Selasa, 20 September 2011

Bojonegoro Maju dengan Buku

(Refleksi Hari Buku Sedunia pada 23 April)

Oleh : Nanang Fahrudin

Banyak orang mempercayai jika politik yang kuat akan merubah sebuah bangsa lebih maju (baca: baik). Banyak pula yang meyakini jika ekonomi kuat akan bisa mengantarkan bangsa ke kejayaan. Tapi sedikit yang mengimani jika buku (membaca) bisa membantu sebuah bangsa menjadi besar.

Guna membuktikan itu tidaklah sulit. Pemerintah pusat sampai daerah seakan berlomba menancapkan dasar-dasar politik dan ekonomi yang kuat dengan tujuan membawa bangsa ini lebih baik. Regulasi pertarungan ekonomi dibuat, pun demikian regulasi politik dibuat. Aturan-aturan itu terjelma dalam bentuk UU, Perpres, Peraturan Menteri, hingga Peraturan Daerah (Perda) di tingkat kabupaten/kota.

Bagaimana dengan buku?. Buku bukan sesuatu yang diperhitungkan. Buku seakan menjadi pelengkap dari semuanya saja. Hanya pelengkap. Tak pernah ada regulasi khusus dari tingkat pusat maupun daerah yang berisi tentang menggairahkan dunia buku atau dunia membaca. Kecuali aturan tentang buku-buku pelajaran sekolah yang dibuat secara elektronik (e-book) yang ujungnya buku tetap saja mahal. Atau yang terkenal adalah UU No 4/PNPS/1963 pasal 1 ayat (1) tentang kewenangan Kejaksaan Agung menyemprit penerbitan buku atas nama ketentraman masyarakat. Beruntung Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mencabutnya pada 2010 lalu.

Regulasi pemerintah sebenarnya tidak begitu penting jika masyarakat Indonesia sudah menjadikan buku sebagai sesuatu yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Tapi sayang, membaca belum menjadi tradisi yang kuat di tengah masyarakat. Tragisnya lagi, pemerintah memandang sebelah mata terhadap dunia buku. Salah satu bukti adalah “penelantaran” pusat dokumentasi HB Jasin di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, yang pada ujungnya menggerakkan sejumlah orang untuk menggalang #koinsastra. Semacam gerakan koin untuk Prita dulu.

Padahal, banyak sejarah mencatat buku menjadikan sebuah bangsa besar. Buku identik dengan ilmu pengetahuan. Bayangkan jika dunia buku tidak diperhatikan, maka akibatnya sama ketika tidak memperhatikan ilmu pengetahuan. Bangsa Jepang maju karena pada abad ke-17 sudah kuat di bidang membaca. Jerman menjadi negara besar karena di sana ada para filsuf dunia yang banyak melahirkan buku seperti Hegel, Karl Marx, hingga buku-buku era madzhab frankfurt.

Di sisi lain, ilmu pengetahuan adalah anak kandung modernitas. Artinya, pada era modern saat ini mendalami ilmu pengetahuan adalah sebuah keharusan. Meski ilmu pengetahuan sendiri adalah ciri masyarakat barat. Pada akhirnya bangsa yang kuat adalah bangsa yang menggenggam ilmu pengetahuan.

Bagaimana dengan Bojonegoro?

Secara sosial-ekonomi, Bojonegoro saat ini ibarat lapangan terbuka. Semua orang bisa masuk dengan “bebas”. Perusahaan asing seperti Mobil Cepu Limited (MCL) di Blok Cepu (kini didesak menjadi Blok Bojonegoro), atau perusahaan lain yang mengiringinya menjadikan Bojonegoro magnet bagi semua orang.

Investor Jakarta yang biasanya tak melirik Bojonegoro, kini datang saling berebut. Para pengusaha lokal pun tak mau ketinggalan. Sebagai anak daerah, mereka akan berusaha “mempertahankan” daerahnya. Bojonegoro akhirnya diserbu orang-orang baru dari luar seperti peneliti, pekerja sosial, pengusaha, buruh, investor, dan kelompok lain. Tak hanya itu, Bojonegoro juga dimasuki modal besar, kepentingan ekonomi-politik-budaya, dan segala sesuatu yang baru. Dan masyarakat harus siap berhadapan dengan segala yang baru tersebut.

