Rabu, 21 Desember 2011

High Technology dan Soto Surabaya

CATATAN PERJALANAN KE SINGAPURA (bagian 1)



Oleh : Nanang Fahrudin


Sabtu 12 November 2011. Pesawat Lion Air JT 573 terbang dari Bandara Juanda Surabaya ke Bandara Soekarno-Hatta Jakarta yang dilanjut dengan pesawat lain ke Bandara Changi Singapura. Pesawat pertama menempuh waktu 55 menit, dan pesawat kedua butuh waktu 1,25 jam untuk terbang.

Setelah mendapat masalah kecil karena tas milik seorang kawan tak ditemukan saat mendarat di Bandara Changi, akhirnya kami meluncur menuju Mandarin Orchard Hotel di kawasan Orchard Road. Tentu saja kami meluncur setelah membuat laporan kehilangan tas ke petugas bandara.

Malam baru saja dibasahi hujan. Lalu lintas jalanan kota di Singapura begitu tertib. Polisi jarang berdiri di pinggir jalan, karena rambu lalu lintas sudah begitu ditaati. Hampir 100% jalan raya dihiasi dengan mobil. Gedung-gedung menjulang tinggi seakan berkejaran saat saya lihat dari kaca jendela mobil yang membawa kami. Sopirnya orang India. Dia begitu bersemangat bicara. Dalam perjalanan tak henti-hentinya bercerita ini itu dengan seorang kawan jurnalis dari Brunai Darussalam. Sedang saya dan kawan dari Semarang duduk di belakang tanpa banyak bicara, karena tubuh terasa lelah sekali.

Sesampai di hotel, tak butuh waktu lama kami langsung menyantap makanan di restoran hotel. Tubuh begitu capek. Usai makan malam, kami langsung bergegas ke kamar 108, kamar yang disiapkan untuk kami. Di balik selimut, saya terlelap dengan nyaman. Mata baru terbuka saat pagi sudah mengetuk-ngetuk jendela dengan sinar matahari.

Keesokan harinya, kami berada di lantai 6 hotel bintang lima itu dan mengikuti seminar kesehatan. Seminar yang begitu asing bagiku, karena bertema tentang teknologi kesehatan yang begitu maju. Apalagi seminar menggunakan bahasa Inggris. Maklum, penguasaan bahasa inggrisku tidak begitu cantik.

Para pakar teknologi kesehatan di Singapura hadir di sini. Bisa dibayangkan ketika banyak pasien Indonesia ‘lari’ ke Singapura untuk memperoleh pelayanan kesehatan di sini, dan sekarang para dokter ahli itu sedang berbicara. Berbagai hasil teknologi kesehatan dibeber. Mulai alat yang menggantikan fungsi otot jantung. Otot yang tak lagi mampu memompa jantung bisa digantikan dengan alat itu, sehingga jantung tak sampai berhenti. Sebagian alat itu dipasang di dalam tubuh, sebagian disambungkan ke luar menyatu dengan dua baterai yang dibawa pasien.

Bahkan, ada teknologi kesehatan untuk mendesain bayi. Caranya, sel-sel yang tidak diinginkan oleh orang tua bayi bisa dibuang. Misalnya orang tuanya berambut keriting, dan orang tua menginginkan rambut lurus, maka sel itu diambil. Teknologi mendesain bayi ini memang masih menjadi perdebatan di dunia kesehatan, karena benturan etika. Meski pada mulanya teknologi ini adalah untuk mencegah bayi tertular penyakit semacam HIV/AIDS yang dibawa oleh sel telur dan sperma dari orang tuanya.

Saya memang begitu miskin akan pengetahuan teknologi kesehatan. Tapi tetap saja otakku langsung mengaguminya. Saya pun berpikir, bahwa teknologi memang sebuah keniscayaan di muka bumi. Dan teknologi akan membawa dunia ini pada sebuah puncak kehidupan manusia yang selalu bertanya. Teknologi menjadikan semuanya seakan serba mungkin, salah satunya menunda jantung berhenti berdetak. Satu hal lagi, teknologi sebagai anak modernitas telah menjadi penguasa di dunia ini.

Tapi benarkah teknologi membawa kesejahteraan?. Menjawab itu memang tidak mudah. Sejak zaman Karl Marx, teknologi dinilai menjadi penyebab menurunnya derajat manusia menjadi sama dengan benda. Manusia dipaksa bersaing dengan kemampuan teknologi dalam hal memproduksi barang. Ah, entahlah kok ngelantur ke sana.

Lebih baik saya tidak berbicara soal makna teknologi. Karena saya sendiri bingung antara mengagumi teknologi atau membencinya. Kagum karena begitu hebatnya mengatasi setiap persoalan yang dihadapi manusia. Benci karena teknologi telah merenggut sisi-sisi kemanusiaan manusia. Teknologi selalu hadir tanpa disertai etika. Teknologi hadir dalam bentuk yang sama di manapun berada.

Daripada bingung, saya dan dua orang kawan berjalan keluar hotel. Malam kembali dibasahi hujan deras. Orang-orang berlalu lalang dengan membawa payung. Kami berjalan ke Lucky Plaza yang berjarak sekitar 100 meter dari hotel. Masuk plaza perut mulai keroncongan. Di pojok terpampang tulisan ‘Soto Surabaya’. Aku pun memesannya dan menyerahkan uang 4 dollar Singapura. Lumayan, perut kenyang dan tak lagi pusing dengan teknologi tadi. Dan ternyata ‘rasa lokal’ tetap saya cari saat berada di luar negeri..hmmm.

Singapura, 12-14 November 2011

0 komentar:

 
© Copyright 2035 godongpring