Kamis, 22 September 2011

Menguak Relasi Sosiolog-Negara


Resensi Buku "Geneologi Kekuasaan Ilmu Sosial Indonesia"
Penulis : Hanneman Samuel
Penerbit : Kepik Ungu bekerjasama dengan LabSosio UI
Cetakan : I September 2010
Tebal : 160 halaman

Oleh : Nanang Fahrudin



Ketika orde baru yang berkuasa selama 32 tahun tumbang pada tahun 1998, tiba-tiba saja pemikiran berbau kiri datang menggelinding. Buah pikiran para tokoh seperti Marx Weber, Karl Marx, Antonio Gramsci, hingga pemikiran sosial kritis Jurgen Habermas membanjiri dunia intelektual Indonesia. Di mana pemikiran-pemikiran itu selama orde baru berkuasa?.

Salah satu jawaban adalah adanya campur tangan pemerintah (negara). Penguasa orde baru sengaja menyembunyikannya di kotak rapat yang tak boleh ada yang membukanya. Sebagai gantinya, pemerintah memperkenalkan pikiran-pikiran sosiolog berparadigma fungsionalisme struktural seperti Talcott Parsons.

Parsons berpandangan bahwa masyarakat memiliki kecenderungan menjaga kesatuan. Masyarakat merupakan suatu system sosial yang terdiri dari elemen-elemen yang saling berkaitan menjaga keseimbangan. Pandangan inilah yang mendapat tempat khusus pada saat orde baru berkuasa di bawah kendali Soeharto. Jika ada kelompok masyarakat yang mengkritik negara, maka dicap sebagai gerakan yang mengancam disintegrasi bangsa. Tak mengherankan jika saat orde baru tumbang, pemikiran-pemikiran sosial yang ada di dalam kotak berhamburan keluar.

Ya, kekuasaan memang memegang kendali. Kekuasaan tak hanya berarti fisik, yakni menguasai masyarakat, tapi juga mengatur cara pandang masyarakat. Tak terkecuali arah pandangan para ilmuwan sosial (sosiolog) juga sangat dipengaruhi oleh siapa yang berkuasa pada waktu itu.

Dan buku yang ditulis Hanneman Samuel, seorang sosilog Universitas Indonesia dengan cermat mencoba mengurai benang kusut “perselingkuhan” kekuasaan dengan ilmu sosial di Indonesia. Terutama masa kolonial Belanda hingga masa pasca kemerdekaan. Sehingga sangatlah tepat jika penulis memberi judul pada bukunya “Geneologi Kekuasaan Ilmu Sosial Indonesia”.

Akan sangat mudah untuk bisa mengikuti alur buku ini jika kita menggunakan kaca mata teori relasi kekuasaan yang dikenalkan oleh M Foucault. Menurut Foucault, kekuasaan selalu memproduksi kebenaran dan sekaligus menjaga kebenaran itu. Dan kebenaran pengetahuan selalu saja ditentukan oleh penguasa, atau setidaknya penguasa tidak mau begitu saja membiarkan sebuah pengetahuan berkembang di masyarakat jika hal itu nantinya mengancam kedudukannya.

Dan memang begitulah potret ilmu sosial di Indonesia sejak zaman Belanda. Penulis buku ini dengan detail menceritakan cengkraman penguasa atas ilmu sosial yang berkembang di negeri ini. Saat Belanda berkuasa, masyarakat pribumi hanyalah obyek penelitian. Itu berawal ketika pada tahun 1851 pemerintah Belanda mendirikan Royal Institute of Linguistics, Geography dan Etnology of the Netherland Indies (Koninklijk Institut Vor Taal-, Land- En Volkenkunde Van Nederlandsch- Indie/KITLV) yang bertempat di Leiden. Organisasi inilah yang akhirnya mempopulerkan indologi (pengetahuan tentang Indonesia).

KITLV selalu melakukan penelitian-penelitian masyarakat dan dilaporkan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk kemudian lahirlah kebijakan-kebijakan penjajah untuk masyarakat yang dijajah. Peran itulah yang kemudian melambungkan nama Cristiaan Snouck Hurgronje, seorang guru besar Universitas Leiden yang cakap akan pengetahuan agama Islam. Ia meneliti tentang masyarakat Islam di Hindia Belanda (Indonesia) dan menyimpulkan bahwa menjalankan syariat Islam harus dibedakan dengan gerakan politik Islam. Sehingga, ia merekomendasikan ke pemerintah Belanda agar umat Islam dibiarkan beribadah tapi dijauhkan dari politik. Peradaban eropa harus didesakkan ke masyarakat Islam Hindia Belanda. Selain itu harus ada pengawasan ketat di lembaga-lembaga pendidikan umat Islam.

Pemikir-pemikir era penjajah Belanda secara jelas menjadi “kepanjangan tangan” kepentingan penguasa. Mereka memang sengaja digunakan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan. Meski pada sisi lain hasil kerja para Indolog sepeti Snouck menjadi warisan sangat berarti jika hendak melihat perkembangan masyarakat Hindia Belanda pada abad ke-19.

Perkembangan ilmu sosial berubah ketika Indonesia mendapatkan kemerdekaan sebagai negara berdaulat. Pemikiran Parsons yang mencerminkan kepentingan AS menyerobot masuk. Pada kurun waktu 1945-1965, pusat kajian AS di Indonesia marak. Ini tak lepas dari kepentingan AS untuk masuk ke negara-negara asia tenggara, khususnya Indonesia.
Amerikanisasi terlihat ketika tiga universitas Amerika Serikat (Massachusetts Insitute of Technology, Cornell University, dan Yale University) memfasilitasi penelitian-penelitian sosial di Indonesia. Mereka mendirikan pusat-pusat studi sebagai kepanjangan tangan kepentingan AS di Indonesia. Beberapa nama masih dikenal sampai sekarang di antaranya Clifford Geertz, Bennedict Anderson dan Herbert Feith. (hal:83).

Tapi, garis politik Soekarno yang lebih condong ke sosialis-komunis membuat kebijakan retradisionalisasi Indonesia. Integrasi nasional menjadi pusat dan pada ujungnya lahirlah sistem Demkrasi Terpimpin. Wacana-wacana yang digulirkan adalah timur dan barat. Indonesia yang timur tidak bisa dikelola dengan gaya barat. Bahkan bapak sosiologi Indonesia Selo Soemardjan juga berdiri untuk memuaskan kebutuhan pemerintah dengan membela Demokrasi Terpimpin. Dalam tulisannya Demokrasi Terpimpin dan Tradisi Kebudayaan Kita (ditulis tahun 1961) Soemardjan menulis Demokrasi Terpimpin memiliki konsekuensi yang positif bagi perkembangan Indonesia. (hal: 133-134).

Pada tahun 1965-1966 Soekarno ambruk disertai kekisruhan. Tapi ilmu sosial yang berkiblat ke Talcott Parsons ala Amerika dipadu dengan gaya Indolog era penjajah Belanda masih begitu kental. Era Soeharto pun mewarisi hal tersebut dan memanfaatkannya untuk kepentingan kelanggengan kekuasaan. Pikiran-pikiran ilmuwan sosial kritis tak begitu mendapatkan tempat.

