Oleh : Nanang Fahrudin
Membaca karya sastra bagi saya adalah menikmati secangkir kopi. Kopi itu boleh pahit atau manis, tapi tetap saja terasa nikmat. Dan secangkir kopi harus dinikmati sedikit demi sedikit, merasakan aromanya, menggigit butiran kecil kopi, lalu membiarkannya melewati tenggorokan. Rasa kopi masih akan tersisa di lidah meski cangkir sudah lama kosong. Ya, membaca karya sastra begitu menyenangkan. Sastra seperti seseorang yang sedang duduk di taman sambil bercerita. Sedang saya selalu merindukannya memulai dengan cerita barunya. Semakin pandai seseorang itu bercerita, maka semakin senang saya mendengarkannya.
Sastra selalu tidak berdiri sendiri. Ia berada di belantara ilmu pengetahuan yang begitu lebat. Dan saya senang menyandingkan sastra dengan ilmu-ilmu lainnya, yang tentu, hanya sedikit saya ketahui. Hanya sedikit. Dengan filsafat, ilmu sosial, ilmu budaya, dan lainnya.
Persis seperti secangkir kopi yang selalu menyenangkan jika dinikmati bersama seorang kawan. Dinikmati di sebuah warung kopi dekat persawahan, yang anginnya bisa menenup-nepuk kulit wajah. Jika sudah begitu, secangkir kopi mengundang keakraban dan persahabatan.
Saya ingin bercerita tentang apa-apa yang saya rasakan dengan buku-buku sastra yang saya baca. Sebagian besar sudah saya beri catatan pendek usai membacanya. Tapi sebagian lain belum pernah saya buat catatannya. Meski sebenarnya saya sangat menginginkannya : memberi catatan pendek setiap kali usai membaca.
Saya bukan “orang sastra” atau orang yang kuliah di jurusan sastra, jadi nol besar soal ilmu sastra. Hanya saya percaya sastra milik semua orang, termasuk saya yang tak begitu faham tentang ilmu sastra. Saya pun menikmati sastra dengan cara saya sendiri. Menikmati karya sastra seperti menikmati secangkir kopi.
Ketika saya membaca “Keluarga Pascual Duarte” karya Camilo Jose Cela dari Spanyol saya teringat buku “Memahami Negativitas” karya F. Budi Hardiman. Ada sebuah kesamaan dalam dua buku tersebut, meski yang satu adalah buku fiksi, sedang yang lain adalah buku filsafat. Jiwa Pascual adalah jiwa ketakutan, dan ketakutan akan “yang lain” selalu memunculkan tindakan kekerasan. Dan teori seperti itu juga diungkapkan oleh Budi Hardiman dalam bukunya tersebut. Demikian sebaliknya, ketika saya membaca buku “Geneologi Kekuasaan Ilmu Sosial Indonesia” karya Hanneman Samuel, tiba-tiba saja saya teringat roman sejarah “Rumah Kaca” karya Pramoedya Ananta Toer.
Dalam bukunya Hanneman menunjukkan bahwa alam pikir masyarakat Indonesia (khususnya sosiolog Indonesia) sebenarnya disetir oleh penjajah Belanda dengan teori-teori sosial yang menguntungkan bagi Belanda. Pola itu diteruskan oleh Amerika Serikat yang menyetir perkembangan ilmu sosial di Indonesia, yang puncaknya adalah teori fungsionalisme structural ala Talcott Parson, yang terkenal semasa orde baru. Setiap apa yang dipikirkan oleh masyarakat ternyata ada “tangan tak terlihat” yang mendesainnya, dan menentukan arah berjalannya.
Hal ini persis seperti ketika Pramoedya menceritakan bagaimana Minke kembali usai menjalani masa pembuangannya. Arah ke mana Minke akan bergerak sebenarnya sudah terlihat di cermin yang dipasang oleh pemerintah Hindia Belanda. Bahkan, sampai pada hal ke mana Minke akan berobat pun sudah didesain sedemikian rupa. Hingga akhirnya Minke meninggal dengan sangat memprihatinkan. Kematian yang memang sudah direncanakan dengan bangunan “rumah kaca” itu. Begitulah. Menikmati karya sastra memiliki keindahan sendiri-sendiri. Cara saya menikmati karya sastra, mungkin berbeda dengan cara Anda membacanya. Saya selalu senang membaca sastra ditemani oleh secangkir kopi. Salam.
Surabaya, 28 Februari 2012
Membaca karya sastra bagi saya adalah menikmati secangkir kopi. Kopi itu boleh pahit atau manis, tapi tetap saja terasa nikmat. Dan secangkir kopi harus dinikmati sedikit demi sedikit, merasakan aromanya, menggigit butiran kecil kopi, lalu membiarkannya melewati tenggorokan. Rasa kopi masih akan tersisa di lidah meski cangkir sudah lama kosong. Ya, membaca karya sastra begitu menyenangkan. Sastra seperti seseorang yang sedang duduk di taman sambil bercerita. Sedang saya selalu merindukannya memulai dengan cerita barunya. Semakin pandai seseorang itu bercerita, maka semakin senang saya mendengarkannya.
Sastra selalu tidak berdiri sendiri. Ia berada di belantara ilmu pengetahuan yang begitu lebat. Dan saya senang menyandingkan sastra dengan ilmu-ilmu lainnya, yang tentu, hanya sedikit saya ketahui. Hanya sedikit. Dengan filsafat, ilmu sosial, ilmu budaya, dan lainnya.
Persis seperti secangkir kopi yang selalu menyenangkan jika dinikmati bersama seorang kawan. Dinikmati di sebuah warung kopi dekat persawahan, yang anginnya bisa menenup-nepuk kulit wajah. Jika sudah begitu, secangkir kopi mengundang keakraban dan persahabatan.
Saya ingin bercerita tentang apa-apa yang saya rasakan dengan buku-buku sastra yang saya baca. Sebagian besar sudah saya beri catatan pendek usai membacanya. Tapi sebagian lain belum pernah saya buat catatannya. Meski sebenarnya saya sangat menginginkannya : memberi catatan pendek setiap kali usai membaca.
Saya bukan “orang sastra” atau orang yang kuliah di jurusan sastra, jadi nol besar soal ilmu sastra. Hanya saya percaya sastra milik semua orang, termasuk saya yang tak begitu faham tentang ilmu sastra. Saya pun menikmati sastra dengan cara saya sendiri. Menikmati karya sastra seperti menikmati secangkir kopi.
Ketika saya membaca “Keluarga Pascual Duarte” karya Camilo Jose Cela dari Spanyol saya teringat buku “Memahami Negativitas” karya F. Budi Hardiman. Ada sebuah kesamaan dalam dua buku tersebut, meski yang satu adalah buku fiksi, sedang yang lain adalah buku filsafat. Jiwa Pascual adalah jiwa ketakutan, dan ketakutan akan “yang lain” selalu memunculkan tindakan kekerasan. Dan teori seperti itu juga diungkapkan oleh Budi Hardiman dalam bukunya tersebut. Demikian sebaliknya, ketika saya membaca buku “Geneologi Kekuasaan Ilmu Sosial Indonesia” karya Hanneman Samuel, tiba-tiba saja saya teringat roman sejarah “Rumah Kaca” karya Pramoedya Ananta Toer.
Dalam bukunya Hanneman menunjukkan bahwa alam pikir masyarakat Indonesia (khususnya sosiolog Indonesia) sebenarnya disetir oleh penjajah Belanda dengan teori-teori sosial yang menguntungkan bagi Belanda. Pola itu diteruskan oleh Amerika Serikat yang menyetir perkembangan ilmu sosial di Indonesia, yang puncaknya adalah teori fungsionalisme structural ala Talcott Parson, yang terkenal semasa orde baru. Setiap apa yang dipikirkan oleh masyarakat ternyata ada “tangan tak terlihat” yang mendesainnya, dan menentukan arah berjalannya.
Hal ini persis seperti ketika Pramoedya menceritakan bagaimana Minke kembali usai menjalani masa pembuangannya. Arah ke mana Minke akan bergerak sebenarnya sudah terlihat di cermin yang dipasang oleh pemerintah Hindia Belanda. Bahkan, sampai pada hal ke mana Minke akan berobat pun sudah didesain sedemikian rupa. Hingga akhirnya Minke meninggal dengan sangat memprihatinkan. Kematian yang memang sudah direncanakan dengan bangunan “rumah kaca” itu. Begitulah. Menikmati karya sastra memiliki keindahan sendiri-sendiri. Cara saya menikmati karya sastra, mungkin berbeda dengan cara Anda membacanya. Saya selalu senang membaca sastra ditemani oleh secangkir kopi. Salam.
Surabaya, 28 Februari 2012