Senin, 28 November 2011

PILIH BUKU DARIPADA UANG RP1 MILIAR

(Kisah Oei Hiem Hwie)



Dimuat di Harian Seputar Indonesia (SINDO) Jatim
Monday, 28 November 2011

Oleh : Nanang Fahrudin

KETIKA SINDO datang ke perpustakaan Medayu Agung,Oei Hiem Hwie duduk di mejanya, dan tangannya sibuk mengkliping berita koran. Di sekelilingnya buku dan klipingan koran menghiasi setiap sudut ruangan. ”Setiap kali kita membaca buku, kita sedang berdialog dengan penulisnya,” kata Pak Oei.


Buku telah menjadi bagian hidup Pak Oei. Hampir setiap langkah hidupnya selalu bergelut dengan buku. Kini Yayasan Medayu Agung menampung semua buku koleksinya yang berjumlah ribuan.Ia mempertahankan buku dengan sepenuh hatinya,bahkan nyawa menjadi taruhannya. Masih jelas ingatannya ketika tahun 1989, ada orang Australia tiba-tiba datang ke rumahnya.

Entah darimana ia mengetahui koleksi buku-buku kuno,Pak Oei pun sempat bingung. Apalagi bule itu menawar buku-buku Pak Oei dengan harga cukup tinggi yakni Rp1 miliar tapi ditolak. Menolak uang Rp1 miliar memang pilihan yang bukan main-main.Bagi Pak Oei,buku tak kan pernah dinilai dengan uang. Apalagi, buku, kliping, maupun catatan-catatan yang menjadi koleksinya memiliki sejarah panjang yang berliku.

Sebagian koleksinya adalah buku yang selamat dari operasi tentara saat ia menjadi tahanan politik (tapol). Usia Pak Oei kini memang sudah 76 tahun.Tapi ia masih begitu ingat dengan jelas bagaimana ia ikut menyelamatkan naskah-naskah Pramoedya Ananta Tour yang ditulis di Pulau Buru. Karena ia dan Pram berada di satu unit,yakni Unit IV Savana Jaya. Salah satunya adalah naskah ”Bumi Manusia” yakni bagian pertama dari tertalogi Pram.

Saat itu tahun 1978 ia dibebaskan dari Pulau Buru. Sedang Pram masih harus mendekam di sana.Pada waktu keluar dari Pulau Buru ia dititipi Pram naskah yang ditulis tangan.Pak Oei pun menyanggupi dan menaruh naskah asli ”Bumi Manusia” di antara pakaian-pakaian yang hendak dibawa pulang. Ia bersyukur bisa lolos dari pemeriksaan. ”Padahal, kalau sampai ketahuan, saya bisa dibunuh di situ,”katanya.

Tahun 1979 Pramoedya keluar dari pengasingan di Pulau Buru. Pak Oei berusaha mengembalikan naskah asli tersebut. Tapi Pram hanya mem-fotocopy saja dan naskah asli tetap diserahkan kepada Pak Oei.Naskah asli itu pun sampai saat ini masih tersimpan baik di salah satu etalase perpustakaan Medayu Agung. Tak hanya naskah ”Bumi Manusia” saja, saat di Pulau Buru, Pak Oei juga banyak membantu Pram menulis naskah lain seperti ”Arok Dedes”.

Saat itu di Unit VI ada tapol bernama Prof. Puradisastra. Pram meminta Pak Oei menemuinya dan mewawancarai tentang Ken Arok dan Ken Dedes.Karena Pram sudah agak lupa dengan cerita tersebut. ”Akhirnya sambil membawa singkong, saya menyelinap bertemu dengan profesor itu dan mewawancarainya. Saya mencatatnya dan saya serahkan kepada Pram. Lalu Pram ingat dan menulis naskah Arok Dedes,” katanya.Bagi para pecinta buku akan ”iri”jika melihat koleksinya.

Di perpustakaan tersebut ada ruangan berbeda yakni ”Ruang Koleksi Langka”dan ”Ruang Koleksi Khusus”. Di rak depan banyak bukubuku langka. Seperti ”Sam Kok” yang dicetak tahun 1910 dan 1911.Ada juga buku ”Max Havelar” karya Multatuli yang masih menggunakan bahasa Belanda. Pak Oei juga memiliki kliping koran Jerman yang memuat foto Adolf Hitler pada pembukaan Olimpiade Berlin 1 Agustus 1936.

