Oleh: Nanang Fahrudin
Saya bukan satu-satunya orang yang menerbitkan buku di
Bojonegoro. Orang-orang sebelum saya, terutama para penulis berbahasa Jawa
sudah lama menerbitkan buku, mungkin saat saya baru mengenal huruf mereka sudah
menerbitkan buku. Diantaranya JFX Hoery, Djajus Pete, Nono Warnono, Yonathan
Rahardjo dan penulis-penulis lain.
Tapi izinkan saya berbagi kisah tentang bagaimana pergulatan
saya menelorkan buku. Saya bukan hendak membesarkan diri, namun sekadar
berbagi. Semoga ada bagian kecil dari tulisan ini yang bisa memberi inspirasi
pembaca untuk menerbitkan buku. Yakni ketika Bojonegoro membutuhkan
penulis-penulis untuk berbagai tujuan kemajuan ke depan.
Kemajuan teknologi mempermudah penerbitan buku. Yakni dengan percetakan
print on demand (PoD). Sistem PoD belum banyak dikenal di Bojonegoro. Masyarakat
literasi di Kota Ledre kenalnya dengan sistem percetakan offset yang mencetak
dengan jumlah minimal 500-1.000 eksemplar. Artinya sistem offset mengharuskan
penulis berkantong tebal jika hendak menerbitkan karyanya. Memang ada cara
mudah, yakni mengirim naskah ke penerbit, tapi tak semua karya bisa masuk ke
percetakan penerbit besar.
Menerbitkan buku dengan jumlah sedikit (minimal 1 eksemplar)
baru saya kenal ketika hendak menerbitkan buku untuk hadiah ulang tahun
istriku. Yakni tahun 2012 silam. Saya lupa informasi dari siapa, karena yang
jelas saya menemukan percetakan di Surabaya. Saya mencetak 2 eksemplar buku
kecil bejudul “Puisi Sederhana untuk Perempuan Tak Sederhana”. Saya sebut buku
karena bentuknya memang buku. Meski sebagian orang akan menyebutnya
“buku-bukuan”.
Lalu, saya menerbitkan buku lagi berjudul “Membaca untuk
Bojonegoro” yang disambut hangat oleh teman-teman di Bojonegoro (hehe kepedean).
Saya selalu menjelaskan kepada semua bahwa menerbitkaan buku tidaklah sulit.
Asal ada naskah yang akan diterbitkan saja. Buku saya ini pun dibeli 50
eksemplar oleh mas Agus Susanto Rismanto yang waktu itu duduk di DPRD
Bojonegoro.
Lalu mas Agus mempunyai ide untuk membantu penulis-penulis
Bojonegoro yang kesulitan dana untuk menerbitkan buku. Saya menyambutnya dengan
gembira, karena Bojonegoro memang harus dikenal lewat karya bukan hanya lewat
migas dan banjirnya saja. Maka lahirlah GusRis Foundation, dan saya dipercaya
memegangnya. Awalnya tiga buku diterbitkan, yakni karya Mohammad Roqib (wartawan
Sindo) berjudul Cerita dari Mojodelik, karya Djajus Pete berjudul Gara-Gara
Kagiri-Giri, dan karya Anas AG berjudul Catatan Kecil Sastra dan Cerita
Lainnya.
Tiga buku itu kemudian di-launching di Hotel Griya Dharma
Kusuma, hotel paling mewah saat itu. Meja kursi berlapis kain putih ditata
dengan apik. Banyak orang datang untuk mengikuti acara peluncuran buku yang
berjalan meriah itu. Empat orang duduk di depan, yakni tiga penulis dan saya
sebagai moderator.
Masing-masing judul buku dicetak 100 eksemplar dengan
sepenuhnya biaya ditanggung oleh mas Agus. Penulis benar-benar dihormati.
Karena begitulah keinginan Mas Agus: menghormati penulis lokal. Tak hanya itu,
masing-masing penulis juga mendapatkan uang Rp 3 juta sebagai penghargaan atas
karyanya. Jadi penulis mendapatkan 100 eksemplar dan uang tunai. Selain itu,
semua penjualan dari buku tersebut sepenuhnya milik penulis. Jika penulis
setelah itu hendak menerbitkan lagi dengan penerbit lain, maka sepenuhnya hak
penulis. GusRis Foundation mempersilakan.
