Senin, 25 Juli 2011

SHOPAHOLIC HORE


Oleh : Nanang Fahrudin
(Catatan di Koran Seputar Indonesia edisi Jatim pada 24 Juli 2011)

Mari kita rayakan zaman ini. Shopaholic Hore!. Semua asyik berbelanja. Anak-anak remaja antre berjam-jam untuk membeli tiket nonton penampilan Jastin Bieber. Para ibu-ibu duduk-duduk bergerombol sambil cas-cis-cus di kafe lantai empat sebuah mal. Sedang para bapak yang terhormat memilih-milih lukisan yang dipamerkan di hotel berbintang lima. Pulang ke rumah, mereka bertemu, bersenda gurau menunjukkan kehebatan masing-masing mendapatkan barang-barang buruannya.

Sementara di sudut gang sempit, anak usia SD merengek kepada bapaknya minta dibelikan ponsel nokia 3G. Hape yang digenggamnya tak sama dengan hape yang dibawa teman-temannya saat bermain di bawah pohon keres. Sang anak menangis karena selalu diejek teman-temannya. Sang bapak pun tak tega dan berjanji saat gaji guru bulan depan cair, anaknya akan dibelikan hape yang diinginkannya.

Ya, semangat berbelanja benar-benar sedang menggelora. Belanja telah menemukan “dirinya” yang sebenarnya. Tak peduli kaya atau miskin. Entah bagaimana ceritanya, belanja telah bergandengan dengan pariwisata sehingga lahirnya istilah : wisata belanja. Belanja juga berubah menjadi kebutuhan psikologis, bukan kebutuhan biologis semata. Ketika anda membeli jam tangan, bukan jam tangan lagi yang anda butuhkan tapi merek dan harganya. Ketika sedang depresi, belanja bisa menjadi obat, seperti Brietny Spears yang menghabiskan ….. untuk memulihkan psikologisnya dari depresi. Kok bisa?. Itulah shopaholic, dan sekarang sedang dirayakan oleh hampir semua orang.

Shopaholic sendiri berasal dari kata shop yang berarti belanja, dan aholic yang bermakna sebuah kebiasaan atau ketergantungan terhadap hal yang dilakukan dengan sadar atau pun tidak. Jadi shopaholic adalah ketergantungan seseorang akan belanja, disadari ataupun tidak. Anda mudah menemukan orang-orang yang terjangkit shopaholic itu. Bahkan mungkin menemukannya pada diri kita sendiri. Bukan pada orang lain.

“Ya normal lah. Sekarang memang zamannya demikian. Tak ada yang salah dengan berbelanja kan?” tanya kawanku. Ya, memang tak ada yang salah, bahkan sangat benar mungkin. Belanja akan menggerakkan roda ekonomi. Ketika roda ekonomi bergeliat, berarti “pasar” dalam kondisi sehat.

Tapi pernahkah kita bertanya, siapa yang diuntungkan?. Kenapa kita harus belanja barang-barang yang seringkali tidak dibutuhkan?. Bukankah barang-barang yang kita beli memiliki harga selangit akibat persaingan dengan barang-barang lainnya?. Ketika perusahaan-perusahaan besar memproduksi barang-barang konsumsi, mereka memberi sejuta pilihan kepada kita. Tapi bagi kita, tak ada pilihan kecuali merayakannya, menjadi shopaholic dan melompat girang sambil berteriak : horeee….

Istilah “wisata belanja” dan “menjadi shopaholic” telah menjadi mitos di zaman ini. Ketika kita bukan shopaholic, kita belumlah menjadi manusia sempurna. Dorongan shopaholic begitu kuat merasuk dalam diri seseorang. Ketika Rasul Muhammad memberi tuntunan “makanlah ketika merasa lapar”, kini dirubah menjadi “makanlah di restoran atau kafe, ada masakan Italia atau masakan Jepang”. Ketika agama menuntun “isi sepertiga perutmu dengan makanan, sepertiganya dengan air, dan sepertiganya lagi dengan angin”, kini mungkin yang terjadi adalah “isilah sepertiga rumahmu dengan mobil, sepertiganya dengan perhiasan emas, dan sepertiganya perabot mahal dari tanah Tiongkok”.

