Selasa, 20 September 2011

Menggerakkan Keluarga Membaca

(catatan kecil kampanye membaca di Bojonegoro)

Sebagai Kado untuk Satu Tahun Buletin Baca! pada 14 Juli 2010


Oleh : Nanang Fahrudin

Negeri ini, memang punya catatan buruk soal membaca. Sejak tahun 2000, Indonesia berada di urutan belakang jika berurusan dengan membaca. Laporan Human Development Report 2008/2009 yang dikeluarkan UNDP menyebut dalam urusan ini, Indonesia berada di peringkat 96 dari seluruh dunia. Di Asia Tenggara, hanya ada dua negara di bawah Indonesia, yaitu Kamboja dan Laos. Tapi, kalau urusan konsumsi, maka Indonesia menempati peringkat teratas.

Realitas yang ada, membaca bagi sebagian besar masyarakat bukan dimaknai sebagai sebuah keharusan. Membaca tak lebih sebagai pengisi waktu luang. Bagi pejabat, membaca tak lebih sebagai pekerjaan, bagi mahasiswa membaca tak lebih sebagai tugas kuliah, dan bagi siswa membaca tak lebih sebagai pertaruhan lulus atau tidak saat Ujian Nasional (UN). Meski perlu diberi catatan, tak semuanya memaknainya begitu.

Cara pandang demikian lah yang menyeret masyarakat menempatkan koran, majalah, buku, serta bahan bacaan lain sebagai (hanya) konsumsi. Sekali pakai habis. Sehingga, tradisi menyimpan artikel, buku, majalah, atau bahan bacaan apapun sangatlah minim. Rentetan dari masalah itu adalah, tiadanya bahan bacaan di tengah keluarga. Rak-rak buku di dalam rumah, sangat jarang. Masyarakat lebih suka memajang pernik-pernik hiasan di almari kaca, daripada buku yang setiap saat bisa dibaca semua anggota keluarga.

Padahal, bahan bacaan seperti bukulah yang memiliki andil melakukan perubahan peradaban kita. Coba kita buka halaman-halaman buku berjudul “Buku-buku Pengubah Sejarah” karya penulis Robert B.Downs. Buku ini terbit berbahasa Indonesia tahun 2001. Dalam buku ini, penulis menunjukkan 10 buku yang ternyata mampu merubah cara berpikir masyarakat dunia, dan pikiran-pikiran itu masih banyak digenggam masyarakat kita.

Salah satu buku yang dimasukkan penulis dalam deretan buku pengubah sejarah adalah “Das Kapital” karya Karl Marx. Marx yang lahir pada tahun 1818 di Jerman dianggap membawa semangat revolusioner menentang ekonomi kapitalisme. (hal:110-130). Diakui atau tidak, meski sudah ratusan tahun lalu, buku Das Kapital masih menghantui masyarakat sekarang ini.

Beberapa buku karya penulis ternama yang pikiran-pikirannya ternyata masih tersimpan jauh dari masanya adalah buku “Wealth of Nation” karya Adam Smith. Smith tak lain peletak dasar ekonomi modernis yang (tentunya) kapitalis dan kemudian dikritik Marx. Banyak juga bidang keilmuan yang dipengaruhi oleh buku-buku seperti Origin of Species (Asal usul Spesies) karya Charles Darwin, Relativity, The Special and General Theories (Kenisbian, Teori-teori Khusus dan Umum).

Buku-buku tersebut hanyalah sebagian kecil yang dinilai mampu merubah peradapan dan cara berpikir masyarakat. Karena masih banyak buku-buku yang punya andil besar dalam proses perubahan sebuah masyarakat, seperti Mukoddimah karya Ibnu Kholdun.

Besarnya pengaruh buku, sebenarnya sudah lama ditangkap oleh negara. Tak mengherankan jika pada era Orde Baru dulu, banyak buku-buku yang dilarang terbit. Larangan itu merujuk UU nomor 4/PNPS/tahun 1963 tentang Pengawasan Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum. Buku diakui mempunyai kekuatan tersendiri. Terlepas kekuatan itu akan dipakai untuk berjalan ke kanan atau ke kiri. Kalau tak punya kekuatan, tak mungkin lah negara melarang sebuah buku.

