Senin, 27 Februari 2012

Membaca Sastra seperti Menikmati Secangkir Kopi

Oleh : Nanang Fahrudin


Membaca karya sastra bagi saya adalah menikmati secangkir kopi. Kopi itu boleh pahit atau manis, tapi tetap saja terasa nikmat. Dan secangkir kopi harus dinikmati sedikit demi sedikit, merasakan aromanya, menggigit butiran kecil kopi, lalu membiarkannya melewati tenggorokan. Rasa kopi masih akan tersisa di lidah meski cangkir sudah lama kosong. Ya, membaca karya sastra begitu menyenangkan. Sastra seperti seseorang yang sedang duduk di taman sambil bercerita. Sedang saya selalu merindukannya memulai dengan cerita barunya. Semakin pandai seseorang itu bercerita, maka semakin senang saya mendengarkannya.

Sastra selalu tidak berdiri sendiri. Ia berada di belantara ilmu pengetahuan yang begitu lebat. Dan saya senang menyandingkan sastra dengan ilmu-ilmu lainnya, yang tentu, hanya sedikit saya ketahui. Hanya sedikit. Dengan filsafat, ilmu sosial, ilmu budaya, dan lainnya.

Persis seperti secangkir kopi yang selalu menyenangkan jika dinikmati bersama seorang kawan. Dinikmati di sebuah warung kopi dekat persawahan, yang anginnya bisa menenup-nepuk kulit wajah. Jika sudah begitu, secangkir kopi mengundang keakraban dan persahabatan.

Saya ingin bercerita tentang apa-apa yang saya rasakan dengan buku-buku sastra yang saya baca. Sebagian besar sudah saya beri catatan pendek usai membacanya. Tapi sebagian lain belum pernah saya buat catatannya. Meski sebenarnya saya sangat menginginkannya : memberi catatan pendek setiap kali usai membaca.

Saya bukan “orang sastra” atau orang yang kuliah di jurusan sastra, jadi nol besar soal ilmu sastra. Hanya saya percaya sastra milik semua orang, termasuk saya yang tak begitu faham tentang ilmu sastra. Saya pun menikmati sastra dengan cara saya sendiri. Menikmati karya sastra seperti menikmati secangkir kopi.

Ketika saya membaca “Keluarga Pascual Duarte” karya Camilo Jose Cela dari Spanyol saya teringat buku “Memahami Negativitas” karya F. Budi Hardiman. Ada sebuah kesamaan dalam dua buku tersebut, meski yang satu adalah buku fiksi, sedang yang lain adalah buku filsafat. Jiwa Pascual adalah jiwa ketakutan, dan ketakutan akan “yang lain” selalu memunculkan tindakan kekerasan. Dan teori seperti itu juga diungkapkan oleh Budi Hardiman dalam bukunya tersebut. Demikian sebaliknya, ketika saya membaca buku “Geneologi Kekuasaan Ilmu Sosial Indonesia” karya Hanneman Samuel, tiba-tiba saja saya teringat roman sejarah “Rumah Kaca” karya Pramoedya Ananta Toer.

Dalam bukunya Hanneman menunjukkan bahwa alam pikir masyarakat Indonesia (khususnya sosiolog Indonesia) sebenarnya disetir oleh penjajah Belanda dengan teori-teori sosial yang menguntungkan bagi Belanda. Pola itu diteruskan oleh Amerika Serikat yang menyetir perkembangan ilmu sosial di Indonesia, yang puncaknya adalah teori fungsionalisme structural ala Talcott Parson, yang terkenal semasa orde baru. Setiap apa yang dipikirkan oleh masyarakat ternyata ada “tangan tak terlihat” yang mendesainnya, dan menentukan arah berjalannya.

Hal ini persis seperti ketika Pramoedya menceritakan bagaimana Minke kembali usai menjalani masa pembuangannya. Arah ke mana Minke akan bergerak sebenarnya sudah terlihat di cermin yang dipasang oleh pemerintah Hindia Belanda. Bahkan, sampai pada hal ke mana Minke akan berobat pun sudah didesain sedemikian rupa. Hingga akhirnya Minke meninggal dengan sangat memprihatinkan. Kematian yang memang sudah direncanakan dengan bangunan “rumah kaca” itu. Begitulah. Menikmati karya sastra memiliki keindahan sendiri-sendiri. Cara saya menikmati karya sastra, mungkin berbeda dengan cara Anda membacanya. Saya selalu senang membaca sastra ditemani oleh secangkir kopi. Salam.

Surabaya, 28 Februari 2012

Minggu, 19 Februari 2012

(Bukan) Negeri Orang-orang Malang

Oleh : Nanang Fahrudin

(Dimuat di Harian Seputar Indonesia Jatim Minggu 19 Februari 2012)

“ Ada sekian banyak kisah orang-orang malang di dunia ini. Tapi sebagian besar orang-orang malang itu berada di negeri ini. Mereka hidup sengsara, miskin, sulit memperoleh pendidikan murah. Padahal berada di negeri yang konon subur dan menjadi surganya dunia.”