MENYAMBUNG PATAHAN SEJARAH

Dimuat di Harian Seputar Indonesia (SINDO) Jatim
Monday, 28 November 2011

Oleh : Nanang Fahrudin

SURABAYA – Buku-buku kuno ditata rapi di museum House of Sampoerna. Erwin Dian Rosyidi sang pemilik bukubuku itu berada di sana. Sangat hati-hati kala memegangnya dan sesekali menjelaskan isi buku kepada pengunjung.”Buku adalah sejarah. Buku kuno terbitan Indonesia selalu diburu kolektor,” kata Erwin kepada SINDO.

Dia adalah satu kolektor buku kuno di Surabaya. Ada kurang lebih 1.000 buku kuno miliknya yang ada di kediamannya di Jalan Kupang Krajan Kidul. Sedang yang dibawa ke museum untuk dipamerkan hanya puluhan saja.

Menurut dia, di Kota Pahlawan ini banyak kolektor buku kuno.Sayangnya belum ada komunitas yang bisa mempertemukan mereka dalam sebuah forum bersama. ”Saya menginginkan itu. Suatu saat ada komunitas para pecinta buku kuno di Surabaya,” katanya. Bagi Erwin, buku seperti lembaran sejarah yang seringkali disobek oleh penguasa dengan seenaknya.

Ketika Belanda berkuasa di nusantara,tidak sembarang buku bisa terbit. Demikian juga ketika Jepang menjajah, setiap penerbitan harus seizin tentara Dai Nippon. Sejarah itu terus berlanjut saat orde baru berkuasa dan melarang buku-buku yang dinilai berbau komunisme. ”Sejarah terbitnya buku yang begitu sulit membuat buku kuno Indonesia berbobot,” tutur pria 31 tahun ini.

Sederet buku kuno pun akhirnya sampai ke tangan Erwin setelah usaha yang begitu berliku. Salah satunya adalah buku ”Oendang-Oendang Balatentara Dai Nippon” yang diterbitkan oleh D Arnowo Soerabaia tahun 1942. Buku itu bernilai tinggi karena dikumpulkan dan diberi penjelas oleh Mr. R.Alisastroamidjojo.Dalam catatan sejarah Alisastroamidjojo adalah perdana menteri yang menjabat dua periode yakni 1953-1955 dan 1956-1957.

Meski sekarang sudah mengoleksi 1.000 buku kuno,Erwin mengaku tak berhenti memburu buku kuno. Selama ini ia baru memburu di daerahdaerah dalam negeri saja, seperti Jakarta, Semarang, Solo, Yogyakarta, Medan dan tentu di Surabaya sendiri. ”Kebanyakan info dari temen. Lalu nego harga. Kalau cocok ya saya beli,”katanya.

Buku milik Erwin semuanya sudah tidak ada di toko buku modern.Bisa disebut di antaranya buku ”Tanah Air Kita” karya NA Douwes Dekker, atau ”Keluarga Gerilja” karya Pramoedya Ananta Tour.Memburu buku baginya memiliki ceritanya sendiri. Bahkan sampai dengan cara yang terkadang tidak masuk akal. Dia mengaku pernah mengigau saat tidur.

”Kata istri saya, waktu tidur saya teriak ”buku-buku”. Eh tidak lama saya dapat buku kuno,”katanya sambil tersenyum. Sejak mengumpulkan buku- buku kuno pada usia remaja, Erwin tidak pernah bermaksud menjualnya. Ia berobsesi akan terus menambah koleksinya. Baginya,sejarah selalu patah oleh pergerakan zaman. Dan hanya buku yang selalu berusaha menyambungkan patahan- patahan itu menjadi lembaran yang ”utuh”.

Ada lagi seorang pecinta buku kuno di Surabaya adalah Oei Hiem Hwie.Pak Oei, begitu ia disapa,begitu mencintai bukubukunya. Kediamannya yang menyatu dengan perpustakaan Medayu Agung memiliki koleksi buku kuno yang tergolong lengkap. Bagi mereka pecinta buku,sangat layak berkunjung ke sana. Di sana terdapat buku-buku langka yang orang sudah jarang melihat bentuk fisiknya.

Seperti ”Mein Kampf” karya Adolf Hitler yang berbahasa Jerman terbitan tahun 1939. Fisik buku itu masih sangat bagus dengan selimut buku berlapis beludru yang cantik. ”Buku ini pemberian kakek saya,”katanya sambil menunjukkan buku itu kepada SINDO. Pak Oei juga memiliki buku kumpulan gambar keramik koleksi Adam Malik. Di buku tebal itu terdapat tanda tangan Adam Malik yang waktu itu masih menjabat wakil presiden. ”Saya diberi oleh Pak Adam Malik saat beliau datang ke pernikahan saya. Ini kado,” katanya.

Bahkan,ia juga memiliki buku koleksi patung Bung Karno.Foto-foto patung perempuan di seluruh dunia itu berupa foto asli yang ditempel seperti album foto,jadi bukan hasil printpercetakan. Koleksi buku-bukunya sebenarnya sudah tidak lengkap lagi.Karena saat isu PKI (Partai Komunis Indonesia) merebak dan orang-orang yang dianggap komunis ditangkapi,bukubuku Pak Oei yang ada di rumahnya di Malang dirampas dan dibakar.

Buku yang selamat adalah buku-buku yang disembunyikan di atas plafon oleh adiknya. ”Sebagian besar dirampas,dibakar,”katanya. Sekitar tahun 1965,Pak Oei muda menjadi wartawan harian Terompet Masjarakat yang berkantor pusat di Surabaya. Tapi ia waktu itu menjadi wartawan Terompet Masjarakat perwakilan Malang.Karena dianggap dekat dengan PKI, ia pun terpaksa hidup dari penjara ke penjara.

Mulai penjara Batu, Lowokwaru Malang, lalu dipindah ke penjara Kalisosok di Surabaya, rumah tahanan militer (RTM) Koblen,dan penjara Nusakambangan. Akhir dari perjalanannya sebagai tahanan politik (tapol) adalah ketika dibuang di Pulau Buru. Ia satu unit dengan sastrawan Pramoedya Ananta Tour, yakni di Unit IV Savana Jaya. Di Pulau Buru, hanya Pram saja yang memperoleh keistimewaan boleh menulis, karena ada protes dari dunia internasional. ”Saya banyak diminta bantuan oleh Pram dalam proses menulis karya-karyanya,” terangnya.

Kebiasaan yang sampai saat ini tak pernah berhenti adalah mengkliping majalah dan koran. Baginya dokumentasi adalah sebuah usaha mengabadikan sejarah. Ia sadar, ingatannya tidak seperti mesin. Sehingga ia membutuhkan kliping untuk mengembalikan ingatannya kepada masa lalu. ”Kliping saya lengkap, ada sejarah, sastra,dan ini ada kliping tentang PAT. PAT itu Pramoedya Ananta Tour,”katanya.

Lain Erwin lain pula Pak Oei. Dan lain pula dengan Zainal Arifin, seorang guru di Bangkalan asal Surabaya. Sejak tiga tahun terakhir warga Jalan Banyuurip ini mulai serius mengumpulkan bukubuku kuno. Hampir setiap hari ia menyusuri lapak-lapak buku bekas di Jalan Semarang dan Pasar Blauran. ”Koleksi saya baru 200 an.Masih sedikit,”katanya.

Dia lalu menunjukkan buku sejarah berjudul ”G30S di Hadapan Mahmilub 2 di Djakarta”. Buku itu diterbitkan oleh Pusat Pendidikan dan Kehakiman AD tahun 1966. Baginya buku kuno memiliki nilai lebih tinggi dibandingkan dengan buku-buku cetakan baru. ”Buku kuno ditulis dengan sangat teliti, pakai perasaan. Sehingga memiliki kualitas sangat bagus,”katanya.

Zainal mengaku sejak SD sudah senang dengan buku-buku kuno. Karena dia menggemaribukusejarah. Bahkan,sampai saat ini ia lebih senang membaca buku-buku yang ditulis menggunakan bahasa Indonesia ejaan Van Ophuijsen,seperti memakai kata jang dan bukan yang.”Saya lebih bisa menangkap isinya saja,”katanya.