Memang, buku karya Hanneman Samuel ini hanya membentang zaman kolonialisme Belanda hingga 20 tahun pasca kemerdekaan yakni 1965. Tapi, pisau analisanya bisa digunakan pada era orde baru dan bahkan era reformasi. Betapa kekuasaan punya kekuatan menyetir perkembangan ilmu pengetahuan, tentunya dengan cara-cara ilmiah juga yang seringkali masyarakat kebanyakan tidak begitu merasakannya.

Buku ini bisa menjadi cermin bagi perkembangan sosiologi di Indonesia. Apakah sosiolog selalu berperan tanpa kepentingan penguasa? Apakah sosiologi selalu bebas nilai seperti apa yang dipikirkan Parsons?. Meski buku ini tipis (160 halaman), tapi bisa menjadi teman diskusi anda untuk mengetahui sosilogi di Indonesia.
Buku ini memang bukann hendak mencari paradigma sosiologi Indonesia. Tapi, kehadiran buku ini menjadi sumbangan amat penting dalam perkembangan ilmu sosial di Indonesia. Terutama melihat posisi ilmuwan Indonesia di kancah politik nasional.

Cintailah Bukumu seperti Kau Mencintai Kekasihmu

(Sebuah Catatan tentang Buku)

Oleh : Nanang Fahrudin

Bukumu adalah kehidupanmu. Bukumu adalah dirimu. Ya, buku memang dipercaya bisa menunjukkan identitas siapa pemiliknya. Jika buku itu lusuh, kotor, atau banyak halaman yang dilipat, mungkin saja pemiliknya kurang menyayanginya. Sebaliknya, jika buku itu disampul rapi, halaman tak ada yang ditekuk, atau ada tulisan namanya di halaman pertama, mungkin pemiliknya begitu menyayanginya, merawatnya dengan baik. Soal penilaian demikian, anda boleh percaya, boleh juga tidak.

Buku atau dalam bahasa arab kitab, sejak dulu mempunyai “jiwa” sendiri. Jiwa itu akan tetap hidup di tengah peradaban manusia, mempengaruhi pikiran manusia, dan menentukan ke arah mana manusia melangkah. Jiwa itulah sebenarnya yang ditakuti siapapun, termasuk negara. Sehingga, atas nama negara buku ini dilarang terbit, atau buku itu dilarang terbit.

Di Indonesia, pelarangan buku sudah bukan hal aneh. Karya-karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer banyak yang dilarang terbit pada era orde baru. Buku-buku pelajaran sejarah yang tidak mencantumkan PKI harus ditarik dari peredaran. Bahkan, sejumlah majalah yang dianggap mengancam negara pun dilarang terbit. Hingga akhirnya, putusan MK yang memberi kran kebebasan untuk penerbitan buku terbit tahun 2010. Jika Kejaksaan Agung hendak melarang buku, harus pengadilan yang mengeluarkan perintah.

Di Amerika, pelarangan buku pun sempat ada. Tapi itu terjadi pada tahun 1950-an. Di antaranya menimpa buku karya Vladimir Nabokov berjudul Lolita. Buku ini berbentuk novel yang berkisah tentang percintaan seorang bapak dengan gadis remaja. Lantaran dilarang, buku ini pun laris di pasaran. Bahkan, buku yang ada tulisan tangan sang penulis di halaman depannya dilelang Rp2,4 miliar pada tahun 2004. Buku ini, sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan bisa dibeli dengan harga Rp50.000 an.

Banyak buku yang hingga kini (bahkan di tahun-tahun mendatang) akan tetap “hidup”. Contoh yang paling gampang adalah buku tetralogi buru karya Pramoedya, mulai Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Atau buku karya Iwan Simatupang yang berjudul Ziarah atau Merahnya Merah. Dan sebut saja buku lain seperti Dilema Usaha Manusia Rasional karya Shindunata, atau buku tiga jilid berjudul Nusa Jawa: Silang Budaya karya Dennys Lombart. Belum lagi buku-buku karya tokoh besar seperti Bulughul Marom karya Ibnu Hajar Al-Asqalani, Muqoddimah karya Ibnu Kholdun, atau Das Kapital karya Karl Marx, dan seterusnya.

Saya meyakini, “jiwa” buku yang merupakan buah pemikiran penulisnya itu akan tetap hidup dari generasi ke generasi. Diproduksi dan direproduksi, secara fisik (dalam bentuk buku) maupun non fisik (diskursus). Dan jiwa itu hanya bisa digenggam oleh mereka yang menyenangi buku dan isinya. Karena mustahil orang yang tidak menyenangi buku, akan bisa mencintainya dengan sepenuh hati. Seperti halnya anda jika tidak mencintai pacar anda sepenuh hati, maka sulit mengenali hatinya.

Saya bukan hendak mengatakan, saya telah sampai pada titik mencintai buku dan mampu menggenggam jiwanya. Bukan. Saya hanyalah orang yang berusaha mencintai buku, dan berusaha meraih hatinya. Dan kalaupun bisa menggenggamnya, saya berusaha tidak melepaskannya begitu saja.

Maaf, mungkin saya terlalu hiperbola memaknai buku. Memang bagi sebagian orang, buku tak lebih kumpulan kata yang hendak menunjukkan sesuatu kepada pembaca. Bahkan, buku bisa menjadi sesuatu yang menjijikkan, karena dianggap berisi sesuatu yang buruk. Dan boleh jadi demikian. Sehingga, seperti yang saya katakan di awal tulisan ini, buku menunjukkan diri pemiliknya. Buku-buku apa yang dikoleksi, maka akan bisa ditebak orang seperti apa pemiliknya. Meski harus diakui, cara menyimpulkan demikian begitu dangkal. Tapi terpenting, buku benar-benar memiliki “jiwa”.

***


Ibarat kekasih, buku juga punya sejarah kelahirannya. Bukan soal proses penulisannya saja. Melainkan bagaimana anda mendapatkan buku itu pun bisa dimaknai sebagai proses percintaan. Dan anda kelak menjadikannya spesial di diri anda. Coba anda ingat-ingat, setiap kali membeli atau meminjam buku pasti disertai alasan. Entah karena anda mendengarkan kehebatan buku itu, atau sekedar penasaran, atau karena tidak sengaja mendapatkannya. Persis ketika anda mendapatkan seorang pacarkan?

Saya teringat ketika saya mendapatkan buku Musashi karya Eiji Yoshikawa. Sejak mahasiswa dulu, saya sudah mendengar buku ini. Seorang sahabat sudah membacanya. Tapi, waktu itu saya belum tertarik. Saya lebih senang dengan buku-buku karya Shindunata, Frans Magnis-Suseno dan sebagainya. Tapi, di tahun 2010 lalu, saya dipinjami seorang kawan. Saya pun membaca hingga halaman 600. Saya simpulkan, buku itu luar biasa. Saya pun sengaja berhenti membaca, karena ingin memiliki sendiri buku itu. Agar saya bisa menggenggamnya dan mengatakan pada buku itu : kamu sekarang milikku.