Ungkapan dari seorang kawan itu mungkin terlalu mendramatisir. Di belahan dunia mana pun tentu banyak orang-orang yang malang . Tapi entah kenapa, saya lantas mengiyakan begitu saja omelan kawan tadi. Apalagi, dalam benak saya bukahkah negara ada untuk membantu orang-orang malang ?. Memberikan kesejahteraan, menyuguhkan kenyamanan, memberi hukuman kepada siapa yang melanggar aturan, dan memberi penghargaan kepada siapa yang berjasa.

Tapi sayang di negeri ini sesuatu yang ideal sudah mulai usang dan berkarat. Semua saling bertubrukan dan tak tentu arah. Politik berjalan tanpa etika politik dan bertubrukan dengan keserakahan akan kekuasaan, ekonomi berjalan tanpa etika ekonomi dan bertubrukan dengan kerakusan akan modal, dan akhirnya negara berjalan tanpa tahu di mana bumi berpijak. Awalnya semua berjalan penuh resistensi, tapi lama kelamaan semua dianggap wajar-wajar saja. Korupsi menjadi wajar. Orang yang kampanye anti korupsi malah terjerat korupsi. Dan akhirnya “kebenaran adalah kebiasaan yang diulang-ulang” itu benar-benar terjadi.

Ketika siswa di Banten harus menyeberangi sungai saat berangkat sekolah akibat jembatan putus tak segera dibenahi, wakil rakyatnya membuat ruang karaoke di gedung DPRD. Ketika banyak orang di negeri ini mengeluhkan pelayanan kesehatan yang mahal, wakil rakyat di pusat malah menganggarkan uang miliaran untuk sebuah kursi rapat. Ya, perilaku “abdi negara” seakan berada di bumi yang berbeda dengan rakyatnya. Mereka sudah lupa di mana mereka berpijak. Mereka lupa bahwa mereka berada di negeri bernama Indonesia , bersama jutaan warga yang sebagian besar masih berada di bawah garis kemiskinan, belum memperoleh aliran listrik, dan fasilitas infrastruktur lain yang kurang memadai.

Lalu di mana para penguasa negeri ini berada?. Kita tunda untuk menjawab pertanyaan itu, dan kita coba pahami posisi penguasa. Para penguasa adalah pengatur kehidupan berbangsa dan bernegara. Mereka berada di dunia para pengatur, dunia orang-orang penting yang mengedepankan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi. Kalau anda bertanya, masyarakat mana?. Ya tentu masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke, bukan masyarakat parpolnya, bukan masyarakat ormasnya, bukan masyarakat kerabatnya saja. Indah kan ?.

Itu sesuatu yang ideal. Aristoteles dalam buku “Menjadi Manusia Belajar dari Aristoteles” yang ditulis Franz Magnis-Suseno membagi manusia menjadi tiga tingkatan. Yakni tingkatan biologis, filsafat, dan politik. Tingkatan politik berada pada tingkatan paling atas atau mulia. Karena politik adalah menyerahkan segenap pikiran, jiwa, sekaligus kepentingan pribadi untuk kehidupan masyarakat lebih baik. Politik ditempatkan di atas filsafat yang menyenangi kebijaksanaan, yang selalu ingin belajar kehidupan. Tingkatan politik ala Aristoteles mirip dengan makna sebuah hadits Rasulullah Muhammad Saw : sebaik-baik manusia adalah yang bisa memberi manfaat kepada manusia lainnya.

Lalu apakah politik ditempatkan pada level mulia terjadi di negeri ini?. Anda pasti punya jawaban sendiri-sendiri. Saya lebih suka mempertanyakan kembali makna politik di negeri ini. Pijakan yang dipakai berbeda dengan pijakan yang digunakan Aristoteles. Di negeri ini politik berhenti pada perebutan kekuasaan, politik berkutat pada pengamanan posisi untuk kepentingan kapital, politik adalah dunia untuk mengeruk keuntungan dengan mudah dan cepat. Politik itu never fair plays, begitu kata Angelina Sondakh usai ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.

Ya, negeri ini sedang dilanda kemalangan. Kekayaan alam yang demikian besar hadir dengan rasa tawar, hilang dalam pusaran korupsi yang tak habis-habisnya. Sedang para penguasa sangat sibuk bermain akrobat di pentas politik dan hukum.Dan masyarakat, sebagai warga pembayar pajak ke negara, hanya bisa menonton dan ngelus dada atas semua kemalangan yang terjadi.

Mungkin kita harus jejakkan kaki lagi di bumi pertiwi, sambil meneriakkan keras-keras, bahwa negeri ini bukan negeri orang-orang malang . Melainkan negeri orang-orang besar yang sukses, dan menjadi negeri besar di mata dunia. Salam.



Surabaya , 17 Februari 2012

Senin, 13 Februari 2012

Cinta Itu Sesuatu yang Tumbuh

Catatan Pendek (Capen) Novel “Rumah Tangga yang Bahagia” karangan Leo Tolstoy

Oleh : Nanang Fahrudin

Mari sejenak melupakan petualangan di bawah laut bersama Jules Verne dalam karyanya “Berkeliling Dunia di Bawah Laut” atau kita tinggalkan dunia intrik penuh kekejaman dalam novel “Godfather” karangan Mario Puzo. Tapi mari kita masuk pada dunia cinta penuh kehangatan yang diramu oleh Leo Tolstoy dalam novel “Rumah Tangga yang Bahagia”. Sebuah novel yang baru saja selesai saya baca.