Sementara itu, bergairahnya dunia buku kuno di Surabaya dibenarkan oleh Indra,salah satu penjual buku bekas di Jalan Semarang. Ia memiliki beberapa pelanggan yang selalu membeli buku kuno miliknya. Ia ingat pernah menjual buku koleksi lukisan Bung Karno lima jilid.Buku itu dijual seharga Rp5 juta.Selain itu bukubuku sastra lama juga banyak diminati pasar, terutama para kolektor.

Jumat, 11 November 2011

BLOK CEPU, PILKADA, DAN MASA DEPAN BOJONEGORO

Oleh : Nanang Fahrudin


Sebentar lagi, tepatnya tanggal 10 Desember 2007 mendatang Kabupaten Bojonegoro akan punya gawe besar yaitu Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pilkada yang pertama kalinya dilakukan secara langsung dipilih oleh masyarakat ini bisa dibilang berbeda dengan pilkada di daerah lain, di Jawa Timur. Pasalnya, tidak hanya menentukan wajah kabupaten berpenduduk 1,3 juta jiwa dalam kurun lima tahun ke depan, melainkan juga Bojonegoro puluhan tahun ke depan.

Salah satu penyebab utamanya adalah adanya eksplorasi dan eksploitasi ladang minyak dan gas bumi (migas) Blok Cepu yang ada di Kecamatan Ngasem, wilayah
selatan Bojonegoro. Korelasi antara Bupati – Wakil Bupati terpilih dengan pengelolaan sumber daya alam (SDA) itu sangat menentukan nasib masyarakat Bojonegoro secara khusus, dan masyarakat Jawa Timur pada umunya.

Saat ini, Blok Cepu yang konon mempunyai kandungan minyak terbesar di Asia Tenggara yaitu 250 juta barel, sudah pada tahap eksplorasi di beberapa sumur, di antaranya di dua sumur yang berada di lapangan Banyuurip. Dan dalam waktu dekat, sumur Alas Tuo Barat, Alas Tuo Timur, dan Kedung Keris yang berada di Kecamatan Kalitidu, dan Kecamatan Ngasem juga akan mulai dieksplorasi. ExxonMobil Oil Indonesia (EMOI) menargetkan 2008 sudah mulai produksi minyak meski dengan jumlah kecil di bawah 20.000 barel/hari, dan mencapai puncaknya tahun 2010 nanti sebanyak 165.000 barel/hari.

Jika diasumsikan (secara kasar) produksi mulai tahun 2008 sebesar 20.000 barel/hari maka uang yang akan keluar dari perut bumi di Blok Cepu mencapai USD 1,6
juta/hari atau Rp14,4 miliar/hari (itu dihitung jika 1 barel : USD 80 dan USD 1 : Rp9000). Tidak mengherankan jika survey Bank Indonesia, pendapatan asli Kabupaten Bojonegoro saat produksi minyak di Blok Cepu bisa mencapai Rp1,9 triliun/tahun. Pendapatan dengan angka demikian, akan menjadi pendapatan daerah paling tinggi di Jawa Timur, dan bahkan mungkin terbesar di Indonesia.

Aliran dana yang luar biasa besar itu masuk ke kas daerah Kabupaten Bojonegoro, nantinya dipastikan akan membuat shock birokrasi yang ada. Apalagi, pendapatan asli daerah (PAD) Bojonegoro tahun 2006 hanya Rp39 miliar dan naik menjadi Rp45 miliar tahun 2007 ini.

Sehingga dengan adanya peningkatan pendapatan yang berlipat-lipat itu mengharuskan manajemen daerah bekerja maksimal, agar jangan sampai uang itu hanya
menguntungkan sekelompok orang saja.

Di sinilah sebenarnya titik tolak pelaksanaan pilkada Bojonegoro 10 Desember mendatang. Artinya, setelah kepala daerah terpilih dan dilantik pada 8 Pebruari 2008, maka tugas utamanya adalah melakukan manajemen yang baik terhadap aliran dana yang setiap tahunnya mengalami kenaikan. Karena, Kepala Daerah dan DPRD mempunyai kewenangan mengatur keuangan daerahnya. Apalagi pada tahun itu, produksi awal Blok Cepu sudah dimulai.

Dalam kaitannya dengan keberadaan ladang minyak Blok Cpu itu, Pemkab seharusnya berada pada posisi “mengamankan” warganya dari ancaman “kematian” di
lumbung padi. Karena logika sederhadanya, keberadaan Blok Cepu akan mengundang kekuatan modal (kapital) dan kekuasaan (politik) untuk “terjun” ke Bojonegoro.
Tujuannya satu, yaitu ikut menikmati kekayaan alam, yaitu migas. Sehingga, ibarat ayam, pemkab harus menjadi induk ayam yang mampu melindungi warganya dari
terkaman binatang buas. Caranya, di antaranya membuat aturan-aturan yang berpihak masyarakat, hingga mengelola keuangan daerah dengan baik untuk kepentingan masyarakat.

Karena ternyata, kondisi riil sebagian besar masyarakat Bojonegoro saat ini masih jauh dari kesiapan menyongsong era industrialisasi yang sering didengung-dengungkan Pemkab Bojonegoro. Salah satu contoh konkretnya, dua kecamatan yang menjadi lokasi
ekplorasi migas Blok Cepu yaitu Kecamatan Kalitidu dan Ngasem mempunyai angka pengangguran cukup tinggi.

Bahkan, secara umum di Bojonegoro tahun 2006 masih terdapat 10.000 lebih warga yang menyandang prediket buta huruf. Apalagi, di sekitar Blok Cepu
masyarakatnya masih banyak yang miskin, dan sebagian besar buruh tani dengan status lahan pertanian tadah hujan.

Beban berat itulah yang nantinya akan dipikul di pundak kepala daerah yang terpilih dalam pilkada mendatang. Tantangannya, apakah mereka mampu melindungi, mensejahterakan, dan mengabdikan diri untuk kepentingan masyarakat luas. Dan penulis sendiri tidak mau berandai-andai tentang kinerja kepala daerah nanti. Karena siapapun dari tiga calon yang terpilih, mau tidak mau ia harus mampu mengemban tugas berat tersebut, karena apa yang dilakukan akan menjadi catatan sejarah Bojonegoro ke depan.

Untuk memprediksi kemampuan kepala daerah mengemban tugas itu, penulis lebih suka melihat keberhasilan kepala daerah terpilih sangat ditentukan oleh berbagai
faktor. Dan “faktor” itu melingkar seperti cincin yang berlapis-lapis. Lapis pertama adalah pada rumah tangga Bupati dan Wakil Bupati itu sendiri. Kedua jabatan politik itu pasti akan memunculkan sharing kekuasaan dan menentukan “batas kekuasaan politik” antara bupati dan wakilnya. Sharing kekuasaan itu akan memakan waktu
lama jika keduanya mempunyai kekuasaan politik yang besar, dan itu berarti menunda langkah pemkab secara institusional.

Jika lapis pertama sudah bisa diatasi antara bupati dan wakilnya, maka langkah akan beralih pada lapis kedua, yaitu parpol pengusung. Parpol pengusung ini sering menjadi hambatan kepala daerah dalam menentukan arah kebijakan, karena mereka juga meminta jatah “kue” kekuasaan sebagai kompensasi dukungan yang mereka berikan. Jika parpol pengusung ini tidak “serakah”, maka kebijakan yang menyangkut kepentingan umum akan cepat terlaksana, seperti kesehatan dan pendidikan gratis.

Dengan menggunakan analisa itu, artinya bupati – wakil bupati Bojonegoro nantinya tidak mungkin langsung bisa start untuk menjadi induk bagi anak-anaknya. Banyak kendala yang harus dilalui agar mampu menjalankan roda pemerintahan dengan baik. Jika tidak, maka roda pemerintahan itu akan bergerak liar dan malah menabrak warganya sendiri. Padahal, di sisi lain produksi minyak sudah dimulai dan warga
membutuhkan “rasa manis” dari apa yang keluar dari bumi Bojonegoro.

Oleh karena itu, sekali lagi, pilkada Bojonegoro tahun ini mempunyai bobot yang jauh lebih berat dibandingkan dengan pilkada sebelumnya. Sehingga, terlebih penting lagi, masyarakat Bojonegoro yang mempunyai hak pilih, memiliki tanggungjawab moral
untuk membawa perubahan Bojonegoro ke depan. Jika warga salah memilih pemimpin, maka risikonya akan sangat besar bagi masa depan. Lalu siapa yang pantas dipilih?. Untuk menjawab itu sebaiknya dikembalikan kepada hati nurani masyarakat saja. Wallahu A’lam.

Nanang Fahrudin
Alumni FISIP Universitas Muhammadiyah Malang, warga Bojonegoro.

