”katanya.

Sementara itu, bergairahnya dunia buku kuno di Surabaya dibenarkan oleh Indra,salah satu penjual buku bekas di Jalan Semarang. Ia memiliki beberapa pelanggan yang selalu membeli buku kuno miliknya. Ia ingat pernah menjual buku koleksi lukisan Bung Karno lima jilid.Buku itu dijual seharga Rp5 juta.Selain itu bukubuku sastra lama juga banyak diminati pasar, terutama para kolektor.

0 komentar:

 
© Copyright 2035 godongpring