Soal kebahagiaan, Anda pasti memiliki makna sendiri. Demikian pula dengan saya yang tentu memiliki makna kebahagiaan sendiri. Saya mempercayai sesuatu itu tak pernah tunggal. Pun juga dengan makna kebahagiaan. Semua orang memiliki makna bahagianya sendiri-sendiri. Ada yang sama, ada pula yang berbeda, dan ada yang mirip. Ketika pada hari ulang tahun pernikahan kami ke-9, saya memberi hadiah kepada istri sebuah buku, yang buku itu saya tulis sendiri, berisi tentang perjalanan hidup kami, dan beberapa mimpi-mimpi kami. Hadiah itu, mungkin bagi anda tidak menarik sama sekali. Namun, bagi saya dan istri saya, itu suatu yang sangat membahagiakan.

Nah, membaca novel “Rumah Tangga yang Bahagia” ini, memang hati seakan ikut larut oleh kebahagiaan tokoh-tokohnya. Cara penceritaan yang lambat dan penggambaran yang begitu detail, membuat suasana Desa Pokrovskoye, sebuah perkampungan di Rusia tahun 1800 an terasa hadir. Perkebunan yang penuh dengan buah ceri dan limau, rumah kayu kuno dua lantai, ruangan di mana ada buku dan piano, serta angin senja yang hangat masuk melalui celah-celah jendela, membawa imajinasi saya pada sebuah dunia yang tenang nan indah.

Sebenarnya tak ada cerita yang menarik dalam novel ini, karena kisahnya begitu sederhana. Tapi kesederhanaan itulah keindahannya. Novel ini berkisah tentang Marya Alexandrovna (yang selanjutnya dipanggil Masha), seorang gadis usia belasan tahun yang ditinggal mati orangtuanya. Sang ayah memiliki seorang teman bernama Sergei Michailich. Sergei membantu semua urusan keluarga Masha sepeninggal ayahnya.

Tapi seiring berjalannya waktu keduanya saling mencintai dan akhirnya memutuskan berumah tangga meski usia terpaut jauh. Sebagai sang pencerita adalah Masha sendiri. Hampir separoh lebih novel diisi oleh hubungan mereka berdua yang tanpa ada masalah serius. Masalah baru muncul ketika Masha mulai mengenal dunia “publik” yakni menghadiri pesta dansa dan ikut dalam acara-acara pesta para bangsawan.

Masha melupakan suaminya yang usianya selisih sepuluh tahun lebih. Ia mulai menikmati dunia orang-orang yang selalu mengagumi kecantikannya. Hingga suatu ketika ia menemukan cinta yang lain dengan seorang bangsawan. Sergei, sang suami, waktu itu tidak ada di sampingnya karena berada di Desa Pokrovskoye bersama dua anaknya, sedang Masha berada di St. Petersburg menikmati dunia barunya.

Cerita berakhir ketika Masha tidak bisa menemukan rasa cinta yang menggelora seperti yang dirasakan saat awal-awal mencintai Sergei. Ia pun memutuskan kembali kepada suaminya dan memulai lagi memainkan piano dengan lagu-lagu Mozart kesayangannya. Ia sadar bahwa cinta tak mungkin berhenti pada satu titik. Melainkan selalu tumbuh. Ia tak mungkin bisa mendapatkan cinta persis seperti saat Sergei datang pertama kali di kehidupannya. Cinta adalah sesuatu yang tumbuh, seiring waktu berjalan. Cintanya kepada Sergei tentu tidak mungkin sama ketika belum ada buah hati di antara mereka. Dan berharap cinta berhenti seperti saat pertama jatuh cinta adalah sebuah kesia-siaan, karena cinta adalah sesuatu yang tumbuh lebih besar, lebih baik, lebih indah, lebih membahagiakan terhadap istri/suaminya.

Dalam penyesalannya itu Masha berkata sambil menangis “Mengapa kau beri aku kebebasan yang aku sendiri tak tahu bagaimana harus mempergunakannya? Mengapa kau berhenti mengajariku? Sekiranya kau membimbing aku, tak kan pernah ada yang terjadi, tak ada”. (hal : 125). Masha terus meluapkan penyesalannya. Tapi Sergei yang menyayanginya menanggapi dengan penuh kasih sayang. Ia mengatakan “setiap waktu punya bentuk cintanya sendiri-sendiri”. (hal: 127). Mereka pun akhirnya hidup bahagia dengan bentuk cinta yang mereka temukan kembali, tentu dalam bentuknya yang baru.

Ya, mungkin itulah yang dimaksud dengan “Rumah Tangga yang Bahagia” seperti yang ditulis Leo Tolstoy. Cerita yang amat sederhana bukan?

