Oleh : Nanang Fahrudin
(Catatan Minggu Harian Seputar Indonesia edisi Jatim 10 Juli 2011)
“Banyak sekali negara-negara merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan itu satu sama lainnya!. Samakah isinya? Samakah derajatnya negara-negara merdeka itu?”. Pertanyaan kritis itu dilontarkan Ir. Soekarno pada Juni 1945 di hadapan anggota Dokuritsu Junbi Cyousakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Saat itu Bung Karno belum menjabat presiden RI.
Pertanyaan itu pula yang patut kita dengungkan kembali di saat bangsa ini terlilit masalah yang tak kunjung usai. Meski dalam konteks yang berbeda. Saat ini, di negeri ini, orang yang diduga korupsi, malah asyik melancong di luar negeri. Tahanan di bui tapi bebas kesana kemari. Belum lagi bangsa Indonesia yang besar ini hanya bisa melihat dan merelakan salah satu warganya dipancung di luar negeri. Sungguh ironis.
Dulu, Malaysia tidak diperhitungkan di kancah politik luar negeri. Tapi kini, Malaysia menjadi bangsa yang berlari dan meninggalkan Indonesia jauh di belakang. Singapura, dulu hanyalah negeri kecil di bawah koloni Inggris. Tapi kini, Singapura sangat diperhitungkan bagi gerak ekonomi dunia, khususnya kawasan asia.
Lalu bagaimana dengan Indonesia. Masalah silih berganti, melingkar-lingkar tak ada ujungnya. Gerakan reformasi tahun 1998 yang lahir untuk melindas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), kini malah dikangkangi oleh korupsi. Hampir semua lembaga tidak luput dari “penyakit” korupsi. Lagi-lagi, kita hanya bisa mengelus dada.
Saya teringat lelucon dalam sebuah buku humor “Mati Ketawa Cara Rusia”. Alkisah ada seorang laki-laki yang dua telinganya diperban. Lalu ditanyalah laki-laki itu.
“Kenapa telinga kananmu?”.
Laki laki itu menjawab “Saat saya menyetrika, telepon berdering. Dan saya tempelkan setrika itu ke telinga, karena saya kira setrika itu pesawat telepon”.
“Lalu kenapa telinga yang satunya?”.
“Saya salah angkat lagi, saat hendak menelpon dokter”.
Begitulah. Bangsa ini selalu terperosok pada lubang yang sama berkali-kali. Ketika tahun ajaran baru, semua orang akan ribut dengan biaya pendidikan mahal. Pemerintah pun selalu berjanji meningkatkan pelayanan pendidikan, dengan menaikkan dana pendidikan. Tapi sudah menjadi rutinitas, biaya itu kembali menjadi isu nasional lantaran biaya pendidikan masih begitu mahalnya. Dan parahnya, masalah itu (pasti) akan tetap menjadi masalah pada tahun mendatang. Seakan, masalah tersebut sudah wajar ada seiring masa pergantian ajaran baru.
Gerak bangsa yang selalu melingkar itu juga tampak hampir pada setiap bidang. Di politik daerah misalnya, seorang kepala daerah yang baru dilantik akan menjanjikan sesuatu yang lebih baik dibandingkan dengan kepala daerah sebelumnya. Tapi, “keributan politik” selalu akan muncul ketika menjelang pemilihan kepala daerah lima tahun setelahnya. Sedang di bidang ekonomi, kemandirian ekonomi menjadi jargon di mana-mana. Tapi kenyataan berbicara lain, karena hanya orang-orang tertentu saja bisa menikmati akses ekonomi. Pengusaha kecil akan menghadapi masalah yang mungkin 10 tahun yang lalu sama, yakni tidak adanya modal.
Jalan melingkar itulah yang kini ditapaki bangsa ini. Roda-rodanya terus menggelinding bergerak maju. Namun, akan sampai pada titik yang sama untuk kemudian mengelinding lagi dan sampai pada titik yang sama lagi. Subtansi masalah bangsa tetap membentang. Korupsi di mana-mana, biaya pendidikan mahal, sebagian besar masyarakat hanya menjadi konsumen, dan politik hanya sekedar dimaknai sebagai ladang bekerja mencari uang. Dan semua masalah itu tetap saja berjalan, meski era reformasi sudah dimulai pada 13 tahun yang lalu.
Tulisan pendek ini akan saya tutup dengan lanjutan penggalan pidato Bung Karno. Menurut sang presiden “Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak!. Bahkan saya berkata : Di dalam Indonesia merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan kita sekarang, lain coraknya”. Salam.
Senin, 11 Juli 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar