(Dimuat di Opini Kompas Jatim 26 Oktober 2010)
Oleh : Nanang Fahrudin
Sejak ladang minyak Blok Cepu di Bojonegoro-Jatim (sebagian di Blora-Jateng) beroperasi, keberadaannya ibarat gula yang dirubung semut. Semua kalangan berlomba mendekati pusaran ladang minyak tersebut. Tentunya mereka memiliki maksud dan tujuan yang berbeda-beda.
Sejak itu pula, proyek nasional tersebut selalu mengandung di dalamnya sebuah harapan sekaligus kekhawatiran. Apalagi, proyek Blok Cepu akan berjalan dalam jangka waktu yang panjang, yakni 30 tahun. Harapan, lantaran Blok Cepu nanti akan menghasilkan minyak sebanyak 165 barrel per hari saat produksi puncak. Konsekuensinya, pendapatan asli daerah (PAD) Bojonegoro yang kini hanya Rp 80 miliar bisa naik berlipat-lipat. Prediksi Bank Indonesia, kenaikan bisa mencapai Rp 1,9 triliun.
Di sisi lain, banyak pihak mencemaskan Blok Cepu yang hanya akan menjadikan alam Bojonegoro rusak, masyarakat dan pemerintah mengalami kekagetan luar biasa, hingga kecemasan akan uang minyak itu benar-benar untuk kesejahteraan masyarakat.
Sejak Blok Cepu membutuhkan tanah untuk proyek Central Processing Fasility (CPF) sekitar 650 hektar, sudah banyak lahan warga di Kecamatan Ngasem dan Kalitidu yang dijual. Mereka rata-rata menjual kepada spekulan. Bukan langsung kepada Mobil Cepu Limited (MCL), sang operator.
Kita dengar keluhan Yoto, salah satu warga Desa Bonorejo, Kecamatan Ngasem, yang dimuat di sebuah media lokal masyarakat sekitar Blok Cepu, Suara Banyuurip edisi 34 tahun 2010 ini. ”Tahun 2008 tanah saya dibeli dengan harga Rp 30.000 per meter,” tuturnya. Tanah itu lalu oleh pembelinya dijual ke MCL dengan harga Rp 80.000 per meter.
Cerita selanjutnya, kata Yoto, ”Saya melamar ke proyek-proyek sampai lelah tidak pernah ada panggilan. Ya saya masih menganggur sampai sekarang.” Dia mencari pekerjaan karena sawah satu-satunya sumber pendapat- an sudah dijual. Ia tergiur de- ngan harga yang ditawarkan waktu itu.
Cerita Yoto (bukan bupati Bojonegoro Suyoto) mungkin hanya salah satu dari sederet cerita panjang masyarakat sekitar Blok Cepu. Masyarakat yang sebagian besar menghabiskan waktu di ladang dan sawah. Dan cerita di balik geliat indah Blok Cepu mungkin bisa sepanjang hari yang terus berganti.
Dari sisi sosiologis, masyarakat sekitar Blok Cepu memang bisa dibilang tengah meng- alami kegagapan akan perubahan. Ketika kesehariannya berjalan normal apa adanya, jauh dari pusat kota, tiba-tiba mereka dihadapkan pada pilihan-pilihan hidup yang mendadak. Dua kecamatan yang ditempati lapangan Banyuurip jaraknya hampir 40 km dari pusat kota Bojonegoro.
Dan satu hal lagi mereka dipaksa agar berubah. Tak ada pilihan lain. Akibatnya, tak sedi- kit masyarakat yang memilih pragmatis, di antaranya menjual tanah, membuat kelompok-kelompok eksklusif untuk wadah penyampaian aspirasi, dan lain-lain.
Pertanyaannya kemudian, hendak ke mana perubahan sosial masyarakat sekitar Blok Cepu tersebut?
Strategi perubahan
Menjawab arah perubahan sosial masyarakat sekitar Blok Cepu di masa mendatang memang tidak gampang. Oleh karena itu, hal tersebut sangat berkaitan dengan strategi perubahan sosial yang dilakukan pemangku kepentingan, baik Mobil Cepu Limited (MCL) sebagai pengelola Blok Cepu, pemerintah sebagai pengelola keuangan minyak, atau LSM sebagai supporting system.
Saya ingin meminjam sebuah teori perubahan sosial untuk menganalisis masyarakat sekitar Blok Cepu. Fakta yang ada sekarang, Blok Cepu yang merupakan produk modernitas berada di tengah-tengah masyarakat yang masih tradisional. Artinya, kehadiran Blok Cepu telah memaksa perubahan di dalam masyarakat yang sebagian besar hidup dari bertani. Perubahan itu mulai pola pikir, hubungan sosial, hingga orientasi pribadi. (Blok Cepu di sini dimaknai mulai teknologi, pola kerja, orang-orang luar yang masuk, dan semua yang berhubungan dengan minyak).
Nah, itulah yang disebut oleh M Munandar Soelaiman (1998) dalam bukunya Dinamika Masyarakat Transisi sebagai masyarakat prismastik. Masyarakat dengan ”isi” campuran modernitas-tradisional yang masih kental. Masyarakat prismatik tak lain sebuah masyarakat di mana nilai tradisional tak ditinggal, tapi nilai modernitas datang tak terbendung.
Pandangan ilmiah dan non-ilmiah kental bergesekan, keterbukaan masyarakat tradisional bercampur dengan ambisi-ambisi pribadi yang merupakan akibat dari sikap individualisme. Ritual-ritual di alam yang menjadi ciri khas penyatuan alam-manusia, berhadapan dengan eksploitai alam yang hanya menempatkan alam sebagai sesuatu di luar manusia semata.
Akibatnya, seperti nama model masyarakat yang diungkapkan Munandar Soelaiman, yakni model prismatik, ibarat cahaya yang memancar ke bangunan kaca berbentuk prisma, pantulan cahaya itu menjadi memencar dan tidak memusat.
Di satu sisi, keluarga masih memegang teguh ”mangan ora mangan sing penting ngumpul”, tapi di sisi lain keluarga dihadapkan pada persaingan yang luar biasa di luar. Akibatnya, gesekan antarkelompok masyarakat di sekitar Blok Cepu menjadi menguat. Gesekan itu tak lain didasari kepentingan agar bisa mendapat ”kue” dari Blok Cepu tersebut. Besar atau kecil.
Dari (meminjam) kaca mata Munandar inilah, kita bisa mengetahui model seperti apa masyarakat sekitar Blok Cepu saat ini. Meski harus diakui, kaca mata ini bukan 100 persen mampu memotret realitas yang sebenarnya di sekitar ladang minyak tersebut. Tapi setidaknya bisa sedikit memberi gambaran bagi pemangku kepentingan untuk menentukan strategi perubahan apa yang digunakan.
Dengan kaca mata itu pula, bisa disebut bahwa strategi perubahan sosial yang dilakukan pemangku kepentingan selama ini terkesan tidak tepat sasaran.
Nanang Fahrudin Pegiat Sindikat Bacadi Bojonegoro
(bisa dilihat juga di : http://nasional.kompas.com/read/2010/10/26/03234652/)
Senin, 25 Juli 2011
Browse » Home »
Esai Warung Kopi
» Mencari Arah Perubahan Masyarakat Blok Cepu
Mencari Arah Perubahan Masyarakat Blok Cepu
Label:
Esai Warung Kopi
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar