Resensi Buku "Geneologi Kekuasaan Ilmu Sosial Indonesia"
Penulis : Hanneman Samuel
Penerbit : Kepik Ungu bekerjasama dengan LabSosio UI
Cetakan : I September 2010
Tebal : 160 halaman
Oleh : Nanang Fahrudin
Ketika orde baru yang berkuasa selama 32 tahun tumbang pada tahun 1998, tiba-tiba saja pemikiran berbau kiri datang menggelinding. Buah pikiran para tokoh seperti Marx Weber, Karl Marx, Antonio Gramsci, hingga pemikiran sosial kritis Jurgen Habermas membanjiri dunia intelektual Indonesia. Di mana pemikiran-pemikiran itu selama orde baru berkuasa?.
Salah satu jawaban adalah adanya campur tangan pemerintah (negara). Penguasa orde baru sengaja menyembunyikannya di kotak rapat yang tak boleh ada yang membukanya. Sebagai gantinya, pemerintah memperkenalkan pikiran-pikiran sosiolog berparadigma fungsionalisme struktural seperti Talcott Parsons.
Parsons berpandangan bahwa masyarakat memiliki kecenderungan menjaga kesatuan. Masyarakat merupakan suatu system sosial yang terdiri dari elemen-elemen yang saling berkaitan menjaga keseimbangan. Pandangan inilah yang mendapat tempat khusus pada saat orde baru berkuasa di bawah kendali Soeharto. Jika ada kelompok masyarakat yang mengkritik negara, maka dicap sebagai gerakan yang mengancam disintegrasi bangsa. Tak mengherankan jika saat orde baru tumbang, pemikiran-pemikiran sosial yang ada di dalam kotak berhamburan keluar.
Ya, kekuasaan memang memegang kendali. Kekuasaan tak hanya berarti fisik, yakni menguasai masyarakat, tapi juga mengatur cara pandang masyarakat. Tak terkecuali arah pandangan para ilmuwan sosial (sosiolog) juga sangat dipengaruhi oleh siapa yang berkuasa pada waktu itu.
Dan buku yang ditulis Hanneman Samuel, seorang sosilog Universitas Indonesia dengan cermat mencoba mengurai benang kusut “perselingkuhan” kekuasaan dengan ilmu sosial di Indonesia. Terutama masa kolonial Belanda hingga masa pasca kemerdekaan. Sehingga sangatlah tepat jika penulis memberi judul pada bukunya “Geneologi Kekuasaan Ilmu Sosial Indonesia”.
Akan sangat mudah untuk bisa mengikuti alur buku ini jika kita menggunakan kaca mata teori relasi kekuasaan yang dikenalkan oleh M Foucault. Menurut Foucault, kekuasaan selalu memproduksi kebenaran dan sekaligus menjaga kebenaran itu. Dan kebenaran pengetahuan selalu saja ditentukan oleh penguasa, atau setidaknya penguasa tidak mau begitu saja membiarkan sebuah pengetahuan berkembang di masyarakat jika hal itu nantinya mengancam kedudukannya.
Dan memang begitulah potret ilmu sosial di Indonesia sejak zaman Belanda. Penulis buku ini dengan detail menceritakan cengkraman penguasa atas ilmu sosial yang berkembang di negeri ini. Saat Belanda berkuasa, masyarakat pribumi hanyalah obyek penelitian. Itu berawal ketika pada tahun 1851 pemerintah Belanda mendirikan Royal Institute of Linguistics, Geography dan Etnology of the Netherland Indies (Koninklijk Institut Vor Taal-, Land- En Volkenkunde Van Nederlandsch- Indie/KITLV) yang bertempat di Leiden. Organisasi inilah yang akhirnya mempopulerkan indologi (pengetahuan tentang Indonesia).
