Senin, 25 Juli 2011

SHOPAHOLIC HORE


Oleh : Nanang Fahrudin
(Catatan di Koran Seputar Indonesia edisi Jatim pada 24 Juli 2011)

Mari kita rayakan zaman ini. Shopaholic Hore!. Semua asyik berbelanja. Anak-anak remaja antre berjam-jam untuk membeli tiket nonton penampilan Jastin Bieber. Para ibu-ibu duduk-duduk bergerombol sambil cas-cis-cus di kafe lantai empat sebuah mal. Sedang para bapak yang terhormat memilih-milih lukisan yang dipamerkan di hotel berbintang lima. Pulang ke rumah, mereka bertemu, bersenda gurau menunjukkan kehebatan masing-masing mendapatkan barang-barang buruannya.

Sementara di sudut gang sempit, anak usia SD merengek kepada bapaknya minta dibelikan ponsel nokia 3G. Hape yang digenggamnya tak sama dengan hape yang dibawa teman-temannya saat bermain di bawah pohon keres. Sang anak menangis karena selalu diejek teman-temannya. Sang bapak pun tak tega dan berjanji saat gaji guru bulan depan cair, anaknya akan dibelikan hape yang diinginkannya.

Ya, semangat berbelanja benar-benar sedang menggelora. Belanja telah menemukan “dirinya” yang sebenarnya. Tak peduli kaya atau miskin. Entah bagaimana ceritanya, belanja telah bergandengan dengan pariwisata sehingga lahirnya istilah : wisata belanja. Belanja juga berubah menjadi kebutuhan psikologis, bukan kebutuhan biologis semata. Ketika anda membeli jam tangan, bukan jam tangan lagi yang anda butuhkan tapi merek dan harganya. Ketika sedang depresi, belanja bisa menjadi obat, seperti Brietny Spears yang menghabiskan ….. untuk memulihkan psikologisnya dari depresi. Kok bisa?. Itulah shopaholic, dan sekarang sedang dirayakan oleh hampir semua orang.

Shopaholic sendiri berasal dari kata shop yang berarti belanja, dan aholic yang bermakna sebuah kebiasaan atau ketergantungan terhadap hal yang dilakukan dengan sadar atau pun tidak. Jadi shopaholic adalah ketergantungan seseorang akan belanja, disadari ataupun tidak. Anda mudah menemukan orang-orang yang terjangkit shopaholic itu. Bahkan mungkin menemukannya pada diri kita sendiri. Bukan pada orang lain.

“Ya normal lah. Sekarang memang zamannya demikian. Tak ada yang salah dengan berbelanja kan?” tanya kawanku. Ya, memang tak ada yang salah, bahkan sangat benar mungkin. Belanja akan menggerakkan roda ekonomi. Ketika roda ekonomi bergeliat, berarti “pasar” dalam kondisi sehat.

Tapi pernahkah kita bertanya, siapa yang diuntungkan?. Kenapa kita harus belanja barang-barang yang seringkali tidak dibutuhkan?. Bukankah barang-barang yang kita beli memiliki harga selangit akibat persaingan dengan barang-barang lainnya?. Ketika perusahaan-perusahaan besar memproduksi barang-barang konsumsi, mereka memberi sejuta pilihan kepada kita. Tapi bagi kita, tak ada pilihan kecuali merayakannya, menjadi shopaholic dan melompat girang sambil berteriak : horeee….

Istilah “wisata belanja” dan “menjadi shopaholic” telah menjadi mitos di zaman ini. Ketika kita bukan shopaholic, kita belumlah menjadi manusia sempurna. Dorongan shopaholic begitu kuat merasuk dalam diri seseorang. Ketika Rasul Muhammad memberi tuntunan “makanlah ketika merasa lapar”, kini dirubah menjadi “makanlah di restoran atau kafe, ada masakan Italia atau masakan Jepang”. Ketika agama menuntun “isi sepertiga perutmu dengan makanan, sepertiganya dengan air, dan sepertiganya lagi dengan angin”, kini mungkin yang terjadi adalah “isilah sepertiga rumahmu dengan mobil, sepertiganya dengan perhiasan emas, dan sepertiganya perabot mahal dari tanah Tiongkok”.

Hmm….mari kita tarik nafas panjang. Duduk di kursi malas sejenak, menikmati suara deburan ombak imitasi dari layar televisi, membuka buku berisi pikiran-pikiran Sekolah Frankfurt teori kritis masyarakat, dan sesekali mendengar seruan Nabi yang keluar dari compact disk “tidak bakal susah orang yang hidup sederhana,” sebuah hadits riwayat Imam Ahmad. Kalo butuh merenung lebih lama, pesan saja kopi lewat telepon genggang yang ada di saku anda.

Apa yang anda pikirkan sekarang?. Memilih hidup sederhana (membatasi konsumsi, selalu menimbang arah budaya masyarakat, membanding-bandingkan rasionalitas dengan irasionalitas saat berbelanja), atau memilih hidup yang juga sederhana (menjadi sophaholic, ceria di mal, bisa berwisata belanja tiap hari, tak perlu berpikir berat-berat, yang penting sukses memiliki uang banyak tak peduli cara mendapatkannya). Jika anda memilih yang pertama, anda berada di lingkaran kecil. Sedang jika anda memilih pilihan kedua, banyak teman anda yang siap menyertai. Bisa tertawa lepas merayakan shopaholic, sambil berteriak : horeeee…..

0 komentar:

 
© Copyright 2035 godongpring