Hmm….mari kita tarik nafas panjang. Duduk di kursi malas sejenak, menikmati suara deburan ombak imitasi dari layar televisi, membuka buku berisi pikiran-pikiran Sekolah Frankfurt teori kritis masyarakat, dan sesekali mendengar seruan Nabi yang keluar dari compact disk “tidak bakal susah orang yang hidup sederhana,” sebuah hadits riwayat Imam Ahmad. Kalo butuh merenung lebih lama, pesan saja kopi lewat telepon genggang yang ada di saku anda.

Apa yang anda pikirkan sekarang?. Memilih hidup sederhana (membatasi konsumsi, selalu menimbang arah budaya masyarakat, membanding-bandingkan rasionalitas dengan irasionalitas saat berbelanja), atau memilih hidup yang juga sederhana (menjadi sophaholic, ceria di mal, bisa berwisata belanja tiap hari, tak perlu berpikir berat-berat, yang penting sukses memiliki uang banyak tak peduli cara mendapatkannya). Jika anda memilih yang pertama, anda berada di lingkaran kecil. Sedang jika anda memilih pilihan kedua, banyak teman anda yang siap menyertai. Bisa tertawa lepas merayakan shopaholic, sambil berteriak : horeeee…..

Mencari Arah Perubahan Masyarakat Blok Cepu

(Dimuat di Opini Kompas Jatim 26 Oktober 2010)

Oleh : Nanang Fahrudin

Sejak ladang minyak Blok Cepu di Bojonegoro-Jatim (sebagian di Blora-Jateng) beroperasi, keberadaannya ibarat gula yang dirubung semut. Semua kalangan berlomba mendekati pusaran ladang minyak tersebut. Tentunya mereka memiliki maksud dan tujuan yang berbeda-beda.

Sejak itu pula, proyek nasional tersebut selalu mengandung di dalamnya sebuah harapan sekaligus kekhawatiran. Apalagi, proyek Blok Cepu akan berjalan dalam jangka waktu yang panjang, yakni 30 tahun. Harapan, lantaran Blok Cepu nanti akan menghasilkan minyak sebanyak 165 barrel per hari saat produksi puncak. Konsekuensinya, pendapatan asli daerah (PAD) Bojonegoro yang kini hanya Rp 80 miliar bisa naik berlipat-lipat. Prediksi Bank Indonesia, kenaikan bisa mencapai Rp 1,9 triliun.

Di sisi lain, banyak pihak mencemaskan Blok Cepu yang hanya akan menjadikan alam Bojonegoro rusak, masyarakat dan pemerintah mengalami kekagetan luar biasa, hingga kecemasan akan uang minyak itu benar-benar untuk kesejahteraan masyarakat.

Sejak Blok Cepu membutuhkan tanah untuk proyek Central Processing Fasility (CPF) sekitar 650 hektar, sudah banyak lahan warga di Kecamatan Ngasem dan Kalitidu yang dijual. Mereka rata-rata menjual kepada spekulan. Bukan langsung kepada Mobil Cepu Limited (MCL), sang operator.

Kita dengar keluhan Yoto, salah satu warga Desa Bonorejo, Kecamatan Ngasem, yang dimuat di sebuah media lokal masyarakat sekitar Blok Cepu, Suara Banyuurip edisi 34 tahun 2010 ini. ”Tahun 2008 tanah saya dibeli dengan harga Rp 30.000 per meter,” tuturnya. Tanah itu lalu oleh pembelinya dijual ke MCL dengan harga Rp 80.000 per meter.

