(Catatan Pendek Novel “Oliver Twist” karangan Charles Dickens)
Oleh : Nanang Fahrudin
Saya selalu percaya bahwa membaca melibatkan hati dan pikiran. Membaca bukan hanya sekedar memelototi deretan kata. Dan pada akhirnya membaca adalah seni memaknai bahasa, seni menangkap makna, dan sekaligus seni menggambarkan segala sesuatu (hanya) dari teks saja. Membaca selalu mengajak serta jiwa untuk berdialog dengan apa yang berhasil dimaknai dari sebuah teks.
Di sanalah letak tafsir yang tak pernah satu, meski hanya lahir dari satu teks yang sama. Ketika saya membaca sebuah novel, maka apa yang saya “tangkap” dari novel tersebut bisa jadi berbeda dengan anda. Bahkan, ketika saya membaca buku A sekarang, dan beberapa tahun lagi membacanya kembali, maka bisa juga akan berbeda apa yang berhasil saya peroleh dari buku A tersebut. Membaca adalah proses memaknai, yang tak pernah tunggal.
Demikian pula ketika saya baru saja merampungkan membaca novel klasik anak berjudul “Oliver Twist” karangan Charles Dickens. Cerita yang dikisahkan begitu menyayat hati. Tentang Oliver yang terlahir yatim piatu, diasuh oleh pengurus panti asuhan yang kejam, diberikan ke pekerja kubur yang bengis, dipaksa menjadi pencopet dan perampok, dan seterusnya dan seterusnya.
Ketika anda setiap hari bergelut dengan ilmu agama, bisa saja anda akan istighfar dan berpikir bahwa orang-orang di sekitar Oliver adalah orang-orang yang tidak tahu agama. Tapi jika anda seorang pejabat yang dermawan, mungkin anda akan berkeinginan mendirikan panti asuhan dan berjanji mengasihi anak-anak seperti Oliver usai membaca novel ini. Tapi jika anda biasa hidup di lingkungan “keras”, maka anda akan berkomentar “ah biasa saja”.
Saya pun demikian, memiliki pemaknaan sendiri saat membaca buku ini. Membaca halaman per halaman buku setebal 200 halaman ini, saya selalu teringat akan dunia anak yang mulai dilipat. Dunia anak saat ini adalah dunia “keong racun”, atau “cinta satu malam”. Dunia orang dewasa.
***
Oh ya, biarkan saya bercerita sedikit tentang Oiver Twist. Oliver adalah bayi laki-laki yang lahir dari seorang ibu bernama Agnes. Sebelum melahirkan sang ibu pingsan di pinggir jalan dan ditolong oleh seorang dokter panti asuhan. Sesaat setelah melahirkan Oliver, sang ibu meninggal dunia. Oliver bayi diasuh oleh Nyonya Mann, pengurus panti yang ternyata sangat kejam.
Ketika usia sembilan tahun, tubuhnya kurus dan wajahnya sangat pucat kurang makan. Di panti asuhan, anak-anak terbiasa menjilati mangkok bubur, sehingga mangkok tak perlu lagi dicuci. Oliver lalu diambil oleh Tuan Bumble yang disebut sebagai pengurus panti asuhan besar. Di sana ia selalu kelaparan, hingga suatu saat ia memberanikan diri meminta tambahan bubur, yang akibatnya ia harus pergi dari panti asuhan besar.
Oliver malang diserahkan kepada Tuan Sowerberry, pekerja makam. Di rumah tersebut, Oliver diberi makan sisa anjing dan tidur di antara peti mati. Hingga pada suatu ketika ia bertengkar dengan Noah, salah satu anggota keluarga Sowerberry. Oliver difitnah akan membunuh Noah, dan sebagai ganjarannya, Oliver dikurung tanpa diberi makan berhari-hari.
Tak kuat menjalani siksaan itu, Oliver melarikan diri ke London dan hidup mengemis, tidur di tempat terbuka. Ia pun ketemu Jack Dawkins, yang ternyata adalah komlpotan pencopet anak asuh Fagin si Yahudi. Di tempat ini Oliver dipaksa menjadi pencopet. Awal ikut mencopet ia digebuki warga, dan saat dipaksa merampok rumah tangannya tertembak.
Singkat kisah, Oliver ternyata adalah anak dari seseorang yang kaya di Inggris. Orang tersebut meninggal dunia sebelum bisa mengawini Agnes. Saat itu Agnes sedang hamil tua hingga lahirlah Oliver. Sedang istri pertama orang kaya tersebut bersifat dengki dan mencoba menyingkirkan nama Agnes dari surat wasiat yang ditulis suaminya. Monks adalah orang yang ingin membunuh Oliver, karena dia adalah kakak kandungnya, meski berbeda ibu. Tujuannya satu yakni menguasai harta kekayaan tanpa membaginya dengan Oliver.
Berkat jasa Tuan Brownlow, semua teka-teki tersebut terjawab. Oliver mendapatkan hak warisannya dan hidup tenteram bersama Tuan Brownlow. Sedang Fagin mati digantung, Monks pindah ke Amerika dan terlibat kriminal hingga mati di penjara.
Akhir kisah yang menyenangkan.
***
Kenapa menyukai karya sastra?. Suatu kali pertanyaan itu dilontarkan seseorang di dekat saya. Hmm…saya ternyata bingung juga menjawab pertanyaan sederhana itu. Kenapa ya?. Saya mencoba memberi jawaban sedikit serius : “ya karena sastra adalah produk sejarah peradaban manusia. Sastra adalah peninggalan sejarah dalam bentuk tulis yang bisa dibaca oleh orang yang seratus tahun (bahkan lebih) hidup pada masa yang berbeda”. “Ya…ya…ya…” jawab orang itu singkat.
Usai menjawab pertanyaan itu, muncul dalam benak saya berbagai pertanyaan. Benarkah sastra memberi manfaat bagi kehidupan saya?. Apa bedanya kalau saya tidak membaca sastra?. Apakah hidup saya akan menderita, atau sebaliknya akan menemukan kebahagiaan?. Entahlah.
Sambil memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu, tangan saya masih memegang novel “Oliver Twist” yang sudah sampai halaman terakhir. Saya duduk di salah satu bangku bus yang melaju dari Bojonegoro ke Surabaya. Sampai di Lamongan, naiklah seorang ibu bersama bayi di gendongannya. Ibu dan anak itu lalu mengamen. Sang ibu bernyanyi, sedang sang bayi tidur dengan wajah kotor.
Saya pun langsung teringat Oliver Twist, ya..anak yang malang itu. Mungkin sama malangnya dengan bayi di gendongan ibu tersebut. Salam.
Surabaya, 7 Februari 2012
Senin, 06 Februari 2012
Browse » Home »
Jejak Buku
» Oh, Oliver yang Malang
Oh, Oliver yang Malang
Label:
Jejak Buku
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar