Jumat, 11 November 2011

BLOK CEPU, PILKADA, DAN MASA DEPAN BOJONEGORO

Oleh : Nanang Fahrudin


Sebentar lagi, tepatnya tanggal 10 Desember 2007 mendatang Kabupaten Bojonegoro akan punya gawe besar yaitu Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pilkada yang pertama kalinya dilakukan secara langsung dipilih oleh masyarakat ini bisa dibilang berbeda dengan pilkada di daerah lain, di Jawa Timur. Pasalnya, tidak hanya menentukan wajah kabupaten berpenduduk 1,3 juta jiwa dalam kurun lima tahun ke depan, melainkan juga Bojonegoro puluhan tahun ke depan.

Salah satu penyebab utamanya adalah adanya eksplorasi dan eksploitasi ladang minyak dan gas bumi (migas) Blok Cepu yang ada di Kecamatan Ngasem, wilayah
selatan Bojonegoro. Korelasi antara Bupati – Wakil Bupati terpilih dengan pengelolaan sumber daya alam (SDA) itu sangat menentukan nasib masyarakat Bojonegoro secara khusus, dan masyarakat Jawa Timur pada umunya.

Saat ini, Blok Cepu yang konon mempunyai kandungan minyak terbesar di Asia Tenggara yaitu 250 juta barel, sudah pada tahap eksplorasi di beberapa sumur, di antaranya di dua sumur yang berada di lapangan Banyuurip. Dan dalam waktu dekat, sumur Alas Tuo Barat, Alas Tuo Timur, dan Kedung Keris yang berada di Kecamatan Kalitidu, dan Kecamatan Ngasem juga akan mulai dieksplorasi. ExxonMobil Oil Indonesia (EMOI) menargetkan 2008 sudah mulai produksi minyak meski dengan jumlah kecil di bawah 20.000 barel/hari, dan mencapai puncaknya tahun 2010 nanti sebanyak 165.000 barel/hari.

Jika diasumsikan (secara kasar) produksi mulai tahun 2008 sebesar 20.000 barel/hari maka uang yang akan keluar dari perut bumi di Blok Cepu mencapai USD 1,6
juta/hari atau Rp14,4 miliar/hari (itu dihitung jika 1 barel : USD 80 dan USD 1 : Rp9000). Tidak mengherankan jika survey Bank Indonesia, pendapatan asli Kabupaten Bojonegoro saat produksi minyak di Blok Cepu bisa mencapai Rp1,9 triliun/tahun. Pendapatan dengan angka demikian, akan menjadi pendapatan daerah paling tinggi di Jawa Timur, dan bahkan mungkin terbesar di Indonesia.

Aliran dana yang luar biasa besar itu masuk ke kas daerah Kabupaten Bojonegoro, nantinya dipastikan akan membuat shock birokrasi yang ada. Apalagi, pendapatan asli daerah (PAD) Bojonegoro tahun 2006 hanya Rp39 miliar dan naik menjadi Rp45 miliar tahun 2007 ini.

Sehingga dengan adanya peningkatan pendapatan yang berlipat-lipat itu mengharuskan manajemen daerah bekerja maksimal, agar jangan sampai uang itu hanya
menguntungkan sekelompok orang saja.

Di sinilah sebenarnya titik tolak pelaksanaan pilkada Bojonegoro 10 Desember mendatang. Artinya, setelah kepala daerah terpilih dan dilantik pada 8 Pebruari 2008, maka tugas utamanya adalah melakukan manajemen yang baik terhadap aliran dana yang setiap tahunnya mengalami kenaikan. Karena, Kepala Daerah dan DPRD mempunyai kewenangan mengatur keuangan daerahnya. Apalagi pada tahun itu, produksi awal Blok Cepu sudah dimulai.

Dalam kaitannya dengan keberadaan ladang minyak Blok Cpu itu, Pemkab seharusnya berada pada posisi “mengamankan” warganya dari ancaman “kematian” di
lumbung padi. Karena logika sederhadanya, keberadaan Blok Cepu akan mengundang kekuatan modal (kapital) dan kekuasaan (politik) untuk “terjun” ke Bojonegoro.
Tujuannya satu, yaitu ikut menikmati kekayaan alam, yaitu migas. Sehingga, ibarat ayam, pemkab harus menjadi induk ayam yang mampu melindungi warganya dari
terkaman binatang buas. Caranya, di antaranya membuat aturan-aturan yang berpihak masyarakat, hingga mengelola keuangan daerah dengan baik untuk kepentingan masyarakat.