Untuk pra cetak, sampul buku dibikin oleh Erfan Effendie. Saya
bagian mengurus ISBN nya. Waktu itu ISBN diurus via email, bukan login seperti
sekarang. Setelah ISBN keluar dari Perpusnas, maka buku segera masuk ke
percetakan. Buku tercetak pada waktu yang mepet, sehingga saya harus mengambil
sendiri ke Surabaya naik bus lanjut angkutan kota. Sampai rumah malam, dan
paginya langsung saya bawa ke tempat acara.
Sukses menerbitkan tiga buku tersebut, langkah menerbitkan
buku dilanjutkan. Bedanya adalah tidak ada uang tunai lagi bagi penulis.
Harapannya, uang untuk penulis bisa dibuat untuk menerbitkan buku-buku lainnya
karya penulis Bojonegoro. Hasilnya, total ada 10 judul buku yang akhirnya bisa
diterbitkan oleh GusRis Foundation. Salah satunya adalah buku karya Yonathan
Rahardjo berupa novel bahasa Jawa.
Waktu terus berjalan. Ada banyak perubahan terjadi. Tak
terkecuali perubahan di diri GusRis Foundation. Setelah 10 buku terbit,
kemudian mandek. Tapi semangat menerbitkan buku tak pernah padam. Terus menggelora.
Karena menerbitkan buku adalah kebahagiaan yang tak terkira. Kau tak akan bisa
merasakan bagaimana bahagianya bisa membantu menerbitkan buku atau menerbitkan
buku kita sendiri.
Buku yang kemudian saya terbitkan adalah kumpulan tulisan saya
sendiri, yakni buku “Lampu Merah Cap Indonesia”. Buku itu kumpulan tulisan saya
sejak menjadi redaktur Koran Sindo hingga editor di blokBojonegoro. Layout saya
biayai sendiri, saya sunting sendiri, saya urus ISBN sendiri, dan saya bawa ke
percetakan sendiri juga. Saya yakin begitulah dunia buku berjalan di daerah.
Apalagi penulis-penulis di daerah tidak banyak dikenal masyarakat pembaca buku.
Saya misalnya, bukan siapa-siapa. Tulisan saya mentok muncul di Jawa Pos berupa
resensi buku.
Lama vakum tak menerbitkan buku, rasanya kok bagaimana gitu.
Hendak menerbitkan buku orang lain, jelas tak ada modal. Kebanyakan penulis di
Bojonegoro berharap bukunya diterbitkan oleh penerbit besar, mungkin lebih
keren. Tapi itu wajar sih. Meski penerbit besar hanya menang di distribusi
saja.
Setelah itu banyak muncul buku yang diterbitkan oleh penulis
Bojonegoro dengan sistem cetak PoD. Pak Susanto, guru SMAN 3 Bojonegoro membuat
penerbitan sendiri dan beberapa kali menerbitkan buku karya siswanya. Bu Emi
dari SMPN 1 Baureno juga banyak menerbitkan buku karya siswa. Buku menjadi
lebih hidup oleh penerbit-penerbit lokal. Prawoto, seorang guru pelosok di
Kecamatan Gondang juga beberapa kali menerbitkan buku penulis lokal Bojonegoro.
Saya pun demikian, berusaha terus menyemarakkan dunia buku
Bojonegoro. Maka lahirlah penerbit Nun Buku yang saya gawangi bersama Mohamad
Tohir. Lantaran tanpa modal, maka buku yang diterbitkan lagi-lagi kumpulan tulisan saya.
Ada dua buku yang sudah terbit yakni “Orang Bojonegoro Berdarah Bugis? Dan Esai-esai
lainnya”. Sedang buku satunya saya tulis bersama Ahmad Yakub wartawan Media
Indonesia. Buku itu berjudul “Angin Jenogoro; Dari Kerajinan Kayu Jati Hingga
Kesenian Langen Tayub”.
Sungguh, sebuah kebahagiaan bisa menerbitkan
buku. Dan setelah ini entah apa lagi yang harus saya lakukan untuk tetap setia
dengan buku.(bersambung)
Teks Foto:
1. Tiga dari 10 buku yang diterbitkan GusRis Foundation
2. Buku novel Wayang Urip karya Yonathan Rahardjo