Memang kisahnya amat sederhana, tapi pada kesederhanaan cerita itulah sebenarnya kunci menikmati novel yang diterjemahkan dari edisi bahasa Inggris berjudul “A Happy Married Life” ini. Lika-liku psikologis para tokohnya tergambar dengan apiknya. Ujungnya aya sangat kesulitan untuk memulai membuat catatan pendek (capen) usai membaca buku ini. Jadi mungkin akan lebih menyenangkan memang jika anda membacanya sendiri langsung. Anda bisa merasakan Masha dan Sergei jatuh cinta, meski keduanya tak pernah mengatakan cinta.

Selamat membaca!. Salam.

Bojonegoro, 12 Februari 2012

Selasa, 07 Februari 2012

Perang Tak Hanya Soal Nyawa…….Tapi Juga Kemanusiaan

(Catatan Pendek Novel Tuyet karangan Bur Rasuanto)



Oleh : Nanang Fahrudin

Belumlah hilang ingatanku akan sosok Srintil, tokoh dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk (tiga jilid) karangan Ahmad Tohari. Kini aku merasakan kepedihan dengan timbangan berat hampir sama (andaikan kegetiran hidup bisa ditimbang). Dia ada pada sosok Tuyet, dalam novel berjudul “Tuyet” karangan Bur Rasuanto. Novel yang terbitit tahun 1978.

Tuyet adalah gadis Vietnam usia 20 an tahun. Dia kecil, berkulit putih dan selalu mengenakan baju ao dai, mungkin baju khas warga Vietnam. Ia adalah satu di antaranya sekian banyak warga Vietnam yang bergelut dalam penderitaan akibat perang Vietnam tahun 1957-1975. Perang yang berakar pada perbedaan ideologi yakni Komunis dan Liberal.

Tuyet tak pernah mengerti apa itu komunisme dan apa itu liberalisme. Ia hanya merasakan perang antara Vietnam Selatan dan Vietnam Utara menghapus masa depannya, dan masa depan jutaan warga lainnya. Nyawa sewaktu-waktu bisa lepas dari raga dalam kondisi perang seperti saat itu. Sejarah mencatat, dalam kurun waktu perang Vietnam, sebanyak 280.000 orang di pihak Selatan meninggal dan 1.000.000 di pihak Utara juga meninggal.

Sosok Tuyet awalnya memang misterius. Ia teman Herbert seorang wartawan asing yang meliput perang Vietnam. Tapi ia harus ke Jerman untuk menyelesaikan penerbitan bukunya. Setelah Herbert tidak ada lagi di Vietnam, Tuyet meminta tolong ke Alimin (tokoh aku), seorang wartawan asal Indonesia, karena ia teman dekat Herbert.

Awalnya hubungan keduanya hanya masalah surat dari Herbert yang ditunggu Tuyet, yang kemungkinan dititipkan ke Alimin. Tapi surat tak kunjung datang. Dan Alimin masuk dalam masalah yang dihadapi Tuyet. Alimin mencoba membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi Tuyet. Cerita semakin seru, karena Alimin juga berteman baik dengan Thi, warga Taiwan yang menjadi siswa Alimin. Di Vietnam, Alimin juga mengajar.
Tuyet ternyata menyimpan kegetiran hidup yang mungkin sulit dipikulnya. Ayahnya yang guru dituduh komunis oleh pemerintahan militer waktu itu. Untuk menyelamatkannya, ia harus menebus dengan uang yang tidak sedikit. Alimin pun siap membantu mencarikan uang itu.

Untuk bertahan hidup, Tuyet menjadi buruh cuci seragam tentara. Tangannya menjadi kasar. Ia tidak memilih pekerjaan itu, karena memang tidak ada pilihan. Sebenarnya ada pilihan baginya, yakni ia “mau menjual diri” ke komandan yang menahan ayahnya. Tapi Tuyet sangat membenci mayor itu. Ia rela menjual diri kepada siapapun asal tidak kepada mayor itu, orang yang menahan ayahnya.

Oleh sang mayor, Tuyet juga dijanjikan akan dibuatkan “surat bersih” untuk Tuyet jika Tuyet mau dengannya. Mungkin kita bisa membayangkan surat itu seperti cap bukan PKI bagi keluarga eks tapol di Indonesia. Mereka sama-sama dicap komunis. Tanpa surat bersih itu, warga yang keluarganya ditahan akibat tersangkut komunis tidak akan bisa mendapatkan pekerjaan layak. Mereka dianggap “bukan manusia” layak.

Sulit bagi Tuyet menentukan pilihan. Di satu sisi, ia tidak ingin menyeret Alimin dalam kepahitan hidupnya. Di sisi lain ia tidak ingin ayahnya dibuang ke pulau terpencil yang tidak akan kembali lagi. Tapi Tuyet harus memilih. Dan pilihan itu diungkapkannya lewat surat yang diberikan kepada Alimin melalui pesuruh.

Tuyet memilih “menghapus” dirinya. Ia membiarkan dirinya bukan apa-apa. Ia mengorbankan kehidupannya. Ia akhirnya memilih pergi bersama komandan, menyelamatkan ayahnya dengan cara demikian. Ia menulis dengan getir “….apalah artinya diriku, apalah artinya kehormatanku, jika alternatifnya adalah lenyap dan habisnya ayah kandungku serta orang yang kucintai!. Karena itu kuputuskan mengalah dengan keinginan mayor itu….”

