Kamis, 02 Februari 2012

Ya, Memang Benar!. Hidup Ini Penuh Komedi

Catatan Pendek (capen) Novel “Komedi Manusia” karya William Saroyan
Oleh : Nanang Fahrudin



Saya terpaksa membolak balik lagi halaman-halaman buku novel “Komedi Manusia” saat membuat catatan pendek (capen) ini. Nama-nama tokohnya sulit saya ucapkan dan tak mudah untuk saya tulis. Sebut saja nama Ulysses, bocah usia lima tahun yang tak pernah menangis. Atau Spangler, kepala kantor telegraph di Itacha. Meski nama tokoh-tokoh lain tetap mudah diingat seperti Homeros kakak Ulysses, Markos kakak Homeros, atau Tuan Grogan seorang telegrapist tua.

Novel karya William Saroyan ini mungkin karya sastra dengan bahasa masih ejaan lama pertama yang saya baca. Awalnya ejaan lama begitu mengganggu. Halaman pertama-kedua begitu tak nyaman, tapi sampai halaman ke lima puluhan, cerita sudah mengalir indah. Saking indahnya saya lupa bahwa bahasa dalam novel menggunakan kata-kata ejaan lama. Misalnya “saya” ditulis “saja”, atau “yang” ditulis “jang”. Logika kalimat pun terasa berbeda dari bahasa saat ini. Mengesankan sebuah kesederhanaan, jauh dari bahasa yang bombastis.

Novel yang terbit pertama menggunakan bahasa Indonesia pada tahun 1951 ini mengisahkan sebuah keluarga di Itacha, sebuah kota di New York era perang dunia kedua. Keluarga tersebut bernama keluarga Macauley. Sang ayah telah lama meninggal, tinggal Nyonya Macauley dan empat anaknya. Yakni Markos (tentara), Homeros (tukang pos/telegram), Bess, dan Ulysses. Mereka hidup dalam kesederhanaan yang bahagia.

Guna membantu memenuhi kebutuhan keluarga, Homeros menjadi opaspos (tukang pos) meski usia baru 14 tahun. Padahal dalam aturan minimal usia 16 tahun. Dia mengayuh sepeda onthel saat mengantar telegram-telegram. Homeros belajar tentang kehidupan saat mengabarkan kematian dari Kementerian Peperangan.

Adegan ini begitu menyentuh. Saat itu Homeros mengantar telegram berisi kematian tentara di medan perang. Berita itu harus diterima oleh sang ibu Nyonya Rosa Sandoval, perempuan Mexico yang sedang merindukan kedatangan sang anak. Saat disilahkan masuk oleh nyonya rumah, Homeros bimbang antara menyerahkan surat atau tetap memegangnya. Atas kekuatan hati akhirnya telegram itu tetap diserahkan kepada sang ibu.

Masuk ke rumah Nyonya Sandoval, Homeros bukan bertemu dengan wajah nyonya Sandoval yang murung. Homeros malah diajak masuk dan diberi gula-gula. Nyonya Sandoval terus tersenyum dan menolak membuka telegram tersebut, karena ia sudah tahu sebelum membaca isinya. Ia seakan ingin mengingkari kenyataan dengan mengajak Homeros ngobrol. “Gula-gula itu kami buat sendiri,” kata Sandoval. Baru ketika Homeros makan gula-gula itu, Nyonya Sandoval mulai menangis meratap. Homeros lari tak kuat ikut memikul beban nyonya Sandoval.

Ya, setiap tokoh yang dihadirkan dalam buku “Komedi Manusia” ini begitu hidup. Ulysses misalnya. Suatu siang dia diajak oleh Lionel (temannya) sesama bocah untuk pergi ke perpustakaan umum. Di dalam perpustakaan ia melihat buku-buku yang tertata rapi di kanan-kiri-depan-belakang di mana ia berdiri. Ia begitu mengagumi buku-buku tersebut.

“Apa maumu?” tanya pustakawan.
“Saja mau melihat sadja,” kata Leonel.
“Melihatnja?”
“Itu yang saja sukai, apa tidak boleh?”

Mereka berdua lalu berjalan-jalan di dalam perpustakaan. Mereka seperti masuk ke dunia gaib yang belum pernah mereka masuki. Di mana-mana ada buku.

“Di situ ada A,” kata Leonel kepada Ulysses.
“Jang di situ itu sebuah A. Di situ ada huruf lain. Saja tidak tahu huruf apa itu. Tiap-tiap huruf berlainan, dan tiap-tiap perkataan berbeda”. (hal:214)

Dalam setiap penceritaan, pengarang memang melompat-lompat dari satu tokoh ke tokoh lain. Dari Ulysses ke Homeros, dari Homeros ke Tuan Grogan, dari Tuan Grogan bisa ke Markos, dan seterusnya. Meski semua terhubung antara satu dengan lainnya.

Akhir cerita mulai terlihat saat Markos mengirim surat ke Homeros, adiknya. Surat itu seperti sebuah pertanda bahwa Markos tidak akan pulang lagi. Markos ikut dalam barisan tentara di medan perang. Di medan perang, ia begitu merindukan Itacha tempat kelahirannya, ingin memeluk Bess adiknya, Mary tunangannya, dan menggendong Ulysses adiknya paling kecil. Sebuah kerinduan yang memuncak, hingga akhirnya ada telegram datang di kantor di mana Homeros bekerja.

Saat itu Homeros datang. Ia mendapati Tuan Grogan memegang telegram yang belum sempat selesai ia tulis. Homeros mengguncang-guncang Tuan Grogan yang pingsan, tapi nyawa telegrapish tua itu tak terselamatkan. Telegram yang belum selesai dibaca itu pun diambil Homeros yang langsung lemas setelah membacanya. Ia tak berani mengabarkan apa-apa di rumahnya.

Bahkan sampai Tobey, teman Markos di medan perang datang sendiri untuk mengabarkan langsung kematian Markos, Homeros tetap saja diam. Diajaknya Tobey datang ke rumah dan bernyanyi bersama. Bernyanyi dalam sebuah ruang kepedihan hidup. Semua sudah tahu bahwa Markos meninggal, tapi mereka seakan hendak membalik kenyataan itu, meski ia sadar hal itu suatu kemustahilan.

Mungkin bagi mereka jalan satu-satunya adalah menikmati setiap kepedihan hidup ini dengan tetap tersenyum. Dan Ulysses yang belum mengerti betul tentang apa yang terjadi tetap ceria melihat semua wajah-wajah yang tersenyum itu.


Surabaya, 2 Februari 2012

3 komentar:

Saleh mengatakan...

Komentar bagus, Gan. Seingat saya sih Ithaca bukan di New York, tapi di San Fransisco. Tapi apalah artinya di mana Ithaca berada.

Gan, boleh minta tolong dikopikan bukunya? Suwun.

Nanoq da Kansas mengatakan...

Saya membaca novel ini tahun 1986, pinjam dari perpustakaan daerah. Saya membacanya mungkin sampai 5 atau 6 kali, tanpa bosan. Sampai akhirnya seorang pembantu rumah tangga yang mampir ke rumah meminjamnya, lalu pembantu itu pindah ke Jawa, entah di kota apa, dan buku itu tak pernah kembali. Tapi saya bahagia mengetahui bahwa pembantu rumah tangga itu ternyata senang mambaca.

Salam dari Bali..

sekolahmenulis mengatakan...

Terimakasih koment dan kritiknya. Salam dari Bojonegoro

 
© Copyright 2035 godongpring