(Kisah Oei Hiem Hwie)
Dimuat di Harian Seputar Indonesia (SINDO) Jatim
Monday, 28 November 2011
Oleh : Nanang Fahrudin
KETIKA SINDO datang ke perpustakaan Medayu Agung,Oei Hiem Hwie duduk di mejanya, dan tangannya sibuk mengkliping berita koran. Di sekelilingnya buku dan klipingan koran menghiasi setiap sudut ruangan. ”Setiap kali kita membaca buku, kita sedang berdialog dengan penulisnya,” kata Pak Oei.
Buku telah menjadi bagian hidup Pak Oei. Hampir setiap langkah hidupnya selalu bergelut dengan buku. Kini Yayasan Medayu Agung menampung semua buku koleksinya yang berjumlah ribuan.Ia mempertahankan buku dengan sepenuh hatinya,bahkan nyawa menjadi taruhannya. Masih jelas ingatannya ketika tahun 1989, ada orang Australia tiba-tiba datang ke rumahnya.
Entah darimana ia mengetahui koleksi buku-buku kuno,Pak Oei pun sempat bingung. Apalagi bule itu menawar buku-buku Pak Oei dengan harga cukup tinggi yakni Rp1 miliar tapi ditolak. Menolak uang Rp1 miliar memang pilihan yang bukan main-main.Bagi Pak Oei,buku tak kan pernah dinilai dengan uang. Apalagi, buku, kliping, maupun catatan-catatan yang menjadi koleksinya memiliki sejarah panjang yang berliku.
Sebagian koleksinya adalah buku yang selamat dari operasi tentara saat ia menjadi tahanan politik (tapol). Usia Pak Oei kini memang sudah 76 tahun.Tapi ia masih begitu ingat dengan jelas bagaimana ia ikut menyelamatkan naskah-naskah Pramoedya Ananta Tour yang ditulis di Pulau Buru. Karena ia dan Pram berada di satu unit,yakni Unit IV Savana Jaya. Salah satunya adalah naskah ”Bumi Manusia” yakni bagian pertama dari tertalogi Pram.
Saat itu tahun 1978 ia dibebaskan dari Pulau Buru. Sedang Pram masih harus mendekam di sana.Pada waktu keluar dari Pulau Buru ia dititipi Pram naskah yang ditulis tangan.Pak Oei pun menyanggupi dan menaruh naskah asli ”Bumi Manusia” di antara pakaian-pakaian yang hendak dibawa pulang. Ia bersyukur bisa lolos dari pemeriksaan. ”Padahal, kalau sampai ketahuan, saya bisa dibunuh di situ,”katanya.
Tahun 1979 Pramoedya keluar dari pengasingan di Pulau Buru. Pak Oei berusaha mengembalikan naskah asli tersebut. Tapi Pram hanya mem-fotocopy saja dan naskah asli tetap diserahkan kepada Pak Oei.Naskah asli itu pun sampai saat ini masih tersimpan baik di salah satu etalase perpustakaan Medayu Agung. Tak hanya naskah ”Bumi Manusia” saja, saat di Pulau Buru, Pak Oei juga banyak membantu Pram menulis naskah lain seperti ”Arok Dedes”.
Saat itu di Unit VI ada tapol bernama Prof. Puradisastra. Pram meminta Pak Oei menemuinya dan mewawancarai tentang Ken Arok dan Ken Dedes.Karena Pram sudah agak lupa dengan cerita tersebut. ”Akhirnya sambil membawa singkong, saya menyelinap bertemu dengan profesor itu dan mewawancarainya. Saya mencatatnya dan saya serahkan kepada Pram. Lalu Pram ingat dan menulis naskah Arok Dedes,” katanya.Bagi para pecinta buku akan ”iri”jika melihat koleksinya.
Di perpustakaan tersebut ada ruangan berbeda yakni ”Ruang Koleksi Langka”dan ”Ruang Koleksi Khusus”. Di rak depan banyak bukubuku langka. Seperti ”Sam Kok” yang dicetak tahun 1910 dan 1911.Ada juga buku ”Max Havelar” karya Multatuli yang masih menggunakan bahasa Belanda. Pak Oei juga memiliki kliping koran Jerman yang memuat foto Adolf Hitler pada pembukaan Olimpiade Berlin 1 Agustus 1936.
Dimuat di Harian Seputar Indonesia (SINDO) Jatim
Monday, 28 November 2011
Oleh : Nanang Fahrudin
KETIKA SINDO datang ke perpustakaan Medayu Agung,Oei Hiem Hwie duduk di mejanya, dan tangannya sibuk mengkliping berita koran. Di sekelilingnya buku dan klipingan koran menghiasi setiap sudut ruangan. ”Setiap kali kita membaca buku, kita sedang berdialog dengan penulisnya,” kata Pak Oei.
Buku telah menjadi bagian hidup Pak Oei. Hampir setiap langkah hidupnya selalu bergelut dengan buku. Kini Yayasan Medayu Agung menampung semua buku koleksinya yang berjumlah ribuan.Ia mempertahankan buku dengan sepenuh hatinya,bahkan nyawa menjadi taruhannya. Masih jelas ingatannya ketika tahun 1989, ada orang Australia tiba-tiba datang ke rumahnya.
Entah darimana ia mengetahui koleksi buku-buku kuno,Pak Oei pun sempat bingung. Apalagi bule itu menawar buku-buku Pak Oei dengan harga cukup tinggi yakni Rp1 miliar tapi ditolak. Menolak uang Rp1 miliar memang pilihan yang bukan main-main.Bagi Pak Oei,buku tak kan pernah dinilai dengan uang. Apalagi, buku, kliping, maupun catatan-catatan yang menjadi koleksinya memiliki sejarah panjang yang berliku.
Sebagian koleksinya adalah buku yang selamat dari operasi tentara saat ia menjadi tahanan politik (tapol). Usia Pak Oei kini memang sudah 76 tahun.Tapi ia masih begitu ingat dengan jelas bagaimana ia ikut menyelamatkan naskah-naskah Pramoedya Ananta Tour yang ditulis di Pulau Buru. Karena ia dan Pram berada di satu unit,yakni Unit IV Savana Jaya. Salah satunya adalah naskah ”Bumi Manusia” yakni bagian pertama dari tertalogi Pram.
Saat itu tahun 1978 ia dibebaskan dari Pulau Buru. Sedang Pram masih harus mendekam di sana.Pada waktu keluar dari Pulau Buru ia dititipi Pram naskah yang ditulis tangan.Pak Oei pun menyanggupi dan menaruh naskah asli ”Bumi Manusia” di antara pakaian-pakaian yang hendak dibawa pulang. Ia bersyukur bisa lolos dari pemeriksaan. ”Padahal, kalau sampai ketahuan, saya bisa dibunuh di situ,”katanya.
Tahun 1979 Pramoedya keluar dari pengasingan di Pulau Buru. Pak Oei berusaha mengembalikan naskah asli tersebut. Tapi Pram hanya mem-fotocopy saja dan naskah asli tetap diserahkan kepada Pak Oei.Naskah asli itu pun sampai saat ini masih tersimpan baik di salah satu etalase perpustakaan Medayu Agung. Tak hanya naskah ”Bumi Manusia” saja, saat di Pulau Buru, Pak Oei juga banyak membantu Pram menulis naskah lain seperti ”Arok Dedes”.
Saat itu di Unit VI ada tapol bernama Prof. Puradisastra. Pram meminta Pak Oei menemuinya dan mewawancarai tentang Ken Arok dan Ken Dedes.Karena Pram sudah agak lupa dengan cerita tersebut. ”Akhirnya sambil membawa singkong, saya menyelinap bertemu dengan profesor itu dan mewawancarainya. Saya mencatatnya dan saya serahkan kepada Pram. Lalu Pram ingat dan menulis naskah Arok Dedes,” katanya.Bagi para pecinta buku akan ”iri”jika melihat koleksinya.
Di perpustakaan tersebut ada ruangan berbeda yakni ”Ruang Koleksi Langka”dan ”Ruang Koleksi Khusus”. Di rak depan banyak bukubuku langka. Seperti ”Sam Kok” yang dicetak tahun 1910 dan 1911.Ada juga buku ”Max Havelar” karya Multatuli yang masih menggunakan bahasa Belanda. Pak Oei juga memiliki kliping koran Jerman yang memuat foto Adolf Hitler pada pembukaan Olimpiade Berlin 1 Agustus 1936.