Oleh : Nanang Fahrudin
(Dimuat di Harian Seputar Indonesia Jatim Minggu 19 Februari 2012)
“ Ada sekian banyak kisah orang-orang malang di dunia ini. Tapi sebagian besar orang-orang malang itu berada di negeri ini. Mereka hidup sengsara, miskin, sulit memperoleh pendidikan murah. Padahal berada di negeri yang konon subur dan menjadi surganya dunia.”
Ungkapan dari seorang kawan itu mungkin terlalu mendramatisir. Di belahan dunia mana pun tentu banyak orang-orang yang malang . Tapi entah kenapa, saya lantas mengiyakan begitu saja omelan kawan tadi. Apalagi, dalam benak saya bukahkah negara ada untuk membantu orang-orang malang ?. Memberikan kesejahteraan, menyuguhkan kenyamanan, memberi hukuman kepada siapa yang melanggar aturan, dan memberi penghargaan kepada siapa yang berjasa.
Tapi sayang di negeri ini sesuatu yang ideal sudah mulai usang dan berkarat. Semua saling bertubrukan dan tak tentu arah. Politik berjalan tanpa etika politik dan bertubrukan dengan keserakahan akan kekuasaan, ekonomi berjalan tanpa etika ekonomi dan bertubrukan dengan kerakusan akan modal, dan akhirnya negara berjalan tanpa tahu di mana bumi berpijak. Awalnya semua berjalan penuh resistensi, tapi lama kelamaan semua dianggap wajar-wajar saja. Korupsi menjadi wajar. Orang yang kampanye anti korupsi malah terjerat korupsi. Dan akhirnya “kebenaran adalah kebiasaan yang diulang-ulang” itu benar-benar terjadi.
Ketika siswa di Banten harus menyeberangi sungai saat berangkat sekolah akibat jembatan putus tak segera dibenahi, wakil rakyatnya membuat ruang karaoke di gedung DPRD. Ketika banyak orang di negeri ini mengeluhkan pelayanan kesehatan yang mahal, wakil rakyat di pusat malah menganggarkan uang miliaran untuk sebuah kursi rapat. Ya, perilaku “abdi negara” seakan berada di bumi yang berbeda dengan rakyatnya. Mereka sudah lupa di mana mereka berpijak. Mereka lupa bahwa mereka berada di negeri bernama Indonesia , bersama jutaan warga yang sebagian besar masih berada di bawah garis kemiskinan, belum memperoleh aliran listrik, dan fasilitas infrastruktur lain yang kurang memadai.
Lalu di mana para penguasa negeri ini berada?. Kita tunda untuk menjawab pertanyaan itu, dan kita coba pahami posisi penguasa. Para penguasa adalah pengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka berada di dunia para pengatur, dunia orang-orang penting yang mengedepankan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi. Kalau anda bertanya, masyarakat mana?. Ya tentu masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, bukan masyarakat parpolnya, bukan masyarakat ormasnya, bukan masyarakat kerabatnya saja. Indah kan ?.
Itu sesuatu yang ideal. Aristoteles dalam buku “Menjadi Manusia Belajar dari Aristoteles” yang ditulis Franz Magnis-Suseno membagi manusia menjadi tiga tingkatan. Yakni tingkatan biologis, filsafat, dan politik. Tingkatan politik berada pada tingkatan paling atas atau mulia. Karena politik adalah menyerahkan segenap pikiran, jiwa, sekaligus kepentingan pribadi untuk kehidupan masyarakat lebih baik. Politik ditempatkan di atas filsafat yang menyenangi kebijaksanaan, yang selalu ingin belajar kehidupan. Tingkatan politik ala Aristoteles mirip dengan makna sebuah hadits Rasulullah Muhammad Saw : sebaik-baik manusia adalah yang bisa memberi manfaat kepada manusia lainnya.
Lalu apakah politik ditempatkan pada level mulia terjadi di negeri ini?. Anda pasti punya jawaban sendiri-sendiri. Saya lebih suka mempertanyakan kembali makna politik di negeri ini. Pijakan yang dipakai berbeda dengan pijakan yang digunakan Aristoteles. Di negeri ini politik berhenti pada perebutan kekuasaan, politik berkutat pada pengamanan posisi untuk kepentingan kapital, politik adalah dunia untuk mengeruk keuntungan dengan mudah dan cepat. Politik itu never fair plays, begitu kata Angelina Sondakh usai ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ya, negeri ini sedang dilanda kemalangan. Kekayaan alam yang demikian besar hadir dengan rasa tawar, hilang dalam pusaran korupsi yang tak habis-habisnya. Sedang para penguasa sangat sibuk bermain akrobat di pentas politik dan hukum.Dan masyarakat, sebagai warga pembayar pajak ke negara, hanya bisa menonton dan ngelus dada atas semua kemalangan yang terjadi.
Mungkin kita harus jejakkan kaki lagi di bumi pertiwi, sambil meneriakkan keras-keras, bahwa negeri ini bukan negeri orang-orang malang . Melainkan negeri orang-orang besar yang sukses, dan menjadi negeri besar di mata dunia. Salam.
Surabaya , 17 Februari 2012
Minggu, 19 Februari 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar