(Catatan Pendek Novel Tuyet karangan Bur Rasuanto)
Oleh : Nanang Fahrudin
Belumlah hilang ingatanku akan sosok Srintil, tokoh dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk (tiga jilid) karangan Ahmad Tohari. Kini aku merasakan kepedihan dengan timbangan berat hampir sama (andaikan kegetiran hidup bisa ditimbang). Dia ada pada sosok Tuyet, dalam novel berjudul “Tuyet” karangan Bur Rasuanto. Novel yang terbitit tahun 1978.
Tuyet adalah gadis Vietnam usia 20 an tahun. Dia kecil, berkulit putih dan selalu mengenakan baju ao dai, mungkin baju khas warga Vietnam. Ia adalah satu di antaranya sekian banyak warga Vietnam yang bergelut dalam penderitaan akibat perang Vietnam tahun 1957-1975. Perang yang berakar pada perbedaan ideologi yakni Komunis dan Liberal.
Tuyet tak pernah mengerti apa itu komunisme dan apa itu liberalisme. Ia hanya merasakan perang antara Vietnam Selatan dan Vietnam Utara menghapus masa depannya, dan masa depan jutaan warga lainnya. Nyawa sewaktu-waktu bisa lepas dari raga dalam kondisi perang seperti saat itu. Sejarah mencatat, dalam kurun waktu perang Vietnam, sebanyak 280.000 orang di pihak Selatan meninggal dan 1.000.000 di pihak Utara juga meninggal.
Sosok Tuyet awalnya memang misterius. Ia teman Herbert seorang wartawan asing yang meliput perang Vietnam. Tapi ia harus ke Jerman untuk menyelesaikan penerbitan bukunya. Setelah Herbert tidak ada lagi di Vietnam, Tuyet meminta tolong ke Alimin (tokoh aku), seorang wartawan asal Indonesia, karena ia teman dekat Herbert.
Awalnya hubungan keduanya hanya masalah surat dari Herbert yang ditunggu Tuyet, yang kemungkinan dititipkan ke Alimin. Tapi surat tak kunjung datang. Dan Alimin masuk dalam masalah yang dihadapi Tuyet. Alimin mencoba membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi Tuyet. Cerita semakin seru, karena Alimin juga berteman baik dengan Thi, warga Taiwan yang menjadi siswa Alimin. Di Vietnam, Alimin juga mengajar.
Tuyet ternyata menyimpan kegetiran hidup yang mungkin sulit dipikulnya. Ayahnya yang guru dituduh komunis oleh pemerintahan militer waktu itu. Untuk menyelamatkannya, ia harus menebus dengan uang yang tidak sedikit. Alimin pun siap membantu mencarikan uang itu.
Untuk bertahan hidup, Tuyet menjadi buruh cuci seragam tentara. Tangannya menjadi kasar. Ia tidak memilih pekerjaan itu, karena memang tidak ada pilihan. Sebenarnya ada pilihan baginya, yakni ia “mau menjual diri” ke komandan yang menahan ayahnya. Tapi Tuyet sangat membenci mayor itu. Ia rela menjual diri kepada siapapun asal tidak kepada mayor itu, orang yang menahan ayahnya.
Oleh sang mayor, Tuyet juga dijanjikan akan dibuatkan “surat bersih” untuk Tuyet jika Tuyet mau dengannya. Mungkin kita bisa membayangkan surat itu seperti cap bukan PKI bagi keluarga eks tapol di Indonesia. Mereka sama-sama dicap komunis. Tanpa surat bersih itu, warga yang keluarganya ditahan akibat tersangkut komunis tidak akan bisa mendapatkan pekerjaan layak. Mereka dianggap “bukan manusia” layak.
Sulit bagi Tuyet menentukan pilihan. Di satu sisi, ia tidak ingin menyeret Alimin dalam kepahitan hidupnya. Di sisi lain ia tidak ingin ayahnya dibuang ke pulau terpencil yang tidak akan kembali lagi. Tapi Tuyet harus memilih. Dan pilihan itu diungkapkannya lewat surat yang diberikan kepada Alimin melalui pesuruh.
Tuyet memilih “menghapus” dirinya. Ia membiarkan dirinya bukan apa-apa. Ia mengorbankan kehidupannya. Ia akhirnya memilih pergi bersama komandan, menyelamatkan ayahnya dengan cara demikian. Ia menulis dengan getir “….apalah artinya diriku, apalah artinya kehormatanku, jika alternatifnya adalah lenyap dan habisnya ayah kandungku serta orang yang kucintai!. Karena itu kuputuskan mengalah dengan keinginan mayor itu….”
###
Novel Tuyet ini sebenarnya tidak hanya berkisah tentang Tuyet. Tapi kita bisa berdebar-debar karena semua cerita dilatari suasana perang Vietnam. Alimin adalah sosok wartawan yang terus memburu berita dan foto perang. Lika-liku meliput perang menjadi sesuatu yang menarik tersendiri dalam buku ini.
Surabaya, 2 Mei 2011
Nanang Fahrudin
Selasa, 07 Februari 2012
Browse » Home »
Jejak Buku
» Perang Tak Hanya Soal Nyawa…….Tapi Juga Kemanusiaan
Perang Tak Hanya Soal Nyawa…….Tapi Juga Kemanusiaan
Label:
Jejak Buku
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar