Minggu, 29 Januari 2012

Jiwa Tak Pernah Utuh


Catatan Pendek buku roman “TELEGRAM” karya Putu Wijaya

Suatu pagi, seseorang tiba-tiba mengetuk pintu rumah. Sang laki-laki pemilik rumah marah karena pagi masih gelap. Apalagi tamu tak dikenal itu mencari istrinya yang sedang tidur satu ranjang dengannya. Kamarnya berada di lantai dua, dan ia berjalan keluar untuk melihat ke bawah, siapa tamu itu. Tamu yang membuat paginya begitu panas.

Dengan hati kesal, laki-laki itu mencoba tak memedulikan tamu tersebut. Tapi lama kelamaan si tamu semakin brutal. Ia menendang-nendang pintu memaksa ingin bertemu istrinya. “Ayo buka pintu. Ini penting. Saya harus ketemu istri anda,” teriaknya.

Sang laki-laki pemilik rumah pun kembali keluar melihat ke bawah. Tepat di atas tamunya, ia menjatuhkan pot bunga besar ke kepala tamu. Pot bunga pecah, dan tamu tersebut tidak bangkit lagi. Pagi menjadi tenang kembali. Tapi beberapa saat kemudian, istrinya bangun. Ia marah besar. “Kenapa selalu saja kau jatuhkan pot bunga kepada orang yang hendak bertamu dalam mimpiku?”.

Ya, cerita yang aneh. Antara mimpi dan kenyataan dicampur seenaknya. Tapi itulah cerita pendek yang dikarang Putu Wijaya dalam kumpulan cerpennya “Protes”. Ceritanya selalu meneror pembacanya. Meski, jujur saja, saya belum banyak membaca karya Putu.

Usai membaca cerpen tersebut, saya melahap karyanya yang lain berjudul: Telegram. Buku yang saya miliki kebetulan cetakan pertama tahun 1973 yang diterbitkan Pustaka Jaya. Jadi lebih senang memegangnya. Meski kondisi fisiknya tak begitu cantik, tapi isinya tetaplah cantik menawan.

Saya memulai membaca Telegram dengan pikiran masih tertinggal pada cerpen Putu yang sudah saya baca lebih dulu. Cerpen yang mengesankan tadi. Cerpen yang mengumbar pencampuradukan antara dunia realitas dan dunia mimpi.

Dan hal itu saya temukan lagi pada roman Telegram ini. Tokoh “aku” adalah laki-laki yang bekerja sebagai redaktur sebuah majalah. Dia tinggal bersama Sinta, anak pungutnya yang baru berusia 10 tahun. Ia memiliki teman wanita bernama Rosa. Dalam akte kelahiran Sinta, Rosa adalah ibu kandungnya, tapi entah di mana kini berada.

Di luar rumah, “aku” sering bertemu dengan Rosa yang sebenarnya sudah bersuami itu. Ia bertemu, masuk kamar hotel, bercinta, dan demikian terus menerus tiap kali bertemu. Sebuah rutinitas yang membuat mereka bisa merasakan hidup bebas. Tapi di ujung cerita Rosa tiba-tiba berontak. Ia ingin keluar dari rutinitas itu dan tidak ingin bersama lagi dengan “aku”.

Semua patahan cerita itu bersambung menjadi bentangan kisah yang terkadang mengharukan, terkadang menjengkelkan. Tak jarang pula kisahnya menjijikkan. Tapi bukan Putu kalau tidak bisa meneror pembacanya. Tokoh-tokoh yang dihadirkan begitu memiliki karakter, seakan-akan benar nyata adanya. Sinta yang baru 10 tahun tapi sudah seperti orang dewasa, teman kantornya yang bangga karena bisa nikah dengan wanita yang menyetujui kebiasaanya bercinta dengan perempuan mana saja asal hanya “main-main” saja, atau ibu kandung Sinta (ibu asli) yang sudah nikah dengan orang keturunan Tionghoa.

Tapi……kisah yang ditata demikian rapi itu sengaja dihantam keras-keras hingga hancur berkeping oleh penulisnya sendiri. Betapa sakit hati sebagai pembaca mendapati tokoh Rosa yang sejak awal digambarkan benar-benar nyata adalah hanya khayalan dari “aku”. Sang “aku” sendiri terkadang begitu berwibawa, tapi terkadang ia begitu gila. Ya, roman ini seakan hendak berbicara “mengertilah bahwa jiwa seseorang tak pernah utuh. Selalu terpecah. Kadang baik, kadang jelek. Kadang setan, kadang malaikat”.

Dalam artikel yang ditulis untuk majalah tentang Pulau Bali, “aku” menulis tentang Bali yang bukan hanya pariwisata, bukan hanya Pantai Kuta saja. Bali adalah semua kabupaten yang ada, berisi desa-desa miskin dan masyarakatnya yang tak semuanya kaya. Bali adalah semua tentang keindahan sekaligus ketidakindahan.

Tapi di bagian lain, sang “aku” adalah sosok manusia yang aneh. Dia ingin sekali bunuh diri. Ia menulis surat untuk dirinya sendiri tentang keinginannya tersebut. Saat ibu Sinta hendak mengambil Sinta, ia marah dan menggebrak-gebrak meja, mengancam akan membunuhnya.

Pada akhirnya saya memang harus banyak melahap karya-karya Putu lainnya. Ada rekomendasi judul buku kah?. Salam.

Surabaya, 17 Januari 2012

0 komentar:

 
© Copyright 2035 godongpring