Rabu, 01 Februari 2012

Di Mana Menemukan Jawa ?

Oleh : Nanang Fahrudin

Seorang perempuan berusia 40 an tahun sangat sibuk hari itu. Anaknya sedang hamil dan sebentar lagi ia memiliki cucu lagi. Usia kandungan sudah memasuki bulan ke tujuh. Dan hari itu adalah hari tingkeban, acara slametan menandai tujuh bulan kehamilan anaknya. Nasi kuning, bubur merah, bubur putih, ketan towo, dan beberapa makanan dibuat untuk menu slametan. Tiga-empat tetangga yang semuanya perempuan ikut sibuk di dapur.

Sedang sang bapak menyiapkan semua keperluan. Mengundang tetangga kiri-kanan rumah dan mengeluarkan kursi-kursi agar undangan tak berdesak-desakan saat datang. Pokoknya semua harus disiapkan sejak pagi subuh. Dua buah kelapa muda dengan lukisan dua tokoh wayang juga disiapkan untuk tingkeban tersebut.

Saat semua sudah siap, seorang dukun (juga perempuan) menyiapkan semua. Calon ibu dimandikan dengan masih mengenakan sarung milik ibunya. Kain itulah yang menandakan kedekatan emosional anak-ibu tersebut. Si calon bapak selanjutnya diharuskan memecah gading (kelapa muda) dengan golok besar. Gading itu harus benar-benar terbelah, agar proses kelahiran lancar. Semua acara berakhir ketika semua tamu (para tetangga) pulang membawa berkat setelah berdoa bersama.

Ya, masyarakat jawa begitu kaya ritual, kaya kepercayaan, dan kaya tradisi. Kekayaan itu pun memunculkan kekayaan lain di antaranya kaya jenis makanan. Selain tingkeban ada ritual brokohan (saat anak lahir), bahkan sampai kematian juga ada upacara khusus sampai seribu hari kematiannya (nyewu).

Merasakan jawa, hmm….di mana sekarang bisa menemukannya. Tradisi jawa sudah banyak berubah. Hantaman modernitas begitu besar pengaruhnya, mampu menenggelamkan sebagian besar “ke-jawa-an” itu. Tak hanya tradisi, tapi juga alam pikiran dan filsafat jawa pun mulai menguap. Generasi muda masyarakat jawa sudah banyak yang bergaya hidup loe dan gue.

Saya bukan hendak berdiskusi tentang sebuah kebenaran filsafat jawa. Bukan. Tapi saya hanya ingin sedikit memotret jawa yang sudah mulai bukan jawa lagi. Saya pun teringat ucapan yang lazim dikatakan orang-orang tua bahwa “kamu orang jawa, tapi tidak jawani”. Ya, jawa memang memiliki ‘alam’ sendiri yang oleh orang jawa disebut sebagai budaya luhur.

Nah, keinginan merasakan jawa mulai menguat ketika saya membaca buku “Senopati Pamungkas” karya Arswendo Atmowiloto. Buku dua jilid ini lumayan tebal karena keduanya di atas seribu halaman. Ketika membacanya saya benar-benar masuk ke alam jawa yang luhur dan agung. Itu tergambar pada dialog dan karakter tokoh-tokoh dalam novel sejarah berdirinya Kerajaan Majapahit itu.

Upaya menemukan jawa (saya menggunakan istilah menemukan jawa untuk memudahkan saja. Maksudnya adalah menemukan filsafat, alam pikir, tradisi, dan semua yang berbau jawa) terus bergelora ketika membaca buku Arswendo lain berjudul “Canting”. Novel yang bercerita tentang sebuah keluarga Pak Bei, keluarga pembesar kerajaan di kabupaten. Tokoh Pak Bei digambarkan begitu kuat ke-jawa-annya. Dia selalu bisa membaca sekitarnya, karena baginya hidup harus selalu memahami gerak zaman.

Usaha menemukan jawa terus menggelora pada diri saya. Hingga akhirnya saya menemukan buku “Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa” karya Clifford Geertz terbitan Pustaka Jaya. Buku itu seperti meembentangkan lagi tradisi jawa yang selama ini mulai dilipat. Geertz memotret kepercayaan masyarakat jawa akan makhluk halus, upacara slametan, dan semua ritual orang jawa. Semua dibahas habis dalam buku itu. Buku kajian etnografi yang dikenal “berat” tapi tersaji dengan bahasa sangat ringan.

Belum selesai membac Geertz, saya kembali mendapatkan buku “Parama Yoga Ronggowarsito” sebuah buku tentang mitos asal-usul manusia jawa. Buku itu memang saya beli dengan kondisi tak begitu cantik lagi. Tapi sedikit melengkapi koleksi saya tentang masyarakat jawa.

Meski sudah melahap beberapa buku tentang jawa, saya belum bisa menemukan jawa itu. Saya masih merasa sangat jauh dari jawa. Entah ke mana lagi menemukannya. Kenapa saya ingin melihat dunia jawa?. Cara pikir saya sederhana saja bahwa saya hidup di jawa, menghirup udara jawa. Filsafat dan cara berpikir orang jawa tentu memiliki sejarahnya, seiring keberadaan kehidupan masyarakat jawa itu sendiri. Ibarat sebuah riset, filsafat dan cara berpikir jawa adalah hasil riset yang sudah mulai dilupakan. Dunia bergerak dengan kiblat kebudayaan barat. Semua yang ‘bukan barat’ diklaim belum maju. (Mungkin) termasuk filsafat dan budaya jawa tadi.

Ah saya jadi teringat ketika saya (bersama Mustakim, seorang jurnalis) datang di rumah Mbah Hardjo Kardi di Dusun Jipang, Desa/Kecamatan Margo Mulyo, Kabupaten Bojonegoro. Dusun itu berada sekitar 60 km arah selatan dari kota Bojonegoro. Mbah Hardjo (demikian biasa disapa) adalah generasi ke empat pimpinan masyarakat Samin. Ketika wawancara dia memarahi kami karena kami tidak bisa menangkap pembicaraan beliau yang menggunakan bahasa jawa kawi. “Ngapunten mbah,” kata kami. “Ya wes gawe boso jowo biasa ae. Bocah nom sakiki wes lali jowo kabeh”. Hmm…menemukan jawa memang begitu sulit, setidaknya begitulah yang saya rasakan. Mungkin anda berbeda dengan saya. Salam.

Surabaya, 21 Desember 2011

0 komentar:

 
© Copyright 2035 godongpring