Buku itu pun akhirnya kubeli lewat toko buku online. Seminggu terasa sangat lama menunggu buku itu tiba. Hingga akhirnya buku yang berkisah tentang seorang samurai Miyamoto Musashi itu pun datang pada 9 Desember 2010. Pada tanggal 29 Desember 2010 saya merampungkan membaca buku itu. Entah kenapa saya pun tergerak menulis sesuatu di belakang buku itu : aku yakin buku punya “jiwa” nya sendiri. Jiwa yang bisa menyatu dengan pemiliknya.

Ya, buku bisa seperti kekasih. Memiliki bentangan cerita tentang pertemuan, dan juga perpisahan. Pertemuan yang menyenangkan, dan juga perpisahan yang menyedihkan. Seperti saya yang sampai saat ini masih meratapi buku-buku yang “hilang” dari genggaman saya. Dan anda pun mungkin juga memiliki cerita tersendiri tentang perjumpaan anda dengan buku-buku anda, atau cerita tentang perpisahan dengan buku-buku anda. Bisa jadi, cerita itu cukup indah jika anda tulis. Seperti kisah anda dengan kekasih anda.

Salam!.

Kayu Manis, 4 Januari 2011.

Bojonegoro Membaca, Siapa Peduli?

(Menyambut Hari Buku Nasional 17 Mei 2010)

Oleh : Nanang Fahrudin

Jika Anda iseng bertanya tentang bagaimana kondisi minat baca masyarakat Bojonegoro dan mencoba menemukan jawabannya. Cobalah sekali-kali menengok pusat perbelanjaan Jalan Pemuda. Lebih baik lagi jika awal bulan saat banyak orang memegang uang gaji. Anda yang gemar menenteng buku, membaca majalah, koran serta bahan bacaan
lainnya akan sedikit miris. Prihatin.

Kasir lantai I yang jumlahnya lebih dari lima meja penuh. Antrean ke belakang di tiap meja mengular. Puluhan bahkan ratusan orang berbelanja seperti berburu hewan di hutan. Siapa cepat ia bisa lebih awal antre di kasir. Tapi coba Anda naik ke lantai II, tempat toko buku. Di sana begitu lengang. Tidak ada sepertiga dari para pembeli itu membelanjakan untuk buku dan bahan bacaan. Jika kurang yakin, coba Anda ke Perpustakaan Daerah (Perpusda) Jalan Panglima Polim. Anda akan menemukan hal serupa. Pengunjung Perpusda memang selalu ada, terutama anak-anak sekolah. Tapi, coba bandingkan lebih
banyak mana pengunjung perpusda dengan siswa yang nongkrong di warung kopi sepanjang jalan?.

Dua fenomena yang saya sajikan di atas memang tak bisa menggambarkan secara utuh kondisi minat baca masyarakat Bojonegoro. Tapi, setidaknya bisa menjadi bahan awal diskusi bagaimana kondisi literal masyarakat di daerah yang punya kandungan minyak dan gas bumi (migas) besar. Dan terpenting adalah menjadi bahan untuk mencari strategi
meningkatkan minat baca.

Membaca, bagi masyarakat Bojonegoro memang belum menjadi sebuah kebutuhan. Pendidikan formal di lingkungan sekitar kita masih berpandangan membaca bukan
masuk kotak pendidikan. Karena sekolah terlanjur dimaknai sebagai (hanya) proses belajar untuk mendapatkan nilai bagus saat ujian nasional. Kegemaran membaca tidak pernah ditanamkan kepada para siswa sebagai prasyarat dalam proses pendidikan. Akibatnya, setelah lulus sekolah merekapun tak peduli dengan membaca. Membaca tereduksi hanya sebagai alat agar nilai bagus.

Padahal, membaca mempunyai makna yang lebih luas. Selain memang diperintah Allah melalui ayat pertama yang diturunkan kepada Muhammad saw, membaca bisa menjadi alat mengenal "yang lain" melalui pikiran-pikiran yang ada di bahan bacaan itu. Membaca, bahkan bagi sebagian orang adalah rekreasi. Membaca menjadi sebuah seni
menginterperatasikan tanda-tanda dalam setiap bahasa. Dan terpenting lagi adalah membaca bisa membawa perubahan lebih baik.

Negara-negara yang kuat, rata-rata mempunyai masyarakat dengan tingkat baca yang tinggi. Jepang yang memiliki teknologi maju, menuntaskan angka buta huruf pada abad ke-17. Di Indonesia, setelah tiga abad berlalu masih berkutat pada pengentasan buta huruf, termasuk di Bojonegoro. Padahal, melek huruf belum tentu melek baca. Membaca benar-benar menjadi "yang terbuang" bagi masyarakat.
Pemkab Pasif

Pemkab Bojonegoro, sejauh ini masih belum terlihat maksimal ngopeni kegiatan membaca di kalangan masyarakat. Stimulus akan minat baca di masyarakat masih
sangat minim. Itu terlihat dari minimnya sarana baca yang dimiliki pemkab selain Perpusda. Bahkan, tragisnya anggaran untuk perpusda hanya rata-rata Rp50 juta tiap tahun. Itupun hanya Rp5 juta untuk belanja menambah koleksi buku. Praktis, perpusda memajang buku yang itu-itu saja. Berbeda dengan pos lain seperti pakaian dinas anggota DPRD Rp400 juta lebih (hanya salah satu contoh perbandingan).

Pemkab melalui Dinas Pendidikan Daerah masih terlihat menggunakan paradigma lama, yakni bagi SD - SMA 100 persen lulus ujian. Sedang bidang pendidikan luar sekolah (PLS) lebih sibuk menuntaskan pemberantasan buta huruf, pelaksanaan kejar paket B dan C. Sementara, Perpusda sendiri selalu kebingungan soal anggaran dan seakan berdiri
sendiri tanpa bersanding dengan Dinas Pendidikan Daerah.

Melihat fenomena itu, praktis pemkab tidak mempunyai desain besar untuk meningkatkan minat baca masyarakat. Padahal, pemkablah yang mempunyai kewenangan mengelola keuangan daerah, menentukan arah kebijakan satu hingga lima tahun kedepan. Sehingga sudah sewajarnya jika memimpikan pemkab berandil besar mendorong minat baca masyarakat.

Kalau pemkab kurang peduli, lalu kepada siapa kita bisa berharap?. Sebenarnya ada banyak pihak yang memiliki potensi ikut mendorong gerakan "Bojonegoro Membaca". Di daerah dengan potensi alam yang besar, Bojonegoro mempunyai banyak perguruan tinggi. Jika hendak disederhanakan, para mahasiswa, dosen, serta insan kampus
adalah masuk kotak intelektual. Seyogyanya, merekalah yang bisa mentradisikan membaca dengan membangun infrastruktur perpustakaan di setiap kampus. Bacaan lengkap sangat dibutuhkan untuk meningkatkan intelektualitas mahasiswa.