Jumat, 04 November 2011

BOJONEGORO HENDAK MELANGKAH KE MANA?

Oleh : Nanang Fahrudin

(atau klik : http://blokbojonegoro.com/read/module/20110920/bojonegoro-hendak-melangkah-ke-mana.html )

Ladang minyak Blok Cepu di wilayah selatan Kabupaten Bojonegoro telah begitu banyak merubah wajah daerah. Pendapatan daerah meningkat seiring pendapatan dari sektor minyak. Tahun 2010, minyak memasok pendapatan daerah Rp 169 miliar. Sektor minyak benar-benar menjadi sebuah pusat pembangunan sektor lain. Semua pengembangan daerah dimaksudkan menopang bisnis minyak tersebut.

Rumah sakit bertaraf internasional dibangun dengan landasan berpikir, bahwa Bojonegoro akan menjadi kota besar dan membutuhkan pelayanan kesehatan yang bagus. Seakan sedang berlomba, dibangunlah sekolah internasional yang akhirnya bernama Sekolah Menengah Terpadu (SMT). Dana yang ditanam di situ lebih dari Rp 100 miliar.

Sedang pihak swasta pun tak mau ketinggalan, berdirilah kafe, restoran, hotel, tempat karaoke, dan semua fasilitas yang memanjakan masyarakat berduit. Landasan berpikirnya tetaplah sama, bahwa Bojonegoro akan menjadi kota besar. Peluang bisnis layaknya kota besar lain, sangat terbuka lebar.

Tetapi, satu hal yang sering terlupakan dari hingar bingar pembangunan daerah. Yakni dimana nanti posisi masyarakat Bojonegoro yang berada di bawah garis kemiskinan. Perlu dicatat, bahwa sebagian besar masyarakat Bojonegoro masihlah sama dengan masyarakat Bojonegoro 5 atau 10 tahun lalu. Artinya, tingkat pendidikan, ekonomi dan kepekaan psikologis akan perubahan sosial tak jauh berbeda. Bisa dibilang, mereka masih berada di tempat sama sejak 5 tahun silam. Petani tetap menggarap sawahnya, pedagang kelontong tetap membuka tokonya, belantik sapi tetap jadi belantik sapi, dan seterusnya. Semua dalam kondisi sama, hasil keringat masih tak sebanding dengan harga kebutuhan yang terus melambung.

Masyarakat Bojonegoro level bawah masih berkubang pada keseharian yang relatif masih banyak yang miskin. Berada di desa-desa dengan sistem pengairan, dan pengetahuan pertanian masih tradisional. Atau berada di desa pinggir hutan yang jauh dari akses ekonomi, dengan sesekali menjadi blandong kayu jati.

Data di Pemprov Jatim menunjukkan, bahwa Bojonegoro ranking ke-5 termiskin pada tahun 2009. Dari data yang dikumpulkan Pusdalip Bakorwil II Bojonegoro, pada tahun 2009 itu jumlah rumah tangga miskin (RTM) di Kabupaten Bojonegoro sebanyak 128.981. Jumlah itu terdiri dari rumah tangga hampir miskin sebanyak 49.769 keluarga, kategori miskin sebanyak 56.456, dan sangat miskin sebanyak 22.756 keluarga.

Data itu semakin mencengangkan karena dua kecamatan, di mana ladang minyak Blok Cepu berada, menjadi kecamatan dengan jumlah keluarga miskin cukup banyak. Di Kecamatan Kalitidu misalnya terdapat 6.064 keluarga miskin, yang 1.320 di antaranya masuk kategori sangat miskin. Sedang di Kecamatan Ngasem, dimana lapangan Banyuurip berada masih terdapat 1.376 keluarga sangat miskin, 4.342 keluarga miskin, dan 4.447 keluarga hampir miskin.

Padahal, di sisi lain produksi minyak Blok Cepu sudah mulai mengalir sejak akhir 2008, dan sebelum dana minyak cair, juga telah ada dana-dana community development (comdev) yang dikucurkan kepada masyarakat sekitar ladang minyak. Artinya, keberadaan minyak di Bojonegoro belum memberikan kontribusi nyata terhadap kesejahteraan masyarakat, setidaknya dalam beberapa tahun ini. Dan jika ada yang harus bertanggungjawab terkait hal ini tentu saja pengelola keuangan daerah, yakni pemerintah daerah mulai tingkat kabupaten sampai desa. Meski, semua stakeholders lain juga harus ikut bertanggungjawab, terutama operator ladang minyak.