Cerita selanjutnya, kata Yoto, ”Saya melamar ke proyek-proyek sampai lelah tidak pernah ada panggilan. Ya saya masih menganggur sampai sekarang.” Dia mencari pekerjaan karena sawah satu-satunya sumber pendapat- an sudah dijual. Ia tergiur de- ngan harga yang ditawarkan waktu itu.

Cerita Yoto (bukan bupati Bojonegoro Suyoto) mungkin hanya salah satu dari sederet cerita panjang masyarakat sekitar Blok Cepu. Masyarakat yang sebagian besar menghabiskan waktu di ladang dan sawah. Dan cerita di balik geliat indah Blok Cepu mungkin bisa sepanjang hari yang terus berganti.

Dari sisi sosiologis, masyarakat sekitar Blok Cepu memang bisa dibilang tengah meng- alami kegagapan akan perubahan. Ketika kesehariannya berjalan normal apa adanya, jauh dari pusat kota, tiba-tiba mereka dihadapkan pada pilihan-pilihan hidup yang mendadak. Dua kecamatan yang ditempati lapangan Banyuurip jaraknya hampir 40 km dari pusat kota Bojonegoro.

Dan satu hal lagi mereka dipaksa agar berubah. Tak ada pilihan lain. Akibatnya, tak sedi- kit masyarakat yang memilih pragmatis, di antaranya menjual tanah, membuat kelompok-kelompok eksklusif untuk wadah penyampaian aspirasi, dan lain-lain.

Pertanyaannya kemudian, hendak ke mana perubahan sosial masyarakat sekitar Blok Cepu tersebut?

Strategi perubahan

Menjawab arah perubahan sosial masyarakat sekitar Blok Cepu di masa mendatang memang tidak gampang. Oleh karena itu, hal tersebut sangat berkaitan dengan strategi perubahan sosial yang dilakukan pemangku kepentingan, baik Mobil Cepu Limited (MCL) sebagai pengelola Blok Cepu, pemerintah sebagai pengelola keuangan minyak, atau LSM sebagai supporting system.

Saya ingin meminjam sebuah teori perubahan sosial untuk menganalisis masyarakat sekitar Blok Cepu. Fakta yang ada sekarang, Blok Cepu yang merupakan produk modernitas berada di tengah-tengah masyarakat yang masih tradisional. Artinya, kehadiran Blok Cepu telah memaksa perubahan di dalam masyarakat yang sebagian besar hidup dari bertani. Perubahan itu mulai pola pikir, hubungan sosial, hingga orientasi pribadi. (Blok Cepu di sini dimaknai mulai teknologi, pola kerja, orang-orang luar yang masuk, dan semua yang berhubungan dengan minyak).

Nah, itulah yang disebut oleh M Munandar Soelaiman (1998) dalam bukunya Dinamika Masyarakat Transisi sebagai masyarakat prismastik. Masyarakat dengan ”isi” campuran modernitas-tradisional yang masih kental. Masyarakat prismatik tak lain sebuah masyarakat di mana nilai tradisional tak ditinggal, tapi nilai modernitas datang tak terbendung.

Pandangan ilmiah dan non-ilmiah kental bergesekan, keterbukaan masyarakat tradisional bercampur dengan ambisi-ambisi pribadi yang merupakan akibat dari sikap individualisme. Ritual-ritual di alam yang menjadi ciri khas penyatuan alam-manusia, berhadapan dengan eksploitai alam yang hanya menempatkan alam sebagai sesuatu di luar manusia semata.

Akibatnya, seperti nama model masyarakat yang diungkapkan Munandar Soelaiman, yakni model prismatik, ibarat cahaya yang memancar ke bangunan kaca berbentuk prisma, pantulan cahaya itu menjadi memencar dan tidak memusat.

Di satu sisi, keluarga masih memegang teguh ”mangan ora mangan sing penting ngumpul”, tapi di sisi lain keluarga dihadapkan pada persaingan yang luar biasa di luar. Akibatnya, gesekan antarkelompok masyarakat di sekitar Blok Cepu menjadi menguat. Gesekan itu tak lain didasari kepentingan agar bisa mendapat ”kue” dari Blok Cepu tersebut. Besar atau kecil.

Dari (meminjam) kaca mata Munandar inilah, kita bisa mengetahui model seperti apa masyarakat sekitar Blok Cepu saat ini. Meski harus diakui, kaca mata ini bukan 100 persen mampu memotret realitas yang sebenarnya di sekitar ladang minyak tersebut. Tapi setidaknya bisa sedikit memberi gambaran bagi pemangku kepentingan untuk menentukan strategi perubahan apa yang digunakan.

Dengan kaca mata itu pula, bisa disebut bahwa strategi perubahan sosial yang dilakukan pemangku kepentingan selama ini terkesan tidak tepat sasaran.

Nanang Fahrudin Pegiat Sindikat Bacadi Bojonegoro
(bisa dilihat juga di : http://nasional.kompas.com/read/2010/10/26/03234652/)

Kamis, 21 Juli 2011

Kisah Guru Isa yang Tak Ada Ujung


(Catatan Pendek atas buku "Jalan Tak Ada Ujung" karya Mochtar Lubis)

Lama sekali rasanya aku tidak menulis catatan pendek (capen) atas buku yang kubaca. Bahkan sampai lupa buku apa yang terakhir kubaca dan kubuat capen atasnya. Maklum akhir-akhir ini aku begitu sok asyik dengan catatan-catatan ringan yang kutulis untuk dimuat di Koran Sindo Jatim edisi Minggu. Dan satu lagi, aku sok sibuk ngurusi jualan buku di www.bukulawasonline.blogspot.com

Di capen ini aku ingin menulis sesuatu yang berbeda dari capen-capenku sebelumnya. Kali ini aku bukan hendak meresensi, memaknai atau apalagi mengkritisinya. Aku hanya hendak menceritakan kembali. Aku ingin menjadi sang pencerita. Atas sebuah kisah dari buku Jalan Tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis. Aku ingin menceritakan kembali dengan bahasa dan caraku sendiri. Kepada anda yang sudah pernah membaca novel ini, maaf kalau ceritaku tidak menarik dan malah mengurangi kehebatan novel ini. Dan beginilah ceritanya versiku:

***

Siang begitu panas. Jalanan berdebu putih pertanda lama tidak dijamah air hujan. Pintu pagar bambu dibuka orang dari luar. Suara langkah sepatu laras mantap mendekat. Guru Isa masih lemah di atas tempat tidur setelah dua hari dihajar malaria.

Mendengar ada polisi datang, Guru Isa mengumpulkan sisa kekuatannya untuk bangkit. Ketakutannya yang kemarin-kemarin seakan terkumpul menjadi satu siang itu. Ia sadar hari itulah akhir dari semuanya. Kedatangan polisi pasti berhubungan dengan meledaknya dua granat tangan di depan bioskop Rex dekat Pasar Senen yang menyebabkan sejumlah serdadu Belanda tewas dan lainnya luka. Apalagi sehari sebelumnya, ia membaca surat kabar bahwa salah satu pelaku telah ditangkap. Siapa kira-kira. Hazil atau Rakhmat?. Dua kawannya yang sama-sama merencanakan ledakan itu. Guru Isa semakin gemetar ketakutan.

"Apakah anda Guru Isa?"
"Ya saya"
"Kami harus membawa anda ke markas"

Dan seperti sudah tahu apa yang harus dilakukan, Guru Isa minta bekal pakaian secukupnya dan sabun mandi. Fatimah, istrinya tak henti-hentinya menangis. Tatapannya begitu kalah, kata-kata hanya menguap begitu saja. Hanya air mata yang menuturkan semuanya.