Orang-orang baru tersebut tak hanya bekerja di Bojonegoro, melainkan juga membawa gagasan-gagasan. Persaingan ekonomi misalnya tak hanya pada sisi modal, melainkan juga konsep. Gerak sosial masyarakat juga ditentukan dengan pertarungan gagasan-gagasan yang seringkali tak dirisaukan. Demikian juga di bidang budaya pasti akan ada pergesekan yang bisa jadi mengancam budaya-tradisi lokal Bojonegoro.

Kita semua tidak menginginkan jika pada puncak pergesekan gagasan ekonomi-sosial-budaya-politik berujung pada tersingkirnya masyarakat lokal Bojonegoro. Digantikan mereka para pendatang yang menggenggam ilmu pengetahuan dan teknologi. Kita tidak menginginkan pada puncak pertarungan ekonomi, masyarakat lokal Bojonegoro tersisih dari kehidupan layak.

Kuncinya, masyarakat Bojonegoro harus cerdas. Berani bertarung pada gagasan dan konsep. Memang pasti akan muncul pesimisme bahwa benteng itu akan kalah juga dengan kekuatan modal yang datang. Tetapi kecerdasan akan selalu menemukan lubang sekecil apapun untuk bisa menggerakkan masyarakat berkembang maju.

Dan bagi saya, untuk memiliki “kunci” di atas, masyarakat harus gemar membaca. Masyarakat harus mulai memberi perhatian lebih terhadap buku. Masyarakat tak bisa cerdas hanya dengan menonton. Buku harus menjadi keseharian masyarakat Bojonegoro. Gerakan membaca harus menjadi gerakan massif. Dari tingkat kabupaten sampai tingkat RT atau lingkungan.

Dari cara berpikir demikian, perlu sebuah desain gerakan membaca sesuai dengan posisi dan kewenangannya. Pemkab harus berani mendorong gerakan membaca sampai institusi pemerintah paling bawah yakni kepala desa. Formula harus diatur sesuai kebutuhan, dan jika dipandang perlu ada sebuah peraturan daerah (perda) atau peraturan bupati (perbup) tentang gerakan membaca, pemkab harus membuatnya. Fasilitas-fasilitas harus segera dibangun untuk mendorong membaca. Dan paling mendasar dan utama adalah membangun kesadaran akan pentingnya membaca (buku).

Tak hanya pemkab, tapi mahasiswa, pekerja sosial, politisi, seniman, guru, wartawan, pengusaha dan siapapun sudah saatnya membangun gerakan membaca untuk menuju masyarakat Bojonegoro yang cerdas. Masyarakat yang siap dengan angin perubahan yang sewaktu-waktu pasti akan membawa ke depan dengan lompatan, bukan hanya gerakan lamban.
Dan tak kalah penting adalah peran Dinas Pendidikan Daerah (Disdikda) yang menjadi motor penggerak di bidang pendidikan. Sayangnya paradigma pendidikan bagus adalah jika gedung sekolah semuanya bagus, banyak sekolah yang distempel berstandar internasional, gaji guru naik, dan sebagainya. Bukan pada berapa karya (buku) yang diterbitkan oleh pejabat Disdikda, oleh para guru, atau oleh para murid. Buku masih belum menjadi indikator keberhasilan sebuah pendidikan daerah, melainkan hanya pelengkap yang seringkali dilupakan. Padahal, banyak guru dan pejabat di Disdikda yang lulusan S-2.

Pada akhirnya, saya hendak mengatakan bahwa Bojonegoro (hanya) akan maju jika masyarakatnya mencintai ilmu pengetahuan, mencintai buku, memiliki tradisi membaca yang kuat. Dan jika tidak dimulai dari sekarang, maka generasi membaca akan hilang, digantikan dengan generasi menonton. Karena berapa jam anak-anak sekarang menonton televisi, dan berapa jam anak-anak membaca buku. Padahal, 5-10 tahun mereka akan berusia 30 an tahun.

Selamat Hari Buku Sedunia. Salam.


Nanang Fahrudin
Alumnus MA-I Attanwir Talun Sumberrejo. Aktif di gerakan membaca Sindikat Baca.

0 komentar:

 
© Copyright 2035 godongpring