Ketika masyarakat bawah berkubang dengan kemiskinan dengan kondisi pendidikan yang ala kadarnya, masyarakat level tengah dan atas (pejabat, pengusaha, LSM, anggota dewan, guru, dan masyarakat terpelajar lain) banyak (saya menyebut ‘banyak’ karena harus diakui tak semuanya terperosok ke lubang itu) yang terjebak pada perebutan “kekuasaan” pragmatis.

Pada level atas terjadi persaingan berebut kapital, menyusun intrik-intrik dan sesekali membawa serta masyarakat bawah. Kita pun bertanya, kemana Bojonegoro akan melangkah. Minyak itu akan membawa berkah atau menjadi bencana bagi masyarakat?

Sebenarnya, pertanyaan itu sudah berulang kali dilontarkan oleh berbagai pihak. Jawaban pun selalu terlontar lewat kalimat-kalimat para penguasa daerah. Tapi sayang, gerak nyata di tingkat bawah malah belum dirasakan. Bojonegoro tetap Bojonegoro dengan angka kemiskinan cukup besar.

Desain Jangka Panjang

Ibarat anak ayam, gerak Bojonegoro saat ini begitu mengekor pada ‘induknya’, yakni perkembangan di dunia minyak dan segala hal yang mengelilinginya. Pembangunan daerah seperti tertuju pada satu titik sama, yaitu pendukung sektor minyak. Padahal, Bojonegoro memerlukan desain pembangunan jangka panjang. Dan Blok Cepu dengan minyaknya, hanya salah satu faktor saja. Masih banyak faktor lain yang berhak berdiri sendiri. Berdiri sendiri di sini bukan berarti tidak ada sinergi antar sektor.

Salah satu hal yang perlu adanya desain jangka panjang adalah pendidikan di Bojonegoro. Selama ini pendidikan hanya sebatas pada dinding formal yang menjadi bagian dari kurikulum nasional, atau peningkatan skill untuk memenuhi tuntutan kerja saja. Padahal, pendidikan di Bojonegoro harus bisa menentukan gerak kemajuan daerah. Oleh karena itu, upaya siapapun untuk meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat perlu diapresiasi.

Pendidikan Bojonegoro pun nantinya tidak harus mengekor pada kebutuhan agar bisa menyuplai tenaga kerja di bidang perminyakan saja, karena itu hanya akan mengecilkan makna pendidikan itu sendiri. Bojonegoro harus punya keberanian mendirikan perguruan tinggi negeri besar yang bisa bersaing dengan Universitas Jember (Unej), Universitas Brawijaya (Unibraw) dan Universitas Airlangga (Unair). Jika Bojonegoro berani melangkah ke arah sana, maka perkembangan wacana kelilmuan akan terus direproduksi di Bojonegoro sendiri, bukan direproduksi di luar Bojonegoro untuk diterapkan di Bojonegoro.

Sudah saatnya Bojonegoro dikenal dengan geliat keilmuannya, geliat kebudayaannya, geliat membaca, dan geliat kreatifitasnya. Bukan hanya dikenal dari geliat bisnisnya yang begitu terjebak pada dunia perminyakan yang menjadi pusatnya.

Mungkin saya terlalu takut melihat gerak daerah kaya sumber minyak ini hendak ke mana. Tulisan ini bukan hendak berunjuk rasa. Bukan. Tapi hanya sebuah teriakan pelan dari sudut emperan toko di antara deru mobil-mobil mewah yang mulai menari-nari di jalanan kota Bojonegoro, sambil nyruput secangkir kopi ala PKL. Salam!.

*Pegiat Sindikat Baca di Bojonegoro

Selasa, 01 November 2011

NEGARA (BUKAN) PASAR

Oleh : Nanang Fahrudin
(Dimuat di Harian Seputar Indonesia edisi Jawa Timur Minggu 30 Oktober 2011)


Bayangkan negeri kita sebagai sebuah pasar besar. Anda boleh membayangkannya dalam bentuk mal, supermarket, atau pasar krempyeng. Di sana ada transaksi kecil senilai Rp1.000, hingga transaksi besar triliunan rupiah. Di pasar itu juga barang yang diperdagangkan lumayan lengkap. Mulai terong, tomat, rumah, hingga gas alam dan minyak bumi juga tersedia. Tapi dengan catatan, cukup Anda bayangkan saja lho.

Pasar itu buka 24 jam nonstop. Tak ada syarat khusus untuk bisa bertransaksi di sana. Terpenting adalah memiliki uang. Di dalam pasar itu, semua orang larut dalam budaya menjual dan membeli. Bagi Anda yang berkantong tipis, menyingkir dululah sejenak dari pasar itu. Ah tidak perlu menyingkir juga bisa, karena Anda bisa berhutang uang untuk membeli aneka barang.

Tapi kita perlu hati-hati. Karena sekarang banyak barang bajakan dijual di pasar. Banyak barang asli tapi palsu juga dijual di pasar. Kita kesulitan membedakan mana kepentingan bersama dan mana kepentingan golongan. Kita kesulitan membedakan mana kepentingan rakyat dan mana kepentingan pejabat. Semua menjadi samar, karena dipandang sebagai transaksi jual beli.

Tak ada uang, maka tak sayang. Rumus inilah yang paling tepat untuk menggambarkan hidup di pasar. Jika kita tak punya uang, maka jangan harap bisa mendapatkan produk berupa pelayanan pendidikan berkualitas. Jika kita berkantong tipis, jangan harap bisa membeli kursi sebuah jabatan publik. Tapi jika kita kaya, jangankan membeli segala produk yang ada di pasar, kita juga bisa membeli pasarnya sekalian. Dan Anda tak perlu khawatir, membeli pasar sangat memungkinkan di sini. Karena hukum pasar menyebutkan ada penjual, ada pembeli.

Nah, apa lagi yang Anda pikirkan sekarang?. Cepat isi kantong Anda dengan uang sebanyak-banyaknya untuk membeli aneka macam produk yang Anda butuhkan. Kalau perlu, bukan untuk Anda saja, tapi sebagai cadangan untuk keluarga tujuh turunan mendatang. Mumpung pasar ini terbuka.

***

Sekali lagi, cukup kita bayangkan saja. Karena negeri kita bukan pasar dengan logika transaksional seperti itu. Negeri kita adalah negeri hukum dengan menjadikan kepentingan rakyat menjadi nomor satu. Kita punya pasal 33 undang-undang dasar 1945 yang menyebut “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat”. Jadi bukan siapa memiliki modal besar bisa menguasi bumi, air dan kekayaan alam. Sebagai warga negara, kita terlindungi.

Negeri ini juga memiliki pasal 28A undang-undang dasar yang menyebutkan “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya”. Jadi, sebagai warga negara kita dijamin untuk bisa hidup sejahtera, tak peduli kita kaya atau miskin. Kita pengusaha atau petani. Tak hanya itu, kita juga punya pasal 27 ayat 1 undang-undang dasar yang menjamin semua warga sama di hadapan hukum. Jadi jangan mengkhawatirkan jika nanti akan ada permainan hukum di negeri kita.

Negeri kita bukan pasar. Para penguasa bukanlah pedagang. Tak ada transaksi jual-beli untuk urusan kesejahteraan rakyat. Karena itu hak sebagai warga negara, dan kewajiban penguasa atas nama pemerintah. Tak ada transaksi hukum untuk keadilan. Tak ada transaksi uang politik untuk sebuah jabatan atau kebijakan. Karena negeri kita bukan pasar yang semua dilihat sebagai proses jual-beli.

Oh ya, mari kita duduk sejenak sambil minum kopi. Kita coba mengamati sekeliling kita. Melihat upaya pemberantasan korupsi, melihat reshuffle kabinet, melihat pemilihan kepala daerah, melihat anggaran APBN atau APBD. Atau kita coba melihat tetangga kita yang sedang mencari sekolah buat anaknya, melihat tetangga yang sedang sakit dan mencari obat, dan melihat tetangga kita yang sedang mengurus KTP dan akta kelahiran. Semoga tetangga kita bukan berada di sebuah negeri yang kita coba bayangkan seperti di awal tulisan ini.

Kita perlu meyakinkan diri kita lagi bahwa negeri ini bukan pasar. Ya, bukan pasar. Salam.
 
© Copyright 2035 godongpring