Tapi tidak dengan diri Guru Isa. Ia tak tahu makna tangisan Fatimah. Sekedar iba melihat seseorang yang ditangkap, atau sebagai istri yang kehilangan suami. Meski begitu perasaan itu hanya bertahan sekejap. Di tengah tangis istrinya dan borgol polisi, kekuatannya tiba-tiba bangkit. Ia menjadi manusia yang begitu kuat. Lebih kuat mungkin dibanding saat dia sehat sekalipun. Dan ia pun berjalan mantap diiringi polisi.

“Jaga diri baik-baik Fatimah. Jangan lupa Salim ditemani kalau tidur. Dia begitu takut dengan kegelapan,” kata Guru Isa, mungkin pesan yang terakhir diucapkan untuk istrinya.

Dalam perjalanan ke markas polisi, Guru Isa belum tahu apa yang akan terjadi setelah ini. Ia masih ingat saat berjaga-jaga di sekitar gedung bioskop Rex dekat Pasar Senen. Lama ia menunggu, hingga akhirnya dua ledakan dari granat tangan terdengar. Hiruk pikuk orang berlarian. Orang terluka dan berdarah dimana-mana. Tak lama kemudian ambulance datang memberi pertolongan.

Waktu itu Guru Isa tak tahu apa yang harus dilakukan. Ia gemetar melihat darah. Ia menyumpahi dirinya yang membenci kekekerasan, tapi tetap ikut dalam barisan pemuda revolusi. Toh usianya tak muda lagi. Ia pun berjalan hendak pulang. Tapi cara jalannya menunjukkan jika dialah yang melempar granat itu. Ia merasa khawatir. Sangat takut.

Sejak itu, ia hidup tidak tenang. Pikirannya kacau. Ia takut polisi penjajah tahu dan menangkapnya. Tak hanya itu, ia juga takut dengan kenyataan di dalam rumah tangganya. Sejak ia kehilangan kelelaki-lakiannya, Fatimah hanya menganggapnya teman, bukan suami. Ia sudah kehilangan cinta Fatimah. Hingga suatu siang ia menemukan pipa rokok di bawah bantal di kamarnya. Pipa itu jelas milik Hazil. Sebagai laki-laki, ia faham apa yang dilakukan Hazil dan Fatimah di dalam kamar. Tapi ia takut melabrak Fatimah, karena khawatir Fatimah malah akan menghindar jauh. Guru Isa takut dengan kenyataan itu nanti. Dan ia sepakat dengan dirinya sendiri untuk menyimpan pipa itu dan tutup mulut. Meski hatinya sangat sakit. Di sisi lain, ia juga tak mau hubungan persahabatan dengan Hazil retak. Padahal, gerakan revolusi baru saja mulai.

Hingga pada suatu siang, dirinya dijemput oleh polisi dan dibawa ke markas. “Salah satu pelaku sudah berhasil ditangkap” kata polisi itu. Tapi siapa?. Guru Isa tak bisa menemukan jawabannya. Baru saat tiba di markas dia tahu sesosok tubuh meringkuk lemas. Dialah Hazil. Tapi Hazil yang sudah kalah, bukan Hazil yang menggenggam semangat revolusi.

“Maaf aku tak kuat menahan siksaan mereka. Akhirnya aku berkhianat menceritakan semuanya. Maaf aku benar-benar tidak tahan,” kata Hazil. Ia menyembah-nyembah meminta maaf karena tak bisa menyimpan rahasia.
“Tidak apa-apa. Yang penting kamu masih selamat,” kata Guru Isa.
“Rakhmat pasti sebentar lagi juga ditangkap”
“Lalu bagaimana nasib revolusi”
“Entahlah. Aku benar-benar kalah,”. Hazil menangis. Hazil yang begitu akrab dengan pemandangan kekerasan tak kuat menahan siksaan.

Derap langkah sepatu datang mendekat. Pintu besi dibuka. Dua orang datang mendekat.
“Buk” jotosan mendarat di lambung Guru Isa yang baru sembuh dari malaria. “Siapa komplotanmu. Ayo bicara”. “Buk” bogem mengenai rahang Guru Isa dan darah muncrat. “Mau melawan ya?”. Dan “buk”, kembali kepalan tangan mendarat di mata kirinya.

Guru Isa hanya pasrah. Ia tak lagi bisa membedakan kapan ia merasa sehat dan kapan ia merasa sakit. Ia tak kuasa menjawab semua pertanyaan polisi-polisi itu. Dirinya diserahkan sepenuhnya kepada polisi. Mati pun tak mengapa, begitu dalam pikirannya. Dan hampir setiap hari Guru Isa menerima siksaan. Entah mengapa, pada akhirnya ia malah berubah menjadi kuat. Tak lagi ia merasakan sakit saat lambungnya ditendang, matanya dihantam, atau tengkuknya dipukul. Ia hanya melihat sebuah jalan yang gelap, jalan yang tak pernah ada ujung. Ya, jalan yang dilaluinya memang tak pernah ada ujung.

***

Begitulah akhir cerita. Memang lebih baik anda membaca sendiri novel tersebut. Novel yang begitu indah. Dan aku hanya sebagai sang pencerita yang mungkin tidak bisa menceritakan dengan baik. Salam!.

Surabaya 5 Juli 2011
Ditemani segelas kopi hitam dan tumpukan buku

Senin, 11 Juli 2011

Berjalan Melingkar

Oleh : Nanang Fahrudin
(Catatan Minggu Harian Seputar Indonesia edisi Jatim 10 Juli 2011)

“Banyak sekali negara-negara merdeka, tetapi bandingkanlah kemerdekaan itu satu sama lainnya!. Samakah isinya? Samakah derajatnya negara-negara merdeka itu?”. Pertanyaan kritis itu dilontarkan Ir. Soekarno pada Juni 1945 di hadapan anggota Dokuritsu Junbi Cyousakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Saat itu Bung Karno belum menjabat presiden RI.

Pertanyaan itu pula yang patut kita dengungkan kembali di saat bangsa ini terlilit masalah yang tak kunjung usai. Meski dalam konteks yang berbeda. Saat ini, di negeri ini, orang yang diduga korupsi, malah asyik melancong di luar negeri. Tahanan di bui tapi bebas kesana kemari. Belum lagi bangsa Indonesia yang besar ini hanya bisa melihat dan merelakan salah satu warganya dipancung di luar negeri. Sungguh ironis.

Dulu, Malaysia tidak diperhitungkan di kancah politik luar negeri. Tapi kini, Malaysia menjadi bangsa yang berlari dan meninggalkan Indonesia jauh di belakang. Singapura, dulu hanyalah negeri kecil di bawah koloni Inggris. Tapi kini, Singapura sangat diperhitungkan bagi gerak ekonomi dunia, khususnya kawasan asia.

Lalu bagaimana dengan Indonesia. Masalah silih berganti, melingkar-lingkar tak ada ujungnya. Gerakan reformasi tahun 1998 yang lahir untuk melindas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), kini malah dikangkangi oleh korupsi. Hampir semua lembaga tidak luput dari “penyakit” korupsi. Lagi-lagi, kita hanya bisa mengelus dada.

Saya teringat lelucon dalam sebuah buku humor “Mati Ketawa Cara Rusia”. Alkisah ada seorang laki-laki yang dua telinganya diperban. Lalu ditanyalah laki-laki itu.
“Kenapa telinga kananmu?”.
Laki laki itu menjawab “Saat saya menyetrika, telepon berdering. Dan saya tempelkan setrika itu ke telinga, karena saya kira setrika itu pesawat telepon”.
“Lalu kenapa telinga yang satunya?”.
“Saya salah angkat lagi, saat hendak menelpon dokter”.