Tapi sayang gema aktivitas kampus terutama soal gerakan membaca masih belum begitu tampak. Kampus yang ada (meski tidak semua) terjebak pada pendidikan mengejar ijazah. Sedang, gerakan mahasiswa masih mirip gerakan LSM, bukan kegiatan intelektual. Lebih parah lagi, insan kampus terjebak pada kepentingan politik. Sehingga
yang terjadi adalah ada kampus merah, kuning, hijau dan lainnya. Stigma politik tersebut sedikit banyak mengaburkan keberadaan kampus sebagai "pencetak kaum intelektual".

Lalu jika kampus saja tidak peduli dengan gerakan membaca, lalu kepada siapa berharap?. Sulit memang menjawab pertanyaan itu. Karena dari 1,2 juta jiwa warga Bojonegoro yang ada, sangat sedikit yang menganggap rendahnya minat baca adalah sebuah masalah. Membaca masih dimaknai sebagai mengisi waktu luang. Bukan berdialog, berdiskusi, mencari pengetahuan, menginterpretasi sebuah pemikiran, atau menguji pikiran kita dengan pikiran yang tersurat maupun tersirat dari bahan bacaan. Membaca jadinya hanya milik kalangan tertentu saja.

Tawaran Solusi
Suram. Mungkin itulah masa depan tradisi membaca di Bojonegoro jika semua pihak diam di tempat dan merasa tidak ada masalah serius. Pasalnya, kaum terpelajar, kelas ekonomi menengah ke atas (pejabat, anggota DPRD, dan pengusaha), serta masyarakat yang melek baca tak segera bergerak ikut mendorong minat baca di Bojonegoro. Sehingga, sangat tidak mungkin jika kita menggantungkan hal itu kepada masyarakat bawah, yang setiap harinya terpaksa bergelut untuk mencari sesuap nasi.

Ada beberapa langkah sebenarnya yang bisa ditempuh untuk mendorong minat baca
masyarakat. Setidaknya, itu dilakukan tanpa aksi saling tunggu antara semua pihak. Satu hal, dari sekian banyak hal, yang perlu dilakukan adalah melengkapi bahan bacaan atau
membuat perpustakaan keluarga di rumah masing-masing. Perpustakaan keluarga, setidaknya bisa menumbuhkan gairah membaca (minimal) bagi anggota keluarga. Kampanye perpustakaan keluarga, harus segera dikumandangkan di tengah-tengah budaya visual yang terus menggerus masyarakat.

Langkah lain yang patut dicoba adalah, sebuah kesadaran dari para pejabat, anggota DPRD, serta pengusaha untuk ikut mendorong minat baca di lingkungan sekitar. Langkah mereka tidak harus seragam, melainkan bisa bervariasi sesuai kebutuhan lingkungan. Jika langkah itu dikawinkan dengan kepedulian pemkab, pasti Bojonegoro akan menjadi daerah kaya minyak dengan tradisi membaca yang tinggi. Selamat Hari Buku Nasional 17 Mei. Selamat Membaca Bojonegoro!.

Penulis adalah Alumni MAI At-tanwir Talun, Sumberrejo,
Bojonegoro angkatan 1997. Warga Desa Ngemplak, Kecamatan Baureno.
(Dimuat di Radar Bojonegoro)

Selasa, 20 September 2011

Menggerakkan Keluarga Membaca

(catatan kecil kampanye membaca di Bojonegoro)

Sebagai Kado untuk Satu Tahun Buletin Baca! pada 14 Juli 2010


Oleh : Nanang Fahrudin

Negeri ini, memang punya catatan buruk soal membaca. Sejak tahun 2000, Indonesia berada di urutan belakang jika berurusan dengan membaca. Laporan Human Development Report 2008/2009 yang dikeluarkan UNDP menyebut dalam urusan ini, Indonesia berada di peringkat 96 dari seluruh dunia. Di Asia Tenggara, hanya ada dua negara di bawah Indonesia, yaitu Kamboja dan Laos. Tapi, kalau urusan konsumsi, maka Indonesia menempati peringkat teratas.

Realitas yang ada, membaca bagi sebagian besar masyarakat bukan dimaknai sebagai sebuah keharusan. Membaca tak lebih sebagai pengisi waktu luang. Bagi pejabat, membaca tak lebih sebagai pekerjaan, bagi mahasiswa membaca tak lebih sebagai tugas kuliah, dan bagi siswa membaca tak lebih sebagai pertaruhan lulus atau tidak saat Ujian Nasional (UN). Meski perlu diberi catatan, tak semuanya memaknainya begitu.

Cara pandang demikian lah yang menyeret masyarakat menempatkan koran, majalah, buku, serta bahan bacaan lain sebagai (hanya) konsumsi. Sekali pakai habis. Sehingga, tradisi menyimpan artikel, buku, majalah, atau bahan bacaan apapun sangatlah minim. Rentetan dari masalah itu adalah, tiadanya bahan bacaan di tengah keluarga. Rak-rak buku di dalam rumah, sangat jarang. Masyarakat lebih suka memajang pernik-pernik hiasan di almari kaca, daripada buku yang setiap saat bisa dibaca semua anggota keluarga.

Padahal, bahan bacaan seperti bukulah yang memiliki andil melakukan perubahan peradaban kita. Coba kita buka halaman-halaman buku berjudul “Buku-buku Pengubah Sejarah” karya penulis Robert B.Downs. Buku ini terbit berbahasa Indonesia tahun 2001. Dalam buku ini, penulis menunjukkan 10 buku yang ternyata mampu merubah cara berpikir masyarakat dunia, dan pikiran-pikiran itu masih banyak digenggam masyarakat kita.

Salah satu buku yang dimasukkan penulis dalam deretan buku pengubah sejarah adalah “Das Kapital” karya Karl Marx. Marx yang lahir pada tahun 1818 di Jerman dianggap membawa semangat revolusioner menentang ekonomi kapitalisme. (hal:110-130). Diakui atau tidak, meski sudah ratusan tahun lalu, buku Das Kapital masih menghantui masyarakat sekarang ini.

Beberapa buku karya penulis ternama yang pikiran-pikirannya ternyata masih tersimpan jauh dari masanya adalah buku “Wealth of Nation” karya Adam Smith. Smith tak lain peletak dasar ekonomi modernis yang (tentunya) kapitalis dan kemudian dikritik Marx. Banyak juga bidang keilmuan yang dipengaruhi oleh buku-buku seperti Origin of Species (Asal usul Spesies) karya Charles Darwin, Relativity, The Special and General Theories (Kenisbian, Teori-teori Khusus dan Umum).

Buku-buku tersebut hanyalah sebagian kecil yang dinilai mampu merubah peradapan dan cara berpikir masyarakat. Karena masih banyak buku-buku yang punya andil besar dalam proses perubahan sebuah masyarakat, seperti Mukoddimah karya Ibnu Kholdun.

Besarnya pengaruh buku, sebenarnya sudah lama ditangkap oleh negara. Tak mengherankan jika pada era Orde Baru dulu, banyak buku-buku yang dilarang terbit. Larangan itu merujuk UU nomor 4/PNPS/tahun 1963 tentang Pengawasan Barang Cetakan yang Isinya Dapat Mengganggu Ketertiban Umum. Buku diakui mempunyai kekuatan tersendiri. Terlepas kekuatan itu akan dipakai untuk berjalan ke kanan atau ke kiri. Kalau tak punya kekuatan, tak mungkin lah negara melarang sebuah buku.