Mari Memulai

Masalahnya sekarang, pengaruh buku yang demikian besar ternyata tak ditangkap sebagai sebuah upaya menuju perubahan yang lebih baik. Buku, masih dipandang sebelah mata. Membaca hanya sebagai sebuah pekerjaan, seakan tak punya nilai dalam kehidupan, khususnya pada sisi afeksi, kognisi, dan behaviour manusia.

Nah, dari cara pandang itulah perlu sebuah gerakan membaca di Bojonegoro untuk membawa daerah ini tak hanya dikenal dari kemiskinannya, kondisi jalan yang rusak, atau soal ladang minyaknya. Gerakan membaca, memang tak bisa diandaikan mengurangi kemiskinan atau pengangguran. Tapi, dengan membaca, maka cara pandang masyarakat bisa berubah.
Dari sinilah perlu kiranya melakukan sebuah gerakan membaca yang memiliki “daya tahan” lama. Tak hanya “sekali selesai”. Kampanye membaca, tak bisa disamakan dengan kampanye calon kepala daerah. Kampanye membaca, mungkin bisa disamakan dengan kampanye hidup sehat. Butuh kampanye yang simultan, terus menerus dan dalam jangka waktu lama.

Salah satu dari sekian banyak cara adalah gerakan “Keluarga Membaca”. Setiap keluarga harus memiliki “perpustakaan” sendiri. Minimal, ada beberapa buku yang bisa dibaca oleh anak-anaknya, tamu yang datang, atau siapapun dari anggota keluarga tersebut. Perpustakaan keluarga itu bisa mengimbangi keberadaan televisi yang sudah menjadi identitas masyarakat. Tak ada keluarga yang tak memiliki televisi, dan kemudian, tak ada keluarga yang tak memiliki perpustakaan. Kenapa tidak?.

Ingat, tradisi membaca pada anak sulit diwujudkan jika lingkungannya lebih banyak mencintai televisi. Psikologi anak sulit diperintah, karena karakter anak adalah meniru. Meniru lingkungan sekitar, terutama keluarganya. Sehingga, kampanye membaca pada anak, sulit maksimal jika tanpa melibatkan peran orangtua. Di sinilah letak betapa pentingnya gerakan keluarga membaca.

Tanpa disadari, Keluarga Membaca sebenarnya sudah menjadi bagian dari banyak keluarga di Bojonegoro. Hanya saja, keluarga itu masih terkesan eksklusif dan belum berbagi kepada para tetangganya. Jika keluarga membaca ini menjadi frame atau kacamata bersama, maka bisa jadi setiap keluarga akan berkampanye membaca dengan caranya sendiri.
Tak penting sebenarnya siapa yang memulainya. Tapi yang jelas “Keluarga Membaca” adalah sebuah cara yang efektif untuk mengawali gerakan kampanye membaca di Bojonegoro.

Siapapun seyogyanya ikut andil dalam gerakan Keluarga Membaca, tentunya dengan caranya sendiri-sendiri. Misalnya, pemerintah daerah (Pemda) dengan upaya memperbesar Perpusda di Jalan Panglima Polim, mengefektifkan perpustakaan sekolah, mendirikan perpustakaan di tiap kecamatan atau bahkan desa. Pemda sebetulnya lebih mengetahui apa yang harus dilakukannya.

Pada akhirnya, penulis harus menutup tulisan ini dengan sebuah harapan Bojonegoro memiliki tradisi membaca yang tinggi. Mempunyai perpustakaan yang representatif, muncul penulis-penulis berkualitas, memiliki kampus dengan tradisi intelektual tinggi. Penulis yakin, semua bisa terwujud dari sebuah gerakan kecil, yakni gerakan keluarga membaca.
Mari membaca!.

Penulis adalah Editor Buletin ‘Baca!’, Alumnus MA I Attanwir Talun, Sumberrejo.

0 komentar:

 
© Copyright 2035 godongpring