KITLV selalu melakukan penelitian-penelitian masyarakat dan dilaporkan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk kemudian lahirlah kebijakan-kebijakan penjajah untuk masyarakat yang dijajah. Peran itulah yang kemudian melambungkan nama Cristiaan Snouck Hurgronje, seorang guru besar Universitas Leiden yang cakap akan pengetahuan agama Islam. Ia meneliti tentang masyarakat Islam di Hindia Belanda (Indonesia) dan menyimpulkan bahwa menjalankan syariat Islam harus dibedakan dengan gerakan politik Islam. Sehingga, ia merekomendasikan ke pemerintah Belanda agar umat Islam dibiarkan beribadah tapi dijauhkan dari politik. Peradaban eropa harus didesakkan ke masyarakat Islam Hindia Belanda. Selain itu harus ada pengawasan ketat di lembaga-lembaga pendidikan umat Islam.
Pemikir-pemikir era penjajah Belanda secara jelas menjadi “kepanjangan tangan” kepentingan penguasa. Mereka memang sengaja digunakan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan. Meski pada sisi lain hasil kerja para Indolog sepeti Snouck menjadi warisan sangat berarti jika hendak melihat perkembangan masyarakat Hindia Belanda pada abad ke-19.
Perkembangan ilmu sosial berubah ketika Indonesia mendapatkan kemerdekaan sebagai negara berdaulat. Pemikiran Parsons yang mencerminkan kepentingan AS menyerobot masuk. Pada kurun waktu 1945-1965, pusat kajian AS di Indonesia marak. Ini tak lepas dari kepentingan AS untuk masuk ke negara-negara asia tenggara, khususnya Indonesia.
Amerikanisasi terlihat ketika tiga universitas Amerika Serikat (Massachusetts Insitute of Technology, Cornell University, dan Yale University) memfasilitasi penelitian-penelitian sosial di Indonesia. Mereka mendirikan pusat-pusat studi sebagai kepanjangan tangan kepentingan AS di Indonesia. Beberapa nama masih dikenal sampai sekarang di antaranya Clifford Geertz, Bennedict Anderson dan Herbert Feith. (hal:83).
Tapi, garis politik Soekarno yang lebih condong ke sosialis-komunis membuat kebijakan retradisionalisasi Indonesia. Integrasi nasional menjadi pusat dan pada ujungnya lahirlah sistem Demkrasi Terpimpin. Wacana-wacana yang digulirkan adalah timur dan barat. Indonesia yang timur tidak bisa dikelola dengan gaya barat. Bahkan bapak sosiologi Indonesia Selo Soemardjan juga berdiri untuk memuaskan kebutuhan pemerintah dengan membela Demokrasi Terpimpin. Dalam tulisannya Demokrasi Terpimpin dan Tradisi Kebudayaan Kita (ditulis tahun 1961) Soemardjan menulis Demokrasi Terpimpin memiliki konsekuensi yang positif bagi perkembangan Indonesia. (hal: 133-134).
Pada tahun 1965-1966 Soekarno ambruk disertai kekisruhan. Tapi ilmu sosial yang berkiblat ke Talcott Parsons ala Amerika dipadu dengan gaya Indolog era penjajah Belanda masih begitu kental. Era Soeharto pun mewarisi hal tersebut dan memanfaatkannya untuk kepentingan kelanggengan kekuasaan. Pikiran-pikiran ilmuwan sosial kritis tak begitu mendapatkan tempat.
Memang, buku karya Hanneman Samuel ini hanya membentang zaman kolonialisme Belanda hingga 20 tahun pasca kemerdekaan yakni 1965. Tapi, pisau analisanya bisa digunakan pada era orde baru dan bahkan era reformasi. Betapa kekuasaan punya kekuatan menyetir perkembangan ilmu pengetahuan, tentunya dengan cara-cara ilmiah juga yang seringkali masyarakat kebanyakan tidak begitu merasakannya.
Buku ini bisa menjadi cermin bagi perkembangan sosiologi di Indonesia. Apakah sosiolog selalu berperan tanpa kepentingan penguasa? Apakah sosiologi selalu bebas nilai seperti apa yang dipikirkan Parsons?. Meski buku ini tipis (160 halaman), tapi bisa menjadi teman diskusi anda untuk mengetahui sosilogi di Indonesia.
Buku ini memang bukann hendak mencari paradigma sosiologi Indonesia. Tapi, kehadiran buku ini menjadi sumbangan amat penting dalam perkembangan ilmu sosial di Indonesia. Terutama melihat posisi ilmuwan Indonesia di kancah politik nasional.