Karena ternyata, kondisi riil sebagian besar masyarakat Bojonegoro saat ini masih jauh dari kesiapan menyongsong era industrialisasi yang sering didengung-dengungkan Pemkab Bojonegoro. Salah satu contoh konkretnya, dua kecamatan yang menjadi lokasi
ekplorasi migas Blok Cepu yaitu Kecamatan Kalitidu dan Ngasem mempunyai angka pengangguran cukup tinggi.

Bahkan, secara umum di Bojonegoro tahun 2006 masih terdapat 10.000 lebih warga yang menyandang prediket buta huruf. Apalagi, di sekitar Blok Cepu
masyarakatnya masih banyak yang miskin, dan sebagian besar buruh tani dengan status lahan pertanian tadah hujan.

Beban berat itulah yang nantinya akan dipikul di pundak kepala daerah yang terpilih dalam pilkada mendatang. Tantangannya, apakah mereka mampu melindungi, mensejahterakan, dan mengabdikan diri untuk kepentingan masyarakat luas. Dan penulis sendiri tidak mau berandai-andai tentang kinerja kepala daerah nanti. Karena siapapun dari tiga calon yang terpilih, mau tidak mau ia harus mampu mengemban tugas berat tersebut, karena apa yang dilakukan akan menjadi catatan sejarah Bojonegoro ke depan.

Untuk memprediksi kemampuan kepala daerah mengemban tugas itu, penulis lebih suka melihat keberhasilan kepala daerah terpilih sangat ditentukan oleh berbagai
faktor. Dan “faktor” itu melingkar seperti cincin yang berlapis-lapis. Lapis pertama adalah pada rumah tangga Bupati dan Wakil Bupati itu sendiri. Kedua jabatan politik itu pasti akan memunculkan sharing kekuasaan dan menentukan “batas kekuasaan politik” antara bupati dan wakilnya. Sharing kekuasaan itu akan memakan waktu
lama jika keduanya mempunyai kekuasaan politik yang besar, dan itu berarti menunda langkah pemkab secara institusional.

Jika lapis pertama sudah bisa diatasi antara bupati dan wakilnya, maka langkah akan beralih pada lapis kedua, yaitu parpol pengusung. Parpol pengusung ini sering menjadi hambatan kepala daerah dalam menentukan arah kebijakan, karena mereka juga meminta jatah “kue” kekuasaan sebagai kompensasi dukungan yang mereka berikan. Jika parpol pengusung ini tidak “serakah”, maka kebijakan yang menyangkut kepentingan umum akan cepat terlaksana, seperti kesehatan dan pendidikan gratis.

Dengan menggunakan analisa itu, artinya bupati – wakil bupati Bojonegoro nantinya tidak mungkin langsung bisa start untuk menjadi induk bagi anak-anaknya. Banyak kendala yang harus dilalui agar mampu menjalankan roda pemerintahan dengan baik. Jika tidak, maka roda pemerintahan itu akan bergerak liar dan malah menabrak warganya sendiri. Padahal, di sisi lain produksi minyak sudah dimulai dan warga
membutuhkan “rasa manis” dari apa yang keluar dari bumi Bojonegoro.

Oleh karena itu, sekali lagi, pilkada Bojonegoro tahun ini mempunyai bobot yang jauh lebih berat dibandingkan dengan pilkada sebelumnya. Sehingga, terlebih penting lagi, masyarakat Bojonegoro yang mempunyai hak pilih, memiliki tanggungjawab moral
untuk membawa perubahan Bojonegoro ke depan. Jika warga salah memilih pemimpin, maka risikonya akan sangat besar bagi masa depan. Lalu siapa yang pantas dipilih?. Untuk menjawab itu sebaiknya dikembalikan kepada hati nurani masyarakat saja. Wallahu A’lam.

Nanang Fahrudin
Alumni FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, warga Bojonegoro.

0 komentar:

 
© Copyright 2035 godongpring