Kamis, 22 September 2011

Bojonegoro Membaca, Siapa Peduli?

(Menyambut Hari Buku Nasional 17 Mei 2010)

Oleh : Nanang Fahrudin

Jika Anda iseng bertanya tentang bagaimana kondisi minat baca masyarakat Bojonegoro dan mencoba menemukan jawabannya. Cobalah sekali-kali menengok pusat perbelanjaan Jalan Pemuda. Lebih baik lagi jika awal bulan saat banyak orang memegang uang gaji. Anda yang gemar menenteng buku, membaca majalah, koran serta bahan bacaan
lainnya akan sedikit miris. Prihatin.

Kasir lantai I yang jumlahnya lebih dari lima meja penuh. Antrean ke belakang di tiap meja mengular. Puluhan bahkan ratusan orang berbelanja seperti berburu hewan di hutan. Siapa cepat ia bisa lebih awal antre di kasir. Tapi coba Anda naik ke lantai II, tempat toko buku. Di sana begitu lengang. Tidak ada sepertiga dari para pembeli itu membelanjakan untuk buku dan bahan bacaan. Jika kurang yakin, coba Anda ke Perpustakaan Daerah (Perpusda) Jalan Panglima Polim. Anda akan menemukan hal serupa. Pengunjung Perpusda memang selalu ada, terutama anak-anak sekolah. Tapi, coba bandingkan lebih
banyak mana pengunjung perpusda dengan siswa yang nongkrong di warung kopi sepanjang jalan?.

Dua fenomena yang saya sajikan di atas memang tak bisa menggambarkan secara utuh kondisi minat baca masyarakat Bojonegoro. Tapi, setidaknya bisa menjadi bahan awal diskusi bagaimana kondisi literal masyarakat di daerah yang punya kandungan minyak dan gas bumi (migas) besar. Dan terpenting adalah menjadi bahan untuk mencari strategi
meningkatkan minat baca.

Membaca, bagi masyarakat Bojonegoro memang belum menjadi sebuah kebutuhan. Pendidikan formal di lingkungan sekitar kita masih berpandangan membaca bukan
masuk kotak pendidikan. Karena sekolah terlanjur dimaknai sebagai (hanya) proses belajar untuk mendapatkan nilai bagus saat ujian nasional. Kegemaran membaca tidak pernah ditanamkan kepada para siswa sebagai prasyarat dalam proses pendidikan. Akibatnya, setelah lulus sekolah merekapun tak peduli dengan membaca. Membaca tereduksi hanya sebagai alat agar nilai bagus.

Padahal, membaca mempunyai makna yang lebih luas. Selain memang diperintah Allah melalui ayat pertama yang diturunkan kepada Muhammad saw, membaca bisa menjadi alat mengenal "yang lain" melalui pikiran-pikiran yang ada di bahan bacaan itu. Membaca, bahkan bagi sebagian orang adalah rekreasi. Membaca menjadi sebuah seni
menginterperatasikan tanda-tanda dalam setiap bahasa. Dan terpenting lagi adalah membaca bisa membawa perubahan lebih baik.

Negara-negara yang kuat, rata-rata mempunyai masyarakat dengan tingkat baca yang tinggi. Jepang yang memiliki teknologi maju, menuntaskan angka buta huruf pada abad ke-17. Di Indonesia, setelah tiga abad berlalu masih berkutat pada pengentasan buta huruf, termasuk di Bojonegoro. Padahal, melek huruf belum tentu melek baca. Membaca benar-benar menjadi "yang terbuang" bagi masyarakat.
Pemkab Pasif

Pemkab Bojonegoro, sejauh ini masih belum terlihat maksimal ngopeni kegiatan membaca di kalangan masyarakat. Stimulus akan minat baca di masyarakat masih
sangat minim. Itu terlihat dari minimnya sarana baca yang dimiliki pemkab selain Perpusda. Bahkan, tragisnya anggaran untuk perpusda hanya rata-rata Rp50 juta tiap tahun. Itupun hanya Rp5 juta untuk belanja menambah koleksi buku. Praktis, perpusda memajang buku yang itu-itu saja. Berbeda dengan pos lain seperti pakaian dinas anggota DPRD Rp400 juta lebih (hanya salah satu contoh perbandingan).

Pemkab melalui Dinas Pendidikan Daerah masih terlihat menggunakan paradigma lama, yakni bagi SD - SMA 100 persen lulus ujian. Sedang bidang pendidikan luar sekolah (PLS) lebih sibuk menuntaskan pemberantasan buta huruf, pelaksanaan kejar paket B dan C. Sementara, Perpusda sendiri selalu kebingungan soal anggaran dan seakan berdiri
sendiri tanpa bersanding dengan Dinas Pendidikan Daerah.

Melihat fenomena itu, praktis pemkab tidak mempunyai desain besar untuk meningkatkan minat baca masyarakat. Padahal, pemkablah yang mempunyai kewenangan mengelola keuangan daerah, menentukan arah kebijakan satu hingga lima tahun kedepan. Sehingga sudah sewajarnya jika memimpikan pemkab berandil besar mendorong minat baca masyarakat.

Kalau pemkab kurang peduli, lalu kepada siapa kita bisa berharap?. Sebenarnya ada banyak pihak yang memiliki potensi ikut mendorong gerakan "Bojonegoro Membaca". Di daerah dengan potensi alam yang besar, Bojonegoro mempunyai banyak perguruan tinggi. Jika hendak disederhanakan, para mahasiswa, dosen, serta insan kampus
adalah masuk kotak intelektual. Seyogyanya, merekalah yang bisa mentradisikan membaca dengan membangun infrastruktur perpustakaan di setiap kampus. Bacaan lengkap sangat dibutuhkan untuk meningkatkan intelektualitas mahasiswa.

Tapi sayang gema aktivitas kampus terutama soal gerakan membaca masih belum begitu tampak. Kampus yang ada (meski tidak semua) terjebak pada pendidikan mengejar ijazah. Sedang, gerakan mahasiswa masih mirip gerakan LSM, bukan kegiatan intelektual. Lebih parah lagi, insan kampus terjebak pada kepentingan politik. Sehingga
yang terjadi adalah ada kampus merah, kuning, hijau dan lainnya. Stigma politik tersebut sedikit banyak mengaburkan keberadaan kampus sebagai "pencetak kaum intelektual".

Lalu jika kampus saja tidak peduli dengan gerakan membaca, lalu kepada siapa berharap?. Sulit memang menjawab pertanyaan itu. Karena dari 1,2 juta jiwa warga Bojonegoro yang ada, sangat sedikit yang menganggap rendahnya minat baca adalah sebuah masalah. Membaca masih dimaknai sebagai mengisi waktu luang. Bukan berdialog, berdiskusi, mencari pengetahuan, menginterpretasi sebuah pemikiran, atau menguji pikiran kita dengan pikiran yang tersurat maupun tersirat dari bahan bacaan. Membaca jadinya hanya milik kalangan tertentu saja.

Tawaran Solusi
Suram. Mungkin itulah masa depan tradisi membaca di Bojonegoro jika semua pihak diam di tempat dan merasa tidak ada masalah serius. Pasalnya, kaum terpelajar, kelas ekonomi menengah ke atas (pejabat, anggota DPRD, dan pengusaha), serta masyarakat yang melek baca tak segera bergerak ikut mendorong minat baca di Bojonegoro. Sehingga, sangat tidak mungkin jika kita menggantungkan hal itu kepada masyarakat bawah, yang setiap harinya terpaksa bergelut untuk mencari sesuap nasi.

Ada beberapa langkah sebenarnya yang bisa ditempuh untuk mendorong minat baca
masyarakat. Setidaknya, itu dilakukan tanpa aksi saling tunggu antara semua pihak. Satu hal, dari sekian banyak hal, yang perlu dilakukan adalah melengkapi bahan bacaan atau
membuat perpustakaan keluarga di rumah masing-masing. Perpustakaan keluarga, setidaknya bisa menumbuhkan gairah membaca (minimal) bagi anggota keluarga. Kampanye perpustakaan keluarga, harus segera dikumandangkan di tengah-tengah budaya visual yang terus menggerus masyarakat.

Langkah lain yang patut dicoba adalah, sebuah kesadaran dari para pejabat, anggota DPRD, serta pengusaha untuk ikut mendorong minat baca di lingkungan sekitar. Langkah mereka tidak harus seragam, melainkan bisa bervariasi sesuai kebutuhan lingkungan. Jika langkah itu dikawinkan dengan kepedulian pemkab, pasti Bojonegoro akan menjadi daerah kaya minyak dengan tradisi membaca yang tinggi. Selamat Hari Buku Nasional 17 Mei. Selamat Membaca Bojonegoro!.

Penulis adalah Alumni MAI At-tanwir Talun, Sumberrejo,
Bojonegoro angkatan 1997. Warga Desa Ngemplak, Kecamatan Baureno.
(Dimuat di Radar Bojonegoro)

0 komentar:

 
© Copyright 2035 godongpring