Mari Memulai

Masalahnya sekarang, pengaruh buku yang demikian besar ternyata tak ditangkap sebagai sebuah upaya menuju perubahan yang lebih baik. Buku, masih dipandang sebelah mata. Membaca hanya sebagai sebuah pekerjaan, seakan tak punya nilai dalam kehidupan, khususnya pada sisi afeksi, kognisi, dan behaviour manusia.

Nah, dari cara pandang itulah perlu sebuah gerakan membaca di Bojonegoro untuk membawa daerah ini tak hanya dikenal dari kemiskinannya, kondisi jalan yang rusak, atau soal ladang minyaknya. Gerakan membaca, memang tak bisa diandaikan mengurangi kemiskinan atau pengangguran. Tapi, dengan membaca, maka cara pandang masyarakat bisa berubah.
Dari sinilah perlu kiranya melakukan sebuah gerakan membaca yang memiliki “daya tahan” lama. Tak hanya “sekali selesai”. Kampanye membaca, tak bisa disamakan dengan kampanye calon kepala daerah. Kampanye membaca, mungkin bisa disamakan dengan kampanye hidup sehat. Butuh kampanye yang simultan, terus menerus dan dalam jangka waktu lama.

Salah satu dari sekian banyak cara adalah gerakan “Keluarga Membaca”. Setiap keluarga harus memiliki “perpustakaan” sendiri. Minimal, ada beberapa buku yang bisa dibaca oleh anak-anaknya, tamu yang datang, atau siapapun dari anggota keluarga tersebut. Perpustakaan keluarga itu bisa mengimbangi keberadaan televisi yang sudah menjadi identitas masyarakat. Tak ada keluarga yang tak memiliki televisi, dan kemudian, tak ada keluarga yang tak memiliki perpustakaan. Kenapa tidak?.

Ingat, tradisi membaca pada anak sulit diwujudkan jika lingkungannya lebih banyak mencintai televisi. Psikologi anak sulit diperintah, karena karakter anak adalah meniru. Meniru lingkungan sekitar, terutama keluarganya. Sehingga, kampanye membaca pada anak, sulit maksimal jika tanpa melibatkan peran orangtua. Di sinilah letak betapa pentingnya gerakan keluarga membaca.

Tanpa disadari, Keluarga Membaca sebenarnya sudah menjadi bagian dari banyak keluarga di Bojonegoro. Hanya saja, keluarga itu masih terkesan eksklusif dan belum berbagi kepada para tetangganya. Jika keluarga membaca ini menjadi frame atau kacamata bersama, maka bisa jadi setiap keluarga akan berkampanye membaca dengan caranya sendiri.
Tak penting sebenarnya siapa yang memulainya. Tapi yang jelas “Keluarga Membaca” adalah sebuah cara yang efektif untuk mengawali gerakan kampanye membaca di Bojonegoro.

Siapapun seyogyanya ikut andil dalam gerakan Keluarga Membaca, tentunya dengan caranya sendiri-sendiri. Misalnya, pemerintah daerah (Pemda) dengan upaya memperbesar Perpusda di Jalan Panglima Polim, mengefektifkan perpustakaan sekolah, mendirikan perpustakaan di tiap kecamatan atau bahkan desa. Pemda sebetulnya lebih mengetahui apa yang harus dilakukannya.

Pada akhirnya, penulis harus menutup tulisan ini dengan sebuah harapan Bojonegoro memiliki tradisi membaca yang tinggi. Mempunyai perpustakaan yang representatif, muncul penulis-penulis berkualitas, memiliki kampus dengan tradisi intelektual tinggi. Penulis yakin, semua bisa terwujud dari sebuah gerakan kecil, yakni gerakan keluarga membaca.
Mari membaca!.

Penulis adalah Editor Buletin ‘Baca!’, Alumnus MA I Attanwir Talun, Sumberrejo.

Bojonegoro Maju dengan Buku

(Refleksi Hari Buku Sedunia pada 23 April)

Oleh : Nanang Fahrudin

Banyak orang mempercayai jika politik yang kuat akan merubah sebuah bangsa lebih maju (baca: baik). Banyak pula yang meyakini jika ekonomi kuat akan bisa mengantarkan bangsa ke kejayaan. Tapi sedikit yang mengimani jika buku (membaca) bisa membantu sebuah bangsa menjadi besar.

Guna membuktikan itu tidaklah sulit. Pemerintah pusat sampai daerah seakan berlomba menancapkan dasar-dasar politik dan ekonomi yang kuat dengan tujuan membawa bangsa ini lebih baik. Regulasi pertarungan ekonomi dibuat, pun demikian regulasi politik dibuat. Aturan-aturan itu terjelma dalam bentuk UU, Perpres, Peraturan Menteri, hingga Peraturan Daerah (Perda) di tingkat kabupaten/kota.

Bagaimana dengan buku?. Buku bukan sesuatu yang diperhitungkan. Buku seakan menjadi pelengkap dari semuanya saja. Hanya pelengkap. Tak pernah ada regulasi khusus dari tingkat pusat maupun daerah yang berisi tentang menggairahkan dunia buku atau dunia membaca. Kecuali aturan tentang buku-buku pelajaran sekolah yang dibuat secara elektronik (e-book) yang ujungnya buku tetap saja mahal. Atau yang terkenal adalah UU No 4/PNPS/1963 pasal 1 ayat (1) tentang kewenangan Kejaksaan Agung menyemprit penerbitan buku atas nama ketentraman masyarakat. Beruntung Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mencabutnya pada 2010 lalu.

Regulasi pemerintah sebenarnya tidak begitu penting jika masyarakat Indonesia sudah menjadikan buku sebagai sesuatu yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Tapi sayang, membaca belum menjadi tradisi yang kuat di tengah masyarakat. Tragisnya lagi, pemerintah memandang sebelah mata terhadap dunia buku. Salah satu bukti adalah “penelantaran” pusat dokumentasi HB Jasin di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, yang pada ujungnya menggerakkan sejumlah orang untuk menggalang #koinsastra. Semacam gerakan koin untuk Prita dulu.

Padahal, banyak sejarah mencatat buku menjadikan sebuah bangsa besar. Buku identik dengan ilmu pengetahuan. Bayangkan jika dunia buku tidak diperhatikan, maka akibatnya sama ketika tidak memperhatikan ilmu pengetahuan. Bangsa Jepang maju karena pada abad ke-17 sudah kuat di bidang membaca. Jerman menjadi negara besar karena di sana ada para filsuf dunia yang banyak melahirkan buku seperti Hegel, Karl Marx, hingga buku-buku era madzhab frankfurt.

Di sisi lain, ilmu pengetahuan adalah anak kandung modernitas. Artinya, pada era modern saat ini mendalami ilmu pengetahuan adalah sebuah keharusan. Meski ilmu pengetahuan sendiri adalah ciri masyarakat barat. Pada akhirnya bangsa yang kuat adalah bangsa yang menggenggam ilmu pengetahuan.