###

Novel Tuyet ini sebenarnya tidak hanya berkisah tentang Tuyet. Tapi kita bisa berdebar-debar karena semua cerita dilatari suasana perang Vietnam. Alimin adalah sosok wartawan yang terus memburu berita dan foto perang. Lika-liku meliput perang menjadi sesuatu yang menarik tersendiri dalam buku ini.

Surabaya, 2 Mei 2011
Nanang Fahrudin

Senin, 06 Februari 2012

Oh, Oliver yang Malang

(Catatan Pendek Novel “Oliver Twist” karangan Charles Dickens)



Oleh : Nanang Fahrudin

Saya selalu percaya bahwa membaca melibatkan hati dan pikiran. Membaca bukan hanya sekedar memelototi deretan kata. Dan pada akhirnya membaca adalah seni memaknai bahasa, seni menangkap makna, dan sekaligus seni menggambarkan segala sesuatu (hanya) dari teks saja. Membaca selalu mengajak serta jiwa untuk berdialog dengan apa yang berhasil dimaknai dari sebuah teks.

Di sanalah letak tafsir yang tak pernah satu, meski hanya lahir dari satu teks yang sama. Ketika saya membaca sebuah novel, maka apa yang saya “tangkap” dari novel tersebut bisa jadi berbeda dengan anda. Bahkan, ketika saya membaca buku A sekarang, dan beberapa tahun lagi membacanya kembali, maka bisa juga akan berbeda apa yang berhasil saya peroleh dari buku A tersebut. Membaca adalah proses memaknai, yang tak pernah tunggal.

Demikian pula ketika saya baru saja merampungkan membaca novel klasik anak berjudul “Oliver Twist” karangan Charles Dickens. Cerita yang dikisahkan begitu menyayat hati. Tentang Oliver yang terlahir yatim piatu, diasuh oleh pengurus panti asuhan yang kejam, diberikan ke pekerja kubur yang bengis, dipaksa menjadi pencopet dan perampok, dan seterusnya dan seterusnya.

Ketika anda setiap hari bergelut dengan ilmu agama, bisa saja anda akan istighfar dan berpikir bahwa orang-orang di sekitar Oliver adalah orang-orang yang tidak tahu agama. Tapi jika anda seorang pejabat yang dermawan, mungkin anda akan berkeinginan mendirikan panti asuhan dan berjanji mengasihi anak-anak seperti Oliver usai membaca novel ini. Tapi jika anda biasa hidup di lingkungan “keras”, maka anda akan berkomentar “ah biasa saja”.

Saya pun demikian, memiliki pemaknaan sendiri saat membaca buku ini. Membaca halaman per halaman buku setebal 200 halaman ini, saya selalu teringat akan dunia anak yang mulai dilipat. Dunia anak saat ini adalah dunia “keong racun”, atau “cinta satu malam”. Dunia orang dewasa.

***

Oh ya, biarkan saya bercerita sedikit tentang Oiver Twist. Oliver adalah bayi laki-laki yang lahir dari seorang ibu bernama Agnes. Sebelum melahirkan sang ibu pingsan di pinggir jalan dan ditolong oleh seorang dokter panti asuhan. Sesaat setelah melahirkan Oliver, sang ibu meninggal dunia. Oliver bayi diasuh oleh Nyonya Mann, pengurus panti yang ternyata sangat kejam.

Ketika usia sembilan tahun, tubuhnya kurus dan wajahnya sangat pucat kurang makan. Di panti asuhan, anak-anak terbiasa menjilati mangkok bubur, sehingga mangkok tak perlu lagi dicuci. Oliver lalu diambil oleh Tuan Bumble yang disebut sebagai pengurus panti asuhan besar. Di sana ia selalu kelaparan, hingga suatu saat ia memberanikan diri meminta tambahan bubur, yang akibatnya ia harus pergi dari panti asuhan besar.

Oliver malang diserahkan kepada Tuan Sowerberry, pekerja makam. Di rumah tersebut, Oliver diberi makan sisa anjing dan tidur di antara peti mati. Hingga pada suatu ketika ia bertengkar dengan Noah, salah satu anggota keluarga Sowerberry. Oliver difitnah akan membunuh Noah, dan sebagai ganjarannya, Oliver dikurung tanpa diberi makan berhari-hari.

Tak kuat menjalani siksaan itu, Oliver melarikan diri ke London dan hidup mengemis, tidur di tempat terbuka. Ia pun ketemu Jack Dawkins, yang ternyata adalah komlpotan pencopet anak asuh Fagin si Yahudi. Di tempat ini Oliver dipaksa menjadi pencopet. Awal ikut mencopet ia digebuki warga, dan saat dipaksa merampok rumah tangannya tertembak.

Singkat kisah, Oliver ternyata adalah anak dari seseorang yang kaya di Inggris. Orang tersebut meninggal dunia sebelum bisa mengawini Agnes. Saat itu Agnes sedang hamil tua hingga lahirlah Oliver. Sedang istri pertama orang kaya tersebut bersifat dengki dan mencoba menyingkirkan nama Agnes dari surat wasiat yang ditulis suaminya. Monks adalah orang yang ingin membunuh Oliver, karena dia adalah kakak kandungnya, meski berbeda ibu. Tujuannya satu yakni menguasai harta kekayaan tanpa membaginya dengan Oliver.

Berkat jasa Tuan Brownlow, semua teka-teki tersebut terjawab. Oliver mendapatkan hak warisannya dan hidup tenteram bersama Tuan Brownlow. Sedang Fagin mati digantung, Monks pindah ke Amerika dan terlibat kriminal hingga mati di penjara.

Akhir kisah yang menyenangkan.

***

Kenapa menyukai karya sastra?. Suatu kali pertanyaan itu dilontarkan seseorang di dekat saya. Hmm…saya ternyata bingung juga menjawab pertanyaan sederhana itu. Kenapa ya?. Saya mencoba memberi jawaban sedikit serius : “ya karena sastra adalah produk sejarah peradaban manusia. Sastra adalah peninggalan sejarah dalam bentuk tulis yang bisa dibaca oleh orang yang seratus tahun (bahkan lebih) hidup pada masa yang berbeda”. “Ya…ya…ya…” jawab orang itu singkat.

Usai menjawab pertanyaan itu, muncul dalam benak saya berbagai pertanyaan. Benarkah sastra memberi manfaat bagi kehidupan saya?. Apa bedanya kalau saya tidak membaca sastra?. Apakah hidup saya akan menderita, atau sebaliknya akan menemukan kebahagiaan?. Entahlah.

Sambil memikirkan pertanyaan-pertanyaan itu, tangan saya masih memegang novel “Oliver Twist” yang sudah sampai halaman terakhir. Saya duduk di salah satu bangku bus yang melaju dari Bojonegoro ke Surabaya. Sampai di Lamongan, naiklah seorang ibu bersama bayi di gendongannya. Ibu dan anak itu lalu mengamen. Sang ibu bernyanyi, sedang sang bayi tidur dengan wajah kotor.

Saya pun langsung teringat Oliver Twist, ya..anak yang malang itu. Mungkin sama malangnya dengan bayi di gendongan ibu tersebut. Salam.

Surabaya, 7 Februari 2012

Kamis, 02 Februari 2012

Ya, Memang Benar!. Hidup Ini Penuh Komedi

Catatan Pendek (capen) Novel “Komedi Manusia” karya William Saroyan
Oleh : Nanang Fahrudin



Saya terpaksa membolak balik lagi halaman-halaman buku novel “Komedi Manusia” saat membuat catatan pendek (capen) ini. Nama-nama tokohnya sulit saya ucapkan dan tak mudah untuk saya tulis. Sebut saja nama Ulysses, bocah usia lima tahun yang tak pernah menangis. Atau Spangler, kepala kantor telegraph di Itacha. Meski nama tokoh-tokoh lain tetap mudah diingat seperti Homeros kakak Ulysses, Markos kakak Homeros, atau Tuan Grogan seorang telegrapist tua.

Novel karya William Saroyan ini mungkin karya sastra dengan bahasa masih ejaan lama pertama yang saya baca. Awalnya ejaan lama begitu mengganggu. Halaman pertama-kedua begitu tak nyaman, tapi sampai halaman ke lima puluhan, cerita sudah mengalir indah. Saking indahnya saya lupa bahwa bahasa dalam novel menggunakan kata-kata ejaan lama. Misalnya “saya” ditulis “saja”, atau “yang” ditulis “jang”. Logika kalimat pun terasa berbeda dari bahasa saat ini. Mengesankan sebuah kesederhanaan, jauh dari bahasa yang bombastis.

Novel yang terbit pertama menggunakan bahasa Indonesia pada tahun 1951 ini mengisahkan sebuah keluarga di Itacha, sebuah kota di New York era perang dunia kedua. Keluarga tersebut bernama keluarga Macauley. Sang ayah telah lama meninggal, tinggal Nyonya Macauley dan empat anaknya. Yakni Markos (tentara), Homeros (tukang pos/telegram), Bess, dan Ulysses. Mereka hidup dalam kesederhanaan yang bahagia.

Guna membantu memenuhi kebutuhan keluarga, Homeros menjadi opaspos (tukang pos) meski usia baru 14 tahun. Padahal dalam aturan minimal usia 16 tahun. Dia mengayuh sepeda onthel saat mengantar telegram-telegram. Homeros belajar tentang kehidupan saat mengabarkan kematian dari Kementerian Peperangan.

Adegan ini begitu menyentuh. Saat itu Homeros mengantar telegram berisi kematian tentara di medan perang. Berita itu harus diterima oleh sang ibu Nyonya Rosa Sandoval, perempuan Mexico yang sedang merindukan kedatangan sang anak. Saat disilahkan masuk oleh nyonya rumah, Homeros bimbang antara menyerahkan surat atau tetap memegangnya. Atas kekuatan hati akhirnya telegram itu tetap diserahkan kepada sang ibu.

Masuk ke rumah Nyonya Sandoval, Homeros bukan bertemu dengan wajah nyonya Sandoval yang murung. Homeros malah diajak masuk dan diberi gula-gula. Nyonya Sandoval terus tersenyum dan menolak membuka telegram tersebut, karena ia sudah tahu sebelum membaca isinya. Ia seakan ingin mengingkari kenyataan dengan mengajak Homeros ngobrol. “Gula-gula itu kami buat sendiri,” kata Sandoval. Baru ketika Homeros makan gula-gula itu, Nyonya Sandoval mulai menangis meratap. Homeros lari tak kuat ikut memikul beban nyonya Sandoval.

Ya, setiap tokoh yang dihadirkan dalam buku “Komedi Manusia” ini begitu hidup. Ulysses misalnya. Suatu siang dia diajak oleh Lionel (temannya) sesama bocah untuk pergi ke perpustakaan umum. Di dalam perpustakaan ia melihat buku-buku yang tertata rapi di kanan-kiri-depan-belakang di mana ia berdiri. Ia begitu mengagumi buku-buku tersebut.

“Apa maumu?” tanya pustakawan.
“Saja mau melihat sadja,” kata Leonel.
“Melihatnja?”
“Itu yang saja sukai, apa tidak boleh?”

Mereka berdua lalu berjalan-jalan di dalam perpustakaan. Mereka seperti masuk ke dunia gaib yang belum pernah mereka masuki. Di mana-mana ada buku.

“Di situ ada A,” kata Leonel kepada Ulysses.
“Jang di situ itu sebuah A. Di situ ada huruf lain. Saja tidak tahu huruf apa itu. Tiap-tiap huruf berlainan, dan tiap-tiap perkataan berbeda”. (hal:214)

Dalam setiap penceritaan, pengarang memang melompat-lompat dari satu tokoh ke tokoh lain. Dari Ulysses ke Homeros, dari Homeros ke Tuan Grogan, dari Tuan Grogan bisa ke Markos, dan seterusnya. Meski semua terhubung antara satu dengan lainnya.

Akhir cerita mulai terlihat saat Markos mengirim surat ke Homeros, adiknya. Surat itu seperti sebuah pertanda bahwa Markos tidak akan pulang lagi. Markos ikut dalam barisan tentara di medan perang. Di medan perang, ia begitu merindukan Itacha tempat kelahirannya, ingin memeluk Bess adiknya, Mary tunangannya, dan menggendong Ulysses adiknya paling kecil. Sebuah kerinduan yang memuncak, hingga akhirnya ada telegram datang di kantor di mana Homeros bekerja.

Saat itu Homeros datang. Ia mendapati Tuan Grogan memegang telegram yang belum sempat selesai ia tulis. Homeros mengguncang-guncang Tuan Grogan yang pingsan, tapi nyawa telegrapish tua itu tak terselamatkan. Telegram yang belum selesai dibaca itu pun diambil Homeros yang langsung lemas setelah membacanya. Ia tak berani mengabarkan apa-apa di rumahnya.

Bahkan sampai Tobey, teman Markos di medan perang datang sendiri untuk mengabarkan langsung kematian Markos, Homeros tetap saja diam. Diajaknya Tobey datang ke rumah dan bernyanyi bersama. Bernyanyi dalam sebuah ruang kepedihan hidup. Semua sudah tahu bahwa Markos meninggal, tapi mereka seakan hendak membalik kenyataan itu, meski ia sadar hal itu suatu kemustahilan.

Mungkin bagi mereka jalan satu-satunya adalah menikmati setiap kepedihan hidup ini dengan tetap tersenyum. Dan Ulysses yang belum mengerti betul tentang apa yang terjadi tetap ceria melihat semua wajah-wajah yang tersenyum itu.


Surabaya, 2 Februari 2012

Rabu, 01 Februari 2012

Di Mana Menemukan Jawa ?

Oleh : Nanang Fahrudin

Seorang perempuan berusia 40 an tahun sangat sibuk hari itu. Anaknya sedang hamil dan sebentar lagi ia memiliki cucu lagi. Usia kandungan sudah memasuki bulan ke tujuh. Dan hari itu adalah hari tingkeban, acara slametan menandai tujuh bulan kehamilan anaknya. Nasi kuning, bubur merah, bubur putih, ketan towo, dan beberapa makanan dibuat untuk menu slametan. Tiga-empat tetangga yang semuanya perempuan ikut sibuk di dapur.

Sedang sang bapak menyiapkan semua keperluan. Mengundang tetangga kiri-kanan rumah dan mengeluarkan kursi-kursi agar undangan tak berdesak-desakan saat datang. Pokoknya semua harus disiapkan sejak pagi subuh. Dua buah kelapa muda dengan lukisan dua tokoh wayang juga disiapkan untuk tingkeban tersebut.

Saat semua sudah siap, seorang dukun (juga perempuan) menyiapkan semua. Calon ibu dimandikan dengan masih mengenakan sarung milik ibunya. Kain itulah yang menandakan kedekatan emosional anak-ibu tersebut. Si calon bapak selanjutnya diharuskan memecah gading (kelapa muda) dengan golok besar. Gading itu harus benar-benar terbelah, agar proses kelahiran lancar. Semua acara berakhir ketika semua tamu (para tetangga) pulang membawa berkat setelah berdoa bersama.

