Kamis, 21 Juli 2011

Kisah Guru Isa yang Tak Ada Ujung


(Catatan Pendek atas buku "Jalan Tak Ada Ujung" karya Mochtar Lubis)

Lama sekali rasanya aku tidak menulis catatan pendek (capen) atas buku yang kubaca. Bahkan sampai lupa buku apa yang terakhir kubaca dan kubuat capen atasnya. Maklum akhir-akhir ini aku begitu sok asyik dengan catatan-catatan ringan yang kutulis untuk dimuat di Koran Sindo Jatim edisi Minggu. Dan satu lagi, aku sok sibuk ngurusi jualan buku di www.bukulawasonline.blogspot.com

Di capen ini aku ingin menulis sesuatu yang berbeda dari capen-capenku sebelumnya. Kali ini aku bukan hendak meresensi, memaknai atau apalagi mengkritisinya. Aku hanya hendak menceritakan kembali. Aku ingin menjadi sang pencerita. Atas sebuah kisah dari buku Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis. Aku ingin menceritakan kembali dengan bahasa dan caraku sendiri. Kepada anda yang sudah pernah membaca novel ini, maaf kalau ceritaku tidak menarik dan malah mengurangi kehebatan novel ini. Dan beginilah ceritanya versiku:

***

Siang begitu panas. Jalanan berdebu putih pertanda lama tidak dijamah air hujan. Pintu pagar bambu dibuka orang dari luar. Suara langkah sepatu laras mantap mendekat. Guru Isa masih lemah di atas tempat tidur setelah dua hari dihajar malaria.

Mendengar ada polisi datang, Guru Isa mengumpulkan sisa kekuatannya untuk bangkit. Ketakutannya yang kemarin-kemarin seakan terkumpul menjadi satu siang itu. Ia sadar hari itulah akhir dari semuanya. Kedatangan polisi pasti berhubungan dengan meledaknya dua granat tangan di depan bioskop Rex dekat Pasar Senen yang menyebabkan sejumlah serdadu Belanda tewas dan lainnya luka. Apalagi sehari sebelumnya, ia membaca surat kabar bahwa salah satu pelaku telah ditangkap. Siapa kira-kira. Hazil atau Rakhmat?. Dua kawannya yang sama-sama merencanakan ledakan itu. Guru Isa semakin gemetar ketakutan.

"Apakah anda Guru Isa?"
"Ya saya"
"Kami harus membawa anda ke markas"

Dan seperti sudah tahu apa yang harus dilakukan, Guru Isa minta bekal pakaian secukupnya dan sabun mandi. Fatimah, istrinya tak henti-hentinya menangis. Tatapannya begitu kalah, kata-kata hanya menguap begitu saja. Hanya air mata yang menuturkan semuanya.

Tapi tidak dengan diri Guru Isa. Ia tak tahu makna tangisan Fatimah. Sekedar iba melihat seseorang yang ditangkap, atau sebagai istri yang kehilangan suami. Meski begitu perasaan itu hanya bertahan sekejap. Di tengah tangis istrinya dan borgol polisi, kekuatannya tiba-tiba bangkit. Ia menjadi manusia yang begitu kuat. Lebih kuat mungkin dibanding saat dia sehat sekalipun. Dan ia pun berjalan mantap diiringi polisi.

“Jaga diri baik-baik Fatimah. Jangan lupa Salim ditemani kalau tidur. Dia begitu takut dengan kegelapan,” kata Guru Isa, mungkin pesan yang terakhir diucapkan untuk istrinya.

Dalam perjalanan ke markas polisi, Guru Isa belum tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Ia masih ingat saat berjaga-jaga di sekitar gedung bioskop Rex dekat Pasar Senen. Lama ia menunggu, hingga akhirnya dua ledakan dari granat tangan terdengar. Hiruk pikuk orang berlarian. Orang terluka dan berdarah dimana-mana. Tak lama kemudian ambulance datang memberi pertolongan.