Bagaimana dengan Bojonegoro?

Secara sosial-ekonomi, Bojonegoro saat ini ibarat lapangan terbuka. Semua orang bisa masuk dengan “bebas”. Perusahaan asing seperti Mobil Cepu Limited (MCL) di Blok Cepu (kini didesak menjadi Blok Bojonegoro), atau perusahaan lain yang mengiringinya menjadikan Bojonegoro magnet bagi semua orang.

Investor Jakarta yang biasanya tak melirik Bojonegoro, kini datang saling berebut. Para pengusaha lokal pun tak mau ketinggalan. Sebagai anak daerah, mereka akan berusaha “mempertahankan” daerahnya. Bojonegoro akhirnya diserbu orang-orang baru dari luar seperti peneliti, pekerja sosial, pengusaha, buruh, investor, dan kelompok lain. Tak hanya itu, Bojonegoro juga dimasuki modal besar, kepentingan ekonomi-politik-budaya, dan segala sesuatu yang baru. Dan masyarakat harus siap berhadapan dengan segala yang baru tersebut.

Orang-orang baru tersebut tak hanya bekerja di Bojonegoro, melainkan juga membawa gagasan-gagasan. Persaingan ekonomi misalnya tak hanya pada sisi modal, melainkan juga konsep. Gerak sosial masyarakat juga ditentukan dengan pertarungan gagasan-gagasan yang seringkali tak dirisaukan. Demikian juga di bidang budaya pasti akan ada pergesekan yang bisa jadi mengancam budaya-tradisi lokal Bojonegoro.

Kita semua tidak menginginkan jika pada puncak pergesekan gagasan ekonomi-sosial-budaya-politik berujung pada tersingkirnya masyarakat lokal Bojonegoro. Digantikan mereka para pendatang yang menggenggam ilmu pengetahuan dan teknologi. Kita tidak menginginkan pada puncak pertarungan ekonomi, masyarakat lokal Bojonegoro tersisih dari kehidupan layak.

Kuncinya, masyarakat Bojonegoro harus cerdas. Berani bertarung pada gagasan dan konsep. Memang pasti akan muncul pesimisme bahwa benteng itu akan kalah juga dengan kekuatan modal yang datang. Tetapi kecerdasan akan selalu menemukan lubang sekecil apapun untuk bisa menggerakkan masyarakat berkembang maju.

Dan bagi saya, untuk memiliki “kunci” di atas, masyarakat harus gemar membaca. Masyarakat harus mulai memberi perhatian lebih terhadap buku. Masyarakat tak bisa cerdas hanya dengan menonton. Buku harus menjadi keseharian masyarakat Bojonegoro. Gerakan membaca harus menjadi gerakan massif. Dari tingkat kabupaten sampai tingkat RT atau lingkungan.

Dari cara berpikir demikian, perlu sebuah desain gerakan membaca sesuai dengan posisi dan kewenangannya. Pemkab harus berani mendorong gerakan membaca sampai institusi pemerintah paling bawah yakni kepala desa. Formula harus diatur sesuai kebutuhan, dan jika dipandang perlu ada sebuah peraturan daerah (perda) atau peraturan bupati (perbup) tentang gerakan membaca, pemkab harus membuatnya. Fasilitas-fasilitas harus segera dibangun untuk mendorong membaca. Dan paling mendasar dan utama adalah membangun kesadaran akan pentingnya membaca (buku).

Tak hanya pemkab, tapi mahasiswa, pekerja sosial, politisi, seniman, guru, wartawan, pengusaha dan siapapun sudah saatnya membangun gerakan membaca untuk menuju masyarakat Bojonegoro yang cerdas. Masyarakat yang siap dengan angin perubahan yang sewaktu-waktu pasti akan membawa ke depan dengan lompatan, bukan hanya gerakan lamban.
Dan tak kalah penting adalah peran Dinas Pendidikan Daerah (Disdikda) yang menjadi motor penggerak di bidang pendidikan. Sayangnya paradigma pendidikan bagus adalah jika gedung sekolah semuanya bagus, banyak sekolah yang distempel berstandar internasional, gaji guru naik, dan sebagainya. Bukan pada berapa karya (buku) yang diterbitkan oleh pejabat Disdikda, oleh para guru, atau oleh para murid. Buku masih belum menjadi indikator keberhasilan sebuah pendidikan daerah, melainkan hanya pelengkap yang seringkali dilupakan. Padahal, banyak guru dan pejabat di Disdikda yang lulusan S-2.

Pada akhirnya, saya hendak mengatakan bahwa Bojonegoro (hanya) akan maju jika masyarakatnya mencintai ilmu pengetahuan, mencintai buku, memiliki tradisi membaca yang kuat. Dan jika tidak dimulai dari sekarang, maka generasi membaca akan hilang, digantikan dengan generasi menonton. Karena berapa jam anak-anak sekarang menonton televisi, dan berapa jam anak-anak membaca buku. Padahal, 5-10 tahun mereka akan berusia 30 an tahun.

Selamat Hari Buku Sedunia. Salam.


Nanang Fahrudin
Alumnus MA-I Attanwir Talun Sumberrejo. Aktif di gerakan membaca Sindikat Baca.

Surat untuk Ainaya

*Sebagai kado kecil sebuah kelahiran

Surat ini memang tak lah penting. Surat yang kutulis untuk anakku yang kini masih usia hitungan hari. Tapi tak apalah, aku ingin menulisnya sekarang meski baru akan dibaca tujuh atau sepuluh tahun lagi saat dia mengenal huruf-huruf. Sebuah surat cinta dari seorang ayah kepada anaknya, sebuah surat dari sesama manusia, sebuah surat dari pengharap kepada yang diharapkannya, sebuah surat dari malam kepada bulan.

***
Kepada anakku yang tersayang,
Ainaya Isfi Qulubina
di pelukan ibumu


Anakku!. Saat kau lahir malam sedang murung. Hujan deras disertai petir yang sesekali menyambar. Usia malam belumlah larut, tapi hujan menjadikannya sedikit cepat tua. Dan orang-orang enggan keluar rumah. Malam seakan ingin berkata kepadamu jika dunia sedang menangisi dirinya. Ingin mengadu kepadamu sebagai manusia yang masih suci. Mengadu tentang dirinya yang diinjak-injak manusia. Manusia yang tak lagi menghargai alam. Alam yang sedang sakit hati.
Anakku!. Kau lahir pada Rabu 4 Mei 2011 pukul 22.10 WIB. Lahir Rabu tapi dalam hitungan Jawa, dihitung lahir pada hari Kamis. Hitungan Jawa tidak diawali pada pijakan fajar pagi, tapi saat senja datang menyambut malam. Kenapa begitu? Ayah juga belum mengetahui pasti penyebabnya. Mungkin karena semua berawal dari sebuah senja, matahari bergeser sembunyi di balik cakrawala, dan saat itu tak baik ada manusia yang tidur. Semua harus menyaksikannya, harus merasakannya. Merasakan senja dengan upacara perpisahan matahari. Sandikala. Mungkin keindahannya, mungkin kesakralannya. Entahlah, tapi senja memang indah. Dan bagi orang Jawa, itulah awal pergantian hari.

Sampai di sini, bolehlah ayah bercerita sedikit. Saat kau merasakan dunia untuk pertama kalinya, negerimu sedang diterpa bermacam masalah. Ayahmu ini seringkali menyaksikan di televisi berita-berita yang tidak menyenangkan. Orang-orang yang diduga teroris diberondong peluru oleh Densus 88, ada pondok pesantren diidentikkan dengan gerakan negara Islam Indonesia, atau hanya gara-gara utang seorang suami tega membunuh istri dan anaknya. Hmm….ayah sering menangis dibuatnya.

Belum lama ini, ayah bertemu dengan banyak kawan. Mereka bertanya tentang dirimu. Aku menjawab jika kau masih belum lahir. Tapi saat kau dilahirkan, ayah begitu bahagia dan langsung mengabarkan kepada semua orang bahwa anakku telah lahir. Ayah masih ingat suara tangismu pertama kali. Tahukah kau, jika saat kau lahir, kau langsung bersin-bersin, seakan hendak mengeluarkan semua virus yang ada di tubuhmu. Ayah dan ibumu sangat senang. Kami semua tersenyum.
Tentang ibumu, ya ibumu begitu lemas malam itu. Dia selalu menatap ayah dengan tatapan ketakutan. Dia takut tak bertenaga saat melahirkanmu. Sejak ashar ibumu merasakan sakit yang teramat sakit. Tangan ayah digenggamnya kuat-kuat sampai memerah. Ibumu tidak mau ditinggal, ibumu begitu ketakutan. Lebih takut daripada saat melahirkan kakakmu Isfa A. Didharma.

“Sekarang prosesnya tinggal di sampean. Kami hanya bisa membantu saja” kata bidan desa kepada ibumu.
“Masih lamakah bu Al?”
“Ndak, sebentar lagi pasti lahir”
“Tapi aku kuat nggak bu?”

“Harus yakin kuat. Fokus saja. Sampean yang menentukan lama atau tidaknya proses. Nafas harus teratur. Fokus saat ngeden biar tidak percuma. Pendek-pendek saja, yang penting fokus. Dan jangan tutup mata. Buka saja. Kalau ditutup nanti matanya merah”.

“Bismillah. Yakin bisa. Sebentar lagi pasti lahir. harus kuat ya”.


Malam itu seakan menjadi puncak ketakutan bagi ibumu. Sebelumnya ketakutan itu selalu disuarakan kepada ayahmu ini. Saat menjelang tidur, saat bangun tidur, saat salat malam, dan saat-saat lain. Pernah ayah diminta mengucap janji agar ayah tidak menikah lagi jika ibumu tak terselamatkan saat melahirkanmu. Ayah jadi merinding dibuatnya dan hanya mengatakan “Istighfar sayang, Allah Maha Kuat. Tak ada yang tak mungkin bagi-Nya,”.

Dan malam itu, ya malam itu ketakutan yang sangat juga menjalar ke diri ayahmu ini. Ayah melihat lagi ketakutan ibumu yang dulu-dulu. Jantung ayah berdetak kencang, tapi wajah ayah selalu mencoba tersenyum menunjukkan ketegaran. Ayah tak mau ibumu tahu jika ayah juga ketakutan.

Saat itu, eyang putrimu tak tega melihat ibumu. Beliau hanya bisa berdoa sambil menangis di sudut ruang polindes yang sempit. Mukanya ditutup dengan dua telapak tangan. La haula wala quwwata illa billahil aliyyil adhim dilafalkan berulang-ulang dan berulang-ulang. Sedang budhe, bulek dan semua kerabat tak mengeluarkan suara apapun. Hening. Ayah tahu mereka semua berdoa dalam hati agar kau segera lahir. Dan kakakmu, Isfa sejak sore dia ingin sekali ikut ke polindes, tapi kakakmu masih terlalu belia. Kakakmu dibujuk agar tetap di rumah bersama mbah kakung. Itu pertama kali kakakmu tidur tanpa ayah dan ibumu. (nak!, ayah menangis saat menulis ini).

Malam benar-benar hening. Suara hanya terdengar dari ibumu. Suara erangan dengan tenaga yang tersisa untuk mendorongmu keluar. Sesekali ayah memberinya minum air agar tenaganya terkumpul lagi. Di luar malam masih basah oleh hujan. Bidan desa meminta ibumu memejamkan mata saat tidak ngeden. Relaksasi untuk mendatangkan tenaga baru.

Dan satu, dua, tiga…..akhirnya kau lahir ke dunia nak!. Awalnya kau belum langsung menangis. Ayah takut. Takut sekali. Tapi tak ada semenit kau keluarkan tangisan emas itu. Tangisan yang ditunggu semua orang. Ayah menangis, eyang putrimu menangis, dan semua kerabat ikut menangis. Tangisan bahagia. Sedang ibumu, dia lemas dan hanya menatap ayah dengan tatapan bingung. “Alhamdulillah” kata ayah di telinga ibumu.

Alhamdulillah. Satu manusia lahir ke dunia. Sebagai apa kau lahir?. Ayah sulit menjawab pertanyaan itu. Tapi ayah berpikir, kau bukan manusia yang akan menyebarkan kerusakan di darat dan di laut. Sebagai muslim, ayah berdoa kepada Tuhan untuk itu. Amin. Allah selalu mendengar doa yang baik. Ayah yakin itu.

Saat kau lahir banyak hal menyertai. Banyak hal memenuhi pikiran ayah. Manusia melihat proses kelahiran manusia. Seperti manusia melihat kematian manusia. Kau lahir sebagai manusia yang tentunya punya hak yang sama dengan manusia lain. Anakku, kau juga akan hidup sebagai manuisa yang kesehariannya bersama manusia. Kelahiran manusia seakan menunjukkan ada-tiada.

Anakku!. Pada satu sisi ayah merasa bimbang dengan kehadiranmu sebagai amanah anak dari Tuhan. Dunia ini sudah tak begitu manusiawi. Manusianya bergerak meninggalkan kemanusiaan. Banyak orang teriak atas nama Tuhan, meski yang sebenarnya adalah atas nama dirinya sendiri. Banyak orang membagi-bagikan keadilan, tapi nyatanya adalah membagikan kemalangan. Ya, kau lahir saat alam sudah begini rusaknya, udara sudah begini kotornya, moralitas tak lagi digenggam erat dalam bermasyarakat. Ah, banyak lagi kebimbangan-kebimbangan yang pada akhirnya membawaku pada titik terendah: ketakutan. Takut tak mampu memikul amanah.

Tapi, pada sisi lain aku begitu sombong merasa sangat kuat. Mampu membawa kau melewati semuanya. Mendidiknya, merawatnya, membantunya menjadi manusia. Ya, ternyata aku hanya bisa membantumu menjadi “manusia”. Tidak lebih. Semua berpulang kepada Tuhan, lingkungan, dan alam yang akan membentuknya dalam proses gerak kehidupannya. Dan masih banyak manusia yang tetap memegang kemanusiaan, banyak manusia yang tersenyum dan tak hanya marah, banyak manusia yang riang bukan manusia pencaci.