Begitulah. Bangsa ini selalu terperosok pada lubang yang sama berkali-kali. Ketika tahun ajaran baru, semua orang akan ribut dengan biaya pendidikan mahal. Pemerintah pun selalu berjanji meningkatkan pelayanan pendidikan, dengan menaikkan dana pendidikan. Tapi sudah menjadi rutinitas, biaya itu kembali menjadi isu nasional lantaran biaya pendidikan masih begitu mahalnya. Dan parahnya, masalah itu (pasti) akan tetap menjadi masalah pada tahun mendatang. Seakan, masalah tersebut sudah wajar ada seiring masa pergantian ajaran baru.

Gerak bangsa yang selalu melingkar itu juga tampak hampir pada setiap bidang. Di politik daerah misalnya, seorang kepala daerah yang baru dilantik akan menjanjikan sesuatu yang lebih baik dibandingkan dengan kepala daerah sebelumnya. Tapi, “keributan politik” selalu akan muncul ketika menjelang pemilihan kepala daerah lima tahun setelahnya. Sedang di bidang ekonomi, kemandirian ekonomi menjadi jargon di mana-mana. Tapi kenyataan berbicara lain, karena hanya orang-orang tertentu saja bisa menikmati akses ekonomi. Pengusaha kecil akan menghadapi masalah yang mungkin 10 tahun yang lalu sama, yakni tidak adanya modal.

Jalan melingkar itulah yang kini ditapaki bangsa ini. Roda-rodanya terus menggelinding bergerak maju. Namun, akan sampai pada titik yang sama untuk kemudian mengelinding lagi dan sampai pada titik yang sama lagi. Subtansi masalah bangsa tetap membentang. Korupsi di mana-mana, biaya pendidikan mahal, sebagian besar masyarakat hanya menjadi konsumen, dan politik hanya sekedar dimaknai sebagai ladang bekerja mencari uang. Dan semua masalah itu tetap saja berjalan, meski era reformasi sudah dimulai pada 13 tahun yang lalu.

Tulisan pendek ini akan saya tutup dengan lanjutan penggalan pidato Bung Karno. Menurut sang presiden “Jangan mengira bahwa dengan berdirinya negara Indonesia merdeka itu perjuangan kita telah berakhir. Tidak!. Bahkan saya berkata : Di dalam Indonesia merdeka itu perjuangan kita harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dengan perjuangan kita sekarang, lain coraknya”. Salam.

Manusia Kamar

Oleh : Nanang Fahrudin
(Dimuat di Harian Seputar Indonesia (SINDO) edisi Jatim 26 Juni 2011)

Judul tulisan ini sebenarnya judul cerita pendek (cerpen) yang ditulis Seno Gumira Ajidarma pada tahun 1980. Cerpen ini berkisah tentang seseorang yang membenci dunia beserta manusianya. Ia lebih memilih hidup di sebuah rumah dengan tembok keliling (tanpa pintu, tanpa jendela) daripada bergaul dengan manusia. Baginya dunia adalah kepalsuan, manusianya slalu menunjukkan kebodohan.

Gambaran yang terlalu ekstrim? Ya memang. Tapi bukankah sekarang banyak orang yang membangun tembok tinggi untuk membuat sekat pembatas dirinya dari dunia luar?. Banyak orang yang membuat kotak sebagai upaya meng-eksklusif-kan diri. Meski latar belakang dan tujuannya berbeda dengan tokoh dalam cerpen itu. Atau bisa jadi kebalikannya, yakni asyik di dunia kepalsuan dan akhirnya membangun benteng dari suatu keaslian.

Dan sekarang kotak-kotak itulah yang berserakan di mana-mana. Semua berburu menjadi eksklusif. Persis seperti gambaran manusia kamar di atas. Banyak orang membangun kotaknya tanpa diberi jendela, tanpa ada pintu. Toleransi ditutup rapat-rapat. Keramahtamahan digantung. Keakraban dilipat di bawah intrik-intrik politik untuk mendapatkan kekuasaan politik sekaligus kekuasaan ekonomi. Sebaliknya, kecurigaanlah yang sekarang tumbuh subur. Ketidakpercayaan berujung kebencian selalu menyertai setiap gerak bangsa ini.