Waktu itu Guru Isa tak tahu apa yang harus dilakukan. Ia gemetar melihat darah. Ia menyumpahi dirinya yang membenci kekekerasan, tapi tetap ikut dalam barisan pemuda revolusi. Toh usianya tak muda lagi. Ia pun berjalan hendak pulang. Tapi cara jalannya menunjukkan jika dialah yang melempar granat itu. Ia merasa khawatir. Sangat takut.

Sejak itu, ia hidup tidak tenang. Pikirannya kacau. Ia takut polisi penjajah tahu dan menangkapnya. Tak hanya itu, ia juga takut dengan kenyataan di dalam rumah tangganya. Sejak ia kehilangan kelelaki-lakiannya, Fatimah hanya menganggapnya teman, bukan suami. Ia sudah kehilangan cinta Fatimah. Hingga suatu siang ia menemukan pipa rokok di bawah bantal di kamarnya. Pipa itu jelas milik Hazil. Sebagai laki-laki, ia faham apa yang dilakukan Hazil dan Fatimah di dalam kamar. Tapi ia takut melabrak Fatimah, karena khawatir Fatimah malah akan menghindar jauh. Guru Isa takut dengan kenyataan itu nanti. Dan ia sepakat dengan dirinya sendiri untuk menyimpan pipa itu dan tutup mulut. Meski hatinya sangat sakit. Di sisi lain, ia juga tak mau hubungan persahabatan dengan Hazil retak. Padahal, gerakan revolusi baru saja mulai.

Hingga pada suatu siang, dirinya dijemput oleh polisi dan dibawa ke markas. “Salah satu pelaku sudah berhasil ditangkap” kata polisi itu. Tapi siapa?. Guru Isa tak bisa menemukan jawabannya. Baru saat tiba di markas dia tahu sesosok tubuh meringkuk lemas. Dialah Hazil. Tapi Hazil yang sudah kalah, bukan Hazil yang menggenggam semangat revolusi.

“Maaf aku tak kuat menahan siksaan mereka. Akhirnya aku berkhianat menceritakan semuanya. Maaf aku benar-benar tidak tahan,” kata Hazil. Ia menyembah-nyembah meminta maaf karena tak bisa menyimpan rahasia.
“Tidak apa-apa. Yang penting kamu masih selamat,” kata Guru Isa.
“Rakhmat pasti sebentar lagi juga ditangkap”
“Lalu bagaimana nasib revolusi”
“Entahlah. Aku benar-benar kalah,”. Hazil menangis. Hazil yang begitu akrab dengan pemandangan kekerasan tak kuat menahan siksaan.

Derap langkah sepatu datang mendekat. Pintu besi dibuka. Dua orang datang mendekat.
“Buk” jotosan mendarat di lambung Guru Isa yang baru sembuh dari malaria. “Siapa komplotanmu. Ayo bicara”. “Buk” bogem mengenai rahang Guru Isa dan darah muncrat. “Mau melawan ya?”. Dan “buk”, kembali kepalan tangan mendarat di mata kirinya.

Guru Isa hanya pasrah. Ia tak lagi bisa membedakan kapan ia merasa sehat dan kapan ia merasa sakit. Ia tak kuasa menjawab semua pertanyaan polisi-polisi itu. Dirinya diserahkan sepenuhnya kepada polisi. Mati pun tak mengapa, begitu dalam pikirannya. Dan hampir setiap hari Guru Isa menerima siksaan. Entah mengapa, pada akhirnya ia malah berubah menjadi kuat. Tak lagi ia merasakan sakit saat lambungnya ditendang, matanya dihantam, atau tengkuknya dipukul. Ia hanya melihat sebuah jalan yang gelap, jalan yang tak pernah ada ujung. Ya, jalan yang dilaluinya memang tak pernah ada ujung.

***

Begitulah akhir cerita. Memang lebih baik anda membaca sendiri novel tersebut. Novel yang begitu indah. Dan aku hanya sebagai sang pencerita yang mungkin tidak bisa menceritakan dengan baik. Salam!.

Surabaya 5 Juli 2011
Ditemani segelas kopi hitam dan tumpukan buku

0 komentar:

 
© Copyright 2035 godongpring