Yach, kebimbangan dan kegembiraan, kegundahan dan kesenangan, ketakutan dan keberanian, seakan berayun-ayun menyertaimu. Ayah dan ibumu pun sadar, kami tak punya kekuatan apapun, kecuali hanya mendampingimu sebagai manusia yang ditakdirkan paling dekat denganmu. Sebagai bapak-ibu.

Harapan…., ya harapan. Itulah yang kami punyai. Harapan itu menjelma pada nama yang kami berikan kepadamu. Isfi Qulubina. Dalam bahasa Arab nama itu berarti obatilah hati kami. Karena kami memang berharap, kau akan menjadi obat bagi kami, bukan menjadi racun. Di depan namamu kami tambahkan “Ainaya” yang bermakna dua mataku. Itupun sebuah harapan, kau akan menjadi dua mata yang akan menunjukkan kami jalan. Jalan Tuhan.

Anakku!. Namamu bukanlah beban bagimu. Kami sadar itu. Nama itu bukanlah sebuah tuntutan kami kepadamu. Karena alangkah malangnya kau, jika baru lahir sudah dituntut menjadi obat, atau menjadi begini dan begitu. Kami akan membiarkan kau menjadi dirimu sendiri. Ayah sadar, mungkin omongan ini mudah ayah ucapkan, tapi sulit ayah praktikkan kelak.

Anakku!. Selamat datang di dunia.

Salam hangat,
Hormat ayah yang selalu menyayangimu.

***


Selesai menulis surat, aku merasakan malam semakin dingin. Bulan separoh indah terlihat. Atap-atap gedung seperti bayangan hitam diterpa cahaya. Surat kulipat lalu kumasukkan ke dalam sebuah amplop putih. Istriku tidur nyenyak. Dua anakku dibuai mimpi didekap istriku.


Bumi Tuhan, 16 Mei 2011

Minggu, 18 September 2011

JANGAN (TAKUT) KORUPSI

OLEH : NANANG FAHRUDIN
(Dimuat Koran Seputar Indonesia Edisi Jatim, Senin 19 September 2011)
Bisa klik juga di : http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/428949/


Masihkah anda terus mengikuti berita-berita korupsi di media massa akhir-akhir ini?.Lalu bagaimana kesan anda dengan gerakan pemberantasan korupsi di negeri ini?. Maaf,saya tidak bermaksud melakukan survei ke anda,untuk kemudian saya munculkan ke media massa agar menjadi opini publik yang terus menggelinding seperti bola salju.Semakin jauh menggelinding,maka semakin besar pula bola salju itu.

Seorang tokoh sekaligus budayawan pernah menuturkan, negeri ini sedang bergerak tidak normal.Sehingga jalan-jalan normal sudah tidak bisa lagi diharapkan. Kalau perlu harus ada operasi caesar untuk melahirkan perubahan negeri ini agar lebih baik.Bayangkan,katanya,kalau dengan jalan normal maka perlu waktu 300 tahun untuk memberantas korupsi.Padahal, 300 tahun lagi kita sudah menyatu dengan tanah.

Ya,negeri ini memang sudah begitu akut diserang virus korupsi.Korupsi telah menyebabkan banyak orang mudah frustasi.Lihat saja,ulah Arifin Wardiyanto asal Yogyakarta melakukan aksi menyayat keningnya sendiri dengan pisau cutter. Aksi ini dilakukan di depan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jl.HR. Rasuna Said,Jakarta Selatan, Kamis (15/9) lalu.

Arifin beralasan, ia nekat menyayat keningnya karena tak puas dengan kinerja KPK dalam memberantas korupsi. Arifin mungkin satu di antara sekian banyak warga negeri ini yang frustasi.Ia pun memilih jalan yang tak lazim itu,yakni melukai diri sendiri. Tapi tak jarang warga negeri ini yang juga merasa frustasi atas virus korupsi ini.Tapi memilih jalan yang berbeda.Misalnya jalan demonstasi,dialog, mencari data-data dugaan korupsi,atau hanya memilih diam saja.

Tapi banyak pula masyarakat yang frustasi akibat meyakini jika korupsi di negeri ini tak mungkin diberantas lagi. Maka mereka lalu memilih jalan ikut korupsi,dan berkata “Enak saja,masak Gayus saja yang bisa korupsi dan mengeruk uang negera miliaran rupiah. Masak Nazarudin saja yang bisa membeli tas seharga motor.Saya pun bisa,meski kecil-kecilan.Gayus dan Nazarudin itu kan pas lagi apes saja sekarang”.

Jika dulu masyarakat memaknai korupsi sebagai tindakan mencuri,tapi kini ada pergeseran makna.Korupsi tak lagi diopinikan sebagai tindakan mencuri,melainkan sebagai penyalahgunaan wewenang atau penyelewengan uang negara.Akibatnya korupsi hanya persoalan menyalahi aturan,dan tak berkaitan langsung dengan menyalahi moral, apalagi melanggar hukum agama.

Makna korupsi yang demikian terus menggelinding menjadi opini publik.Pejabat tak lagi khawatir bersentuhan dengan praktik korupsi.Karena korupsi dipandang hanya persoalan memaknai undangundang. Perbedaan memaknai aturan, bisa berdampak pada perbedaan memaknai apakah tindakan itu korupsi (mencuri) atau hanya kesalahan administrasi. Tindakan korupsi pun menjadi bukan tindakan tercela, karena hanya persoalan beda pandangan akan sebuah aturan saja.

Akhirnya,korupsi di negeri ini menjadi bukan sesuatu yang perlu ditakuti lagi.Pertama, karena tak semua koruptor bisa dijebloskan ke penjara. Kedua,seseorang yang diduga melakukan korupsi bisa ‘bermain’ pada ranah pembuktian, karena korupsi sulit dibuktikan. Ketigadan seterusnya, tindakan korupsi bisa ‘dibenarkan’ melalui opini publik yang terus dibangun,sehingga koruptor akan tetap dipuji masyarakat di kemudian hari.

Ah,ngomong soal korupsi koktiba-tiba saya teringat cerita dari seorang kawan.Alkisah di akherat nanti setiap orang berkumpul sesuai asal negaranya. Setiap negara ditandai dengan jam dinding yang putaran jam-nya tergantung pada tingkat korupsi di negerinya. Warga Thailand sempat bertanya “Malaikat,kok jam kami berputar cepat?”.Malaikat menjawab “Karena di negeri anda korupsi sangat tinggi”. Berbeda dengan jam milik negara Singapura yang berputar pelan.“Karena di negeri anda angka korupsinya kecil,” kata sang malaikat.

Lalu di tempat orang Indonesia,semua ribut karena jam dindingnya tidak ada. “Di mana jam kami?,”tanya salah satu warga Indonesia.“Anda dari mana?”. Dengan serentak dijawab “kami dari Indonesia”.Sang malaikat pun menjawab dengan tenang “maaf ya,jam anda kami pinjam untuk kipas angin. Tuh ada di sudut”.Salam.
 
© Copyright 2035 godongpring