Ya, masyarakat jawa begitu kaya ritual, kaya kepercayaan, dan kaya tradisi. Kekayaan itu pun memunculkan kekayaan lain di antaranya kaya jenis makanan. Selain tingkeban ada ritual brokohan (saat anak lahir), bahkan sampai kematian juga ada upacara khusus sampai seribu hari kematiannya (nyewu).

Merasakan jawa, hmm….di mana sekarang bisa menemukannya. Tradisi jawa sudah banyak berubah. Hantaman modernitas begitu besar pengaruhnya, mampu menenggelamkan sebagian besar “ke-jawa-an” itu. Tak hanya tradisi, tapi juga alam pikiran dan filsafat jawa pun mulai menguap. Generasi muda masyarakat jawa sudah banyak yang bergaya hidup loe dan gue.

Saya bukan hendak berdiskusi tentang sebuah kebenaran filsafat jawa. Bukan. Tapi saya hanya ingin sedikit memotret jawa yang sudah mulai bukan jawa lagi. Saya pun teringat ucapan yang lazim dikatakan orang-orang tua bahwa “kamu orang jawa, tapi tidak jawani”. Ya, jawa memang memiliki ‘alam’ sendiri yang oleh orang jawa disebut sebagai budaya luhur.

Nah, keinginan merasakan jawa mulai menguat ketika saya membaca buku “Senopati Pamungkas” karya Arswendo Atmowiloto. Buku dua jilid ini lumayan tebal karena keduanya di atas seribu halaman. Ketika membacanya saya benar-benar masuk ke alam jawa yang luhur dan agung. Itu tergambar pada dialog dan karakter tokoh-tokoh dalam novel sejarah berdirinya Kerajaan Majapahit itu.

Upaya menemukan jawa (saya menggunakan istilah menemukan jawa untuk memudahkan saja. Maksudnya adalah menemukan filsafat, alam pikir, tradisi, dan semua yang berbau jawa) terus bergelora ketika membaca buku Arswendo lain berjudul “Canting”. Novel yang bercerita tentang sebuah keluarga Pak Bei, keluarga pembesar kerajaan di kabupaten. Tokoh Pak Bei digambarkan begitu kuat ke-jawa-annya. Dia selalu bisa membaca sekitarnya, karena baginya hidup harus selalu memahami gerak zaman.

Usaha menemukan jawa terus menggelora pada diri saya. Hingga akhirnya saya menemukan buku “Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa” karya Clifford Geertz terbitan Pustaka Jaya. Buku itu seperti meembentangkan lagi tradisi jawa yang selama ini mulai dilipat. Geertz memotret kepercayaan masyarakat jawa akan makhluk halus, upacara slametan, dan semua ritual orang jawa. Semua dibahas habis dalam buku itu. Buku kajian etnografi yang dikenal “berat” tapi tersaji dengan bahasa sangat ringan.

Belum selesai membac Geertz, saya kembali mendapatkan buku “Parama Yoga Ronggowarsito” sebuah buku tentang mitos asal-usul manusia jawa. Buku itu memang saya beli dengan kondisi tak begitu cantik lagi. Tapi sedikit melengkapi koleksi saya tentang masyarakat jawa.

Meski sudah melahap beberapa buku tentang jawa, saya belum bisa menemukan jawa itu. Saya masih merasa sangat jauh dari jawa. Entah ke mana lagi menemukannya. Kenapa saya ingin melihat dunia jawa?. Cara pikir saya sederhana saja bahwa saya hidup di jawa, menghirup udara jawa. Filsafat dan cara berpikir orang jawa tentu memiliki sejarahnya, seiring keberadaan kehidupan masyarakat jawa itu sendiri. Ibarat sebuah riset, filsafat dan cara berpikir jawa adalah hasil riset yang sudah mulai dilupakan. Dunia bergerak dengan kiblat kebudayaan barat. Semua yang ‘bukan barat’ diklaim belum maju. (Mungkin) termasuk filsafat dan budaya jawa tadi.

Ah saya jadi teringat ketika saya (bersama Mustakim, seorang jurnalis) datang di rumah Mbah Hardjo Kardi di Dusun Jipang, Desa/Kecamatan Margo Mulyo, Kabupaten Bojonegoro. Dusun itu berada sekitar 60 km arah selatan dari kota Bojonegoro. Mbah Hardjo (demikian biasa disapa) adalah generasi ke empat pimpinan masyarakat Samin. Ketika wawancara dia memarahi kami karena kami tidak bisa menangkap pembicaraan beliau yang menggunakan bahasa jawa kawi. “Ngapunten mbah,” kata kami. “Ya wes gawe boso jowo biasa ae. Bocah nom sakiki wes lali jowo kabeh”. Hmm…menemukan jawa memang begitu sulit, setidaknya begitulah yang saya rasakan. Mungkin anda berbeda dengan saya. Salam.

Surabaya, 21 Desember 2011
 
© Copyright 2035 godongpring