Ya, bangsa ini banyak dihuni oleh manusia-manusia kamar dengan makna lain. Bukan makna manusia kamar ala Seno yang membacai buku filsafat, sastra, budaya, etika, dan lalu mencoba meluruskan gerak bangsa yang bengkok, dengan alat tulisan-tulisannya. Tanpa pamrih, tanpa butuh nama besar.

Manusia kamar sekitar kita saat ini adalah manusia dengan berbagai macam kotak yang dibangunnya. Kotak eksklusif itu berupa partai, agama, organisasi, paguyuban, dan lain-lainnya. Kotak eksklusif yang bertahan dengan pandangan tertutup, kecurigaan yang membabi buta, ketidakpercayaan dengan yang lain. Kotak (sekali lagi) yang tanpa pintu dan tanpa jendela, tanpa toleransi dan tanpa saling pengertian.

Kotak-kotak yang berserakan itu sebenarnya bukan masalah ketika saling terhubung satu dengan yang lain, melalui jendela dan pintu. Sayangnya, kotak sudah banyak yang tertutup rapat. Kita saksikan di sekeliling kita, hanya gara-gara tidak sama pandangan politiknya, seseorang tidak saling menyapa. Gara-gara beda aliran agama, seseorang mudah menggunakan kekesaran untuk “meluruskan”. Gara-gara beda kepentingan, elit politik saling serang dan rakyat kecil sebagai pion.

Kondisi seperti ini sebenarnya bukan hal baru. Tapi justru pembiaran dalam jangka lama waktu lama itulah sebenarnya menjadi sesuatu yang sangat mengkhawatirkan. Masyarakat begitu mudah tersulut emosi jika menemukan sesuatu yang dibenci bersama. Ny Siami, warga kampung Gadel, di Surabaya sempat diusir dari kampungnya karena mengungkit-ungkit masalah contek massal di SDN 2 Gadel. Meski akhirnya, mereka saling memaafkan setelah ada saling pengertian. Saya ibaratkan saling pengertian itulah jendela dan pintu yang selalu terbuka.

Kita juga mudah menemui pribadi masyarakat Indonesia yang hanya mementingkan isi kotaknya saja. Seorang wakil rakyat akan lebih mementingkan orang-orang yang sekotak dengan dia, dibanding dengan masyarakat di kotak lain. Kita mudah menjumpai pejabat yang memberikan “jalan pintas” kepada orang-orang yang ada di sekitarnya untuk mendapatkan akses ekonomi. Bahkan, kita sekarang sangat mudah menemukan seseorang yang tidak lagi peduli atas kemiskinan orang lain, hanya gara-gara dia beda agama, bendera politik, organisasi masyarakat, dan perbedaan-perbedaan lain.

Manusia kamar, manusia kotak, manusia eksklusif. Sebuah pribadi yang jamak ada di negeri ini. Manusia yang acuh tak acuh terhadap kehidupan sekitar. Manusia yang mementingkan diri dan kelompok. Di dunia pendidikan misalnya, manusia yang hendak dicetak adalah manusia yang unggul secara pribadi dengan nilai UN cukup tinggi. Bukan manusia yang cakap bekerjasama dalam sebuah tugas kelompok.

Entahlah. Lagi-lagi saya melihat gerak negeri ini dari sudut yang negatif. Sudah saatnya memang, negeri ini membuka jendela dan pintu. Terutama para pejabat dan politikus, bangunlah kotakmu sekaligus dengan pintu dan jendela. Jangan ditutup rapat hingga menolak kebersamaan. Salam!.
 
© Copyright 2035 godongpring